Aomori, Jepang.
Ann nampak kikuk saat mendapat sambutan tak biasa begitu tiba di salah satu tempat yang dipersiapkan bagi bulan madunya bersama Ben. Benar kata sang suami, jika di Jepang, mereka bahkan akan diikuti hingga ke depan pintu kamar dan dijaga ketat keselamatannya oleh anggota perkumpulan. Mengingat posisi Ben yang cukup penting dan vital, semua keperluan dan kepentingan Ben selama satu minggu ke depan akan disediakan oleh anak buahnya. Itulah yang membuat Arino tidak diikutsertakan dan mendampingi Ben selama acara bulan madu berlangsung."Mereka nggak bakalan jagain pintu kita 24 jam kan Mas?" tanya Ann seraya menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas kasur empuk harumnya."Ya 24 jam mereka di situ. Paling gantian sama yang laen," jawab Ben enteng."Serius?" mata Ann membulat. "Terus?" ia meminta penjelasan yang lebih detail pada sang suami."Ya nggak gimana-gimana. Mereka di luar ini, nggak akan asal masuk ke dalem, Ane-s"Orang-orang kayak kami udah nggak terlalu ditakuti sekarang, apalagi kami udah berbaur," cerita Ben saat Ann takjub melihat penampilan para anak buah Ben yang sangat stylist. Mereka baru selesai bertemu dengan orang yang Ben maksud. "Tergerus jaman tapi kemampuan kalian maen pedang masih nggak bisa diremehin kan?" gumam Ann menatap kagum pada wajah tampan suaminya. "Itu keahlian wajib, terutama di klan kita. Orang yang baru aja kita temuin tadi, dia dari klan yang beda tapi kami saling kerjasama," ungkap Ben. "Itu tadi sih cuma bisa dianggep papasan doang Mas, bukan ketemu dan ngobrol." "Ya kayak gitu cara kita komunikasi. Biar nggak nimbulin kecurigaan dan orang-orang di sekitar nggak sadar transaksi apa yang lagi berlangsung." "Ya, ya. Aku tau bisnis suamiku dan makanku ya dari situ," kata Ann manggut-manggut. "Sekarang mandi air panas?" tanyanya antusias. "Iya, kita ke lokasinya sekarang," ujar Ben seraya mengusap kepala Ann, geregetan. Perjalanan menuju tempat pe
Ann melongo melihat beberapa berkas di depannya yang baru saja Ben tunjukkan. Semua berkas itu berisi harta kekayaan yang Ben limpahkan atas nama istrinya, hadiah pernikahan. Belum lagi beberapa aset lain dari milik klan yang nantinya juga akan dimiliki Ann karena statusnya sebagai istri Ben. "Apa ini nggak berlebihan Mas? Belum juga dua minggu aku resmi jadi istri kamu," ucap Ann. "Kaya mendadak aku nih," desisnya. "Ini hak kamu, Ann," ucap Ben serius. "Di luar kompensasi dari perjanjian seumur hidup kita di awal, ini baru setengahnya. Nanti, kamu bakalan dapet benefit juga dari Papa, ada jatah menantu yang emang sengaja Papa siapin buat para menantunya," jelasnya. "Jadi emang se-istimewa ini jadi istri seorang Big Ben? Harta aja kalau kunikmati sendiri nggak bakalan abis seumur hidup," gumam Ann takjub. "Sejauh ini, kamu menantu yang paling Papa harapkan. Istrinya Benji nggak jelas juntrungannya, aku juga nggak mau tau soal rumah tangga mereka. Sedangkan Bastian, kamu tau se
"Keburu tua akunya," ucap Ann reflek. "Kalau kamu tua aku apa? Yang penting siap dulu, aku nggak mau dia terancam, itu yang jelas!" tegas Ben bersikeras. Ann kalah. Ia tahu, Ben bisa saja bersikap otoriter di beberapa keputusan dan soal keturunan ini, Ann tahu ia tak bisa membantah. Bagaimanapun, Ben memiliki kendali penuh atas dirinya. Pun dengan keinginannya yang sebenarnya berharap untuk bisa cepat hamil. Bukankah menyenangkan jika ada malaikat kecil di tengah-tengah mereka? "Iya Mas," ucap Ann pada akhirnya, mengalah. Ben yang menyadari ada nada aneh dalam suara istrinya langsung mendekat. Ia hadapi Ann dan ia usap pundaknya lembut. "Aku nggak akan ngebiarin kamu ada dalam bahaya, jadi jangan pernah mikir kalau kamu sendirian di dunia!" tegas Ben begitu manis. Ann mengangguk pelan, ia tersenyum simpul. 'Aku nggak khawatir soal itu, Mas. Cuma ... aku pengin punya anak, dari kamu!'
Ann bergegas turun dari kamarnya menyambut sang suami begitu ia melihat mobil Ben memasuki area garasi. Semenjak kepulangan mereka dari Jepang kemarin lusa, Ann memang sengaja diminta Ben untuk menunggu kabar di rumah. Praktis Ben tidak pulang sejak pergi berpamitan mengurus masalah berita yang menyebar tentang keduanya. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon sebelum akhirnya Ben pulang ke rumahnya hari ini. "Mas!" tanpa basa-basi, Ann menubruk tubuh Ben dan memeluknya erat. Betapa rindu dan rasa khawatir membaur menjadi satu di dadanya. "Kangen ya?" canda Ben masih sempat-sempatnya. "Aku khawatir," jawab Ann melepas pelukannya, ia iringi sang suami masuk ke dalam rumah sambil melambai ke arah Arino yang berbelok masuk ke arah kandang para hewan. "Khawatir kenapa? Aku nggak ketemu Eriska, Ann," jelas Ben. "Aku juga nggak nuduh kamu begitu Mas." "Terus khawatir karena apa?" tany
"Maaf ya Mas," sesal Ann. "Kamu baru aja nyampe udah kuminta ngelakuin tugas rumah tangga," kekehnya. "Seksi banget gini suamiku," pujinya mengulum senyum."Nanti abis ini kuminta upahnya," desis Ben melirik tajam. "Apalagi kamu pake piyama binal begini, sengaja ngegoda?" tanyanya. Ann terkekeh, bukannya menjawab ia justru memeluk punggung suaminya dari belakang. Ia hirup aroma tubuh Ben sehabis bekerja itu, aroma yang ia rindukan selama dua hari belakangan. "Tadinya aku sempet khawatir soal kerjaanku," tutur Ann jujur, ia masih memeluk Ben erat, "tapi setelah kupikir-pikir, aku sadar bahwa ada yang harus kukorbankan untuk bisa ada di posisi sekarang. Besar memang pengorbanan itu, tapi kamu harus tau kalau aku nggak pernah menyesal, Mas.""Pendidikan dan profesi impian kamu?" gumam Ben menebak, "serius, aku nggak pernah bermaksud meminta kamu membayar sebanyak itu buat ada di sisiku," sesalnya. Ia berbalik dan balas memeluk Ann sebentar.
Praktis, semenjak Ben menyerahkan urusan pekerjaan Ann pada Bastian, Bastian tidak pernah berada jauh dari sisi Ann. Ia benar-benar bersikap sebagai kakak ipar siaga, membantu Ann dan mengurus segala urusan sang adik ipar tanpa lelah. Lama-kelamaan, Ann dan Bastian menjadi cukup akrab, mereka nyambung satu sama lain."Lo denger mereka tadi bilang apa, Bang?" tanya Ann saat ia keluar dari ruang rias dan bersiap untuk kembali pulang ke kediaman Big Ben."Yang dulunya senior baek sekarang jadi musuh?" tebak Bastian. "Orang begitu di industri kita begini banyak Ann. Mereka iri, merasa lebih baik dari lo tapi nggak bisa bikin pencapaian yang sama. Atau mereka adalah orang-orang yang pernah Ben tiduri tapi nggak bisa dapet posisi jadi istri," ungkapnya. "Untung gue udah terbiasa sama kata-kata sumbang begitu sejak gue hidup di Semarang. Jadi gue udah nggak kaget.""Tahan aja, hampir sebulan ini, beruntung Eriska juga nggak bikin gerakan apa-apa, jadi k
"Jangan bilang Mas Ben dulu, gue nggak mau dia tau soal ini dari orang laen," pinta Ann sungguh-sungguh. "Dia musti tau karena dia harus jagain lo bener-bener, lo hamil anaknya!" "Gue tau, nanti pelan-pelan gue kasih tau, tapi nggak dalam waktu deket Bang." "Nunggu dia besar dulu? Kalau Ben tau lebih awal, dia bakalan cari solusi buat ngelindungin kalian berdua lebih dari sekarang," paksa Bastian. "Atau dia bakalan cari cara biar gue gugurin janin ini," sambar Ann pahit. "Tolong, jangan kasih tau Mas Ben, lo bisa janji kan Bang?" mohonnya hampir menangis. Bastian mengusap tengkuknya beberapa kali. Selain terkejut, ia juga tak menyangka bahwa Ann akan cepat hamil di usia pernikahannya dengan Ben yang belum genap 2 bulan. Terlebih lagi, Ben belum tahu permasalahan ini, Ann tak ingin suaminya itu tahu lebih dulu dari orang lain. "Kita turun sekarang, jangan sampe Ben curiga kita ada apa-apa kare
"Apa yang lo rasain sekarang?" tanya Danisha lembut, ia genggam jemari kakak iparnya erat. Bastian sengaja meminta Danisha pulang ke Indonesia demi ikut membantu menjaga Ann. Saat diberitahu bahwa Ann saat ini tengah hamil muda, Danisha tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia benar-benar siap menyambut calon ponakannya itu hingga setia mengawal Ann di hari-hari terakhir kontrak kerjanya."Pusing banget gue Sha, nggak kuat bangun beneran," keluh Ann kepayahan."Lo udah periksa ke dokter kan? Nggak dikasih vitamin atau obat gitu?""Ada, tapi tiap mau gue makan, vitaminnya keluar lagi, mual hebat," desis Ann memejamkan matanya sambil bersandar di pundak Bastian."Ben harus tau Ann, seenggaknya biar lo diperhatiin selama di rumah," ucap Danisha yang langsung dibenarkan dengan anggukan oleh Bastian."Rencananya gue juga mau bilang hari ini," balas Ann, "argh, gue pengin muntah lagi," keluhnya. Belum sempat Bastian memap
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama