"Apa yang lo rasain sekarang?" tanya Danisha lembut, ia genggam jemari kakak iparnya erat.
Bastian sengaja meminta Danisha pulang ke Indonesia demi ikut membantu menjaga Ann. Saat diberitahu bahwa Ann saat ini tengah hamil muda, Danisha tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia benar-benar siap menyambut calon ponakannya itu hingga setia mengawal Ann di hari-hari terakhir kontrak kerjanya."Pusing banget gue Sha, nggak kuat bangun beneran," keluh Ann kepayahan."Lo udah periksa ke dokter kan? Nggak dikasih vitamin atau obat gitu?""Ada, tapi tiap mau gue makan, vitaminnya keluar lagi, mual hebat," desis Ann memejamkan matanya sambil bersandar di pundak Bastian."Ben harus tau Ann, seenggaknya biar lo diperhatiin selama di rumah," ucap Danisha yang langsung dibenarkan dengan anggukan oleh Bastian."Rencananya gue juga mau bilang hari ini," balas Ann, "argh, gue pengin muntah lagi," keluhnya.Belum sempat Bastian memap"Bang, tolong ambilin hasil ke dokter kemaren di laci deket Abang," pinta Ann menunjuk nakas di sebelah Bastian. "Aku kemaren lusa ke dokter, Mas," ungkapnya pada sang suami."Terus? Nggak ada yang parah kan?" Ben mengejar penjelasan. "Istri lo hamil," celetuk Bastian gemas. "Usia kehamilannya udah masuk 7 minggu," tambahnya. Hening. Hanya ada suara gesekan kertas yang timbul dari amplop besar di tangan Ben. Di sana jelas ada alat test kehamilan yang sengaja Ann simpan, juga foto hasil USG atas nama Joanna Diajeng Arumndalu. Meski terlihat kaget, Ben tak bicara apapun. Ia tarik napas dalam-dalam dan pandangannya bergantian menatap Ann dan Bastian. "Benih lo?" tuduh Ben pada Bastian, mengejutkan. "Yang ada di perutnya, anak lo?" gumamnya sangat dingin. "Mas!!" sengal Ann spontan. "Anak kamu!" jeritnya dengan mata membola."Yakin?" tanya Ben terlihat cukup tenang. "Kalian banyak ngehabisin waktu berduaan belakangan ini, gue jug
Ben pergi begitu saja dan tak bicara apapun lagi setelah istrinya meringkuk menangis di atas ranjang sore itu. Ia juga tak pulang ke rumah malam harinya, membuat Ann tidur sendirian dengan luka hati yang dalam. Ini kali pertama keduanya berselisih paham yang parah, tentu dengan tuduhan Ben yang luar biasa menyakitkan hati istrinya. Beruntung, Danisha yang sangat mengenal sifat sang kakak tampan datang keesokan paginya untuk menghibur Ann yang jelas masih merasakan lara. "Gue dateng karena gue tau, pasti lo kepayahan kan ngatasin ngidam lo sendiri? Gue tau kalau lagi gusar atau marah, Ben bakalan ngilang dan balik lagi kalau suasana hatinya udah membaik. Dia nggak mau ketemu sama siapapun, menyendiri. Apalagi dia nuduh lo kejam banget, harusnya dia menyesali ucapannya kemaren," ucap Danisha seraya meletakkan rujak manis pesanan Ann di atas nakas. "Tapi lo tenang aja, gue yakin dia nggak bakalan mesen perempuan, semarah apapun dia," tambahnya. "Makasih ya Sha, gue jadi ngerepotin lo,
"Gue bukan merebut, gue memungut!" sambar Bastian. Danisha tertawa getir, "Serem banget bahasa lo," katamya geleng-geleng kepala."Lo nggak kasian sama Ann? Dia sebenernya dimanfaatin buat dapetin kekuasaan doang dan hatinya disakiti begitu hebatnya?" "Dia salah sih terlibat sama Ben dari awal. Tapi ya mau gimana lagi, kalau mereka emang jodoh? Kita juga nggak tau sedalam apa Ben cinta sama istrinya," tukas Danisha. "Lo mending pergi aja, kalau Ben sampe ngeliat lo ada di sini, emosi lagi ntar dianya. Biar mereka berdua akur dulu, sementara lo jangan muncul deh," usirnya. "Oke, gue lega karena udah ada lo. Kabarin kalau ada apa-apa," pesan Bastian tak banyak basa-basi dan beranjak pergi meninggalkan kediaman Big Ben. Kepergian Bastian membuat Danisha berpikir keras, ia tahu kakak keduanya itu tidak pernah main-main jika sudah membuat keputusan. Bastian memang seorang player tapi dari pengalaman itulah dia pintar menghargai perasaan pe
Ann dijemput pergi oleh Danisha malam itu juga. Meski sebenarnya Ben tahu ia berkata meminta Ann pergi hanya karena emosi semata, ia adalah lelaki yang memiliki kehormatan, ia tidak akan menjilat ludahnya sendiri. Jadi, saat mobil pribadi Danisha meninggalkan kediamannya tengah malam membawa sang cinta, Ben hanya diam saja menatap dari jendela kamarnya. Ia dirundung gengsi setinggi langit, dibakar cemburu seluas samudera. Di hatinya hanya ada kemarahan yang berlimpah ruah, tak dipandangnya kesusahan Ann menghadapi kehamilan yang tanpa perlindungannya.Dua hari kemudian, Danisha mengirim pesan pada Ben bahwa Ann dirawat di rumah sakit karena mual dan muntahnya yang begitu parah. Harapannya, setidaknya Ben akan luluh dengan kondisi Ann saat ini dan Ben menyadari bahwa penyebab Ann kepayahan hingga seperti ini adalah dirinya. Namun, Ben bahkan tidak membaca pesan dari Danisha. Beruntung, baik Benji maupun Bastian selalu siap sedia mengurus segala keperluan Ann dan melindunginya, menggant
"Apa jadwal gue abis ini, No?" tanya Ben saat Arino masuk ke dalam ruangannya."Paling ke pelabuhan ngecek barang, tapi kayaknya kapal belom ada yang sandar," jawab Arino. "Ke rumah sakit aja dulu, baru kita balik ke pelabuhan," putus Ben mengejutkan. "Rumah sakit?" dahi Arino mengerut, "ah, iya, Ane-san," ucapnya tersadar.Sementara Ben bersiap menuju rumah sakit untuk akhirnya melihat keadaannya, Ann hanya dijaga dengan setia oleh Danisha. Bastian dan Benji mengurus masalah pekerjaan, semua anggota keluarga Takahashi sebenarnya tak ada yang menganggur. Mereka memiliki peran dan tugasnya masing-masing di dalam bisnis keluarga. "Lo jangan banyak pikiran, Ann, pikirin aja janin yang ada di perut lo, nggak boleh stres," pinta Danisha lembut. "Jangan mikirin Ben juga!""Gimana gue nggak kepikiran terus kalau suami gue bahkan nggak peduli sama kami berdua, Sha," jawab Ann pilu. "Gue dituduh hamil janin orang lain," desisnya.
Dua minggu setelah Ann dirawat di rumah sakit, akhirnya diputuskan, Ann akan dikirim ke Jepang di mana perlindungan pada Ann dinilai lebih ketat. Ketimbang Ann harus menghadapi kekhawatiran akan ancaman Eriska tanpa perlindungan dari Ben tentunya. Selama di Jepang, Ann akan didampingi oleh Danisha, dipenuhi semua kebutuhannya hingga ia dan anaknya siap untuk kembali ke Indonesia dan memberi bukti pada Ben. "Lo beneran udah mantap kali ini Ann?" tanya Danisha hati-hati, ia bantu Ann memasukkan dokumen imigrasinya ke dalam tas. Ann mengangguk, "Dua minggu cukup buat ngasih Mas Ben waktu buat mikir. Nyatanya dia nggak nyariin gue dan berusaha buat ngelurusin kesalahpahaman kami yang makin parah. Gue tau dia emang cuek dan tak acuh, tapi gue nggak nyangka bakalan seancur ini hubungan kami," ungkapnya. "Hei," tiba-tiba Benji muncul di pintu kamar khusus milik Ann, "ada Ketua," ucapnya merujuk pada kedatangan Ben. Ann dan Danisha saling berpandangan
"Aku nggak mau pisah sama kamu dalam situasi kayak gini. Kamu tau perempuan hamil perlu banyak perhatian dari suaminya, tapi aku nggak dapet itu dari kamu meskipun aku ngemis-ngemis juga. Nggak pa-pa, ini mungkin salahku karena aku terlena sama ucapan kamu soal cinta. Seharusnya dari awal aku tau kalau nggak boleh berharap pada perjanjian lifetime kita yang fana. Aku pergi bukan karena aku mengakui semua tuduhanmu Mas. Aku pergi karena kuanggap aku udah nggak bisa mengharapkan janji atas perasaan kamu lagi, Big Ben," urai Ann dengan air mata yang membasahi pipinya. Dikecupnya bibir Ben dengan sekejap, ucapan selamat tinggal. "Kamu harus tetep hidup buat ngebuktiin bahwa tuduhanku itu nggak bener," ucap Ben meraih pergelangan tangan Ann, menahannya. "Kenapa musti aku yang buktiin? Kamu aja yang coba nyari tau sendiri. Aku nggak mau ngelakuin hal itu karena sama aja aku ngakuin hal yang nggak kulakuin. Kamu inget janjimu ke aku bahwa kamu bakalan jagain aku sepanja
Tanpa basa-basi dan banyak bicara, Benji langsung menyarangkan dua pukulan telaknya ke wajah Ben. Tampak ekspresi marah Benji tak bisa ditahannya lagi, bahunya naik-turun tak teratur. Ia masih ingin menyerang Ben dan memukul sang adik tampan, tapi Arino berusaha melerai mati-matian. Sementara, Ben yang mendapat serangan tak terduga dari sang kakak berusaha untuk bertahan, melawan balik. Ben berontak, masih mempertahankan harga dirinya yang tersisa secuil itu. Tangannya terkepal di udara, siap melayangkan balasan pukulan tapi Benji lebih kuat menahan lengannya. "Makan rasa sesal lo seumur hidup!" cerca Benji lantas melempar lembaran kertas dari sebuah map setelah emosinya cukup mereda. "Setelah lo kehilangan segalanya, lo baru bakalan sadar kalau lo emang bangsat!" tandasnya berapi. "Benji!" Danisha berlari mendekat, ia toleh Ben sebentar baru menggeleng keras pada sang kakak pertama. "Ann perlu suaminya, Ben wali resmi Ann," katanya. "Dia punya suami? S
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama