"Aku nggak mau pisah sama kamu dalam situasi kayak gini. Kamu tau perempuan hamil perlu banyak perhatian dari suaminya, tapi aku nggak dapet itu dari kamu meskipun aku ngemis-ngemis juga. Nggak pa-pa, ini mungkin salahku karena aku terlena sama ucapan kamu soal cinta. Seharusnya dari awal aku tau kalau nggak boleh berharap pada perjanjian lifetime kita yang fana. Aku pergi bukan karena aku mengakui semua tuduhanmu Mas. Aku pergi karena kuanggap aku udah nggak bisa mengharapkan janji atas perasaan kamu lagi, Big Ben," urai Ann dengan air mata yang membasahi pipinya. Dikecupnya bibir Ben dengan sekejap, ucapan selamat tinggal.
"Kamu harus tetep hidup buat ngebuktiin bahwa tuduhanku itu nggak bener," ucap Ben meraih pergelangan tangan Ann, menahannya."Kenapa musti aku yang buktiin? Kamu aja yang coba nyari tau sendiri. Aku nggak mau ngelakuin hal itu karena sama aja aku ngakuin hal yang nggak kulakuin. Kamu inget janjimu ke aku bahwa kamu bakalan jagain aku sepanjaTanpa basa-basi dan banyak bicara, Benji langsung menyarangkan dua pukulan telaknya ke wajah Ben. Tampak ekspresi marah Benji tak bisa ditahannya lagi, bahunya naik-turun tak teratur. Ia masih ingin menyerang Ben dan memukul sang adik tampan, tapi Arino berusaha melerai mati-matian. Sementara, Ben yang mendapat serangan tak terduga dari sang kakak berusaha untuk bertahan, melawan balik. Ben berontak, masih mempertahankan harga dirinya yang tersisa secuil itu. Tangannya terkepal di udara, siap melayangkan balasan pukulan tapi Benji lebih kuat menahan lengannya. "Makan rasa sesal lo seumur hidup!" cerca Benji lantas melempar lembaran kertas dari sebuah map setelah emosinya cukup mereda. "Setelah lo kehilangan segalanya, lo baru bakalan sadar kalau lo emang bangsat!" tandasnya berapi. "Benji!" Danisha berlari mendekat, ia toleh Ben sebentar baru menggeleng keras pada sang kakak pertama. "Ann perlu suaminya, Ben wali resmi Ann," katanya. "Dia punya suami? S
"Ann hancur kalau tau dia nggak bisa hamil lagi," tandas Danisha menimpali. "Dia berharap bisa ngebesarin anaknya meski lo nggak peduli. Dia pasti bakalan hancur beneran Ben.""Biar gue yang nemenin dia dalam kehancuran itu seumur hidup," sahut Ben. "Itu bentuk tanggung jawab gue yang tadi lo tanyain," tandasnya."Sekarang lo berusaha terlihat ada di samping dia apapun yang terjadi?" cibir Benji. "Tunggu sampe tes DNA janin itu keluar dan rasakan penyesalan itu bakalan menghantui lo seumur hidup!" ancamnya sungguh-sungguh.Setelah mencerca sang adik, Benji berlalu pergi, ia harus menemukan siapa penyerang Ann dan Bastian. Setidaknya, sulung Takahashi ini harus memastikan penyerang itu mati, tugas penjagal yang melekat padanya membuatnya harus bertindak cepat. Informasi cepat mengalir dan Benji sudah harus menemukan targetnya hari ini juga. Sementara, waktu berlalu di ruang operasi, menemani Ben dan Danisha menunggu dalam harap-harap cem
Ann mendapatkan kesadarannya, tapi ia masih tak bersedia berbicara dengan siapapun. Pandangan matanya sayu, seolah ia tengah meratapi kejamnya dunia dalam kesendiriannya. Selama itu pula Ben tak pernah beranjak dari sisi istrinya, berusaha meminta Ann untuk setidaknya menyuap sarapannya, tapi Ann menolak dengan bersikap angkuh, menganggap bahwa tak ada seorangpun yang duduk di sebelah ranjangnya. Luka hati yang Ann derita begitu dalam, Ben sadar ia tak berhak menuntut pengampunan. Besar perasaannya terhadap sang istri baru saja dikalahkan oleh ego dan ia tahu bahwa memaafkan adalah hal yang keterlaluan untuk diminta dari sang pujaan. "Aku tau kamu marah dan membenciku, Yang, tapi aku nggak akan pergi dari sini sebelum kamu makan. Jadi, kalau kamu muak atau benci ngeliat aku, kamu makan dulu, nanti aku pergi setelah itu," ucap Ben pantang menyerah. Ann memalingkan wajahnya agar tidak menatap Ben. Ia ingin menangis sejadinya, menyalahkan Ben atas segala rasa sakit yang ditanggungnya,
"Nggak akan sama lagi tanpa janin dan rahim dalam diri gue," ujar Ann tersendat. "Perempuan tanpa rahim, gue nggak akan bisa ngasih keturunan buat suami gue lagi selamanya. Kenapa kalian nggak ngebiarin gue mati aja bareng anak gue?" tuntutnya. "Dan ngebikin Ben juga mati di hari yang sama? Lo hidupnya Ben, Ann, makanya dia nggak bisa kehilangan lo.""Setelah tuduhan kejamnya? Gue nggak ngerti," tukas Ann ketus. "Gue nggak pernah membenarkan tindakan Ben, sama sekali. Tapi menyelamatkan lo juga jadi hal yang gue pengin, Takahashi nggak bisa kehilangan anggota keluarga lagi, Ann. Lo bagian dari kami sekarang, apapun bakal kami lakuin demi keselamatan lo!""Gue nggak mau hidup!" keluh Ann kalut, ia menangis lagi. Bukan hal mudah bagi perempuan sepertinya untuk bisa melalui cobaan berat semacam ini. Apalagi ia tidak pernah bersiap untuk banyak kehilangan yang lain setelah ia kehilangan karir, pendidikan dan kebebasannya."Lo boleh membenci
Dua minggu setelah Ann intensif dirawat, akhirnya ia boleh meninggalkan rumah sakit. Selama itu pula Ben selalu bersiaga meski Ann enggan berbicara dengannya. Apapun yang Ann butuhkan, Ben selalu siapkan. "Gue nggak tau apa yang harus gue kasih ke lo buat gantiin kehilangan lo, Bang," desis Ann yang kemudian memiliki keberanian menerima kunjungan dari Bastian. "Maafin gue," tandasnya lirih."Kehilangan yang mana?" Bastian tampak bingung, wajahnya seceria biasanya. "Gue nggak pa-pa," katanya. "Seharusnya lo nggak perlu berkorban sebanyak ini buat gue," lirih Ann penuh sesal. "Lo berkorban jauh lebih banyak, Ann," sebut Bastian bijak. "Gue tau lo kehilangan segalanya dan nggak gampang buat melalui itu semua. Tangan kiri bukan apa-apa buat gue, masih ada tangan kanan," ujarnya.Ann menarik napas dalam-dalam untuk memberanikan diri menatap wajah Bastian, "Lo bisa maafin Mas Ben atas tuduhannya?" tanyanya."Kami bersaudara, kalau nggak gue maafin, udah saling bunuh kami juga dari dulu,"
"Boleh gue ngomong berdua dulu sama istri gue?" Ben menyusul Benji masuk, meminta waktu sebentar. Semua orang memandang Ann, menunggu persetujuannya. Meski tahu bahwa semua yang Ben bicarakan tidak akan meluluhkan hatinya, Ann memberi anggukan. Dua tampan lain yang begitu perhatian pada Ann keluar dari ruangan tanpa berpamitan, setidaknya Ben memang harus diberi kesempatan untuk membuat bujukan terakhir. "Aku udah siapin rumah baru yang nyaman buat kamu, yang jelas rumah itu aman dari ancaman Eriska dan musuh perkumpulan, jadi nggak akan ada yang ngusik kamu di sana," kata Ben memulai pembicaran, seperti biasa, ia memilih duduk di kursi dekat ranjang. "Aku nggak minta kamu buat nyiapin itu. Sama kayak yang udah kubilang di awal, aku nggak mau terlibat sama keluarga Takahashi lagi!" tegas Ann. "Aku masih suamimu dan adalah kewajibanku ngelindungin kamu Ann," jawab Ben. "Aku jamin nggak akan ada keluarga Takahashi yang mengusikmu di sana! Percay
Ann sudah duduk di sofa panjang kamar Ben saat lelakinya itu masuk bersama Chester. Terasa sudah lama sekali Ann tidak bertemu dengan Chester dan mengurusnya. Hewan buas peliharaan keluarga itu pun sepertinya paham mengapa ia dibawa oleh Ben menemui Ann. Tanpa dipanggil, Chester mendatangi Ann, mengendus jari jemari majikannya itu sebentar baru meminta Ann mengelus kepalanya manja. "Hi Ches!" sapa Ann lembut, digaruknya leher Chester untuk memberi hewan itu kenyamanan. "Nggak lupa kan sama bauku," tandasnya tersenyum. Chester menggeram kecil, menikmati sentuhan manis dari Ann. Sementara Ben sibuk melepas jasnya hingga hanya menyisakan kemeja panjang yang ia gulung lengannya sampai dekat siku. Duduk di seberang Ann, Ben mengutak-atik remote AC, datang dari luar membuatnya sedikit kepanasan. "Tadi sama Benji nggak dianter ke rumah Papa dulu?" tanya Ben yang memang ditolak Ann untuk membawanya pulang dari rumah sakit dan Ann memilih Benji. Ann menggeleng pelan, jemarinya masih sibu
Ben mendekat, ia duduk di sisi seberang Ann, bibir ranjang lainnya. Dengan berani Ben remas jemari lentik istrinya, ia lalu berjongkok, berlutut seakan meminta ampun. Air mata meluncur bebas ke pipi Ben dari matanya yang sayu lelah, bermuara di ujung hidung mancungnya yang memerah. Bahu tegapnya sedikit naik turun, terguncang demi menahan tangis yang terus tumpah."Kamu tau, rasanya ditinggal pergi sama kamu lebih mengerikan ketimbang diasingkan sama keluarga dan dibuang waktu dulu, Yang," keluh Ben tersendat. "Aku udah usaha buat ngatasin ketakutan itu, tapi kayak yang kamu liat sendiri, aku nggak akan sanggup, Joanna," bisiknya memelas, memohon ampunan. "Aku hancur tanpa kamu," desisnya."Ada banyak alasan kenapa aku mutusin buat pergi dari semua hal yang berhubungan sama kamu, Mas. Aku nggak bisa menghadapi rasa bersalahku sendiri tiap ketemu sama Bastian, apalagi ngeliat gimana seorang ahli pedang harus kehilangan tangan kirinya cuma buat ngelindungin aku. Ini