"Nggak akan sama lagi tanpa janin dan rahim dalam diri gue," ujar Ann tersendat. "Perempuan tanpa rahim, gue nggak akan bisa ngasih keturunan buat suami gue lagi selamanya. Kenapa kalian nggak ngebiarin gue mati aja bareng anak gue?" tuntutnya. "Dan ngebikin Ben juga mati di hari yang sama? Lo hidupnya Ben, Ann, makanya dia nggak bisa kehilangan lo.""Setelah tuduhan kejamnya? Gue nggak ngerti," tukas Ann ketus. "Gue nggak pernah membenarkan tindakan Ben, sama sekali. Tapi menyelamatkan lo juga jadi hal yang gue pengin, Takahashi nggak bisa kehilangan anggota keluarga lagi, Ann. Lo bagian dari kami sekarang, apapun bakal kami lakuin demi keselamatan lo!""Gue nggak mau hidup!" keluh Ann kalut, ia menangis lagi. Bukan hal mudah bagi perempuan sepertinya untuk bisa melalui cobaan berat semacam ini. Apalagi ia tidak pernah bersiap untuk banyak kehilangan yang lain setelah ia kehilangan karir, pendidikan dan kebebasannya."Lo boleh membenci
Dua minggu setelah Ann intensif dirawat, akhirnya ia boleh meninggalkan rumah sakit. Selama itu pula Ben selalu bersiaga meski Ann enggan berbicara dengannya. Apapun yang Ann butuhkan, Ben selalu siapkan. "Gue nggak tau apa yang harus gue kasih ke lo buat gantiin kehilangan lo, Bang," desis Ann yang kemudian memiliki keberanian menerima kunjungan dari Bastian. "Maafin gue," tandasnya lirih."Kehilangan yang mana?" Bastian tampak bingung, wajahnya seceria biasanya. "Gue nggak pa-pa," katanya. "Seharusnya lo nggak perlu berkorban sebanyak ini buat gue," lirih Ann penuh sesal. "Lo berkorban jauh lebih banyak, Ann," sebut Bastian bijak. "Gue tau lo kehilangan segalanya dan nggak gampang buat melalui itu semua. Tangan kiri bukan apa-apa buat gue, masih ada tangan kanan," ujarnya.Ann menarik napas dalam-dalam untuk memberanikan diri menatap wajah Bastian, "Lo bisa maafin Mas Ben atas tuduhannya?" tanyanya."Kami bersaudara, kalau nggak gue maafin, udah saling bunuh kami juga dari dulu,"
"Boleh gue ngomong berdua dulu sama istri gue?" Ben menyusul Benji masuk, meminta waktu sebentar. Semua orang memandang Ann, menunggu persetujuannya. Meski tahu bahwa semua yang Ben bicarakan tidak akan meluluhkan hatinya, Ann memberi anggukan. Dua tampan lain yang begitu perhatian pada Ann keluar dari ruangan tanpa berpamitan, setidaknya Ben memang harus diberi kesempatan untuk membuat bujukan terakhir. "Aku udah siapin rumah baru yang nyaman buat kamu, yang jelas rumah itu aman dari ancaman Eriska dan musuh perkumpulan, jadi nggak akan ada yang ngusik kamu di sana," kata Ben memulai pembicaran, seperti biasa, ia memilih duduk di kursi dekat ranjang. "Aku nggak minta kamu buat nyiapin itu. Sama kayak yang udah kubilang di awal, aku nggak mau terlibat sama keluarga Takahashi lagi!" tegas Ann. "Aku masih suamimu dan adalah kewajibanku ngelindungin kamu Ann," jawab Ben. "Aku jamin nggak akan ada keluarga Takahashi yang mengusikmu di sana! Percay
Ann sudah duduk di sofa panjang kamar Ben saat lelakinya itu masuk bersama Chester. Terasa sudah lama sekali Ann tidak bertemu dengan Chester dan mengurusnya. Hewan buas peliharaan keluarga itu pun sepertinya paham mengapa ia dibawa oleh Ben menemui Ann. Tanpa dipanggil, Chester mendatangi Ann, mengendus jari jemari majikannya itu sebentar baru meminta Ann mengelus kepalanya manja. "Hi Ches!" sapa Ann lembut, digaruknya leher Chester untuk memberi hewan itu kenyamanan. "Nggak lupa kan sama bauku," tandasnya tersenyum. Chester menggeram kecil, menikmati sentuhan manis dari Ann. Sementara Ben sibuk melepas jasnya hingga hanya menyisakan kemeja panjang yang ia gulung lengannya sampai dekat siku. Duduk di seberang Ann, Ben mengutak-atik remote AC, datang dari luar membuatnya sedikit kepanasan. "Tadi sama Benji nggak dianter ke rumah Papa dulu?" tanya Ben yang memang ditolak Ann untuk membawanya pulang dari rumah sakit dan Ann memilih Benji. Ann menggeleng pelan, jemarinya masih sibu
Ben mendekat, ia duduk di sisi seberang Ann, bibir ranjang lainnya. Dengan berani Ben remas jemari lentik istrinya, ia lalu berjongkok, berlutut seakan meminta ampun. Air mata meluncur bebas ke pipi Ben dari matanya yang sayu lelah, bermuara di ujung hidung mancungnya yang memerah. Bahu tegapnya sedikit naik turun, terguncang demi menahan tangis yang terus tumpah."Kamu tau, rasanya ditinggal pergi sama kamu lebih mengerikan ketimbang diasingkan sama keluarga dan dibuang waktu dulu, Yang," keluh Ben tersendat. "Aku udah usaha buat ngatasin ketakutan itu, tapi kayak yang kamu liat sendiri, aku nggak akan sanggup, Joanna," bisiknya memelas, memohon ampunan. "Aku hancur tanpa kamu," desisnya."Ada banyak alasan kenapa aku mutusin buat pergi dari semua hal yang berhubungan sama kamu, Mas. Aku nggak bisa menghadapi rasa bersalahku sendiri tiap ketemu sama Bastian, apalagi ngeliat gimana seorang ahli pedang harus kehilangan tangan kirinya cuma buat ngelindungin aku. Ini
"Cari sampe dapet!" perintah Ben kalut, ia berdiri sempoyongan, baru sadar dari lelap tidurnya. Tiga orang anggota perkumpulan yang tadinya bergegas naik ke kamar Ben saat mendengar panggilan ketuanya itu segera berbalik pergi. Mereka memanggil bantuan, mengerahkan semua orang untuk mencari keberadaan Ann yang pergi tanpa sepengetahuan Ben, pagi buta. Menyesali kelalaiannya, Ben meremas rambutnya frustasi, ia hilang tanpa Ann, harus diakuinya, Ann adalah nyawa hidupnya kini. "Dia pergi?" tegur Bastian muncul dari arah tangga, tertatif dipapah oleh Danisha. "Tanpa pamit," desis Ben singkat, ia tertunduk. "Dia nggak mau dicari, tapi lo kerahin semua orang buat nyari dia, serius?" Danisha membantu Bastian duduk di sofa selasar tangga. Lalu dihampirinya Ben dan dibantunya juga untuk duduk di sebelah Bastian. "Lo harus ngasih waktu ke Ane-san buat menyendiri, Ben," nasihatnya. "Gue hilang tanpa dia, Sha," keluh Ben. "Gila, secinta ini gue sama Ann," ucapnya tak percaya. "
"Butuh waktu tiga tahun buat bisa nemuin lo," Danisha meneguk minuman cola-nya sambil menatap Ann dalam-dalam."Cara jitu buat sembunyi dan nggak bisa ditemuin adalah tempat di sekitarnya, nggak perlu jauh," jawab Ann tersenyum cantik. "Lo makin cantik, Sha," pujinya.Setelah pembicaraan tanpa ujung malam itu dengan Ben, pagi harinya, Ann pergi. Ia meninggalkan rumah besar Ben dengan sedikit barang-barang, waktu subuh. Ben tengah tertidur lelap di sebelahnya karena lelah, Ann menangis sesenggukan karena harus pergi tanpa berpamitan. Namun, setelah tiga tahun ada di sekitar Ben dan mengamati suaminya dari kejauhan, Ann telah mampu berdamai dengan dirinya sekarang."Lo bahkan nggak make sepeserpun uang yang kami kirim ke rekening lo, cara menghilangkan jejak yang sangat cerdas, Ane-san," kata Danisha kagum. "Apa setelah tiga tahun, gue masih berstatus Ane-san?" tanya Ann. "Ben belom dapet calon istri lagi? Dia nggak bawa calon Ane-san yang baru bua
"Itulah kenapa Benji dan Ben nggak bisa ngelacak lo, karena lo disembunyiin rapat sama Bas," ucap Danisha membuat kesimpulan. Ia berdiri dari kursi pelanggan toserba seraya mengusap pundak kakak iparnya, "gimanapun, gue tetep nunggu lo balik ke tengah-tengah kami Ann, jadi bagian dari kami apapun kondisi lo. Ben butuh lo dan gue yakin lo juga nggak bisa ngehapus rasa cinta lo ke dia dengan gampang. Kalian masih suami-istri, itulah kekuatan terbesar keluarga Takahashi," tutupnya lantas memeluk erat tubuh kurus Ann sebelum pergi meninggalkan toserba. Tiga tahun Ann berjuang memendam rasa rindunya, melihat Ben dari jauh. Tahu bahwa ketidakhadirannya di sisi Ben membuat Ben cukup hancur, Ann melihat semuanya. Kini, Ben sudah lebih baik, sudah bisa menjalankan semua bisnis perkumpulan jauh lebih baik dari sebelumnya. Yang belum bisa Ben lakukan adalah melupakan Ann, istrinya. Benar, Ben memang tidak pernah berniat untuk melupakan. Setiap detik dalam hidupnya