"Apa jadwal gue abis ini, No?" tanya Ben saat Arino masuk ke dalam ruangannya.
"Paling ke pelabuhan ngecek barang, tapi kayaknya kapal belom ada yang sandar," jawab Arino."Ke rumah sakit aja dulu, baru kita balik ke pelabuhan," putus Ben mengejutkan."Rumah sakit?" dahi Arino mengerut, "ah, iya, Ane-san," ucapnya tersadar.Sementara Ben bersiap menuju rumah sakit untuk akhirnya melihat keadaannya, Ann hanya dijaga dengan setia oleh Danisha. Bastian dan Benji mengurus masalah pekerjaan, semua anggota keluarga Takahashi sebenarnya tak ada yang menganggur. Mereka memiliki peran dan tugasnya masing-masing di dalam bisnis keluarga."Lo jangan banyak pikiran, Ann, pikirin aja janin yang ada di perut lo, nggak boleh stres," pinta Danisha lembut. "Jangan mikirin Ben juga!""Gimana gue nggak kepikiran terus kalau suami gue bahkan nggak peduli sama kami berdua, Sha," jawab Ann pilu. "Gue dituduh hamil janin orang lain," desisnya.<Dua minggu setelah Ann dirawat di rumah sakit, akhirnya diputuskan, Ann akan dikirim ke Jepang di mana perlindungan pada Ann dinilai lebih ketat. Ketimbang Ann harus menghadapi kekhawatiran akan ancaman Eriska tanpa perlindungan dari Ben tentunya. Selama di Jepang, Ann akan didampingi oleh Danisha, dipenuhi semua kebutuhannya hingga ia dan anaknya siap untuk kembali ke Indonesia dan memberi bukti pada Ben. "Lo beneran udah mantap kali ini Ann?" tanya Danisha hati-hati, ia bantu Ann memasukkan dokumen imigrasinya ke dalam tas. Ann mengangguk, "Dua minggu cukup buat ngasih Mas Ben waktu buat mikir. Nyatanya dia nggak nyariin gue dan berusaha buat ngelurusin kesalahpahaman kami yang makin parah. Gue tau dia emang cuek dan tak acuh, tapi gue nggak nyangka bakalan seancur ini hubungan kami," ungkapnya. "Hei," tiba-tiba Benji muncul di pintu kamar khusus milik Ann, "ada Ketua," ucapnya merujuk pada kedatangan Ben. Ann dan Danisha saling berpandangan
"Aku nggak mau pisah sama kamu dalam situasi kayak gini. Kamu tau perempuan hamil perlu banyak perhatian dari suaminya, tapi aku nggak dapet itu dari kamu meskipun aku ngemis-ngemis juga. Nggak pa-pa, ini mungkin salahku karena aku terlena sama ucapan kamu soal cinta. Seharusnya dari awal aku tau kalau nggak boleh berharap pada perjanjian lifetime kita yang fana. Aku pergi bukan karena aku mengakui semua tuduhanmu Mas. Aku pergi karena kuanggap aku udah nggak bisa mengharapkan janji atas perasaan kamu lagi, Big Ben," urai Ann dengan air mata yang membasahi pipinya. Dikecupnya bibir Ben dengan sekejap, ucapan selamat tinggal. "Kamu harus tetep hidup buat ngebuktiin bahwa tuduhanku itu nggak bener," ucap Ben meraih pergelangan tangan Ann, menahannya. "Kenapa musti aku yang buktiin? Kamu aja yang coba nyari tau sendiri. Aku nggak mau ngelakuin hal itu karena sama aja aku ngakuin hal yang nggak kulakuin. Kamu inget janjimu ke aku bahwa kamu bakalan jagain aku sepanja
Tanpa basa-basi dan banyak bicara, Benji langsung menyarangkan dua pukulan telaknya ke wajah Ben. Tampak ekspresi marah Benji tak bisa ditahannya lagi, bahunya naik-turun tak teratur. Ia masih ingin menyerang Ben dan memukul sang adik tampan, tapi Arino berusaha melerai mati-matian. Sementara, Ben yang mendapat serangan tak terduga dari sang kakak berusaha untuk bertahan, melawan balik. Ben berontak, masih mempertahankan harga dirinya yang tersisa secuil itu. Tangannya terkepal di udara, siap melayangkan balasan pukulan tapi Benji lebih kuat menahan lengannya. "Makan rasa sesal lo seumur hidup!" cerca Benji lantas melempar lembaran kertas dari sebuah map setelah emosinya cukup mereda. "Setelah lo kehilangan segalanya, lo baru bakalan sadar kalau lo emang bangsat!" tandasnya berapi. "Benji!" Danisha berlari mendekat, ia toleh Ben sebentar baru menggeleng keras pada sang kakak pertama. "Ann perlu suaminya, Ben wali resmi Ann," katanya. "Dia punya suami? S
"Ann hancur kalau tau dia nggak bisa hamil lagi," tandas Danisha menimpali. "Dia berharap bisa ngebesarin anaknya meski lo nggak peduli. Dia pasti bakalan hancur beneran Ben.""Biar gue yang nemenin dia dalam kehancuran itu seumur hidup," sahut Ben. "Itu bentuk tanggung jawab gue yang tadi lo tanyain," tandasnya."Sekarang lo berusaha terlihat ada di samping dia apapun yang terjadi?" cibir Benji. "Tunggu sampe tes DNA janin itu keluar dan rasakan penyesalan itu bakalan menghantui lo seumur hidup!" ancamnya sungguh-sungguh.Setelah mencerca sang adik, Benji berlalu pergi, ia harus menemukan siapa penyerang Ann dan Bastian. Setidaknya, sulung Takahashi ini harus memastikan penyerang itu mati, tugas penjagal yang melekat padanya membuatnya harus bertindak cepat. Informasi cepat mengalir dan Benji sudah harus menemukan targetnya hari ini juga. Sementara, waktu berlalu di ruang operasi, menemani Ben dan Danisha menunggu dalam harap-harap cem
Ann mendapatkan kesadarannya, tapi ia masih tak bersedia berbicara dengan siapapun. Pandangan matanya sayu, seolah ia tengah meratapi kejamnya dunia dalam kesendiriannya. Selama itu pula Ben tak pernah beranjak dari sisi istrinya, berusaha meminta Ann untuk setidaknya menyuap sarapannya, tapi Ann menolak dengan bersikap angkuh, menganggap bahwa tak ada seorangpun yang duduk di sebelah ranjangnya. Luka hati yang Ann derita begitu dalam, Ben sadar ia tak berhak menuntut pengampunan. Besar perasaannya terhadap sang istri baru saja dikalahkan oleh ego dan ia tahu bahwa memaafkan adalah hal yang keterlaluan untuk diminta dari sang pujaan. "Aku tau kamu marah dan membenciku, Yang, tapi aku nggak akan pergi dari sini sebelum kamu makan. Jadi, kalau kamu muak atau benci ngeliat aku, kamu makan dulu, nanti aku pergi setelah itu," ucap Ben pantang menyerah. Ann memalingkan wajahnya agar tidak menatap Ben. Ia ingin menangis sejadinya, menyalahkan Ben atas segala rasa sakit yang ditanggungnya,
"Nggak akan sama lagi tanpa janin dan rahim dalam diri gue," ujar Ann tersendat. "Perempuan tanpa rahim, gue nggak akan bisa ngasih keturunan buat suami gue lagi selamanya. Kenapa kalian nggak ngebiarin gue mati aja bareng anak gue?" tuntutnya. "Dan ngebikin Ben juga mati di hari yang sama? Lo hidupnya Ben, Ann, makanya dia nggak bisa kehilangan lo.""Setelah tuduhan kejamnya? Gue nggak ngerti," tukas Ann ketus. "Gue nggak pernah membenarkan tindakan Ben, sama sekali. Tapi menyelamatkan lo juga jadi hal yang gue pengin, Takahashi nggak bisa kehilangan anggota keluarga lagi, Ann. Lo bagian dari kami sekarang, apapun bakal kami lakuin demi keselamatan lo!""Gue nggak mau hidup!" keluh Ann kalut, ia menangis lagi. Bukan hal mudah bagi perempuan sepertinya untuk bisa melalui cobaan berat semacam ini. Apalagi ia tidak pernah bersiap untuk banyak kehilangan yang lain setelah ia kehilangan karir, pendidikan dan kebebasannya."Lo boleh membenci
Dua minggu setelah Ann intensif dirawat, akhirnya ia boleh meninggalkan rumah sakit. Selama itu pula Ben selalu bersiaga meski Ann enggan berbicara dengannya. Apapun yang Ann butuhkan, Ben selalu siapkan. "Gue nggak tau apa yang harus gue kasih ke lo buat gantiin kehilangan lo, Bang," desis Ann yang kemudian memiliki keberanian menerima kunjungan dari Bastian. "Maafin gue," tandasnya lirih."Kehilangan yang mana?" Bastian tampak bingung, wajahnya seceria biasanya. "Gue nggak pa-pa," katanya. "Seharusnya lo nggak perlu berkorban sebanyak ini buat gue," lirih Ann penuh sesal. "Lo berkorban jauh lebih banyak, Ann," sebut Bastian bijak. "Gue tau lo kehilangan segalanya dan nggak gampang buat melalui itu semua. Tangan kiri bukan apa-apa buat gue, masih ada tangan kanan," ujarnya.Ann menarik napas dalam-dalam untuk memberanikan diri menatap wajah Bastian, "Lo bisa maafin Mas Ben atas tuduhannya?" tanyanya."Kami bersaudara, kalau nggak gue maafin, udah saling bunuh kami juga dari dulu,"
"Boleh gue ngomong berdua dulu sama istri gue?" Ben menyusul Benji masuk, meminta waktu sebentar. Semua orang memandang Ann, menunggu persetujuannya. Meski tahu bahwa semua yang Ben bicarakan tidak akan meluluhkan hatinya, Ann memberi anggukan. Dua tampan lain yang begitu perhatian pada Ann keluar dari ruangan tanpa berpamitan, setidaknya Ben memang harus diberi kesempatan untuk membuat bujukan terakhir. "Aku udah siapin rumah baru yang nyaman buat kamu, yang jelas rumah itu aman dari ancaman Eriska dan musuh perkumpulan, jadi nggak akan ada yang ngusik kamu di sana," kata Ben memulai pembicaran, seperti biasa, ia memilih duduk di kursi dekat ranjang. "Aku nggak minta kamu buat nyiapin itu. Sama kayak yang udah kubilang di awal, aku nggak mau terlibat sama keluarga Takahashi lagi!" tegas Ann. "Aku masih suamimu dan adalah kewajibanku ngelindungin kamu Ann," jawab Ben. "Aku jamin nggak akan ada keluarga Takahashi yang mengusikmu di sana! Percay
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama