Ann bungkam, Masayu juga tak membuka suara. Fokus keduanya ada pada Ben yang terlihat kesal, marah karena merasa tidak dianggap. Sementara Taka tampak memilih untuk menyantap hidangannya, tak mau peduli."Aku yang mutusin soal sewa rahim itu, kalian nggak perlu repot-repot berdebat!" desis Ben berusaha untuk memelankan suaranya agar Christ tak kehilangan selera makan. "Dan keputusanku udah bulat, nggak akan ada sewa rahim atau apapun itu, berhenti saling merasa benar!" tegasnya. "Kalian udah denger?" Taka angkat bicara. "Sekarang makan, jangan ada yang bahas soal itu lagi," pintanya. Ann mengangguk. Ben saat marah memang jauh berkharisma dan penuh pesona, ia bahkan terbius oleh aura dominan sang suami meski sudah menikah lama dengannya. Sedangkan Masayu memilih untuk menyuap makanannya, ia tidak mau melawan Ben karena rasa bersalahnya dulu masih bersisa hingga kini. "Taka-sama, memang sewa rahim itu apa?" celetuk Christ memecah kebekuan. "Nggak ada, kamu belum perlu tau," jawab Ta
"Ann bisa ngatasi orang-orang itu. Untungnya, dia sama Bas yang dateng buat jemput Christ langsung ke sekolah hari ini," lapor Benji saat Ben tiba di rumahnya. "Sekarang pada di mana?" tanya Ben mengitarkan pandangan ke seisi ruang tamu."Ann gue suruh istirahat di kamar tamu paling belakang, ada Christ juga di sana," jawab Benji. Ben segera bergegas mendatangi arah tunjukan Benji. Menempati rumah baru yang dibelinya belum lama ini, Benji memang sengaja mengundang seluruh anggota keluarga untuk makan siang bersama. Berbagi tugas, Ben yang harus menyelesaikan pekerjaannya meminta Bastian menemani Ann menjemput Christ ke sekolahnya. Siapa sangka, saat Bastian dan Ann tiba di sekolah, Christ hampir saja dibawa oleh dua orang tak dikenal yang berhasil dilumpuhkan. "Mas!" sambut Ann saat mendengar suara khas milik suaminya dari kejauhan. Ia menubruk Ben begitu saja, merasa bersyukur tidak kehilangan Christ karena kelalaiannya. "Kalian nggak pa-pa, kan?" tanya Ben balas memeluk Ann, ia
"Bennedicth!" Gerakan Ben terhenti, ia menoleh suara familiar yang sangat ia benci itu. Tak ada yang tahu bahwa akhirnya Eriska berani menampakkan diri. Perempuan cantik yang kini menggunakan kursi roda ini tampak diantar seseorang menemui Ben di perusahaan peti kemas, tempat di mana Ben memang sering menghabiskan waktunya untuk bekerja. "Kayaknya lo punya ribuan nyawa sampe berani dateng ke sarang musuh begini," gumam Ben muak, ia terkejut tapi tetap berusaha tenang. "Arino ngijinin aku naik ke sini, Ben," ucap Eriska dengan bahasa sapaan yang lebih halus. "Aku dateng bukan buat cari masalah.""Lo adalah masalah itu, setau gue," desis Ben. "Christ," sebut Eriska. "Kuliat anak itu bahagia dan ceria ikut kamu," katanya. "Dia sedang bersiap buat ngehancurin Adyaksa," balas Ben. "Dia nggak kayak disiksa sebagai tawanan," sahut Eriska. "Ben, kamu pasti tau soal asal-usul Christ," tebaknya. "Gue tetep bakalan membunuhnya kalau dia nggak berhasil ngehancurin Adyaksa.""Dia adek tirik
"Pulang lebih awal, Mas?" tegur Ann saat melihat suaminya kembali dari bekerja di jam yang tidak biasa. "Iya, kangen sama kamu," goda Ben mengulum senyum, ia jatuhkan tubuhnya di sofa kamar."Aku nggak masak lho," kata Ann memperingatkan suaminya yang memang tidak sempat sarapan pagi tadi. "Christ diajakin makan sama Benji sepulang sekolah, jadi aku lebih santai ngurus rumah," lanjutnya ikut duduk di sebelah Ben. "Ann," Ben meraih jemari istrinya, "kamu nggak pa-pa cuma di rumah gini?" tanyanya. "Ya nggak pa-pa. Ini juga sembari baca-baca lagi buku jaman aku kuliah yang masih ada di kamar Danisha dulu Mas," ujar Ann. "Kenapa?" "Nggak pa-pa. Takut kamu kesepian aja kalau pas Christ sekolah.""Nggak kok Mas, paling bakalan kesepian kalau Christ beneran udah dikirim ke Jepang."Ben mengangguk, "Besok sore kita tunggu keputusan dari keluarga besar," katanya. "Anak itu, apa nggak pa-pa di Jepang tanpa kita?" desah Ann kembali ragu. "Aku yang kasih usul, aku juga yang jadi plin-plan se
"Ann," panggil Ben lembut. "Kamu kalau lagi kesel sukanya bikin keputusan spontan yang nggak masuk akal.""Aku nggak mau Eriska make Christ buat deketin kamu lagi, Mas.""Itu nggak akan terjadi, Ann.""Udah terjadi lho Mas. Dia berani nemuin kamu dengan manfaatin kondisinya yang nggak sempurna, ngemis belas kasih. Dia tau kalau kamu nggak mungkin tega ngebunuh dia, makanya yang dia temuin itu kamu, bukan aku. Seharusnya kalau dia emang ada urusan masalah Christ, dia temuin aku, sama kayak dulu pas dia masih punya kekuatan buat ngancam dan nyakitin aku. Kalau menurut kamu aku bakalan diem karena sekarang dia cacat, kamu salah Mas. Selamanya aku nggak akan pernah tinggal diem. Aku bakalan tuntut segalanya yang udah dia ambil dari aku. Dia berani muncul lagi sekarang, kubuat dia nggak akan pernah bisa dapetin apa yang dia mau!" tegas Ann panjang lebar dan penuh penekanan. "Bukan Christ yang sebenernya dia mau, tapi dapetin simpati kamu lagi!" tambahnya berapi. Ben terdiam, melawan kalim
"Kalau Christ dikirim lagi ke Jepang, Danisha yang akan bertanggungjawab. Gimana? Ann setuju?" tawar Taka di pertemuan keluarga, sengaja mengumpulkan beberapa anggota klan dari luar kota juga demi membuat keputusan. "Kalau itu untuk kebaikan, aku setuju aja, Pa," ucap Ann. "Ketua?" Taka menoleh Ben. "Atur aja," balas Ben mengangguk lemah. "Kedatangan Eriska yang nggak pernah diprediksi sebelumnya bisa jadi peringatan kita, Adyaksa masih berusaha buat ngusik Takahashi," katanya. "Kita nggak boleh lengah," ucap Benji. "Eriska itu berbahaya Ben," tandasnya. "Ketua!" sengal Ben melirik kakaknya tajam. "Gue tau apa yang harus gue lakuin," tandasnya tak suka. "Maksud gue, Ketua," Benji menundukkan kepalanya, meralat ucapannya. "Ancaman serius ini nggak boleh terulang. Cukup dua kali kita lengah," tambahnya."Gue tau," Ben meneguk minuman keras miliknya. Ia meringis sebentar, menikmati sensasi menggigit di tenggorokannya sambil menoleh Ann, "gue bakalan jagain Ane-san," ucapnya. "Buka
"Lo sengaja muncul di tempat umum dan rame begini, nggak mau ambil resiko?" tegur Ann penuh aura permusuhan. Sementara, Eriska yang ada di seberang Ann tersenyum simpul. Ia memang sengaja mendatangi sekolah Christ, mencari celah agar bisa bertemu adik tirinya itu. Namun, Ann jauh lebih waspada menjelang keberangkatan Christ ke Jepang, ia kawal ketat hari-hari terakhir Christ bersekolah di Indonesia. "Gue cuma pengin ketemu Christ, anak yang lo rampas dari gue," ucap Eriska tampak tenang. "Anak? Gue rampas?" Ann tertawa meremehkan. "Lo masih naif dan merasa sebagai alpha women ya, Eriska. Bahkan di tengah kondisi fisik lo yang sekarang sangat terbatas," hinanya sengaja. "Jangan melebar ke mana-mana. Balikin Christ ke gue!" sengal Eriska terpancing. "Nggak akan!" sambar Ann. "Enak aja mau main ambil. Christ bukan barang dan berhenti make Christ buat ngedeketin suami gue lagi!" ancamnya. "Ben bakalan ninggalin lo kalau Christ kembali ke gue. Rasa cintanya ke Christ udah ngalahin se
"Apa Ane-san nggak bisa ikut ke Jepang nemenin aku?" tanya Christ tampak sedih. Ini malam terakhir ia tidur ditemani Ann sebelum berangkat bertolak ke Jepang esok pagi. "Aku bakalan sering jenguk ke sana ya," balas Ann mengusap kepala Christ lembut. "Nurut apa kata Danisha, ikuti semua latihan yang diajarin sama orang-orang di sana!" pesannya.Christ mengangguk. Ia hela napas panjang sebentar sebelum akhirnya berbaring di ranjang. "Ann," panggil Christ lirih."Hem?" gumam Ann menyempatkan diri melihat mata indah Christ sebelum beranjak. "Makasih udah menyayangiku," kata Christ sangat dewasa. Senyum tampannya benar-benar melelehkan hati siapa saja yang menatapnya. "Iya, Christ," jawab Ann mengangguk lemah. "Selamat tidur," tukasnya lalu mengecup kening Christ. Sejak tinggal di tengah-tengah Ann dan Ben, Christ hanya meminta ditemani tidur selama dua minggu lamanya. Setelahnya, Christ cukup mandiri dan hanya sesekali meminta Ann tetap di sampingnya sampai ia tertidur lelap. "Ann,"