"Akhirnya aku bisa ketemu langsung sama kamu," ucap Raja saat Ann duduk menghadapinya di ruang transit. "Silakan minum dulu," pintanya. "Pak Raja," Ann melebarkan senyumnya, sekadar formalitas. "Saya pikir Pak Raja sudah paham maksud penolakan saya," katanya. Harus Ann akui, Raja memiliki semua kelebihan pria yang diidamkan perempuan. Wajah tampan, kekayaan, kharisma dan tutur kata yang sopan, selayaknya seorang don juan. Namun, di mata Ann, ada lelaki yang nilainya jauh lebih sempurna dari Raja, seorang Big Ben. "Apa ada isi dalam kontrak yang nggak kamu sukai? Kita bisa hapus itu," ujar Raja. "Enggak," jawab Ann mantap. "Maaf, saya bahkan tidak membaca isi kontrak yang Pak Raja kirim ke saya," katanya. "Kenapa? Apa yang kamu minta?""Saya terikat kontrak seumur hidup dengan orang lain, Pak.""Ya," Raja manggut-manggut. "Aku udah denger itu dari Rika," ujarnya. "Nah, berarti kita udah sama-sama paham kan Pak? Saya nggak perlu ngasih penjelasan panjang lebar kenapa saya nolak."
"Ane-san, aku laper," keluh Christ saat ia tiba di rumah seusai pulang sekolah. "Ben lagi masak, tunggu ya," balas Ann. "Christ, boleh aku tanya sesuatu?" tahannya pada Christ yang hampir melangkah masuk ke kamarnya. "Apa?" gumam Christ. "Nggak ganti baju dulu?" "Bentar aja kok," ucap Ann lembut. "Duduk sini, Christ," ajaknya menggiring Christ duduk di sofa panjang ruang tamu. "Kalau kamu mau tanya soal kejadian di sekolah, Fariz udah minta maaf," lapor Christ. Ann menggeleng, "Iya aku tau dia pasti minta maaf, kubikin dia begitu. Ini bukan soal sekolah, Christopher," desisnya. "Aku nggak pernah bolos latihan pedang sama Benji." "Ini juga bukan soal latihan pedang." Christ mengernyit, "Terus apa?" tanyanya bingung. "Seandainya ada orang lain yang ngambil kamu dari kami dan ngajak kamu pergi, apa kamu bakal ikut mereka?" tanya Ann berusaha memakai kalimat sederhana agar Christ memahami maksudnya. "Siapa orangnya?" tanya Christ balik, ia mengedip lugu sekali.
"Menikmati peranmu, hem?" Masayu mendatangi Ann yang tengah duduk di kursi taman belakang. "Peran apa, Ma?" tanya Ann santai. "Mama apa kabar? Maaf aku nggak ikut jemput ke bandara tadi," ujarnya berbasa-basi. "Mana mungkin seorang Ane-san disuruh jemput ke bandara, aku juga nggak mengharap," sahut Masayu. "Kalau Mama makin membenciku karena aku nggak bisa ngasih keturunan ke Mas Ben, aku maklum kok," tembak Ann langsung. "Nggak pa-pa," tandasnya. "Sejak awal Mama nggak pernah suka aku jadi istrinya Mas Ben," gumamnya. "Mulutmu berbisa banget, sadar diri artimu di sini, nggak bisa punya anak juga," desah Masayu, ia duduk di seberang Ann. "Anak itu, aku udah ketemu," ungkapnya menyebut Christ. "Anaknya Irfan, adik tiri Eriska," ucap Ann. "Gila! Kalian ngebesarin bayi serigala di kandang macan kumbang!""Nggak pa-pa kan? Lama-kelamaan dia juga bakalan menjelma jadi macan kumbang," balas Ann. "Aku yang bakalan mastiin dia menjelma jadi anggota kawanan. Dan aku nggak akan pernah nin
Ann terkesiap dan untuk sesaat ia kehilangan suaranya. Bukan ia tidak serius meminta Ben untuk mengikuti program sewa rahim atau apapun sejenisnya, ia hanya kaget melihat reaksi Ben yang spontan itu. Ben tidak menolak, justru mengarah untuk menyetujui usul Ann. "Kamu kaget kan kalau aku jawab begitu?" gumam Ben tersenyum. "Jangan mancing-mancing aku buat bertindak gila, Ane-san. Aku mencintai Joanna Diajeng Arumdalu dan nggak terpikirkan sedikitpun di kepalaku buat bikin anak sama perempuan lain," tegasnya. "Kamu ngetest reaksiku, Mas?" geram Ann mencembikkan bibirnya kesal. "Abis kamu selalu pura-pura rela kasih tawaran sewa rahim. Padahal aku tau banget, jauh di lubuk hati kamu, kamu nggak rela kan?" "Aku harus realistis sih Mas," sambar Ann. "Kondisiku memaksaku buat sok kuat dan ikhlas. Makasih karena kamu udah memahami situasiku," ucapnya. "Aku tau kamu pasti bakalan kasih tawaran itu karena kamu ngerasa upset sama kondisimu yang harus kehilangan rahim. Tapi Ann, aku cukup b
Ann bungkam, Masayu juga tak membuka suara. Fokus keduanya ada pada Ben yang terlihat kesal, marah karena merasa tidak dianggap. Sementara Taka tampak memilih untuk menyantap hidangannya, tak mau peduli."Aku yang mutusin soal sewa rahim itu, kalian nggak perlu repot-repot berdebat!" desis Ben berusaha untuk memelankan suaranya agar Christ tak kehilangan selera makan. "Dan keputusanku udah bulat, nggak akan ada sewa rahim atau apapun itu, berhenti saling merasa benar!" tegasnya. "Kalian udah denger?" Taka angkat bicara. "Sekarang makan, jangan ada yang bahas soal itu lagi," pintanya. Ann mengangguk. Ben saat marah memang jauh berkharisma dan penuh pesona, ia bahkan terbius oleh aura dominan sang suami meski sudah menikah lama dengannya. Sedangkan Masayu memilih untuk menyuap makanannya, ia tidak mau melawan Ben karena rasa bersalahnya dulu masih bersisa hingga kini. "Taka-sama, memang sewa rahim itu apa?" celetuk Christ memecah kebekuan. "Nggak ada, kamu belum perlu tau," jawab Ta
"Ann bisa ngatasi orang-orang itu. Untungnya, dia sama Bas yang dateng buat jemput Christ langsung ke sekolah hari ini," lapor Benji saat Ben tiba di rumahnya. "Sekarang pada di mana?" tanya Ben mengitarkan pandangan ke seisi ruang tamu."Ann gue suruh istirahat di kamar tamu paling belakang, ada Christ juga di sana," jawab Benji. Ben segera bergegas mendatangi arah tunjukan Benji. Menempati rumah baru yang dibelinya belum lama ini, Benji memang sengaja mengundang seluruh anggota keluarga untuk makan siang bersama. Berbagi tugas, Ben yang harus menyelesaikan pekerjaannya meminta Bastian menemani Ann menjemput Christ ke sekolahnya. Siapa sangka, saat Bastian dan Ann tiba di sekolah, Christ hampir saja dibawa oleh dua orang tak dikenal yang berhasil dilumpuhkan. "Mas!" sambut Ann saat mendengar suara khas milik suaminya dari kejauhan. Ia menubruk Ben begitu saja, merasa bersyukur tidak kehilangan Christ karena kelalaiannya. "Kalian nggak pa-pa, kan?" tanya Ben balas memeluk Ann, ia
"Bennedicth!" Gerakan Ben terhenti, ia menoleh suara familiar yang sangat ia benci itu. Tak ada yang tahu bahwa akhirnya Eriska berani menampakkan diri. Perempuan cantik yang kini menggunakan kursi roda ini tampak diantar seseorang menemui Ben di perusahaan peti kemas, tempat di mana Ben memang sering menghabiskan waktunya untuk bekerja. "Kayaknya lo punya ribuan nyawa sampe berani dateng ke sarang musuh begini," gumam Ben muak, ia terkejut tapi tetap berusaha tenang. "Arino ngijinin aku naik ke sini, Ben," ucap Eriska dengan bahasa sapaan yang lebih halus. "Aku dateng bukan buat cari masalah.""Lo adalah masalah itu, setau gue," desis Ben. "Christ," sebut Eriska. "Kuliat anak itu bahagia dan ceria ikut kamu," katanya. "Dia sedang bersiap buat ngehancurin Adyaksa," balas Ben. "Dia nggak kayak disiksa sebagai tawanan," sahut Eriska. "Ben, kamu pasti tau soal asal-usul Christ," tebaknya. "Gue tetep bakalan membunuhnya kalau dia nggak berhasil ngehancurin Adyaksa.""Dia adek tirik
"Pulang lebih awal, Mas?" tegur Ann saat melihat suaminya kembali dari bekerja di jam yang tidak biasa. "Iya, kangen sama kamu," goda Ben mengulum senyum, ia jatuhkan tubuhnya di sofa kamar."Aku nggak masak lho," kata Ann memperingatkan suaminya yang memang tidak sempat sarapan pagi tadi. "Christ diajakin makan sama Benji sepulang sekolah, jadi aku lebih santai ngurus rumah," lanjutnya ikut duduk di sebelah Ben. "Ann," Ben meraih jemari istrinya, "kamu nggak pa-pa cuma di rumah gini?" tanyanya. "Ya nggak pa-pa. Ini juga sembari baca-baca lagi buku jaman aku kuliah yang masih ada di kamar Danisha dulu Mas," ujar Ann. "Kenapa?" "Nggak pa-pa. Takut kamu kesepian aja kalau pas Christ sekolah.""Nggak kok Mas, paling bakalan kesepian kalau Christ beneran udah dikirim ke Jepang."Ben mengangguk, "Besok sore kita tunggu keputusan dari keluarga besar," katanya. "Anak itu, apa nggak pa-pa di Jepang tanpa kita?" desah Ann kembali ragu. "Aku yang kasih usul, aku juga yang jadi plin-plan se