"Aku tahu ... aku tahu ini terdengar konyol. Tapi jadilah milikku, Lava."
Pria berkemeja kelabu itu terkekeh sinis, melipat dua lengannya depan dada. Menjeling pada bawahannya yang menatapnya lekat-lekat. Gadis itu tak gencar sedikit pun; entah untuk memandangnya atau juga melontarkan kalimat penuh makna tadi.
"Kenapa? Jadilah milikku."
Bukannya menimpali, lelaki tadi membuang muka. Menghela napas panjang-panjangāseolah gadis di hadapannya ini sangat menguras kesabarannya.
Merasa dicuaikan, gadis yang sama menarik dasi lelaki itu kasar-kasar. Menyejajarkan dua iras mereka; matanya memicing.
"Cepat jawablahākatakan iya, atau tidak! Aku butuh kepastianmu!"
Lelaki itu terkekeh, menepis lengan sang gadis dan membenarkan posisi dasi kesayangannya. Lagi-lagi mengembuskan napas.
Merasa dapat jawabannyaāpenolakanāsang gadis langsung menunduk getir. Tak lagi berkata-kata.
"Jangan katakan."
Keheranan, gadis itu menaikkan irasnya seketika. "Apa?"
"Jangan pernah mengatakan itu."
"Maksudmu?"
Ia tersenyum miring, serta merta menarik pinggang sang gadis untuk mendekatinya. Mengikis jarak dengan lancangnya. Tak bisa berbuat apa pun, gadis itu mendelik nanapāmembeku.
"Akulah yang harus mengatakan itu lebih dulu."
"M-maksudmuā"
"Pearl ... jadilah milikku."
Alunan melodi elegi memenuhi ruangan mewah bernuansa emas itu, menyempurnakan rasa lara pada hati sang wanodya yang tak berkata apa-apa. Di sana, atas bangku bundar, Pearl terus mengusap air matanya. Bibirnya terus merengek, mengeluarkan suara-suara lirih yang seperti tanpa makna. Netranya tak bisa berhenti untuk memandangi jasad Papa Mamanya yang dibaringkan dalam dua peti nan tertutup sepenuhnya. Ia merasa hancur, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Dua sosok yang amat dicintainya itu telah tiada. Lemari jam antik itu pun telah berdentang ke dua belas kalinyaāmengartikan bila kini telah tengah hari. Namun seolah tak mau peduli, Pearl malah berhamburan ke arah peti; hendak membukanya dan menyaksikan orang tuanya ke sekian kali. Sebelum itu terjadi, tubuhnya telah ditahan oleh satu tangan. Pergerakan Pearl berhenti seketika, tetapi sedu-sedannya tak kunjung berhenti juga. āSudah, Pearl! Berhentilah m
āHishhh!ā Gadis itu melontar kaleng minuman terakhir. Mendekap tas yang seharusnya ia sandang. Namun sayangnya, kedua pundaknya terlalu penat untuk membawa. Jadi berakhirlah ia di sini, di pinggir jalan dengan merangkul semua bebannya: beban benda maupun hidup. Sungguh, ia tak menyangka kedua orang tuanya setega itu untuk membuatnya menanggung utang yang mungkin tak terhitung lagi jumlahnya. Euhm yaa, itu hanya hiperbola. Karena sesungguhnya, utang yang harus dibayarnya sebanyak setengah miliyar saja. Saja. Sekali lagiāsaja. "Ish ... lapar." Ia meraba perut ratanya. Meringis lirih. Ia tahuātahu betul jika lambungnya butuh banyak nutrisi juga karbohidrat; singkatnya perlu terisi lantaran lapar. Hanya, harus makan apa dia? Untuk beli makanan saja ia harus berpikir ratusan kali, bagaimana untuk menyewa sebuah apartemen? Kos murahan saja tidak akan bisa. Sejenak, Pearl mengeluarkan dua lembaran uang berwarna merah dalam sakunyaāsatu-satunya harta
"Itu bukan salahku, ‘kan?""Mana kutahu," desis Alaric.“Kau ini bagaimana, sih? Katamu kau sudah menjadi Psikolog sekarang! Apa sedaritadi kau tak mendengarkan celotehanku?! Belum lagi sejak hari pertama kau menyuruhku untuk membersihkan seisi rumahmu!" berondong Pearl. "Dasar tak tahu diri!”“Ck, maksudku ....” Alaric menghentikan ucapannya.“Apa? Apa maksudmu sebenarnya?" seru Pearl dengan iras yang berlelehan air mata."Y-yaa ... kau ini terlalu fanatik dan mengikuti kehidupan Magma, idol aneh itu sampai kau tak peduli oleh kehidupanmu sendiri. Perlu kuakui orang tuamu terlalu memanjakanmu. Mereka salah membiarkanmu selalu mendapat apa yang kau mau."Pearl memalingkan muka."Lihatlah sekarang! Anak mereka jadi bodoh, manja, dan seenaknya. Perbaikilah kepribadianmu, lalu aku boleh mengatakan bahwa ini bukan salahmu."
Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.“Astaga ... Pearl?!”š„Netra yang berbinar itu tak kunjung berpaling. Justru gadis dengan tingkah acak itu bangkit dari tempatnya, mendekati sebuah penginapan yang dia lihat dari kejauhan—dari titik ia berada. Nekat untuk mendatanginya segera.Lengannya mendorong pintu kaca pada muka, membukanya, dan melangkah masuk tanpa kata. Pemandangan yang kali pertama menyapa adalah para tamu yang terlena akan aktivitas mereka. Suasana di sana membuatnya tersenyum manis tanpa alasan nyata. Ia hanya merasa bahagia secara tiba-tiba.Entah mendengar senandika atau bagaimana, Pearl melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong panjang yang didominasi oleh corak kecokelatan. Estetik, kata yang bisa tergambarkan. Netranya pun kembali berbinar ketika mendapati lamp
"Jujur saja, kau menerima pekerjaan itu karena penginapan tadi pernah menampung Magmaāidol yang membuatmu tergila-gila itu, bukan?" seru Alaric seraya membanting pintu mobil di sandingnya. Ia melangkah pergi dengan cepatnya, meninggalkan Pearl yang masih berusaha mencerna. "Eāyaa, itu salah satu alasannya. Tapiā" "Sudah kuduga. Kau memang tak pernah berubah. Kau bodoh dan berpikir dengan jangka pendek saja, sama seperti enam tahun lalu. Kau masih dan selalu manja. Tidakkah kau sadar jika itu menyebalkan?" Pearl melangah, tetapi tungkainya terus membuntuti langkah Alaric yang tergesa. Namun seolah tak peduli, lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan Pearl yang tengah berusaha menyusul dirinya; meninggalkan area parkiran apartemen mereka. "Memang apa salahnya menggemari orang yang sama bertahun-tahun?" tanya Pearl dengan napas tersengal. "Tak ada yang salah." Alaric meliri
Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnyaāsebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. āSusu. Ya, susu.ā Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tanganāmembuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. āPEARL? Kau terlambat dari waktu yanāā Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter
āAku tahu, kau pasti masih mencintaiku.ā Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, āTahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?ā āA-aku ... ada orang di mobilāā āApa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!ā āAlaric! Dengar dulu,ā sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinyaādi samping rem kaki juga gas di bawah sana. āPearl? Pearl?ā Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. āKau mendengarkanku, ākan?ā Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn
Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam āsinggasanaānya. āBegini Tuan Yadāā āLangsung saja ke intinya,ā potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. āMenurut data yang telah ada, Yadaās Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikāā Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. āātapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaāā āKenapa kalian harus pa