"Itu bukan salahku, ākan?"
"Mana kutahu," desis Alaric.
āKau ini bagaimana, sih? Katamu kau sudah menjadi Psikolog sekarang! Apa sedaritadi kau tak mendengarkan celotehanku?! Belum lagi sejak hari pertama kau menyuruhku untuk membersihkan seisi rumahmu!" berondong Pearl. "Dasar tak tahu diri!ā
āCk, maksudku ....ā Alaric menghentikan ucapannya.
āApa? Apa maksudmu sebenarnya?" seru Pearl dengan iras yang berlelehan air mata.
"Y-yaa ... kau ini terlalu fanatik dan mengikuti kehidupan Magma, idol aneh itu sampai kau tak peduli oleh kehidupanmu sendiri. Perlu kuakui orang tuamu terlalu memanjakanmu. Mereka salah membiarkanmu selalu mendapat apa yang kau mau."
Pearl memalingkan muka.
"Lihatlah sekarang! Anak mereka jadi bodoh, manja, dan seenaknya. Perbaikilah kepribadianmu, lalu aku boleh mengatakan bahwa ini bukan salahmu."
Gadis itu merengut seketika. Terlihat tidak suka.
"Bagaimana bisa seperti itu?!"
"Bisa. Jangan berani menyangkal suatu pernyataan Psikolog!" desis Alaric, menunjuk iras Pearl yang terduduk di hadapannya.
"Kurasa itu bukan masalah jika orangnya kau."
"Apa kau bilang?"
Pearl tersenyum, tetapi kini malah tertawa. Kehangatan itu, kehangatan yang biasa dirasakannya pada dua orang tua tercinta, kini kembali ia rasa setelah kembali bersatu dengan sahabatnya. Sahabat yang telah lama dirindukannya.
Alaric tersenyum sekilas, "Sekarang makanlah. Aku sudah membuatkanmu soup juga kudapan."
Pearl mengangguk lemas. "Tapi setelah itu ... dapatkah aku pergi tidur?"
Alaric menganggut. "Itu terserah padamu."
š„
"Hei, bangunlah bodoh!" satu seruan menyapa rungu Pearl, bertepatan dengan satu tepukan kasar yang mendarat di punggungnya. "Bangun! Sudah jam sembilan!"
Pearl tak menyahut. Hanya menggeliat dan menaikkan selimut tebal itu sampai menutupi sekujur tubuhnya. Menolak untuk lekas terjaga dan terlena oleh bunga tidurnya.
"Bangun, atau kuusir kau sekarang juga!"
Bak mendapat suatu mantra ajaib, Pearl langsung terduduk dalam satu sentakan. Netranya terbelalak kaget. Kentara syok dengan respons alam bawah sadarnya yang tanpa diduga-duga.
"H-hei, bagaimana kau bisa masuk ke kamarku begitu saja?!" pekik Pearl nyaring. Menghempaskan tubuh Alaric yang ada di hadapannya. Sementara ia sendiri beringsut mundur dan memojokkan diriāmendekap selimut cokelat tersebut erat-erat.
"Jangan konyol, ini rumahku," desis Alaricābersikeras duduk di ranjang yang sama.
"Apa maksudmu? Hanya karena ini rumahmu, jadi kau bisa semena-mena, begitu?"
Alaric menghela napas panjang. Mengejapkan dua netra rapat-rapat. Pearl ini menguras habis kesabarannya. "Cepat mandi!"
"Untuk apā"
"Aku tak mau mendengar apa pun lagiākau harus segera mandi dan mencari pekerjaan!" desis Alaric penuh ketegasan.
"Pekerjaan apa lagi? Akuā"
Pearl memekik tertahan, baru mengingat satu hal yang harus ia penuhi secepatnya. Rasa getir dan nestapa mendadak memeluk suasana di sekitarnya. Kebahagiaan atau ketentraman yang sempat ada lekas hilang begitu saja.
"Jika kau ingin cepat-cepat terbebas dari lilitan utang itu, kau harus mencari pekerjaan, bukan?"
Isak lirih tercipta dari sang gadis yang merunduk dalam. Ia masih tak terima dan pesimis akan hal itu, akan keharusannya untuk menuntaskan hutang dalam jumlah yang tak lagi lazim. Lagi pula, salah apa ia sampai Tuhan memberinya ujian yang terlampau sukar? Bahkan baru dua bulan berselang dari hari di mana kedua orang tuanya pergi dan tak akan kembali.
"Berhentilah merengek atau aku akan mengusirmu!"
Pearl mendengkus. Mengusap kasar tetesan air mata yang menjatuhi pipinya, sementara netranya itu menatap Alaric tajam-tajam.
"Aku akan membantumu mencari pekerjaan. Jadi cepatlah membersihkan diri!" Alaric mendesah lirih. "Entah kenapa aku sebodoh ini untuk bersedia meliburkan diri," desisnya.
"Sungguh?! Apaā"
"Aku akan menunggu. Lima menit saja!"
Setelah mendelik dramatis, gadis itu lekas beranjak dari ranjang lembut yang didudukinya. Melesat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan lagi, hal itu menyisakan senyuman misterius dari sang lelaki.
š„
"A-aaah, sudahlah kita menyerah saja! Aku lelah!"
"Kenapa kau ini suka mengeluh? Kau baru saja melamar dua kali dan ditolak dengan jumlah yang sama!"
"Ditolak itu menyakitkan!"
"Siapa yang bilang itu menyenangkan?"
Pearl menganjurkan bibir. Memandang Alaric tajam-tajam ketika menemui bahwa sang lelaki sepenuhnya benar. Namun ia telah lebih dulu menyerah. Ia takut lamarannya kembali ditolak mentah-mentah.
Tak acuh akan sorotan netra Pearl, Alaric hanya memutar setir mobilnya ke kananāmembelokkan mobil mewahnya. Telah dua puluh km dilaluinya, dilalui mereka setelahnyaātetapi Pearl tak kunjung menemukan tempat kerja yang nyaman dan yang sekiranya ia minati. Yang lagi-lagi menjadi pasal dirinya terpojokkan oleh peringatan serta teguran Alaric.
"Iya, aku tahu! Berhentilah membuatku seolah beban terbesarmu!"
Alaric melirik sinis, "Bukannya memang begitu?"
Lagi-lagi Pearl menganjurkan bibirnya, tetapi tak lagi bisa membalasnya.
"Ini sudah lima puluh km lebih dari apartemenku; jika nanti kau mendapat pekerjaan, pakai apa kau untuk ke sana-kemari?"
"Entah. Kenapa lagi-lagi menyalahkanku?"
Alaric melirik Pearl tajam-tajam; yang kembali memilih untuk bungkam. Gusar tetapi tak mungkin untuk mengutarakan, jadilah gadis itu memandang jendela mobil yang ia biarkan terbuka. Menghela napas samar dengan netra jelalatan.
Yeah, harusnya dia bersyukur Tuhan membuatnya kembali pada Alaric: sahabat lamanya yang menghilang begitu saja dan tahu-tahu mengirim kabar yang menyatakan akan tinggal di Jerman cukup lama. Ia kira mereka tak akan bertemu atau lagi saling kirim warta; lantas siapa sangka? Kini mereka malah tinggal bersama.
Bertemu teras dengan beliungāsatu lagi peribahasa cocok bagi mereka yang sama-sama keras mulut juga keras kepala.
Eh, bicara soal kepala ... Pearl jadi ingin kelapa muda.
"Alaric!"
Dengan mengejutkan, lengan kanan Pearl mendorong bahu lelaki itu dengan kasar. Melantarkan Alaric banting setir eksesif terkejutnya. Mobil itu pun ia hentikan seketika di tepi jalan, yang untungnya tak memberi dampak apa-apaāselain frekuensi jantungnya yang melenceng dari normal.
"Berhati-hatilah, bodoh! Sedetik saja aku tak menginjak rem, kita akan terhantam oleh mobil yang lain!" sungut Alaric sungguh-sungguh.
"Terserah, tapi aku ingin itu!" seru gadis itu dengan santainya.
"Ingin apa?"
"Aku ingin itu! Aku mohon!"
"Apa yang kau maksud, hah? Bicaralah yang jelas!"
Akhirnya Alaric sudi memalingkan wajahnya, yang kemudian membuat Pearl menunjuk satu hal yang membuatnya terlampau antusiasāgerobak kelapa muda.
"Kita bisa membelinya lain kali, sekarang pekerjaanmu-lah yang terpenting!"
"Jangan begitu! Ayolah, aku hanya ingin satu gelas sajaaa! Aku sudah haus dan muak mendengar celotehanmu!"
"Apa?!ā"
"Yaaaa?"
Pearl memandang Alaric lekat-lekat dengan mata berbinarāberharap dengan itu sang lelaki lekas mengiyakannya.
"Tidakā"
"Yaaaaaa?"
Sekuat tenaga, Pearl mencoba untuk memasang mimik menggemaskan; semampu yang ia bisa. Hingga pada akhirnya, Alaric memalingkan muka dan menyalakan mobilnya. Memutar setir sampai mobil yang mereka naiki kembali ke jalur yang sama.
"Hah?! Kau sungguh-sungguh akanā"
"Tapi berhentilah membuat mimik menggelikan seperti itu! Aku muak dan sangat membencinya."
"Ya, aku janji!" seru Pearl yang setelahnya terkikik senang.
š„
"IBUU! SATU GELAS LAGI, YA?"
Alaric menarik lengan Pearl lumayan kasar, mendekatkan rungu gadis itu ke bibirnyaāyang bersimpuh bersamanya di atas matras; fasilitas stan kelapa muda tersebut.
"Ini sudah yang kelima! Kau ingin mendapat glukosuria?"
"Tapi aku sudah enam tahun tak meminumnya! Kenapa kau sangat kejam begini? Bukannya seorang Psikolog ini bisa lebih mengerti bila keinginan seorang sepertiku ini harus terpenuhi?" desis gadis bersurai panjang itu tak suka.
Alaric menghela napas, melepas cekalannya pada sang dara kemudian kembali memalingkan muka.
"Kalau begitu minumlah sepuasmu. Aku akan pergi."
"Hei, teganya kau mau menelantarkanku di sinii!" seru Pearl setengah memekik.
"Tidak, bodoh!" Alaric menepuk pelan pucuk kepala gadis itu setelah sukses bangkit berdiri. "Aku hanya ingin buang air kecil. Kau membuatku menghabiskan banyak kelapa, kau tahu?"
"Ooh ...." Pearl tertawa bahagia. "Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggu di sini."
Alaric bergumam sebagai jawaban.
"Eh, hei!" Pearl mengangkat lengan kanannya. "Berjanjilah jangan lama-lama!"
Lelaki itu menghentikan langkahnya. Menyempatkan diri untuk menoleh pada Pearl yang melambaikan lengannya tinggi-tinggi. Setelah tersenyum tipis, lelaki itu meninggalkannya seorang diri.
Triiing triiing triing
Dering ponsel mengejutkan Alaric, yang memutuskan segera mengangkatnya.
"Halo?"
"Honeyyy, where have you been?"
Netra lelaki itu mendelik sempurna. Lekas memeriksa siapa nama penelepon yang jelas membuatnya melengung tidak terkira.
"Who's this?"
"Oh Gosh?! Did you just forget me?"
Alaric menghela napas panjang; berupaya tetap sabar. Kehidupannya yang telah lama tenang sepertinya akan kembali kelam.
Suara itu, nada itu, cara bicara itu ... pasti berasal dari salah satu pasien yang pernah dirawatnya beberapa waktu. Pasien yang beralih menganggunya sepanjang waktu.
"Floella?"
"Absolutely!"
Tutt
Alaric memutus sambungan telepon itu tanpa keraguan. Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.
"Astaga ... Pearl?!"
Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.“Astaga ... Pearl?!”š„Netra yang berbinar itu tak kunjung berpaling. Justru gadis dengan tingkah acak itu bangkit dari tempatnya, mendekati sebuah penginapan yang dia lihat dari kejauhan—dari titik ia berada. Nekat untuk mendatanginya segera.Lengannya mendorong pintu kaca pada muka, membukanya, dan melangkah masuk tanpa kata. Pemandangan yang kali pertama menyapa adalah para tamu yang terlena akan aktivitas mereka. Suasana di sana membuatnya tersenyum manis tanpa alasan nyata. Ia hanya merasa bahagia secara tiba-tiba.Entah mendengar senandika atau bagaimana, Pearl melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong panjang yang didominasi oleh corak kecokelatan. Estetik, kata yang bisa tergambarkan. Netranya pun kembali berbinar ketika mendapati lamp
"Jujur saja, kau menerima pekerjaan itu karena penginapan tadi pernah menampung Magmaāidol yang membuatmu tergila-gila itu, bukan?" seru Alaric seraya membanting pintu mobil di sandingnya. Ia melangkah pergi dengan cepatnya, meninggalkan Pearl yang masih berusaha mencerna. "Eāyaa, itu salah satu alasannya. Tapiā" "Sudah kuduga. Kau memang tak pernah berubah. Kau bodoh dan berpikir dengan jangka pendek saja, sama seperti enam tahun lalu. Kau masih dan selalu manja. Tidakkah kau sadar jika itu menyebalkan?" Pearl melangah, tetapi tungkainya terus membuntuti langkah Alaric yang tergesa. Namun seolah tak peduli, lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan Pearl yang tengah berusaha menyusul dirinya; meninggalkan area parkiran apartemen mereka. "Memang apa salahnya menggemari orang yang sama bertahun-tahun?" tanya Pearl dengan napas tersengal. "Tak ada yang salah." Alaric meliri
Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnyaāsebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. āSusu. Ya, susu.ā Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tanganāmembuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. āPEARL? Kau terlambat dari waktu yanāā Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter
āAku tahu, kau pasti masih mencintaiku.ā Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, āTahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?ā āA-aku ... ada orang di mobilāā āApa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!ā āAlaric! Dengar dulu,ā sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinyaādi samping rem kaki juga gas di bawah sana. āPearl? Pearl?ā Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. āKau mendengarkanku, ākan?ā Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn
Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam āsinggasanaānya. āBegini Tuan Yadāā āLangsung saja ke intinya,ā potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. āMenurut data yang telah ada, Yadaās Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikāā Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. āātapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaāā āKenapa kalian harus pa
Selalu sama setiap malamnyaālebih tepatnya empat malam iniāPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika āmeminjamā dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaājadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaāberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. āKenapa?ā Pearl menggeleng, membuka
āTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....ā Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaākaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaāmemaksa ora
“Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu