Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam âsinggasanaânya.
âBegini Tuan Yadââ
âLangsung saja ke intinya,â potongnya.
Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. âMenurut data yang telah ada, Yadaâs Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikââ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. ââtapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaââ
âKenapa kalian harus pa
Selalu sama setiap malamnyaâlebih tepatnya empat malam iniâPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika âmeminjamâ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaâjadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaâberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. âKenapa?â Pearl menggeleng, membuka
âTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....â Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaâkaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaâmemaksa ora
“Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu
“Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb
“Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se
“Uuu, Pearl. Kenapa aku baru sadar bila kau ini sangat cantik?” Kanna memutar tubuh Pearl kedua kalinya, mengembangkan senyuman manis yang menjadi pemicu tawa bahagia sang wanodya. “Selama ini aku terus melihatmu mengenakan seragam Resort Keeper, kemeja dan celana berbahan drill itu.”Pearl kembali tertawa.“Tapi sesungguhnya ... aku kurang nyaman dengan gaun ini. Terlebih mengingat aku tak mengenakannya dua tahun lebih.”Pearl memainkan kain satin berwarna lilac yang melingkari tubuh bagian bawahnya, menyibakkannya ke sana-kemari. Merasa tak percaya diri. Ia terus meminta pendapat Alaric sebelumnya, hanya saja lelaki itu hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata—“Bagus.”“Apa flat shoes ini cocok? Aku—““Cocok, itu sempurna,” potong Alaric meski tatapannya setia pada layar laptopnya. “Percayalah padaku, Kanna pun akan mengatakan ‘i
"Aku tahu ... aku tahu ini terdengar konyol. Tapi jadilah milikku, Lava."Pria berkemeja kelabu itu terkekeh sinis, melipat dua lengannya depan dada. Menjeling pada bawahannya yang menatapnya lekat-lekat. Gadis itu tak gencar sedikit pun; entah untuk memandangnya atau juga melontarkan kalimat penuh makna tadi."Kenapa? Jadilah milikku."Bukannya menimpali, lelaki tadi membuang muka. Menghela napas panjang-panjang—seolah gadis di hadapannya ini sangat menguras kesabarannya.Merasa dicuaikan, gadis yang sama menarik dasi lelaki itu kasar-kasar. Menyejajarkan dua iras mereka; matanya memicing."Cepat jawablah—katakan iya, atau tidak! Aku butuh kepastianmu!"Lelaki itu terkekeh, menepis lengan sang gadis dan membenarkan posisi dasi kesayangannya. Lagi-lagi mengembuskan napas.Merasa dapat jawabannya—penolakan—sang gadi
Alunan melodi elegi memenuhi ruangan mewah bernuansa emas itu, menyempurnakan rasa lara pada hati sang wanodya yang tak berkata apa-apa. Di sana, atas bangku bundar, Pearl terus mengusap air matanya. Bibirnya terus merengek, mengeluarkan suara-suara lirih yang seperti tanpa makna. Netranya tak bisa berhenti untuk memandangi jasad Papa Mamanya yang dibaringkan dalam dua peti nan tertutup sepenuhnya. Ia merasa hancur, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Dua sosok yang amat dicintainya itu telah tiada. Lemari jam antik itu pun telah berdentang ke dua belas kalinyaâmengartikan bila kini telah tengah hari. Namun seolah tak mau peduli, Pearl malah berhamburan ke arah peti; hendak membukanya dan menyaksikan orang tuanya ke sekian kali. Sebelum itu terjadi, tubuhnya telah ditahan oleh satu tangan. Pergerakan Pearl berhenti seketika, tetapi sedu-sedannya tak kunjung berhenti juga. âSudah, Pearl! Berhentilah m
“Uuu, Pearl. Kenapa aku baru sadar bila kau ini sangat cantik?” Kanna memutar tubuh Pearl kedua kalinya, mengembangkan senyuman manis yang menjadi pemicu tawa bahagia sang wanodya. “Selama ini aku terus melihatmu mengenakan seragam Resort Keeper, kemeja dan celana berbahan drill itu.”Pearl kembali tertawa.“Tapi sesungguhnya ... aku kurang nyaman dengan gaun ini. Terlebih mengingat aku tak mengenakannya dua tahun lebih.”Pearl memainkan kain satin berwarna lilac yang melingkari tubuh bagian bawahnya, menyibakkannya ke sana-kemari. Merasa tak percaya diri. Ia terus meminta pendapat Alaric sebelumnya, hanya saja lelaki itu hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata—“Bagus.”“Apa flat shoes ini cocok? Aku—““Cocok, itu sempurna,” potong Alaric meski tatapannya setia pada layar laptopnya. “Percayalah padaku, Kanna pun akan mengatakan ‘i
“Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se
“Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb
“Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu
âTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....â Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaâkaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaâmemaksa ora
Selalu sama setiap malamnyaâlebih tepatnya empat malam iniâPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika âmeminjamâ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaâjadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaâberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. âKenapa?â Pearl menggeleng, membuka
Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam âsinggasanaânya. âBegini Tuan Yadââ âLangsung saja ke intinya,â potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. âMenurut data yang telah ada, Yadaâs Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikââ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. ââtapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaââ âKenapa kalian harus pa
âAku tahu, kau pasti masih mencintaiku.â Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, âTahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?â âA-aku ... ada orang di mobilââ âApa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!â âAlaric! Dengar dulu,â sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinyaâdi samping rem kaki juga gas di bawah sana. âPearl? Pearl?â Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. âKau mendengarkanku, âkan?â Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn
Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnyaâsebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. âSusu. Ya, susu.â Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tanganâmembuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. âPEARL? Kau terlambat dari waktu yanââ Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter