"Jujur saja, kau menerima pekerjaan itu karena penginapan tadi pernah menampung Magmaāidol yang membuatmu tergila-gila itu, bukan?" seru Alaric seraya membanting pintu mobil di sandingnya. Ia melangkah pergi dengan cepatnya, meninggalkan Pearl yang masih berusaha mencerna.
"Eāyaa, itu salah satu alasannya. Tapiā"
"Sudah kuduga. Kau memang tak pernah berubah. Kau bodoh dan berpikir dengan jangka pendek saja, sama seperti enam tahun lalu. Kau masih dan selalu manja. Tidakkah kau sadar jika itu menyebalkan?"
Pearl melangah, tetapi tungkainya terus membuntuti langkah Alaric yang tergesa. Namun seolah tak peduli, lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan Pearl yang tengah berusaha menyusul dirinya; meninggalkan area parkiran apartemen mereka.
"Memang apa salahnya menggemari orang yang sama bertahun-tahun?" tanya Pearl dengan napas tersengal.
"Tak ada yang salah." Alaric melirik sekilas pada Pearl yang kini berdiri di sandingnya. Setelah memusatkan iras kembali ke depan, ia berujar, "Orang gila yang kau pilih untuk kau gemariāitulah yang salah."
"Magma tidak gila!" jerit Pearl tidak terima. "Dia baik, tampan, apa adanya, bersahaja, bijaksana! Tak ada kekurangan sedikit pun dari dirinya."
"Kapan aku mengatakan dia gila?"
"Kau pikir aku bodoh dan tak bisa memahami maksudmu, huh?"
Alaric tersenyum tipis, tetapi enggan untuk memalingkan kepala atau menoleh pada sang wanodya.
"Diamlah!"
"Kau yang harusnya diam! Orang dingin dan kejam sepertimu ini sangat tidak cocok menjadi seorang psikolog! Tidakkah semua pasienmu terkena mental akan semua ucapan yang keluar dari mulutmu?"
"Diamlah!"
Pearl menggeleng sekuat tenaga. "Tidak, aku tā"
"Diam atau aku akan mengusirmu."
Bibir Pearl mengerucut tajam, terpaksa untuk kembali bungkam. Suram sudah roman jelita itu lantaran meratapi nasibnya yang selalu terancam.
š„
"Kau ingin apa, hm?"
Gadis berlesung pipi itu tersenyum tipis, menggeleng dengan manis. "Tak perlu membeli apa-apa, aku hanya ingin bertemu denganmu."
"Sungguh? Serindu itukah kau dengan diriku?" Lelaki berjas biru tua itu terkekeh, mengalungkan lengannya pada pinggang gadis di sampingnya. "Kau tahu? Aku pun sangat merindukanmu."
Iara, gadis tadi tersenyum sekali lagi. Membenamkan kepalanya pada pundak lelaki itu yang terasa hangat dan berbeda. Dan ia menyukainya.
"Ah, iya!" Tiba-tiba gadis itu tersadar dan membuka tas tangannya. Mengacak-acak isinya sekejap, lalu menyembulkan lengannya setelah mencari cukup lama. "Aku membelinya di salah satu toko busana di Paris. Aku menemukannya dan menyukainya seketika, juga teringatābahwa sepertinya kau akan suka."
Terulur satu kotak kecil yang dibalut dengan pita berwarna merah terang; nan entah mengapa, dengan segera lelaki itu gapai tanpa berlama-lama. Mungkin baginya, benda seindah itu akan sia-sia jika tak lekas dibuka.
Seperlahan mungkin, lengan sang lelaki membuka kotak mungil dengan kedua jari. Senyuman tampan tersungging tipis dengan senang hati ketika netra almond itu mendapati sebuah dasi. Satu-satunya aksesori yang bisa membuatnya sebahagia ini.
"Kenapa? Kau tak menyukainya?" tanya gadis itu karena sang lelaki tak juga menunjukkan ekspresi atau pun reaksi.
Lelaki itu mendelik tajam. "Jangan bercanda, aku amat-sangat menyukainya!"
Diangkatnya dasi bercorak kelabu itu dengan segera; yang lagi-lagi menciptakan senyuman lainnya. Lantas, setelah menghabiskan beberapa saat untuk memandang benda itu, lelaki itu kembali menyodorkannya di hadapan sang wanodya.
"Ada apa?"
"Aku ingin kau memasangnya untukku."
Iara menggapai dasi itu, sedang kekasihnya gegas melepas dasi hitam yang melingkar pada leher jenjangnya.
"Tapi sebelum itu bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Iara, menghentikan gerakan lelaki itu yang sedang membenarkan kerah kemejanya.
"Boleh, Iara. Apa pun yang kau mau."
Iara tersenyum sekali lagi seraya membentangkan kedua tangannya. Yang segera lelaki itu tanggapi dengan gelak tawa. Arkian, tak butuh waktu lama, kekasihnya itu melangkah mendekatinya; mendekap raga Iara yang tertawa bahagia.
š„
Dua tahun kemudian--
"Segeralah pulang! Aku sedang bebas dan tak ada pekerjaan."
"Iyaa, aku tahu!" Pearl memindahkan posisi ponsel ke pundak di sisi kiri tubuhnya. Beralih menghimpit benda pipih itu dengan telinga kirinya, sementara kedua lengannya kembali menyapu permukaan kayu berwarna cokelat muda. "Tapi aku sedang sibuk sekarang."
"Jangan membuatku menunggu, kau pastinya tahu bahwa aku membenci itu.ā
āIyaaa, Ibu Tiri! Tunggulah sebentar, aku hanya perlu memindahkan jerami lalu membeli beberapa kardus susu, atau mungkin benda lain." Gadis itu menghela napas. āIngat, bukan, bila posisiku (dan beberapa O.G lain) telah berubah menjadi Resort Keeperāyang berarti aku bertanggung jawab akan semua tugas di sini? Kau pastinya juga tahu meski Natal telah berlalu penginapan masih tetap ramai. Sialnya beberapa karyawan lain pun menikmati liburan mereka!ā
Dengkus lirih terdengar pada ponsel mungil itu, yang berarti sang penelpon menyetujui untuk menunggu lebih lama.
āOke, aku mempercayainya.ā Terdengar sedikit jeda sebelum kemudian, āAku akan menghubungi Alisha untuk memastikan kau benar-benar bekerja, bukannya keluyuran untuk mencari Magma-Magma itu ke kantornya!ā
āBaiik, Ibu Tiri. Pearella mengerti.ā
Kali ini kekehan singkat yang terdengar pada ponsel Pearl yang masih pada posisi semula.
āBerhati-hatilah. Aku akan menunggumu.ā
āIyaa. Tapi seperti yang aku sampaikan sebelumnyaāaku tak pernah janji bahwa aku tak akan lama," tekan Pearl sekali lagi. Menghentikan gerakannya dan mencekal ponselnya dengan leluasa. Berancang untuk mematikannya segera sebelum aksinya tertangkap basah oleh Alisha atau mungkin pegawai lain.
"Hm. See you."
"Too."
Gegas setelah menutup sambungan teleponnya, Pearl memasukkan ponsel itu pada saku seragamnya. Bersilih mengangkat jerami dan berjalan cepat menuju perkebunan belakang gedung penginapan. Melintasi salah satu kamar bernomorkan 17; yang tanpa ia sadari telah ditempati oleh seorang pemuda nan menenggak puluhan botol alkohol dan tak sadarkan diri.
"Hei, kenapa kau terburu-buru seperti itu?"
Pearl menyeka peluh yang melintasi dahinya, terduduk dan memandangi Kanna yang ada di depan mata. Perempuan dengan rambut berwarna hijau terang itu menyadari betapa pucatnya iras Pearl yang sedari tadi tak berkata-kata.
Sesuai peraturan yang mengatakan 'dapat pergi kapanpun setelah mengerjakan semua tugas', jadilah Pearl melakukan semua kewajibannya secepat yang ia bisa. Ia berhasil menyelesaikan sisanya dalam dua jam saja, meski itu sangat cukup menguras tenaga.
"Aku harus segera kembali, sebenarnya. Jadi aku sedikit terburu-buru."
"Kenapa harus? Belum juga sore hari."
Pearl mendengkus lirih, "Alaric akan membunuhku jika aku tak melakukannya. Lagi pula, aku memang ada janji dengannya."
"Alaric?" Netra Kanna memicing sesaat. Berpikir sekejap. "Oooh ... pacar kau itu, ya? Yang psikolog muda dan selalu kemari sebelum pergi kerja?"
Dengkusan kembali terdengar dari Pearl yang kini merebahkan punggungnya pada dinding. "Kenapa semua orang selalu menganggap kami berdua punya hubungan?" Tendas gadis itu menggeleng dua kali. "Kami hanya sahabat lama, dan tak akan ada yang mengubahnya."
"Hei, jangan salahkan aku! Maksudku, wajar saja semua orang punya spekulasi seperti itu. Lebih lagi perhatian Alaric padamu yang kadang berlebihan. Iya, bukan?"
Apatis, Pearl hanya mengendikan kedua pundaknya.
"Lalu, kalau kau terburu-buru ... kenapa kau masih di sini?" tanya Kanna keheranan.
"Aku masih menunggu kak Alisha. Dia sedang membuat daftar benda yang harus aku beli nanti. Tapi karena aku tergesa-gesa, sepertinya aku akan mengantarnya besok."
Kanna mengangguk kecil. Merasa tertarik untuk meneruskan percakapan. Adanya sistem privasi yang masih diterapkan seolah menciptakan suatu sekat, memisahkan gadis itu dari Pearl atau bahkan para karyawan lainnya. Terutama peraturan yang melarang keras para karyawan untuk berbicara di tengah pekerjaan.
"Kau ini pekerja keras, ya?"
Pearl tersenyum, "Tentu saja. Aku punya utang ratusan juta yang tengah menanti untuk segera dituntaskan."
Netra Kanna mendelik seketika. Terkejut dan bahkan kehabisan kata.
"Sungguh? Bagaimana bisa? Memang di usia muda seperti kita ini, apa yang telah kau beli?"
"Bukan, aku hanyaā"
"PEARL!"
Jeritan itu berasal dari ruangan Alisha, penanggung jawab Resort yang memimpin Pearl ataupun Kanna sejak lama. Kontan, hal itu membuat Pearl berdiri dari duduknya; bermaksud beranjak secepatnya.
"Euhm ... aku pergi dulu, ya? Aku akan menceritakannya lain waktuā" Kanma membuka mulutnya, hendak mencegah Pearl untuk pergi atau meninggalkannya. "ātenang, ini adalah sebuah janji. Kita bisa bicara lagi lain kali."
Melihat kesungguhan dalam netra Pearl, akhirnya Kanna bersedia untuk menganggukkan kepala.
"Hati-hati, ya?" lirih Kanna seraya melambaikan lengannya.
"Terima kasih! Semangat kerja, ya?"
Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnyaāsebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. āSusu. Ya, susu.ā Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tanganāmembuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. āPEARL? Kau terlambat dari waktu yanāā Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter
āAku tahu, kau pasti masih mencintaiku.ā Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, āTahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?ā āA-aku ... ada orang di mobilāā āApa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!ā āAlaric! Dengar dulu,ā sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinyaādi samping rem kaki juga gas di bawah sana. āPearl? Pearl?ā Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. āKau mendengarkanku, ākan?ā Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn
Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam āsinggasanaānya. āBegini Tuan Yadāā āLangsung saja ke intinya,ā potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. āMenurut data yang telah ada, Yadaās Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikāā Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. āātapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaāā āKenapa kalian harus pa
Selalu sama setiap malamnyaālebih tepatnya empat malam iniāPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika āmeminjamā dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaājadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaāberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. āKenapa?ā Pearl menggeleng, membuka
āTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....ā Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaākaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaāmemaksa ora
“Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu
“Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb
“Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se