Share

EMPAT

Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.

“Astaga ... Pearl?!”

đŸ„‚

Netra yang berbinar itu tak kunjung berpaling. Justru gadis dengan tingkah acak itu bangkit dari tempatnya, mendekati sebuah penginapan yang dia lihat dari kejauhan—dari titik ia berada. Nekat untuk mendatanginya segera.

Lengannya mendorong pintu kaca pada muka, membukanya, dan melangkah masuk tanpa kata. Pemandangan yang kali pertama menyapa adalah para tamu yang terlena akan aktivitas mereka. Suasana di sana membuatnya tersenyum manis tanpa alasan nyata. Ia hanya merasa bahagia secara tiba-tiba.

Entah mendengar senandika atau bagaimana, Pearl melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong panjang yang didominasi oleh corak kecokelatan. Estetik, kata yang bisa tergambarkan. Netranya pun kembali berbinar ketika mendapati lampu cantik yang menggantung pada langit-langit. Minimnya benda di sana yang diatur sedemikian rupa membuat gadis itu tak jemu untuk memalingkan muka; justru ia masih terpesona.

Meski begitu, ia tahu ia harus lekas keluar dari sana. Alaric pasti menanti dan menanyakan di mana keberadaannya. Ia hanya sadar diri dan tak ingin lelaki itu kewalahan untuk mencarinya ke mana-mana.

Namun, mendadak saja satu figur menyembul dari balik pintu kaca buram; dengan dua tumpuk jerami pada dekapan. Entah mengapa Pearl tertarik untuk memandang sosok berjilbab merah muda itu yang tengah melangkah ke arahnya. Terlebih kala menyadari mulut sosok itu terus menggerutu tanpa jeda.

Ingin hati Pearl membantunya, menawarkan bantuan; tetapi lagi-lagi sesuatu memaksanya untuk cepat-cepat kembali pada tempat sebelumnya—stan kelapa muda.

Baru saja ia berbalik dan bermaksud untuk melangkah maju, suara seruan mendadak menyapa rungu. Spontan saja dengan gesit Pearl membalikkan badan, pun gegas berhamburan ke sosok tadi kala sadar bahwa jerami tadi terlempar ke udara.

Happ

Entah ini keberuntungan atau apa, jerami itu jatuh pada telempap Pearl dengan mudahnya. Suasana pun mendadak hening tanpa suara; bersama satu sosok yang terkapar tak berdaya dengan sepatu haknya yang patah paripurna.

đŸ„‚

Lelaki itu berputar di tempatnya. Matanya jelalatan mencari keberadaan sang gadis dengan sarat akan kekhawatiran. Sudah—dia sudah melewati stan kelapa muda tadi, hanya saja tak lagi terdapat satu pelanggan pun di sana.

“Ck, harus dengan apa aku menghubunginya?” desis Alaric. Memeriksa ponselnya dengan tergesa-gesa, yang barangkali bisa—ck, bisa apa ia?!

SIAL!

Mendadak, satu lengking nyaring menyapa rungu Alaric yang kemerahan—tanda tak terelakkan bila tengah dilanda keresahan yang berlebihan. Merasa tak asing oleh pekikan mersik itu, lekas saja ia memutar tubuhnya; yang tahu-tahu dihantam mundur dan didekap kendur.

Gadis yang memeluknya itu melompat-lompat sesekali, masih berseru. Teramat bertentangan dengan Alaric yang membeku serta berupaya mencerna yang tengah berlaku.

“Akhirnya, Ric!”

“Akhirnya?”

“Akhirnya aku diterimaa!”

“Diterima?”

“AKU KERJA DI RESORT IMPIAN, RIC! AKU PUNYA PEKERJAAN!”

Alaric menurunkan pandangannya, memandangi Pearl yang tersenyum manis. Malar-malar gadis satu itu mengeratkan dekapannya pada sang lelaki yang membelalak—kuatnya rangkulan Pearl membuat dadanya terasa sesak.

“B-bagaimana bis ... uhuk, uhuk!”

Akhirnya Pearl sudi untuk melepas dekapannya, Alaric pun bisa bernapas leluasa.

“Bagaimana bisa?” tanyanya kemudian.

“Jelas dan tentu bisa! Bukannya aku ini cantik?” Pearl menyombongkan dirinya. Sedikit mencondongkan iras pada Alaric—yang jelas lekas menghempaskannya.

“Jangan konyol, aku ini bersungguh-sungguh!”

“Siapa yang bercanda di sini?!” Pearl meresan. Menganjurkan bibir dan membuat alisnya bertaut temu—mimiknya kini tampak menggemaskan.

“Siapa orang gila yang menerimamu begitu saja?”

“Kak Alisha!” seru gadis itu dengan riangnya.

Skeptis, sang lelaki mengerutkan glabela miliknya. Sedikit mendongak untuk memandangi resort dengan cokelat sebagai warna dasar, yang kentara mewah tetapi sederhana di saat yang sama.

“Kenapa wajah kau seperti itu?” tanya gadis itu.

Kini Pearl yang teramat sangsi padanya. Pasalnya, Alaric tak kunjung memberi respons nyata akan warta yang ia sampaikan penuh suka cita. Sia-sia, bukan, bila Alaric malah bertanya sebagai tanggapan perdana? Pun pertanyaan itu seolah mencelanya.

“Buat aku percaya.”

“Maksudnya?”

“Berikan aku bukti di depan mata.”

Pearl merotasikan bola matanya, tetapi tetap saja ia mengiyakannya.

“Oh, iya! Jelas.” Perempuan dengan jilbab merah muda itu terkekeh sekejap mata. “Pearl telah jadi pegawai tetap di penginapan ini. Dia cantik dan cekatan, itu memenuhi kriteria kami.”

“Kriteria?” Alis Alaric bertaut temu. “Hanya itu persyaratannya?”

“YA, tentu saja!”

Jangan salahkan Alaric bila ia curiga. Sebab, pekerjaan apa yang persyaratannya mencangkup dua hal saja? Tanpa membutuhkan CV, summary, atau data-data? Yang benar saja!

“Sebagai?”

Alisha, perempuan tadi tersenyum simpul. Terkekeh lagi dengan senyuman yang sedikit berlebihan. “Office girl.”

Gelak tawa meruak di udara, menyebabkan Pearl merotasikan bola netra. Alaric sibuk meneruskan tawa sinisnya, puas untuk mengejek gadis yang adalah sahabatnya.

“Kenapa tertawa? Pearl sempurna, loh, untuk pekerjaan itu!”

“Karena wajah dia setara dengan kain pel?” Alaric berusaha menerka, tetapi Pearl membalasnya dengan pukulan tepat di kepala.

“Program tempat ini memang begitu, kami menjunjung tinggi privasi—jadi para karyawan boleh untuk tidak mengungkap data pribadinya. Tanggal lahir dan nama orang tua itu data pribadi, bukan?” Mata Alaric dan Pearl bertemu sapa, tetapi tak merespons Alisha dengan apa-apa. “Intinya, kami tak memaksa untuk tahu siapa kalian sebenarnya, yang utama hanya kalian bertanggung jawab dalam bekerja.”

“Bagaimana jadinya jika salah satu karyawan kalian itu bodoh atau mantan kriminal? Atau justru berniat jahat?”

Alisha menaikkan kedua pundaknya. “Tanyakan saja pada bos saya! Saya tak pernah memikirkan pertanyaan itu sebelumnya.” 

Alaric menaikkan satu alisnya, terkejut tapi tak bisa mengatakan apa-apa.

“Lagi pula, memang ada O.G. yang diberi soal matematika sebelum bekerja? Atau harus menakar kandungan gula juga kafein dalam segelas kopi setiap harinya?” Alisha mengembuskan napasnya. “Kami hanya butuh mereka untuk membersihkan penginapan ini dengan bagian yang merata.”

Pearl menganggukkan kepala, tetapi Alaric masih enggan untuk putus kata.

“Apa tempat ini bisa dipercaya?”

“Jelas saja!” ujar Alisha. “Kalian bisa lihat review penginapan ini pada g****e atau platform yang mendukung. Yada’s Resort. Atau tanyakan saja pada penduduk sekitar, mereka tahu karena sering meninjau.”

“Euhm ... lantas untuk pendapatannya dalam sebulan?”

Pearl mendelik, mencekal lengan Alaric dengan harapan lelaki itu bungkam seketika. Ia pun lekas berbisik, “Alaric! Kenapa kau ini lancang sekali, hah? Kau harusnya sungkan un—”

“Tiga—“ Alaric memalingkan muka, menyeringai sebagai tanda kemenangan. “—tiga puluh juta.”

“EH? S-sungguh, kak?” Ini Pearl yang bertanya.

“Yaa. Kami tak keberatan untuk membayar setiap pegawai kami dengan biaya sebanyak itu. Karena jika penginapannya dirawat dan mendapat perlakuan yang baik sedemikian rupa, para pegawainya juga harus sama. Salah satu member Waxx, Magma yang mendunia pun sampai sudi untuk menyewa salah satu kamar di penginapan kami. Maka, kenapa tidak untuk menyejahterakan para karyawan?”

“Apa hubungannya dengan lelaki sombong itu?” desis Alaric tak suka. “Dia hanya besar kepala. Ayolah, Pearl—lebih baik kita mencari tempat lain saja. O.G. bukan pekerjaan yang pantas untukmu.”

Alaric menarik lengan sang wanodya, tetapi Pearl bersikeras untuk tetap di sana.

“Biarkan aku untuk bekerja di sini!” desis Pearl.

“Tidak.”

“Kenapa? Bukannya itu bagus? Apa lagi yang kau ragukan?”

“Banyak. Biarkan otakmu bekerja dan berhentilah banyak bertanya!”

“Tapi aku ingin untuk tetap di sini!”

“Tempat ini jauh dari apartemenku—apartemen kita!”

“Aku tetap mau!”

“Jangan gegabah, Pearl! Harusnya kamu—”

“Cara kami untuk merekrut para karyawan pun berbeda, yaitu dengan menguji kesigapan juga kepedulian mereka. Dan Pearl lulus dengan sangat mulus, kenyataan itu sangat jarang terjadi.”

“Dengan menggunakan jerami?”

“Kenapa? Apa itu melanggar hukum?” Alaric menggeleng. “Lalu kenapa kau tak membiarkannya bekerja di sini? Bukannya keputusan ‘iya’ atau ‘tidak’ ada padanya?”

Pearl mengangguk cepat, terlihat amat-sangat antusias. “Yaaa? Kau hanya harus mengiyakannya!” seru Pearl sembari terus menarik-narik tangan Alaric sekuat tenaga. Memaksanya untuk kembali berdiri di sampingnya. 

“Ya? Aku janji aku ak—“

“Oke, iya!” Alaric pusing, ia tahu Pearl akan jadi semakin bising jika ia tak mengiyakannya segera. “Kau boleh bekerja di sini.”

“Sungg—”

“Tapi itu tanggung jawabmu untuk pergi kemari, aku tak mau mengantarmu setiap hari.”

“BAIK, SETUJU!”

Pearl melompat kegirangan, sama cerianya dengan Alisha yang melebarkan senyuman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status