Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.
âAstaga ... Pearl?!â
đ„
Netra yang berbinar itu tak kunjung berpaling. Justru gadis dengan tingkah acak itu bangkit dari tempatnya, mendekati sebuah penginapan yang dia lihat dari kejauhanâdari titik ia berada. Nekat untuk mendatanginya segera.
Lengannya mendorong pintu kaca pada muka, membukanya, dan melangkah masuk tanpa kata. Pemandangan yang kali pertama menyapa adalah para tamu yang terlena akan aktivitas mereka. Suasana di sana membuatnya tersenyum manis tanpa alasan nyata. Ia hanya merasa bahagia secara tiba-tiba.
Entah mendengar senandika atau bagaimana, Pearl melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong panjang yang didominasi oleh corak kecokelatan. Estetik, kata yang bisa tergambarkan. Netranya pun kembali berbinar ketika mendapati lampu cantik yang menggantung pada langit-langit. Minimnya benda di sana yang diatur sedemikian rupa membuat gadis itu tak jemu untuk memalingkan muka; justru ia masih terpesona.
Meski begitu, ia tahu ia harus lekas keluar dari sana. Alaric pasti menanti dan menanyakan di mana keberadaannya. Ia hanya sadar diri dan tak ingin lelaki itu kewalahan untuk mencarinya ke mana-mana.
Namun, mendadak saja satu figur menyembul dari balik pintu kaca buram; dengan dua tumpuk jerami pada dekapan. Entah mengapa Pearl tertarik untuk memandang sosok berjilbab merah muda itu yang tengah melangkah ke arahnya. Terlebih kala menyadari mulut sosok itu terus menggerutu tanpa jeda.
Ingin hati Pearl membantunya, menawarkan bantuan; tetapi lagi-lagi sesuatu memaksanya untuk cepat-cepat kembali pada tempat sebelumnyaâstan kelapa muda.
Baru saja ia berbalik dan bermaksud untuk melangkah maju, suara seruan mendadak menyapa rungu. Spontan saja dengan gesit Pearl membalikkan badan, pun gegas berhamburan ke sosok tadi kala sadar bahwa jerami tadi terlempar ke udara.
Happ
Entah ini keberuntungan atau apa, jerami itu jatuh pada telempap Pearl dengan mudahnya. Suasana pun mendadak hening tanpa suara; bersama satu sosok yang terkapar tak berdaya dengan sepatu haknya yang patah paripurna.
đ„
Lelaki itu berputar di tempatnya. Matanya jelalatan mencari keberadaan sang gadis dengan sarat akan kekhawatiran. Sudahâdia sudah melewati stan kelapa muda tadi, hanya saja tak lagi terdapat satu pelanggan pun di sana.
âCk, harus dengan apa aku menghubunginya?â desis Alaric. Memeriksa ponselnya dengan tergesa-gesa, yang barangkali bisaâck, bisa apa ia?!
SIAL!
Mendadak, satu lengking nyaring menyapa rungu Alaric yang kemerahanâtanda tak terelakkan bila tengah dilanda keresahan yang berlebihan. Merasa tak asing oleh pekikan mersik itu, lekas saja ia memutar tubuhnya; yang tahu-tahu dihantam mundur dan didekap kendur.
Gadis yang memeluknya itu melompat-lompat sesekali, masih berseru. Teramat bertentangan dengan Alaric yang membeku serta berupaya mencerna yang tengah berlaku.
âAkhirnya, Ric!â
âAkhirnya?â
âAkhirnya aku diterimaa!â
âDiterima?â
âAKU KERJA DI RESORT IMPIAN, RIC! AKU PUNYA PEKERJAAN!â
Alaric menurunkan pandangannya, memandangi Pearl yang tersenyum manis. Malar-malar gadis satu itu mengeratkan dekapannya pada sang lelaki yang membelalakâkuatnya rangkulan Pearl membuat dadanya terasa sesak.
âB-bagaimana bis ... uhuk, uhuk!â
Akhirnya Pearl sudi untuk melepas dekapannya, Alaric pun bisa bernapas leluasa.
âBagaimana bisa?â tanyanya kemudian.
âJelas dan tentu bisa! Bukannya aku ini cantik?â Pearl menyombongkan dirinya. Sedikit mencondongkan iras pada Alaricâyang jelas lekas menghempaskannya.
âJangan konyol, aku ini bersungguh-sungguh!â
âSiapa yang bercanda di sini?!â Pearl meresan. Menganjurkan bibir dan membuat alisnya bertaut temuâmimiknya kini tampak menggemaskan.
âSiapa orang gila yang menerimamu begitu saja?â
âKak Alisha!â seru gadis itu dengan riangnya.
Skeptis, sang lelaki mengerutkan glabela miliknya. Sedikit mendongak untuk memandangi resort dengan cokelat sebagai warna dasar, yang kentara mewah tetapi sederhana di saat yang sama.
âKenapa wajah kau seperti itu?â tanya gadis itu.
Kini Pearl yang teramat sangsi padanya. Pasalnya, Alaric tak kunjung memberi respons nyata akan warta yang ia sampaikan penuh suka cita. Sia-sia, bukan, bila Alaric malah bertanya sebagai tanggapan perdana? Pun pertanyaan itu seolah mencelanya.
âBuat aku percaya.â
âMaksudnya?â
âBerikan aku bukti di depan mata.â
Pearl merotasikan bola matanya, tetapi tetap saja ia mengiyakannya.
âOh, iya! Jelas.â Perempuan dengan jilbab merah muda itu terkekeh sekejap mata. âPearl telah jadi pegawai tetap di penginapan ini. Dia cantik dan cekatan, itu memenuhi kriteria kami.â
âKriteria?â Alis Alaric bertaut temu. âHanya itu persyaratannya?â
âYA, tentu saja!â
Jangan salahkan Alaric bila ia curiga. Sebab, pekerjaan apa yang persyaratannya mencangkup dua hal saja? Tanpa membutuhkan CV, summary, atau data-data? Yang benar saja!
âSebagai?â
Alisha, perempuan tadi tersenyum simpul. Terkekeh lagi dengan senyuman yang sedikit berlebihan. âOffice girl.â
Gelak tawa meruak di udara, menyebabkan Pearl merotasikan bola netra. Alaric sibuk meneruskan tawa sinisnya, puas untuk mengejek gadis yang adalah sahabatnya.
âKenapa tertawa? Pearl sempurna, loh, untuk pekerjaan itu!â
âKarena wajah dia setara dengan kain pel?â Alaric berusaha menerka, tetapi Pearl membalasnya dengan pukulan tepat di kepala.
âProgram tempat ini memang begitu, kami menjunjung tinggi privasiâjadi para karyawan boleh untuk tidak mengungkap data pribadinya. Tanggal lahir dan nama orang tua itu data pribadi, bukan?â Mata Alaric dan Pearl bertemu sapa, tetapi tak merespons Alisha dengan apa-apa. âIntinya, kami tak memaksa untuk tahu siapa kalian sebenarnya, yang utama hanya kalian bertanggung jawab dalam bekerja.â
âBagaimana jadinya jika salah satu karyawan kalian itu bodoh atau mantan kriminal? Atau justru berniat jahat?â
Alisha menaikkan kedua pundaknya. âTanyakan saja pada bos saya! Saya tak pernah memikirkan pertanyaan itu sebelumnya.â
Alaric menaikkan satu alisnya, terkejut tapi tak bisa mengatakan apa-apa.
âLagi pula, memang ada O.G. yang diberi soal matematika sebelum bekerja? Atau harus menakar kandungan gula juga kafein dalam segelas kopi setiap harinya?â Alisha mengembuskan napasnya. âKami hanya butuh mereka untuk membersihkan penginapan ini dengan bagian yang merata.â
Pearl menganggukkan kepala, tetapi Alaric masih enggan untuk putus kata.
âApa tempat ini bisa dipercaya?â
âJelas saja!â ujar Alisha. âKalian bisa lihat review penginapan ini pada g****e atau platform yang mendukung. Yadaâs Resort. Atau tanyakan saja pada penduduk sekitar, mereka tahu karena sering meninjau.â
âEuhm ... lantas untuk pendapatannya dalam sebulan?â
Pearl mendelik, mencekal lengan Alaric dengan harapan lelaki itu bungkam seketika. Ia pun lekas berbisik, âAlaric! Kenapa kau ini lancang sekali, hah? Kau harusnya sungkan unââ
âTigaââ Alaric memalingkan muka, menyeringai sebagai tanda kemenangan. ââtiga puluh juta.â
âEH? S-sungguh, kak?â Ini Pearl yang bertanya.
âYaa. Kami tak keberatan untuk membayar setiap pegawai kami dengan biaya sebanyak itu. Karena jika penginapannya dirawat dan mendapat perlakuan yang baik sedemikian rupa, para pegawainya juga harus sama. Salah satu member Waxx, Magma yang mendunia pun sampai sudi untuk menyewa salah satu kamar di penginapan kami. Maka, kenapa tidak untuk menyejahterakan para karyawan?â
âApa hubungannya dengan lelaki sombong itu?â desis Alaric tak suka. âDia hanya besar kepala. Ayolah, Pearlâlebih baik kita mencari tempat lain saja. O.G. bukan pekerjaan yang pantas untukmu.â
Alaric menarik lengan sang wanodya, tetapi Pearl bersikeras untuk tetap di sana.
âBiarkan aku untuk bekerja di sini!â desis Pearl.
âTidak.â
âKenapa? Bukannya itu bagus? Apa lagi yang kau ragukan?â
âBanyak. Biarkan otakmu bekerja dan berhentilah banyak bertanya!â
âTapi aku ingin untuk tetap di sini!â
âTempat ini jauh dari apartemenkuâapartemen kita!â
âAku tetap mau!â
âJangan gegabah, Pearl! Harusnya kamuââ
âCara kami untuk merekrut para karyawan pun berbeda, yaitu dengan menguji kesigapan juga kepedulian mereka. Dan Pearl lulus dengan sangat mulus, kenyataan itu sangat jarang terjadi.â
âDengan menggunakan jerami?â
âKenapa? Apa itu melanggar hukum?â Alaric menggeleng. âLalu kenapa kau tak membiarkannya bekerja di sini? Bukannya keputusan âiyaâ atau âtidakâ ada padanya?â
Pearl mengangguk cepat, terlihat amat-sangat antusias. âYaaa? Kau hanya harus mengiyakannya!â seru Pearl sembari terus menarik-narik tangan Alaric sekuat tenaga. Memaksanya untuk kembali berdiri di sampingnya.
âYa? Aku janji aku akââ
âOke, iya!â Alaric pusing, ia tahu Pearl akan jadi semakin bising jika ia tak mengiyakannya segera. âKau boleh bekerja di sini.â
âSunggââ
âTapi itu tanggung jawabmu untuk pergi kemari, aku tak mau mengantarmu setiap hari.â
âBAIK, SETUJU!â
Pearl melompat kegirangan, sama cerianya dengan Alisha yang melebarkan senyuman.
"Jujur saja, kau menerima pekerjaan itu karena penginapan tadi pernah menampung Magmaâidol yang membuatmu tergila-gila itu, bukan?" seru Alaric seraya membanting pintu mobil di sandingnya. Ia melangkah pergi dengan cepatnya, meninggalkan Pearl yang masih berusaha mencerna. "Eâyaa, itu salah satu alasannya. Tapiâ" "Sudah kuduga. Kau memang tak pernah berubah. Kau bodoh dan berpikir dengan jangka pendek saja, sama seperti enam tahun lalu. Kau masih dan selalu manja. Tidakkah kau sadar jika itu menyebalkan?" Pearl melangah, tetapi tungkainya terus membuntuti langkah Alaric yang tergesa. Namun seolah tak peduli, lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan Pearl yang tengah berusaha menyusul dirinya; meninggalkan area parkiran apartemen mereka. "Memang apa salahnya menggemari orang yang sama bertahun-tahun?" tanya Pearl dengan napas tersengal. "Tak ada yang salah." Alaric meliri
Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnyaâsebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. âSusu. Ya, susu.â Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tanganâmembuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. âPEARL? Kau terlambat dari waktu yanââ Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter
âAku tahu, kau pasti masih mencintaiku.â Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, âTahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?â âA-aku ... ada orang di mobilââ âApa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!â âAlaric! Dengar dulu,â sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinyaâdi samping rem kaki juga gas di bawah sana. âPearl? Pearl?â Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. âKau mendengarkanku, âkan?â Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn
Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam âsinggasanaânya. âBegini Tuan Yadââ âLangsung saja ke intinya,â potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. âMenurut data yang telah ada, Yadaâs Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikââ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. ââtapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaââ âKenapa kalian harus pa
Selalu sama setiap malamnyaâlebih tepatnya empat malam iniâPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika âmeminjamâ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaâjadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaâberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. âKenapa?â Pearl menggeleng, membuka
âTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....â Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaâkaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaâmemaksa ora
“Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu
“Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb