Share

EMPAT

Penulis: Aneylarevaa_
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-21 20:33:52

Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.

“Astaga ... Pearl?!”

đŸ„‚

Netra yang berbinar itu tak kunjung berpaling. Justru gadis dengan tingkah acak itu bangkit dari tempatnya, mendekati sebuah penginapan yang dia lihat dari kejauhan—dari titik ia berada. Nekat untuk mendatanginya segera.

Lengannya mendorong pintu kaca pada muka, membukanya, dan melangkah masuk tanpa kata. Pemandangan yang kali pertama menyapa adalah para tamu yang terlena akan aktivitas mereka. Suasana di sana membuatnya tersenyum manis tanpa alasan nyata. Ia hanya merasa bahagia secara tiba-tiba.

Entah mendengar senandika atau bagaimana, Pearl melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong panjang yang didominasi oleh corak kecokelatan. Estetik, kata yang bisa tergambarkan. Netranya pun kembali berbinar ketika mendapati lampu cantik yang menggantung pada langit-langit. Minimnya benda di sana yang diatur sedemikian rupa membuat gadis itu tak jemu untuk memalingkan muka; justru ia masih terpesona.

Meski begitu, ia tahu ia harus lekas keluar dari sana. Alaric pasti menanti dan menanyakan di mana keberadaannya. Ia hanya sadar diri dan tak ingin lelaki itu kewalahan untuk mencarinya ke mana-mana.

Namun, mendadak saja satu figur menyembul dari balik pintu kaca buram; dengan dua tumpuk jerami pada dekapan. Entah mengapa Pearl tertarik untuk memandang sosok berjilbab merah muda itu yang tengah melangkah ke arahnya. Terlebih kala menyadari mulut sosok itu terus menggerutu tanpa jeda.

Ingin hati Pearl membantunya, menawarkan bantuan; tetapi lagi-lagi sesuatu memaksanya untuk cepat-cepat kembali pada tempat sebelumnya—stan kelapa muda.

Baru saja ia berbalik dan bermaksud untuk melangkah maju, suara seruan mendadak menyapa rungu. Spontan saja dengan gesit Pearl membalikkan badan, pun gegas berhamburan ke sosok tadi kala sadar bahwa jerami tadi terlempar ke udara.

Happ

Entah ini keberuntungan atau apa, jerami itu jatuh pada telempap Pearl dengan mudahnya. Suasana pun mendadak hening tanpa suara; bersama satu sosok yang terkapar tak berdaya dengan sepatu haknya yang patah paripurna.

đŸ„‚

Lelaki itu berputar di tempatnya. Matanya jelalatan mencari keberadaan sang gadis dengan sarat akan kekhawatiran. Sudah—dia sudah melewati stan kelapa muda tadi, hanya saja tak lagi terdapat satu pelanggan pun di sana.

“Ck, harus dengan apa aku menghubunginya?” desis Alaric. Memeriksa ponselnya dengan tergesa-gesa, yang barangkali bisa—ck, bisa apa ia?!

SIAL!

Mendadak, satu lengking nyaring menyapa rungu Alaric yang kemerahan—tanda tak terelakkan bila tengah dilanda keresahan yang berlebihan. Merasa tak asing oleh pekikan mersik itu, lekas saja ia memutar tubuhnya; yang tahu-tahu dihantam mundur dan didekap kendur.

Gadis yang memeluknya itu melompat-lompat sesekali, masih berseru. Teramat bertentangan dengan Alaric yang membeku serta berupaya mencerna yang tengah berlaku.

“Akhirnya, Ric!”

“Akhirnya?”

“Akhirnya aku diterimaa!”

“Diterima?”

“AKU KERJA DI RESORT IMPIAN, RIC! AKU PUNYA PEKERJAAN!”

Alaric menurunkan pandangannya, memandangi Pearl yang tersenyum manis. Malar-malar gadis satu itu mengeratkan dekapannya pada sang lelaki yang membelalak—kuatnya rangkulan Pearl membuat dadanya terasa sesak.

“B-bagaimana bis ... uhuk, uhuk!”

Akhirnya Pearl sudi untuk melepas dekapannya, Alaric pun bisa bernapas leluasa.

“Bagaimana bisa?” tanyanya kemudian.

“Jelas dan tentu bisa! Bukannya aku ini cantik?” Pearl menyombongkan dirinya. Sedikit mencondongkan iras pada Alaric—yang jelas lekas menghempaskannya.

“Jangan konyol, aku ini bersungguh-sungguh!”

“Siapa yang bercanda di sini?!” Pearl meresan. Menganjurkan bibir dan membuat alisnya bertaut temu—mimiknya kini tampak menggemaskan.

“Siapa orang gila yang menerimamu begitu saja?”

“Kak Alisha!” seru gadis itu dengan riangnya.

Skeptis, sang lelaki mengerutkan glabela miliknya. Sedikit mendongak untuk memandangi resort dengan cokelat sebagai warna dasar, yang kentara mewah tetapi sederhana di saat yang sama.

“Kenapa wajah kau seperti itu?” tanya gadis itu.

Kini Pearl yang teramat sangsi padanya. Pasalnya, Alaric tak kunjung memberi respons nyata akan warta yang ia sampaikan penuh suka cita. Sia-sia, bukan, bila Alaric malah bertanya sebagai tanggapan perdana? Pun pertanyaan itu seolah mencelanya.

“Buat aku percaya.”

“Maksudnya?”

“Berikan aku bukti di depan mata.”

Pearl merotasikan bola matanya, tetapi tetap saja ia mengiyakannya.

“Oh, iya! Jelas.” Perempuan dengan jilbab merah muda itu terkekeh sekejap mata. “Pearl telah jadi pegawai tetap di penginapan ini. Dia cantik dan cekatan, itu memenuhi kriteria kami.”

“Kriteria?” Alis Alaric bertaut temu. “Hanya itu persyaratannya?”

“YA, tentu saja!”

Jangan salahkan Alaric bila ia curiga. Sebab, pekerjaan apa yang persyaratannya mencangkup dua hal saja? Tanpa membutuhkan CV, summary, atau data-data? Yang benar saja!

“Sebagai?”

Alisha, perempuan tadi tersenyum simpul. Terkekeh lagi dengan senyuman yang sedikit berlebihan. “Office girl.”

Gelak tawa meruak di udara, menyebabkan Pearl merotasikan bola netra. Alaric sibuk meneruskan tawa sinisnya, puas untuk mengejek gadis yang adalah sahabatnya.

“Kenapa tertawa? Pearl sempurna, loh, untuk pekerjaan itu!”

“Karena wajah dia setara dengan kain pel?” Alaric berusaha menerka, tetapi Pearl membalasnya dengan pukulan tepat di kepala.

“Program tempat ini memang begitu, kami menjunjung tinggi privasi—jadi para karyawan boleh untuk tidak mengungkap data pribadinya. Tanggal lahir dan nama orang tua itu data pribadi, bukan?” Mata Alaric dan Pearl bertemu sapa, tetapi tak merespons Alisha dengan apa-apa. “Intinya, kami tak memaksa untuk tahu siapa kalian sebenarnya, yang utama hanya kalian bertanggung jawab dalam bekerja.”

“Bagaimana jadinya jika salah satu karyawan kalian itu bodoh atau mantan kriminal? Atau justru berniat jahat?”

Alisha menaikkan kedua pundaknya. “Tanyakan saja pada bos saya! Saya tak pernah memikirkan pertanyaan itu sebelumnya.” 

Alaric menaikkan satu alisnya, terkejut tapi tak bisa mengatakan apa-apa.

“Lagi pula, memang ada O.G. yang diberi soal matematika sebelum bekerja? Atau harus menakar kandungan gula juga kafein dalam segelas kopi setiap harinya?” Alisha mengembuskan napasnya. “Kami hanya butuh mereka untuk membersihkan penginapan ini dengan bagian yang merata.”

Pearl menganggukkan kepala, tetapi Alaric masih enggan untuk putus kata.

“Apa tempat ini bisa dipercaya?”

“Jelas saja!” ujar Alisha. “Kalian bisa lihat review penginapan ini pada g****e atau platform yang mendukung. Yada’s Resort. Atau tanyakan saja pada penduduk sekitar, mereka tahu karena sering meninjau.”

“Euhm ... lantas untuk pendapatannya dalam sebulan?”

Pearl mendelik, mencekal lengan Alaric dengan harapan lelaki itu bungkam seketika. Ia pun lekas berbisik, “Alaric! Kenapa kau ini lancang sekali, hah? Kau harusnya sungkan un—”

“Tiga—“ Alaric memalingkan muka, menyeringai sebagai tanda kemenangan. “—tiga puluh juta.”

“EH? S-sungguh, kak?” Ini Pearl yang bertanya.

“Yaa. Kami tak keberatan untuk membayar setiap pegawai kami dengan biaya sebanyak itu. Karena jika penginapannya dirawat dan mendapat perlakuan yang baik sedemikian rupa, para pegawainya juga harus sama. Salah satu member Waxx, Magma yang mendunia pun sampai sudi untuk menyewa salah satu kamar di penginapan kami. Maka, kenapa tidak untuk menyejahterakan para karyawan?”

“Apa hubungannya dengan lelaki sombong itu?” desis Alaric tak suka. “Dia hanya besar kepala. Ayolah, Pearl—lebih baik kita mencari tempat lain saja. O.G. bukan pekerjaan yang pantas untukmu.”

Alaric menarik lengan sang wanodya, tetapi Pearl bersikeras untuk tetap di sana.

“Biarkan aku untuk bekerja di sini!” desis Pearl.

“Tidak.”

“Kenapa? Bukannya itu bagus? Apa lagi yang kau ragukan?”

“Banyak. Biarkan otakmu bekerja dan berhentilah banyak bertanya!”

“Tapi aku ingin untuk tetap di sini!”

“Tempat ini jauh dari apartemenku—apartemen kita!”

“Aku tetap mau!”

“Jangan gegabah, Pearl! Harusnya kamu—”

“Cara kami untuk merekrut para karyawan pun berbeda, yaitu dengan menguji kesigapan juga kepedulian mereka. Dan Pearl lulus dengan sangat mulus, kenyataan itu sangat jarang terjadi.”

“Dengan menggunakan jerami?”

“Kenapa? Apa itu melanggar hukum?” Alaric menggeleng. “Lalu kenapa kau tak membiarkannya bekerja di sini? Bukannya keputusan ‘iya’ atau ‘tidak’ ada padanya?”

Pearl mengangguk cepat, terlihat amat-sangat antusias. “Yaaa? Kau hanya harus mengiyakannya!” seru Pearl sembari terus menarik-narik tangan Alaric sekuat tenaga. Memaksanya untuk kembali berdiri di sampingnya. 

“Ya? Aku janji aku ak—“

“Oke, iya!” Alaric pusing, ia tahu Pearl akan jadi semakin bising jika ia tak mengiyakannya segera. “Kau boleh bekerja di sini.”

“Sungg—”

“Tapi itu tanggung jawabmu untuk pergi kemari, aku tak mau mengantarmu setiap hari.”

“BAIK, SETUJU!”

Pearl melompat kegirangan, sama cerianya dengan Alisha yang melebarkan senyuman.

Bab terkait

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â LIMA

    "Jujur saja, kau menerima pekerjaan itu karena penginapan tadi pernah menampung Magma—idol yang membuatmu tergila-gila itu, bukan?" seru Alaric seraya membanting pintu mobil di sandingnya. Ia melangkah pergi dengan cepatnya, meninggalkan Pearl yang masih berusaha mencerna. "E—yaa, itu salah satu alasannya. Tapi—" "Sudah kuduga. Kau memang tak pernah berubah. Kau bodoh dan berpikir dengan jangka pendek saja, sama seperti enam tahun lalu. Kau masih dan selalu manja. Tidakkah kau sadar jika itu menyebalkan?" Pearl melangah, tetapi tungkainya terus membuntuti langkah Alaric yang tergesa. Namun seolah tak peduli, lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan Pearl yang tengah berusaha menyusul dirinya; meninggalkan area parkiran apartemen mereka. "Memang apa salahnya menggemari orang yang sama bertahun-tahun?" tanya Pearl dengan napas tersengal. "Tak ada yang salah." Alaric meliri

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-21
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â ENAM

    Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnya—sebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. “Susu. Ya, susu.” Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tangan—membuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. “PEARL? Kau terlambat dari waktu yan—” Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TUJUH

    “Aku tahu, kau pasti masih mencintaiku.” Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, “Tahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?” “A-aku ... ada orang di mobil—“ “Apa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!” “Alaric! Dengar dulu,” sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinya—di samping rem kaki juga gas di bawah sana. “Pearl? Pearl?” Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. “Kau mendengarkanku, ‘kan?” Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-04
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DELAPAN

    Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam ‘singgasana’nya. “Begini Tuan Yad—” “Langsung saja ke intinya,” potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. “Menurut data yang telah ada, Yada’s Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baik—“ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. “—tapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karena—“ “Kenapa kalian harus pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-07
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEMBILAN

    Selalu sama setiap malamnya—lebih tepatnya empat malam ini—Pearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika ‘meminjam’ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipinta—jadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknya—berhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. “Kenapa?” Pearl menggeleng, membuka

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEPULUH

    “Tuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....” Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnya—kaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesa—memaksa ora

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEBELAS

    “Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-25
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DUA BELAS

    “Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-28

Bab terbaru

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â EMPAT BELAS

    “Uuu, Pearl. Kenapa aku baru sadar bila kau ini sangat cantik?” Kanna memutar tubuh Pearl kedua kalinya, mengembangkan senyuman manis yang menjadi pemicu tawa bahagia sang wanodya. “Selama ini aku terus melihatmu mengenakan seragam Resort Keeper, kemeja dan celana berbahan drill itu.”Pearl kembali tertawa.“Tapi sesungguhnya ... aku kurang nyaman dengan gaun ini. Terlebih mengingat aku tak mengenakannya dua tahun lebih.”Pearl memainkan kain satin berwarna lilac yang melingkari tubuh bagian bawahnya, menyibakkannya ke sana-kemari. Merasa tak percaya diri. Ia terus meminta pendapat Alaric sebelumnya, hanya saja lelaki itu hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata—“Bagus.”“Apa flat shoes ini cocok? Aku—““Cocok, itu sempurna,” potong Alaric meski tatapannya setia pada layar laptopnya. “Percayalah padaku, Kanna pun akan mengatakan ‘i

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TIGA BELAS

    “Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DUA BELAS

    “Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEBELAS

    “Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEPULUH

    “Tuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....” Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnya—kaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesa—memaksa ora

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEMBILAN

    Selalu sama setiap malamnya—lebih tepatnya empat malam ini—Pearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika ‘meminjam’ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipinta—jadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknya—berhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. “Kenapa?” Pearl menggeleng, membuka

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DELAPAN

    Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam ‘singgasana’nya. “Begini Tuan Yad—” “Langsung saja ke intinya,” potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. “Menurut data yang telah ada, Yada’s Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baik—“ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. “—tapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karena—“ “Kenapa kalian harus pa

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TUJUH

    “Aku tahu, kau pasti masih mencintaiku.” Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, “Tahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?” “A-aku ... ada orang di mobil—“ “Apa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!” “Alaric! Dengar dulu,” sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinya—di samping rem kaki juga gas di bawah sana. “Pearl? Pearl?” Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. “Kau mendengarkanku, ‘kan?” Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â ENAM

    Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnya—sebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. “Susu. Ya, susu.” Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tangan—membuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. “PEARL? Kau terlambat dari waktu yan—” Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status