Share

ENAM

Author: Aneylarevaa_
last update Last Updated: 2021-09-30 02:29:04

Beggh

Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnya—sebelum Alaric kembali meneleponnya.

Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana.

“Susu. Ya, susu.”

Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tangan—membuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya.

“PEARL? Kau terlambat dari waktu yan—”

Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari tergopoh-gopoh membawa berbagai objek yang menciptakan berbagai suara—melekati Alisha yang telah melipat kedua lengan di depan dada. Gadis itu lupa untuk menutup pintu mobilnya. Kesalahan fatal yang tak disadarinya.

“Maaf, Kak, tadi ada sedikit masalah waktu di—”

“Sudah, tak apa. Aku tak akan mempermasalahkannya. Bergegaslah untuk menata semua benda itu ke dalam dapur, sebelum saat makan sore tiba.” Pearl mengangguk, bermaksud untuk segera melangkah memasuki penginapan tersebut. “EH?”

Pearl menghentikan langkahnya, menoleh pada Alisha yang menghadap padanya.

“Jangan buru-buru atau kau akan mengacaukan semuanya. Mengerti?”

Pearl menyengguk takzim, mulai melangkah penuh kewaspadaan. Bahkan ia mengamati objek-objek yang digenggamnya secermat yang ia bisa; memastikan semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Kadang, pekerjaan satu ini memang menyiksanya.

đŸ„‚

“Iaraa ....”

Pintu penginapan nomor 17 itu terbuka sempurna, kausa dari baunya alkohol yang meruak di mana-mana tepat setelahnya.

“Iara.”

Dengan langkah gontai, lelaki itu melangkahkan tungkainya untuk keluar. Menyusuri satu lorong, kemudian sampai pada parkirkan yang kosong melompong. Lapangan luas itu hanya terisi oleh puluhan mobil yang berjajar rapi, tak ada siapa pun manusia di sana selain sang lelaki.

“I-iara ... Iara aku mencintaimu,” racaunya. “Aku mohon kembalilah padaku, apa pun itu aku akan memaafkanmu. Tapi jangan meninggalkanku!” jeritnya kemudian, meski dengan suara yang garau.

Kakinya itu terus membawanya pergi, meski tanpa tujuan yang berarti. Kesadarannya makin menyamar, tendasnya pun terasa pening dari pada mula—membuat langkah yang diambilnya makin tak terkendali.

Hingga, ketika melihat pintu mobil putih yang tak jauh darinya terbuka, lelaki itu segera melangkah mendekatinya. Berniat tertidur di sana sementara, setidaknya untuk menghilangkan rasa pening yang tengah ia rasa. Ia janji itu tak akan lama.

đŸ„‚

“Tunggu ....” Gerakan lengan Pearl yang tengah mengalungkan sabuk pengaman terhenti. “Aku tak tahu bila bir tadi meninggalkan baru semenyengat ini.” Pearl mengendus-endus, menggerakkan kepalanya ke sana-sini, mencari asal bau yang ia hirup sejak kali pertama memasuki mobilnya.

“Ah, terserahlah.”

Tak menghiraukan bau itu, Pearl lekas menyalakan mesin mobilnya; keluar dari kawasan penginapan itu setelahnya. Di tengah perjalanannya yang lumayan tergesa, Pearl menyalakan radio dalam mobil putihnya—yang entah keberuntungan atau apa tengah menyiarkan lagu kesukaannya dari boyband Waxx – Detention. Ia bergumam, mulai terlena ke dalam musiknya, sampai-sampai lupa tengah mengendarai mobil seorang diri tanpa Alaric yang mengawasi.

TIIN!

Tungkai Pearl menginjak rem seketika, membuat mobil tersebut berhenti secara tiba-tiba—kepala gadis itu pun sedikit terbentur setir kemudinya. Sopir angkot yang hampir ia tabrak terus mengumpatinya, sedang ia yang mendengarnya tak merespons dengan apa-apa. Ia takut, jadi ia lebih memilih untuk mengecilkan volume radio dan melanjutkan laju mobilnya—dengan kecepatan yang jauh lebih lambat dari pada mula.

Hingga, saat ketenangan baru saja menyapa, tahu-tahu saja, “Iar—”

AAKHHH!

Pearl melompat dari tempatnya terduduk, memandangi sesosok lelaki yang mulai bangkit dari bawah sana, di sela kursi penumpang dan pengemudi—yang umumnya digunakan untuk meletakkan kaki. Netra Pearl yang menatap jalanan masih mendelik, tangan kanannya merambat ke mana-mana; mencari benda apa saja yang bisa jadi perlindungannya. Namun sayangnya tidak ada, ia tak mempunyai apa-apa di sana.

“Ia ... ra, Iar ... ara. Ak—”

“Kau ini bilang apa?!” jerit Pearl histeria.

Sosok itu mulai terduduk di kursi penumpang dengan tubuh yang gayang—meski kepalanya masih terarah dan menunduk pada permukaan, sementara Pearl makin menjauhkan tubuhnya dari sosok itu—berusaha tenang. Akan tetapi tak sedikit pun ia berpikir untuk menghentikan mobil, keluar, dan meminta bantuan. Ia memang sukar menjadi solusi di tengah suasana rusuh hati.

“Aahh, kumohon jangan menggangguku!” rengek Pearl. “Aku hanya gad—“

“Aku janji akan membuatmu jauh lebih bahagia. Aku janji akan meluangkan lebih banyak waktu untukmu, jadi, kembalilah padaku. Aku mohon padamu!”

Netra gadis itu terbelalak sempurna, mulutnya bahkan tak tahu harus mengatakan apa.

“Kau ... kau mendengarkanku, bukan?” Masih dalam keadaan mabuk—tetapi Pearl tak menyadari—lelaki itu menggapai lengan sang wanodya, membuat Pearl refleks menghentikan mobilnya dan menjerit membabi buta. “Aku tahu, kau pasti masih mencintaiku.” Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya.

“Kau ini milikku,” racaunya. “dan selamanya akan selalu begitu.”

Mendengar apa yang disampaikan sosok yang sama, Pearl tak kuasa untuk menahan senyumannya—tenggelam dalam dunia fantasinya. Padahal baru saja beberapa detik sebelumnya ia menjerit dan memohon agar bisa ‘terbebas’ darinya. Pasalnya, sosok di hadapannya ini—yang entah kebetulan atau bagaimana—benar-benar serupa dengan orang yang dicintainya sejak di bangku SMA, yang menjadi semangat hidupnya selama ini, yang ingin ia gemari sampai akhir hayat nanti. Ya, kalian tak salah lagi! Lelaki di hadapannya ini sangat mirip dengan idola tak tergantikannya, Magma Vikrama.

Related chapters

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TUJUH

    “Aku tahu, kau pasti masih mencintaiku.” Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, “Tahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?” “A-aku ... ada orang di mobil—“ “Apa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!” “Alaric! Dengar dulu,” sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinya—di samping rem kaki juga gas di bawah sana. “Pearl? Pearl?” Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. “Kau mendengarkanku, ‘kan?” Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn

    Last Updated : 2021-10-04
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DELAPAN

    Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam ‘singgasana’nya. “Begini Tuan Yad—” “Langsung saja ke intinya,” potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. “Menurut data yang telah ada, Yada’s Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baik—“ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. “—tapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karena—“ “Kenapa kalian harus pa

    Last Updated : 2021-10-07
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEMBILAN

    Selalu sama setiap malamnya—lebih tepatnya empat malam ini—Pearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika ‘meminjam’ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipinta—jadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknya—berhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. “Kenapa?” Pearl menggeleng, membuka

    Last Updated : 2021-10-09
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEPULUH

    “Tuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....” Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnya—kaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesa—memaksa ora

    Last Updated : 2021-10-14
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEBELAS

    “Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu

    Last Updated : 2021-10-25
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DUA BELAS

    “Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb

    Last Updated : 2021-10-28
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TIGA BELAS

    “Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se

    Last Updated : 2021-11-11
  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â EMPAT BELAS

    “Uuu, Pearl. Kenapa aku baru sadar bila kau ini sangat cantik?” Kanna memutar tubuh Pearl kedua kalinya, mengembangkan senyuman manis yang menjadi pemicu tawa bahagia sang wanodya. “Selama ini aku terus melihatmu mengenakan seragam Resort Keeper, kemeja dan celana berbahan drill itu.”Pearl kembali tertawa.“Tapi sesungguhnya ... aku kurang nyaman dengan gaun ini. Terlebih mengingat aku tak mengenakannya dua tahun lebih.”Pearl memainkan kain satin berwarna lilac yang melingkari tubuh bagian bawahnya, menyibakkannya ke sana-kemari. Merasa tak percaya diri. Ia terus meminta pendapat Alaric sebelumnya, hanya saja lelaki itu hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata—“Bagus.”“Apa flat shoes ini cocok? Aku—““Cocok, itu sempurna,” potong Alaric meski tatapannya setia pada layar laptopnya. “Percayalah padaku, Kanna pun akan mengatakan ‘i

    Last Updated : 2021-11-20

Latest chapter

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â EMPAT BELAS

    “Uuu, Pearl. Kenapa aku baru sadar bila kau ini sangat cantik?” Kanna memutar tubuh Pearl kedua kalinya, mengembangkan senyuman manis yang menjadi pemicu tawa bahagia sang wanodya. “Selama ini aku terus melihatmu mengenakan seragam Resort Keeper, kemeja dan celana berbahan drill itu.”Pearl kembali tertawa.“Tapi sesungguhnya ... aku kurang nyaman dengan gaun ini. Terlebih mengingat aku tak mengenakannya dua tahun lebih.”Pearl memainkan kain satin berwarna lilac yang melingkari tubuh bagian bawahnya, menyibakkannya ke sana-kemari. Merasa tak percaya diri. Ia terus meminta pendapat Alaric sebelumnya, hanya saja lelaki itu hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata—“Bagus.”“Apa flat shoes ini cocok? Aku—““Cocok, itu sempurna,” potong Alaric meski tatapannya setia pada layar laptopnya. “Percayalah padaku, Kanna pun akan mengatakan ‘i

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TIGA BELAS

    “Hmh!”Pearl menyodorkan benda mungil pipih ke hadapan Alaric yang tengah memangku laptopnya, menonton salah satu video dari TED dengan tanpa ekspresi atau suara. Melihat kartu keemasan yang Pearl genggam, Alaric lekas menghentikan laju video itu.“Pembayaran utang bulan ini,” terang Pearl seraya menggosok rambut basahnya dengan handuk. Suasana sedingin ini selalu Pearl manfaatkan untuk mencuci rambut serta mandi—satu-satunya hal yang ia suka dari hujan. Karena selebihnya, hujan malah mengembalikan segala kenangan menyakitkan, bukannya membantu melupakan.Alaric menerimanya penuh tanda tanya.“Semua? Bagaimana denganmu? Kau bilang kau ingin membeli sepatu baru?”Pearl tak segera menjawabnya dan terduduk di kursi putar di tengah ruangan.“Aku tak butuh apa-apa. Bisa hidup tenang itu cukup.”Alaric menatap kosong kartu bank di hadapannya, memutuskan mengiyakan saja. “Apa ada se

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DUA BELAS

    “Bagaimana?”Alisha menurunkan kerai tepat di sebelahnya, mencalang sosok yang tengah menyapu permukaan. “Dia baik-baik saja—itu hal baiknya. Hal buruknya, aku merasa sesuatu tengah mengganggu pikirannya, dan ia tidak ceria seperti biasa.”Setelah terdiam cukup lama, suara dari benda pipih itu kembali berujar, “Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkannya.”“Apa seputar utang ratusan jutanya?” Alisha kembali melempar pandangan pada Pearl yang mulai membimbing debu-debu halus ke atas pengki dengan rambut-rambut sapu pada genggaman. Gadis itu terlihat menghela napas berulang-ulang, memunculkan rasa khawatir di hati Alisha secara tiba-tiba.“Kurasa tidak.” Menghela napas, suara bariton itu kembali menyapa rungu Alisha, “Bisakah kau tetap menjaganya sebisamu, Alisha? Aku benar-benar mengkhawatirkannya.”Lepas melepaskan cekalannya pada permukaan kerai—hingga benda itu kemb

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEBELAS

    “Tak kusangka kita akan berpapasan sesering ini kini,” ujar Kanna antusias, yang mencepol rambut cantiknya itu.Melangkah menyusuri koridor, Pearl tersenyum seraya mengangguk. Tangannya ada pada gagang pel yang masih kering. “Baguslah. Karenamu aku tak kesepian lagi kini.”Kanna tersenyum, selagi Pearl memasukkan pel ke dalam ember berisi pewangi. Keduanya terdiam sesaat, fokus pada pekerjaan mereka: Kanna mengelap kaca dengan kanebo ditangannya, sementara Pearl mengepel lantai koridor.Tak betah keheningan, Kanna membuka bibir kemerahannya. “Kau tahu? Kemarin, Bos besar kita sedang berbahagia, jadi dia membuat suatu pesta di akhir bulan ini. Sayangnya, hanya beberapa orang atau karyawan saja yang bisa hadir di sana.”Kanna memeras kanebo di tangannya, setelah mencelupkannya ke dalam ember yang sama. Ucapan itu sukses mencuri perhatian Pearl yang kini menyimaknya dengan saksama.“Ahh, kuharap aku bisa mencu

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEPULUH

    “Tuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....” Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnya—kaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesa—memaksa ora

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â SEMBILAN

    Selalu sama setiap malamnya—lebih tepatnya empat malam ini—Pearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika ‘meminjam’ dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipinta—jadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknya—berhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. “Kenapa?” Pearl menggeleng, membuka

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â DELAPAN

    Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam ‘singgasana’nya. “Begini Tuan Yad—” “Langsung saja ke intinya,” potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. “Menurut data yang telah ada, Yada’s Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baik—“ Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. “—tapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karena—“ “Kenapa kalian harus pa

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â TUJUH

    “Aku tahu, kau pasti masih mencintaiku.” Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, “Tahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?” “A-aku ... ada orang di mobil—“ “Apa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!” “Alaric! Dengar dulu,” sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinya—di samping rem kaki juga gas di bawah sana. “Pearl? Pearl?” Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. “Kau mendengarkanku, ‘kan?” Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn

  • Can I Call You Mine? đŸ„‚Â Â Â ENAM

    Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnya—sebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. “Susu. Ya, susu.” Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tangan—membuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. “PEARL? Kau terlambat dari waktu yan—” Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter

DMCA.com Protection Status