āHishhh!ā
Gadis itu melontar kaleng minuman terakhir. Mendekap tas yang seharusnya ia sandang. Namun sayangnya, kedua pundaknya terlalu penat untuk membawa. Jadi berakhirlah ia di sini, di pinggir jalan dengan merangkul semua bebannya: beban benda maupun hidup.
Sungguh, ia tak menyangka kedua orang tuanya setega itu untuk membuatnya menanggung utang yang mungkin tak terhitung lagi jumlahnya. Euhm yaa, itu hanya hiperbola. Karena sesungguhnya, utang yang harus dibayarnya sebanyak setengah miliyar saja. Saja. Sekali lagiāsaja.
"Ish ... lapar."
Ia meraba perut ratanya. Meringis lirih. Ia tahuātahu betul jika lambungnya butuh banyak nutrisi juga karbohidrat; singkatnya perlu terisi lantaran lapar. Hanya, harus makan apa dia? Untuk beli makanan saja ia harus berpikir ratusan kali, bagaimana untuk menyewa sebuah apartemen? Kos murahan saja tidak akan bisa.
Sejenak, Pearl mengeluarkan dua lembaran uang berwarna merah dalam sakunyaāsatu-satunya harta yang kini ia punya. Ia bingung, ia tak tahu harus melakukan apa. Kini, dia mengumpati diri sendiri karena menempatkan diri dalam lingkup pertemanan yang melantarkan kesengsaraan. Andai saja malam itu ia tak menghamburkan uangnya sia-siaākarena Janeā, pasti ia tak akan semenderita ini.
āHhhh, 'menemani sepanjang masa' apanya?ā desisnya. āLihat saja, suatu hari aku akan membalas perbuatan mereka!ā
Tahu-tahu saja, seorang anak kecilāyang usianya sekitar lima atau tujuh tahunāmelangkah tepat di depannya. Memandanginya tajam-tajam dan meringis, lalu berlari seolah baru melihat penampakan yang menyeramkan.
Jelas saja gadis itu mendelik, meraba permukaan wajahnya dengan belingsatan.
āApakah barusan dia mencemoohiku?ā Pearl mendengkus, menjatuhkan kedua lengannya yang terasa pegal. "Ah, lebih baik aku pergi saja."
Pearl bangkit, menggaet tas ransel yang penuh akan baju-baju juga barang penuh kenangan lainnya. Ia melangkah dengan pandangan pada tungkainya yang tak mengenakan alas; dan lagi-lagi mengumpati anjing liar yang membuatnya kehilangan sepasang flat shoes penuh kenangan. Ya, apalagi selain melontarkannya bersama harapan untuk mengusir para anjing itu?
Baru dua menit berselang untuk berjalan santai dengan arah pandangan yang samaāsepasang kakinya yang kumuhātahu-tahu satu celetukan membuatnya tertegun bukan main.
"Gadis Fanatik?!"
Pearl melirik sangsi, memandang sosok yang berpenampilan rapi dengan jaket kulit berwarna hitam pekat juga helm full face-nya. Datang bersama motor besar yang terlihat menawan tetapi sederhana. Entah bagaimana, Pearl bisa tak menyadari kedatangannya.
"Pearl. Kau Pearl Carmina, bukan?"
Dara itu tak bisa berkata-kata. Ia tak bisa mengenali sosok itu, jadi apa yang harus dikatakannya? Masak iya mengucapkan satu persatu nama orang yang ia kenal? Ah, itu terlalu konyol.
"S-siapa?"
Sosok itu lekas menggerakkan kedua lengannya. Melepas helm berkilau itu dan menampakkan raut wajahnyaāyang segera menciptakan pekikan tertahan dari Pearl yang terkejut bukan main.
"Lelaki berdarah dingin?!" Pearl bungkam cukup lama. Tengah berusaha memastikan siapa sosok yang tengah ditatapnya. "Se-sedang apa kau di sini? B-bukannya kau pergi ke Jerman? Apa kaāapa kau diusir dari asramamu, huh?"
"Aku tak tahu kau ini gagap."
Netra cantik itu mendelik sempurna." Heiā"
"Bercanda." Seringai tipis yang terlihat manis tersimpul di bibir merah muda itu. Bahkan warna bibir Alaric lebih cerah daripada Pearl yang tak masih tergagu-gagu. "Bagaimana kabarmu?"
"B-baik!" Pearl menggaruk rambutnya sekilas. "Euhm ... jangan menanyakan alasanku menjadi gelandangan seperti ini. Akuā"
"KAU SEORANG GELANDANGAN?"
Pearl mengumpat lirih, menepuk keningnya dramatis. Sialan, ia malah menjelaskannya tanpa diminta.
"Hei, ada apa? Kukira kau sedang melakukan hal gila lainnya!"
Lagi, Pearl mengumpat.
Memang segila apa dia sampai mengenakan pakaian usang, tak merawat rambut, tak mengenakan alas kaki, dan berjalan kaki mengarungi kota setengah hari lebih? Yang benar saja! Sepertinya lelaki itu turut kehilangan akal sehatnya.
"Aā"
"Sudah. Ceritakan saja pada apartemenku nanti, akuā"
"APA?! Kau menawarkanku tempat tinggal?"
Alaric meringis, sedikit terkejut dengan respons Pearl yang terlampau bahagia. Ingin rasanya ia menyangkalnya, menyampaikan bila sekadar menyuruhnya untuk singgah sebentar saja. Namun melihat penampilan gadis itu yang membuatnya iba, ia rasa itu tak buruk juga untuk membuatnya tinggal di sana. Pun, ia tahu betul siapa Pearl ini; malar-malar lelaki itu tahu siapa nenek moyang gadis tersebut, atau mungkin berapa jumlah surainya tiga tahun silamādi saat terdekat keduanya.
"Iya, bukan, Ric?"
"Y-ya terserah kau. Cepat! Sejam lagi aku ada urusan!"
"Ini kauā"
"Yaa! Aku yakin."
"Betulkah?" Pearl menaikkan satu alisnya skeptis. "Ini tak seperti kauā"
"Terserah jika kau ingin aku berubah pā"
"Ah, oke, oke! Kau ini yang terbaik!"
Tak meragukan apa pun, lekas saja Pearl mengangkat tungkai kanannya. Mendaratkan pantat juga tasnya atas jok kendaraan yang menurutnya megah itu. Berakhir menggantung kedua telapak kaki pada tumpuan di masing-masing sisi.
Senyuman manis terpatri di bibir Pearl yang pecah-pecah. Kebahagiaan ternyata mudah ditemukanāketika ia sedang tak mengharapkan apa pun. Yaa, takdir memang selucu itu. Ia bahkan menemui sahabat lamanya begitu saja, yang untungnya bersedia membantunya.
š„
Ada rotan, ada duriāmungkin peribahasa itu gambarannya kini. Ia kira, ia hanya akan tinggal dengannya, Alaricālelaki dingin yang dapat berubah sesuai suasana hatinya. Dan siapa kira? Rupanya ia tak diterima di kediamannya begitu saja, tetapi Alaric mempekerjakannya! TANPA BAYARAN SEPERTI ROMUSA.
"Ya, teruslah mencomel sampai menara Eifeel ada di Indonesia!" seru Alaric dingin. "Kau pikir ada yang gratis di dunia ini? Bukannya aku sudah membiarkanmu tinggal di sini? Makan? Kamar pribadi?"
"T-tapi ... hei, kita ini sudah mengenal sejak lama! Kenapa kau perhitungan begini denganku?"
"Ayolah, membersihkan seluruh apartemenku setiap hari tak akan membuatmu tersiksa!"
"AKU TERSIKSA!" Pearl memekik memelas. "Kau bahkan menyuruhku menggosok langit-langit! Apa kau ini kehilangan akal sehatmu?" jeritnya. Kembali menggosok plafon dengan menggerutu.
Alaric merotasikan bola netra. Tak menyahutinya.
"Hei, jawab aku Ibu Tiri!" pekik Pearl dari atas tangga jenjang.
"Kebersihan itu menyenangkan!"
"Persetan menyenangkan!" sungut Pearl geram. "Jangan bilang kau akan menyuruhku mencuci air! Menyuruhku menggosok laptopmu, atau mungkin mengilapkan bohlam lampumu!"
"Jangan gila!"
"Hei, kaulah yang gila Ibu Tiri!"
"Lalu kau Pearlella?"
"Diāeh, boleh juga."
"Jika begitu, bersihkanlah semuanya!" tegas Alaric, menciptakan desisan tajam dari bibir Pearl.
Merawak rambang, Pearl mencelupkan kanebo yang dicekalnya ke dalam ember berisi cairan pel. Membasahinya dan mengangkatnya begitu sajaāsungguh tanpa memerasnya. Ia mengaplikasikan kain kasar itu ke permukaan langit-langit, membuatnya basah dan menetes ke permukaan kayu pada dasar ruang tengah itu.
"Hei, jika sampai plafon itu berjamur, aku akan membuatmu menggantikannya!" seru Alaric seraya menunjuk langit-langitnya yang basah seketika atas perbuatan sahabat gilanya.
"Kau tak akan berani!" seru gadis itu. Melempar kanebo ke sembarang arah dengan kilatan pada netranya.
"Ya, aku berani."
Lagi-lagi Pearl mengumpat lirih, lantas segeranya membuang muka. Berlalu ke kamar dan mengurung diri di sana. Meninggalkan Alaric yang tengah menunduk guna memungut kanebo tadi.
Dengan misterius dan mencurigakan, tersungging senyuman tipis dari bibirnya. Lelaki itu terkekeh bahagia.
"Itu bukan salahku, ‘kan?""Mana kutahu," desis Alaric.“Kau ini bagaimana, sih? Katamu kau sudah menjadi Psikolog sekarang! Apa sedaritadi kau tak mendengarkan celotehanku?! Belum lagi sejak hari pertama kau menyuruhku untuk membersihkan seisi rumahmu!" berondong Pearl. "Dasar tak tahu diri!”“Ck, maksudku ....” Alaric menghentikan ucapannya.“Apa? Apa maksudmu sebenarnya?" seru Pearl dengan iras yang berlelehan air mata."Y-yaa ... kau ini terlalu fanatik dan mengikuti kehidupan Magma, idol aneh itu sampai kau tak peduli oleh kehidupanmu sendiri. Perlu kuakui orang tuamu terlalu memanjakanmu. Mereka salah membiarkanmu selalu mendapat apa yang kau mau."Pearl memalingkan muka."Lihatlah sekarang! Anak mereka jadi bodoh, manja, dan seenaknya. Perbaikilah kepribadianmu, lalu aku boleh mengatakan bahwa ini bukan salahmu."
Arkian kembali melanjutkan langkahnya untuk mendapati mobil bercorak biru yang ditabungnya setengah tahun alias penuh perjuangan. Namun itu sebelum suatu ingatan mendadak terbesit di otaknya.“Astaga ... Pearl?!”š„Netra yang berbinar itu tak kunjung berpaling. Justru gadis dengan tingkah acak itu bangkit dari tempatnya, mendekati sebuah penginapan yang dia lihat dari kejauhan—dari titik ia berada. Nekat untuk mendatanginya segera.Lengannya mendorong pintu kaca pada muka, membukanya, dan melangkah masuk tanpa kata. Pemandangan yang kali pertama menyapa adalah para tamu yang terlena akan aktivitas mereka. Suasana di sana membuatnya tersenyum manis tanpa alasan nyata. Ia hanya merasa bahagia secara tiba-tiba.Entah mendengar senandika atau bagaimana, Pearl melanjutkan langkahnya. Memasuki lorong panjang yang didominasi oleh corak kecokelatan. Estetik, kata yang bisa tergambarkan. Netranya pun kembali berbinar ketika mendapati lamp
"Jujur saja, kau menerima pekerjaan itu karena penginapan tadi pernah menampung Magmaāidol yang membuatmu tergila-gila itu, bukan?" seru Alaric seraya membanting pintu mobil di sandingnya. Ia melangkah pergi dengan cepatnya, meninggalkan Pearl yang masih berusaha mencerna. "Eāyaa, itu salah satu alasannya. Tapiā" "Sudah kuduga. Kau memang tak pernah berubah. Kau bodoh dan berpikir dengan jangka pendek saja, sama seperti enam tahun lalu. Kau masih dan selalu manja. Tidakkah kau sadar jika itu menyebalkan?" Pearl melangah, tetapi tungkainya terus membuntuti langkah Alaric yang tergesa. Namun seolah tak peduli, lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Mengabaikan Pearl yang tengah berusaha menyusul dirinya; meninggalkan area parkiran apartemen mereka. "Memang apa salahnya menggemari orang yang sama bertahun-tahun?" tanya Pearl dengan napas tersengal. "Tak ada yang salah." Alaric meliri
Beggh Menutup pintu mobil dengan tungkainya, gadis itu menghela napas. Tersenyum lepas menyelesaikan tugas lainnya; itu artinya ia bisa kembali ke apartemen secepat-cepatnyaāsebelum Alaric kembali meneleponnya. Dengan lengan yang membawa dua tumpukan kotak telur, beberapa botol bir, juga tas belanjaan dalam waktu yang bersamaan; ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun itu sebelum ia mengingat kembali apa yang ditinggalkannya di dalam sana. āSusu. Ya, susu.ā Pearl membalikkan tubuhnya, memaksakan diri untuk mengulurkan satu tanganāmembuka pintu mobil itu setelah beberapa saat berusaha, mengingat terdapat beban lain dalam cekalan. Ketika berhasil, ia segera menggapai dua botol susu dan menyesakkannya di tengah barang-barang yang ia genggam. Di saat itu juga lah, satu seruan menyerukan namanya. āPEARL? Kau terlambat dari waktu yanāā Meringis sesaat, Pearl langsung membalikkan tubuhnya. Berlari ter
āAku tahu, kau pasti masih mencintaiku.ā Lelaki itu menaikkan kepalanya, menampakkan segenap irasnya pada Pearl yang kian membulatkan mulutnya. Meski terpana, Pearl tetap histeria. Ia menggapai ponselnya dengan tangan yang gemetaran, gegas menelepon Alaric untuk mencari bantuan. Alaric memang segera mengangkatnya, hanya saja, āTahukah kau bahwa ini telah terlewat setengah jam dari waktu yang kita janjikan? Apa yang kau lakukan?ā āA-aku ... ada orang di mobilāā āApa pun itu berusahalah untuk tepat waktu. Ini sudah petang!ā āAlaric! Dengar dulu,ā sentak Pearl dengan napas tersengal. Bahkan saking ketakutannya ia, ponsel yang dipegangnya sampai ikut bergetar. Ponsel itu berakhir terjatuh di sebelah kakinyaādi samping rem kaki juga gas di bawah sana. āPearl? Pearl?ā Ponsel berwarna putih itu bergetar, membuat sang gadis makin gentar. āKau mendengarkanku, ākan?ā Dengan peluh yang membasahi pelipis, akhirn
Suara berbagai seruan serupa dengungan lebah berhenti seketika tatkala sesosok pria memasuki ruangan dengan angkuhnya. Sejujurnya bau alkohol masih tercium dari jas ataupun kemeja miliknya, tetapi berhubung dia sosok yang paling berkuasa tak ada yang berani mempermasalahkannya. Dua belas insan itu berdiri tegap, sementara sang pria terduduk dalam āsinggasanaānya. āBegini Tuan Yadāā āLangsung saja ke intinya,ā potongnya. Perempuan berkacamata bulat itu berdehem sejenak, kemudian kembali membaca kertas laporan dalam tangannya. āMenurut data yang telah ada, Yadaās Boutique yang berada di pusat kota mengalami kerugian yang cukup besar lantaran banyaknya butik lain dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang baikāā Melihat tatapan tajam dari sang pria, perempuan itu membenarkan ucapannya. āātapi tak lebih baik dari butik kami tentunya, haha. Kerugian ini mungkin tak begitu kelihatan, tapi bisa dikatakan cukup fatal karenaāā āKenapa kalian harus pa
Selalu sama setiap malamnyaālebih tepatnya empat malam iniāPearl terduduk pada kursi kayu dekat pintu. Menunggu, masih menunggu keajaiban yang ia tunggu. Menunggu sesuatu yang ia mau. Tatapannya kosong, sementara satu tangannya mencekal dompet kulit itu erat-erat. Ia tahu ia licik, ia tahu ini cara yang salah. Namun ia tahu, bila selama soal cinta itu bukan masalah. Ia kira, ketika āmeminjamā dompet itu tanpa sepengetahuan si empunya, maka Lava akan kembali tanpa dipintaājadi ia punya alasan untuk mengenalnya lebih lama. Ia kira ini akan semudah yang ia damba, akan tetapi sebaliknyaāberhubung ini bukan dunia asosiasi apalagi halusinasi. Ting tong! Mendengar suara itu, Pearl cepat-cepat berhamburan ke arah pintu. Membukanya kemudian dengan berbagai bentuk kebahagiaan seperti senyuman. Akan tetapi begitu pintu terbuka lebar, segala rasa itu lenyap seketika. Menyisakan sorotan kecewa pada dua netranya. āKenapa?ā Pearl menggeleng, membuka
āTuan, segala ide yang kau sampaikan memang brilian! Lihat saja, bahkan tokomu masuk dan jadi hastag utama dalam ....ā Lava tak mendengar segala ocehan bawahannya, memalingkan kepala pada kaca jendela tebal di sampingnyaākaca butik miliknya, suatu tanda penghormatan untuk sang Ibunda. Langkah Lava melambat, mengamati satu titik dengan lamat. Di sana, dengan jelas ia melihat sesosok gadis yang memegang satu dasi dengan posisi yang membelakangi. Dasi itu diangkatnya tinggi-tinggi, seolah mengamati segala detail yang terilustrasi. Entah mengapa, tetapi Lava yakin gadis itu tengah tertawa. Setelahnya gadis itu merogoh saku overall-nya, lantas beralih menoleh pada tas mungilnya, kemudian melangkah ke kasir tanpa ayal atau juga terbata-bata. Sorot kesedihan terpancar dalam netra Lava, ketika satu ingatan memaksa masuk ke dalam pikirannya. Menolak untuk mengingat, ia menggeleng berulang lantas mempercepat tarikan langkahnya yang tergesaāmemaksa ora