Beranda / Romansa / Cahaya di Ujung Jalan / Malam Pengkhianatan

Share

Cahaya di Ujung Jalan
Cahaya di Ujung Jalan
Penulis: Fafafe 36

Malam Pengkhianatan

Penulis: Fafafe 36
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 07:31:02

**Bab 1: Malam Pengkhianatan**

Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.

Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam.

Namun, Adam tidak sendiri.

Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membungkuk, mencium bibirnya.

Sarah terpaku. Tubuhnya membeku, sementara dunia di sekelilingnya seolah-olah berhenti. "Tidak mungkin," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Hatinya berdegup kencang, rasa marah, kaget, dan sakit bersatu menjadi satu.

Adam menarik diri dari ciuman itu dan tertawa lagi, seolah tidak ada yang salah. Tapi bagi Sarah, itu adalah penghianatan yang begitu nyata, begitu menusuk.

Tanpa bisa menahan diri lagi, Sarah melangkah maju, suaranya gemetar saat memanggil, "Adam?"

Adam menoleh dengan kaget, matanya membesar saat melihat Sarah berdiri di sana, wajahnya pucat dan terluka. Dia segera melepaskan wanita di sisinya dan mencoba menjelaskan, "Sarah... ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

Sarah tertawa, tetapi itu bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa putus asa yang keluar di tengah tangisannya. "Tidak seperti yang aku pikirkan? Kamu mencium wanita lain, Adam! Apa lagi yang harus aku pikirkan?"

Wanita di samping Adam menatap Sarah dengan sedikit canggung, tetapi Adam mengangkat tangannya seolah ingin meredakan situasi. "Sarah, aku... aku bisa jelaskan..."

"Jelaskan apa?" teriak Sarah, suaranya pecah. Matanya sudah dipenuhi air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Apa yang mau kamu jelaskan? Bahwa kamu menghancurkan hatiku? Bahwa semua yang kita punya itu... tidak berarti apa-apa?"

Adam terdiam, tak bisa berkata-kata. Sarah menatapnya beberapa detik lebih lama, sebelum rasa muaknya mengambil alih. Dengan gemetar, ia berbalik dan berlari menuju pintu keluar. Tangan Adam mencoba meraih, tapi terlambat.

Di luar, udara malam yang dingin menghantam wajah Sarah, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Air mata terus mengalir, sementara pikirannya berkecamuk. Di parkiran, ia hampir tak peduli saat memasuki mobilnya. Tangannya yang gemetar menggenggam setir dengan kuat. Tanpa berpikir panjang, ia menyalakan mesin dan menginjak gas, melaju ke jalanan malam yang gelap dan lengang.

Saat mobilnya melaju kencang, Sarah berteriak, "Kenapa?! Kenapa kamu melakukan ini padaku!"

Tangisnya semakin keras, hampir menyatu dengan suara deru mesin. Jalanan di depannya mulai kabur oleh air mata dan mabuk yang perlahan menguasainya. Di dalam pikirannya, kilasan kenangan tentang Adam mengisi setiap ruang, senyuman manisnya, janjinya, dan semua harapan yang mereka bangun bersama. Semuanya hancur begitu saja dalam sekejap.

"Kenapa aku tidak cukup!" serunya lagi, kali ini lebih pelan, lebih lemah. Sarah menggigit bibirnya untuk menahan isak, tetapi air matanya tak berhenti.

Tiba-tiba, pandangannya buram, dan lampu-lampu jalan mulai menjadi garis-garis panjang yang berpendar. "Astaga..." Sarah berusaha memperlambat mobilnya, tetapi kontrolnya hilang. Sebuah truk besar muncul di tikungan, dan dengan kecepatan penuh, Sarah tidak punya waktu untuk menghindar.

"Braaakk!!"

Dentuman keras mengguncang dunia Sarah. Seketika, segalanya menjadi gelap.

---

Ketika Sarah membuka mata, suara bip mesin dan aroma antiseptik mengisi inderanya. Lampu di atas kepalanya terang menyilaukan. Sekujur tubuhnya terasa sakit, nyeri di mana-mana, seolah setiap gerakan kecil pun menusuk tulang-tulangnya.

"Dimana aku...?" bisiknya, suara seraknya hampir tak terdengar.

Seorang perawat mendekat dengan wajah penuh simpati. "Anda di rumah sakit, Nona Sarah. Anda mengalami kecelakaan."

Sarah terdiam, mengingat kembali apa yang terjadi. Ingatan tentang Adam, tentang pesta, tentang penghianatan itu, menghantamnya lagi dengan kekuatan penuh. Tapi kini, rasa sakit di hatinya bersaing dengan rasa sakit di tubuhnya.

Air matanya mengalir lagi. Bukan hanya karena rasa sakit fisik yang mendera, tapi karena luka di hatinya yang jauh lebih dalam. Luka yang tak bisa diobati oleh dokter mana pun.

"Aku... aku kehilangan segalanya..." gumamnya di antara isak tangis.

Perawat itu menatapnya dengan iba, tak tahu harus berkata apa. Di luar, malam terus berjalan, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tapi bagi Sarah, malam itu adalah awal dari kehidupan yang berbeda, kehidupan tanpa Adam, dan tanpa harapan yang pernah ia percaya.

*****

Hari-hari di rumah sakit berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan bagi Sarah. Fisiknya mungkin perlahan-lahan pulih, tapi luka di hatinya masih menganga, lebih dalam dari apa pun yang bisa disembuhkan oleh obat-obatan. Setiap kali ia menutup mata, bayangan Adam bersama wanita lain kembali menghantui pikirannya.

Suara langkah kaki menggema di koridor rumah sakit. Sarah berbaring lemah di ranjang, menatap jendela yang memperlihatkan langit kelabu di luar. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, terasa suram dan hampa. Ia mendengar pintu kamarnya terbuka perlahan, tapi enggan menoleh. Tidak ada yang penting lagi. Segalanya sudah hancur.

Suara itu mendekat. "Sarah..." Suara yang terdengar akrab tapi kini terasa asing terdengar dari belakangnya. Adam.

Sarah mengepalkan tangannya erat di atas selimutnya, menahan napas, mencoba menahan rasa marah dan sakit yang meluap-luap di dalam dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar serak, dingin, tanpa emosi.

Adam berdiri canggung di samping tempat tidurnya. Dia terlihat kusut, seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. "Aku... aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya pelan, menunduk.

"Baik-baik saja?" Sarah tertawa kecut, pandangannya tetap menatap langit-langit kamar. "Apa kamu serius? Aku hampir mati karena kamu, Adam. Dan sekarang kamu datang ke sini, berpikir semua ini akan baik-baik saja?"

Adam terdiam, tak mampu menjawab. Di bawah tatapan Sarah yang penuh luka, dia tahu permintaan maaf apa pun tidak akan cukup untuk memperbaiki apa yang sudah dia hancurkan.

"Aku... aku benar-benar menyesal, Sarah," gumam Adam, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tahu aku menghancurkan kepercayaanmu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini. Aku masih peduli padamu."

Sarah menoleh untuk pertama kalinya sejak Adam masuk, matanya penuh amarah dan kekecewaan. "Peduli?" bibirnya bergetar menahan marah. "Kamu peduli? Kamu peduli padaku setelah kamu menghancurkan segalanya? Jangan bercanda, Adam. Kamu sudah membuat pilihanmu. Kamu memilih wanita lain, dan aku... aku cuma kecelakaan yang kamu tinggalkan di jalan."

Adam mengerutkan kening, rasa bersalah semakin jelas di wajahnya. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku bingung... aku..." kata-katanya terhenti di tenggorokan, kehilangan arah.

"Tidak, Adam. Kamu tidak bingung. Kamu hanya egois," potong Sarah dingin. Air matanya mulai mengalir, tapi kali ini dia tidak berusaha menahannya. "Aku memberimu segalanya, kepercayaan, cinta... dan kamu malah membuangnya seolah-olah aku ini tak ada artinya."

Adam menghela napas panjang, wajahnya penuh penyesalan. Tapi Sarah tidak bisa lagi melihatnya sebagai orang yang pernah dia cintai. Semua sudah berubah. Dia tidak lagi mengenali laki-laki di depannya.

"Sarah...," Adam mencoba lagi, suaranya putus asa. "Aku benar-benar menyesal..."

"Kamu menyesal?" potong Sarah lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. "Adam, pergi. Aku tidak butuh kamu di sini."

Adam berdiri kaku, seperti ingin membantah. Tapi ketika matanya bertemu dengan pandangan Sarah yang tajam, dia tahu tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dia menunduk pelan, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan kamar itu.

Sarah memejamkan matanya setelah Adam pergi, tubuhnya gemetar karena marah dan sakit yang masih bergejolak di dadanya. Dia tidak tahu berapa lama dia harus bertahan dengan rasa sakit ini, tetapi yang pasti, dia tidak akan pernah membiarkan dirinya terluka lagi seperti ini.

---

Hari mulai berganti, dan tubuh Sarah mulai membaik. Namun, setiap luka yang mengering di kulitnya mengingatkannya pada bekas luka di hatinya yang masih terbuka. Perawat-perawat yang merawatnya bersikap lembut, selalu berusaha membuatnya merasa nyaman, tetapi mereka tidak pernah menyentuh apa yang benar-benar sakit, hatinya yang hancur berkeping-keping.

Bab terkait

  • Cahaya di Ujung Jalan   Dukungan

    Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Langkah Awal Pemulihan

    Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Kembali

    Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Kejadian Konyol

    Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Proses Menghadapi Masa Lalu

    Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Cahaya di Ujung Jalan   Melawan Ketakutan

    Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Cahaya di Ujung Jalan   Kegiatan Baru

    Pagi itu, Sarah berdiri di tengah-tengah studio yoga, mencoba untuk fokus pada instruktur yang mengarahkan mereka ke posisi "tree pose." Ia sedikit canggung, belum terbiasa dengan postur yang mengharuskannya berdiri dengan satu kaki sambil mengangkat kedua tangan. Tapi meski ada rasa canggung, ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam kelas yoga ini."Bayangkan diri kalian sebagai pohon besar yang kuat," ujar instruktur dengan suara lembut, "berakar di tanah, tenang dan kokoh."Sarah mencoba membayangkan dirinya sebagai pohon. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. Dalam beberapa menit, pikirannya mulai tenang, dan ia merasa ringan, seakan masalah yang membebani pikirannya perlahan-lahan lenyap.Namun, ketenangannya buyar saat seseorang di sebelahnya kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menjatuhkan Sarah ke lantai."Astaga, maaf banget!" kata seorang wanita sambil membantu Sarah bangkit. Wanita itu mengenakan legging be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Cahaya di Ujung Jalan   Menggali Makna Hidup

    Setelah kelas yoga yang membawa banyak pencerahan, Sarah merasa hidupnya perlahan mulai berubah. Semakin sering ia bertemu Dokter Fajar, semakin besar rasa penasaran dan kekagumannya pada pria itu. Fajar memiliki kedalaman dan ketenangan yang sulit ditemui pada kebanyakan orang. Suatu sore, ketika ia datang untuk sesi kontrol di klinik, Fajar memberinya rekomendasi yang sederhana tapi terasa berarti baginya."Saya rasa, mungkin buku-buku ini bisa membantu," kata Fajar sambil menyerahkan beberapa buku pada Sarah. Judul-judulnya bervariasi, tentang pencarian makna hidup, kisah hijrah inspiratif, dan beberapa buku tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan.Sarah membaca sampul buku-buku tersebut dengan kagum. "Terima kasih, Dokter. Sungguh, ini sangat berarti buat saya. Kadang saya merasa seperti hilang arah, dan sulit menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup."Fajar tersenyum, tatapannya teduh. "Kita semua pernah merasa begitu, Sarah. Tapi ketika kita mulai mencari dan membuka h

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31

Bab terbaru

  • Cahaya di Ujung Jalan   Cahaya di Ujung Cerita

    Waktu terasa berjalan lambat sejak kejadian malam itu. Sarah masih sering terbangun di tengah malam dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi dahinya. Fajar, yang selalu ada di sampingnya, akan menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan membisikkan kata-kata penenang. Namun, keduanya tahu bahwa selubung ancaman masih menggantung di atas mereka.Hari ini, Sarah duduk di teras rumah sambil memangku salah satu bayi kembarnya, Aisyah. Di dekatnya, Arfan tertidur di bouncer kecil. Mata Sarah terlihat kosong, pikirannya melayang pada sosok Raka, orang yang selama ini berada di balik semua kejadian buruk yang menimpa keluarganya.Fajar keluar dari dalam rumah dengan membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Sarah dan memandang wajah istrinya dengan penuh kasih sayang."Kau harus istirahat, Sayang. Kau tak bisa terus memikirkan hal ini." ujar Fajar sambil menyerahkan secangkir teh.Sarah menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas Fajar. Tapi aku tidak akan merasa tenang samp

  • Cahaya di Ujung Jalan   Kebenaran yang Terungkap

    Bab 58: Kebenaran yang TerungkapMalam itu, Sarah duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar sambil menatap layar ponselnya. Pesan singkat yang masuk beberapa menit lalu terasa seperti palu godam yang menghantam hatinya."Kau pasti tahu sekarang siapa di balik semua ini. Tapi berhati-hatilah, Sarah. Jangan gegabah jika kau ingin keluargamu selamat."Nama pengirim tidak ada, hanya nomor tak dikenal. Namun, Sarah tahu persis siapa yang dimaksud oleh pesan itu. Sebuah nama yang selama ini tak pernah ia duga, Raka, sepupu jauh Fajar, yang selama ini bersikap baik dan ramah di hadapannya.Sarah memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan napas yang tersengal. Ia tak pernah berpikir bahwa orang yang dikenal keluarga mereka dengan baik bisa melakukan hal sekeji ini. Dengan tangan bergetar, ia menggenggam ponsel lebih erat.Fajar yang baru saja pulang dari pertemuan dengan Jo, masuk ke rumah dan langsung melihat wajah pucat istrinya. "Sayang, ada apa? Kau terlihat ketakutan."Sarah menatap

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman

    Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya meski suara tangisan Arfan sesekali memecah keheningan. Sarah duduk di tepi ranjang dengan Arfan dalam gendongannya, wajahnya masih terlihat pucat dan matanya sembab akibat tangisan sepanjang malam. Fajar berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Siapa yang tega melakukan ini pada kita?" suara Sarah lirih namun penuh tuntutan jawaban.Fajar berbalik, matanya bertemu dengan mata istrinya yang penuh kecemasan. Ia mendekat dan duduk di samping Sarah, tangannya menggenggam tangan istrinya erat."Aku tidak bisa memberitahumu detailnya sekarang, Sayang. Tapi yang jelas, ini belum berakhir. Aku sudah membuat kesepakatan dengan mereka demi Arfan," ucap Fajar dengan suara bergetar.Sarah terdiam, napasnya tercekat. "Kesepakatan apa? Kau… kau tidak melakukan sesuatu yang membahayakan, kan?"Fajar menggeleng pelan. "Aku hanya diminta untuk melakukan operasi pada seseorang. Aku tidak tahu

  • Cahaya di Ujung Jalan   Ancaman dibalik Pisau

    Asap masih mengepul di sekitar dermaga tua ketika Fajar terduduk di papan kayu yang mulai retak. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar akibat luka dan kelelahan. Namun, di balik semua itu, satu hal memenuhi pikirannya, Arfan harus ditemukan.Sirene polisi semakin dekat. Beberapa petugas berlari menghampiri lokasi ledakan, namun Fajar sudah bangkit sebelum mereka sempat menanyakan apa pun."Pak, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu polisi."Saya baik-baik saja. Tapi anak saya diculik, dan pelakunya ada di sini!" Fajar berseru dengan nada panik namun tegas.Polisi itu menatap Fajar dengan serius. "Kami akan menyisir area ini. Anda sebaiknya diperiksa di rumah sakit dulu, Pak.""Tidak!" Fajar menepis tangan polisi yang mencoba menahan bahunya. "Waktu saya tidak banyak. Setiap detik yang terbuang bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati untuk anak saya."---Fajar kembali ke mobilnya dengan langkah tergesa. Ponselnya bergetar, Jo menelepon."Jar, aku sudah melacak sinyal terakhir dar

  • Cahaya di Ujung Jalan   Jejak yang Hilang

    Pagi itu, mentari menyinari halaman kecil di belakang rumah Fajar dan Sarah. Kedua bayi kembar mereka, Aisyah dan Arfan, sedang berjemur di bawah sinar matahari pagi di dalam keranjang bayi masing-masing. Sarah duduk di dekat mereka sambil mengawasi dengan senyum lembut di wajahnya."Mbak, aku masuk sebentar ya, ambil jus buat kita," ujar Sarah pada pengasuh bayi mereka, Mbak Rina, yang sedang sibuk melipat selimut di samping keranjang.Mbak Rina mengangguk. "Iya, Bu Sarah, biar saya yang jaga di sini."Sarah bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil jus segar di dapur. Namun, beberapa menit kemudian, suara jeritan Mbak Rina terdengar memecah keheningan."Bu Sarah! Bu Sarah! Arfan hilang! Arfan hilang!"Sarah berlari secepat mungkin ke halaman belakang. Matanya membelalak melihat salah satu keranjang bayi kosong, Arfan tidak ada di sana. Mbak Rina tampak gemetar dan menangis di samping keranjang yang kosong itu."Apa yang terjadi? Di mana Arfan?!" suara Sarah bergetar, matanya mul

  • Cahaya di Ujung Jalan   Momen Manis di Tengah Ketegangan

    Pagi itu, sinar matahari hangat menyinari halaman rumah kecil keluarga Fajar dan Sarah. Suara tawa kecil bayi kembar, Aisyah dan Arfan, memecah keheningan di taman kecil tempat mereka menggelar tikar piknik. Fajar dengan cekatan menyiapkan tempat duduk nyaman untuk Sarah dan memastikan kedua bayi mereka terlindungi dari sinar matahari langsung."Mas, ini pertama kalinya kita piknik lagi sejak bayi-bayi lahir," ujar Sarah sambil merapikan kerudungnya dan tersenyum lembut ke arah suaminya.Fajar mengangguk sambil menuangkan jus jeruk ke gelas kecil untuk Sarah. "Iya, Sayang. Aku pikir kita butuh momen seperti ini. Jauh dari keramaian, hanya kita berempat."Meski senyumnya lebar, Sarah bisa menangkap ada sesuatu di balik mata suaminya, kewaspadaan yang terus-menerus. Fajar selalu melirik ke sekeliling mereka, memastikan tak ada hal mencurigakan yang mendekati keluarga kecilnya."Mari kita nikmati momen ini, Mas. Aku ingin lihat senyum yang benar-benar lega dari kamu," kata Sarah sambil m

  • Cahaya di Ujung Jalan   Syukuran Pemberian Nama

    Matahari pagi menyinari halaman rumah Fajar dan Sarah, yang hari ini dipenuhi dengan dekorasi sederhana dan elegan. Nuansa putih dan emas mendominasi, dengan bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut ruangan. Hari ini adalah momen spesial syukuran pemberian nama untuk bayi kembar mereka. Sarah sibuk memastikan semua persiapan sudah sempurna. Dengan balutan gamis berwarna lembut, ia terlihat anggun meski lingkaran kecil di bawah matanya menandakan kurang tidur karena merawat si kembar. Di sisi lain, Fajar membantu para tamu yang mulai berdatangan dengan senyum ramah. "Sayang, jangan terlalu capek. Duduk dulu, biar aku yang urus sisanya," ujar Fajar lembut sambil memegang bahu Sarah. Sarah tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Mas. Aku cuma ingin memastikan semuanya berjalan lancar." Acara dimulai dengan lantunan doa yang dipimpin oleh seorang ustadz yang dihormati oleh keluarga mereka. Para tamu duduk dengan khidmat, menyimak setiap doa yang dipanjatkan untuk kesehatan dan kebaha

  • Cahaya di Ujung Jalan   Hari yang Penuh Cinta

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar, membiaskan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sarah terbangun lebih dulu dan tersenyum melihat Fajar yang tidur nyenyak di sampingnya. Di antara mereka, dua bayi mungil dengan pipi kemerahan tampak tenang dalam tidurnya.Sarah mengulurkan tangan, membelai pipi Fajar dengan lembut. "Mas… bangun, ayo kita lihat si kembar," bisiknya.Fajar membuka matanya perlahan, kemudian tersenyum melihat wajah istrinya yang begitu tenang. "Selamat pagi, Sayang."Sarah tertawa kecil. "Lihat mereka, Mas. Lucu sekali. Aku masih nggak percaya mereka benar-benar ada di sini."Fajar mendekat ke salah satu bayi dan mengecup keningnya. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidup kita, Sayang. Kamu luar biasa."Hari itu dipenuhi dengan tawa kecil bayi, obrolan ringan, dan kebersamaan yang penuh cinta. Fajar mengambil cuti untuk memastikan dirinya ada di rumah, menemani Sarah dan bayi mereka.Di ruang tengah, Fajar menggendong bayi laki-lakinya sambil berbicara

  • Cahaya di Ujung Jalan   Masa Lalu yang Lain

    Bab 48Suasana pagi di rumah Fajar dan Sarah terasa hangat. Cahaya matahari menembus tirai jendela, memantulkan bayangan lembut di wajah Sarah yang tengah menyusui salah satu bayi kembarnya. Sementara itu, Fajar bersiap untuk pergi menemui Jo, sahabat lamanya yang kini menjadi dosen di kampus."Aku harus pergi sebentar, Sayang. Jo bilang dia punya informasi penting," ujar Fajar sambil membetulkan kerah bajunya.Sarah menatap suaminya dengan penuh khawatir. "Hati-hati ya, Mas. Jangan terlalu memaksakan diri."Fajar mendekati Sarah, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku janji akan berhati-hati. Fokus saja pada bayi kita, jangan pikirkan yang aneh-aneh."Setelah berpamitan, Fajar melesat pergi. Jo sudah menunggu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Pria bertubuh atletis dengan rambut cepak itu menyambut Fajar dengan senyuman tipis."Sudah lama ya, kita nggak duduk bareng begini," ujar Jo sambil menyeruput kopinya.Fajar tersenyum lelah. "Iya, Jo. Tapi kali ini bukan untuk sekadar nostalgi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status