Beranda / Romansa / Cahaya di Ujung Jalan / Malam Pengkhianatan

Share

Cahaya di Ujung Jalan
Cahaya di Ujung Jalan
Penulis: Fafafe 36

Malam Pengkhianatan

Penulis: Fafafe 36
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 07:31:02

**Bab 1: Malam Pengkhianatan**

Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.

Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam.

Namun, Adam tidak sendiri.

Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membungkuk, mencium bibirnya.

Sarah terpaku. Tubuhnya membeku, sementara dunia di sekelilingnya seolah-olah berhenti. "Tidak mungkin," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Hatinya berdegup kencang, rasa marah, kaget, dan sakit bersatu menjadi satu.

Adam menarik diri dari ciuman itu dan tertawa lagi, seolah tidak ada yang salah. Tapi bagi Sarah, itu adalah penghianatan yang begitu nyata, begitu menusuk.

Tanpa bisa menahan diri lagi, Sarah melangkah maju, suaranya gemetar saat memanggil, "Adam?"

Adam menoleh dengan kaget, matanya membesar saat melihat Sarah berdiri di sana, wajahnya pucat dan terluka. Dia segera melepaskan wanita di sisinya dan mencoba menjelaskan, "Sarah... ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

Sarah tertawa, tetapi itu bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa putus asa yang keluar di tengah tangisannya. "Tidak seperti yang aku pikirkan? Kamu mencium wanita lain, Adam! Apa lagi yang harus aku pikirkan?"

Wanita di samping Adam menatap Sarah dengan sedikit canggung, tetapi Adam mengangkat tangannya seolah ingin meredakan situasi. "Sarah, aku... aku bisa jelaskan..."

"Jelaskan apa?" teriak Sarah, suaranya pecah. Matanya sudah dipenuhi air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Apa yang mau kamu jelaskan? Bahwa kamu menghancurkan hatiku? Bahwa semua yang kita punya itu... tidak berarti apa-apa?"

Adam terdiam, tak bisa berkata-kata. Sarah menatapnya beberapa detik lebih lama, sebelum rasa muaknya mengambil alih. Dengan gemetar, ia berbalik dan berlari menuju pintu keluar. Tangan Adam mencoba meraih, tapi terlambat.

Di luar, udara malam yang dingin menghantam wajah Sarah, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Air mata terus mengalir, sementara pikirannya berkecamuk. Di parkiran, ia hampir tak peduli saat memasuki mobilnya. Tangannya yang gemetar menggenggam setir dengan kuat. Tanpa berpikir panjang, ia menyalakan mesin dan menginjak gas, melaju ke jalanan malam yang gelap dan lengang.

Saat mobilnya melaju kencang, Sarah berteriak, "Kenapa?! Kenapa kamu melakukan ini padaku!"

Tangisnya semakin keras, hampir menyatu dengan suara deru mesin. Jalanan di depannya mulai kabur oleh air mata dan mabuk yang perlahan menguasainya. Di dalam pikirannya, kilasan kenangan tentang Adam mengisi setiap ruang, senyuman manisnya, janjinya, dan semua harapan yang mereka bangun bersama. Semuanya hancur begitu saja dalam sekejap.

"Kenapa aku tidak cukup!" serunya lagi, kali ini lebih pelan, lebih lemah. Sarah menggigit bibirnya untuk menahan isak, tetapi air matanya tak berhenti.

Tiba-tiba, pandangannya buram, dan lampu-lampu jalan mulai menjadi garis-garis panjang yang berpendar. "Astaga..." Sarah berusaha memperlambat mobilnya, tetapi kontrolnya hilang. Sebuah truk besar muncul di tikungan, dan dengan kecepatan penuh, Sarah tidak punya waktu untuk menghindar.

"Braaakk!!"

Dentuman keras mengguncang dunia Sarah. Seketika, segalanya menjadi gelap.

---

Ketika Sarah membuka mata, suara bip mesin dan aroma antiseptik mengisi inderanya. Lampu di atas kepalanya terang menyilaukan. Sekujur tubuhnya terasa sakit, nyeri di mana-mana, seolah setiap gerakan kecil pun menusuk tulang-tulangnya.

"Dimana aku...?" bisiknya, suara seraknya hampir tak terdengar.

Seorang perawat mendekat dengan wajah penuh simpati. "Anda di rumah sakit, Nona Sarah. Anda mengalami kecelakaan."

Sarah terdiam, mengingat kembali apa yang terjadi. Ingatan tentang Adam, tentang pesta, tentang penghianatan itu, menghantamnya lagi dengan kekuatan penuh. Tapi kini, rasa sakit di hatinya bersaing dengan rasa sakit di tubuhnya.

Air matanya mengalir lagi. Bukan hanya karena rasa sakit fisik yang mendera, tapi karena luka di hatinya yang jauh lebih dalam. Luka yang tak bisa diobati oleh dokter mana pun.

"Aku... aku kehilangan segalanya..." gumamnya di antara isak tangis.

Perawat itu menatapnya dengan iba, tak tahu harus berkata apa. Di luar, malam terus berjalan, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tapi bagi Sarah, malam itu adalah awal dari kehidupan yang berbeda, kehidupan tanpa Adam, dan tanpa harapan yang pernah ia percaya.

*****

Hari-hari di rumah sakit berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan bagi Sarah. Fisiknya mungkin perlahan-lahan pulih, tapi luka di hatinya masih menganga, lebih dalam dari apa pun yang bisa disembuhkan oleh obat-obatan. Setiap kali ia menutup mata, bayangan Adam bersama wanita lain kembali menghantui pikirannya.

Suara langkah kaki menggema di koridor rumah sakit. Sarah berbaring lemah di ranjang, menatap jendela yang memperlihatkan langit kelabu di luar. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, terasa suram dan hampa. Ia mendengar pintu kamarnya terbuka perlahan, tapi enggan menoleh. Tidak ada yang penting lagi. Segalanya sudah hancur.

Suara itu mendekat. "Sarah..." Suara yang terdengar akrab tapi kini terasa asing terdengar dari belakangnya. Adam.

Sarah mengepalkan tangannya erat di atas selimutnya, menahan napas, mencoba menahan rasa marah dan sakit yang meluap-luap di dalam dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar serak, dingin, tanpa emosi.

Adam berdiri canggung di samping tempat tidurnya. Dia terlihat kusut, seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. "Aku... aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya pelan, menunduk.

"Baik-baik saja?" Sarah tertawa kecut, pandangannya tetap menatap langit-langit kamar. "Apa kamu serius? Aku hampir mati karena kamu, Adam. Dan sekarang kamu datang ke sini, berpikir semua ini akan baik-baik saja?"

Adam terdiam, tak mampu menjawab. Di bawah tatapan Sarah yang penuh luka, dia tahu permintaan maaf apa pun tidak akan cukup untuk memperbaiki apa yang sudah dia hancurkan.

"Aku... aku benar-benar menyesal, Sarah," gumam Adam, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tahu aku menghancurkan kepercayaanmu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini. Aku masih peduli padamu."

Sarah menoleh untuk pertama kalinya sejak Adam masuk, matanya penuh amarah dan kekecewaan. "Peduli?" bibirnya bergetar menahan marah. "Kamu peduli? Kamu peduli padaku setelah kamu menghancurkan segalanya? Jangan bercanda, Adam. Kamu sudah membuat pilihanmu. Kamu memilih wanita lain, dan aku... aku cuma kecelakaan yang kamu tinggalkan di jalan."

Adam mengerutkan kening, rasa bersalah semakin jelas di wajahnya. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku bingung... aku..." kata-katanya terhenti di tenggorokan, kehilangan arah.

"Tidak, Adam. Kamu tidak bingung. Kamu hanya egois," potong Sarah dingin. Air matanya mulai mengalir, tapi kali ini dia tidak berusaha menahannya. "Aku memberimu segalanya, kepercayaan, cinta... dan kamu malah membuangnya seolah-olah aku ini tak ada artinya."

Adam menghela napas panjang, wajahnya penuh penyesalan. Tapi Sarah tidak bisa lagi melihatnya sebagai orang yang pernah dia cintai. Semua sudah berubah. Dia tidak lagi mengenali laki-laki di depannya.

"Sarah...," Adam mencoba lagi, suaranya putus asa. "Aku benar-benar menyesal..."

"Kamu menyesal?" potong Sarah lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. "Adam, pergi. Aku tidak butuh kamu di sini."

Adam berdiri kaku, seperti ingin membantah. Tapi ketika matanya bertemu dengan pandangan Sarah yang tajam, dia tahu tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dia menunduk pelan, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan kamar itu.

Sarah memejamkan matanya setelah Adam pergi, tubuhnya gemetar karena marah dan sakit yang masih bergejolak di dadanya. Dia tidak tahu berapa lama dia harus bertahan dengan rasa sakit ini, tetapi yang pasti, dia tidak akan pernah membiarkan dirinya terluka lagi seperti ini.

---

Hari mulai berganti, dan tubuh Sarah mulai membaik. Namun, setiap luka yang mengering di kulitnya mengingatkannya pada bekas luka di hatinya yang masih terbuka. Perawat-perawat yang merawatnya bersikap lembut, selalu berusaha membuatnya merasa nyaman, tetapi mereka tidak pernah menyentuh apa yang benar-benar sakit, hatinya yang hancur berkeping-keping.

Bab terkait

  • Cahaya di Ujung Jalan   Dukungan

    Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Langkah Awal Pemulihan

    Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Kembali

    Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Kejadian Konyol

    Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • Cahaya di Ujung Jalan   Proses Menghadapi Masa Lalu

    Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Cahaya di Ujung Jalan   Melawan Ketakutan

    Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Cahaya di Ujung Jalan   Kegiatan Baru

    Pagi itu, Sarah berdiri di tengah-tengah studio yoga, mencoba untuk fokus pada instruktur yang mengarahkan mereka ke posisi "tree pose." Ia sedikit canggung, belum terbiasa dengan postur yang mengharuskannya berdiri dengan satu kaki sambil mengangkat kedua tangan. Tapi meski ada rasa canggung, ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam kelas yoga ini."Bayangkan diri kalian sebagai pohon besar yang kuat," ujar instruktur dengan suara lembut, "berakar di tanah, tenang dan kokoh."Sarah mencoba membayangkan dirinya sebagai pohon. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. Dalam beberapa menit, pikirannya mulai tenang, dan ia merasa ringan, seakan masalah yang membebani pikirannya perlahan-lahan lenyap.Namun, ketenangannya buyar saat seseorang di sebelahnya kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menjatuhkan Sarah ke lantai."Astaga, maaf banget!" kata seorang wanita sambil membantu Sarah bangkit. Wanita itu mengenakan legging be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Cahaya di Ujung Jalan   Menggali Makna Hidup

    Setelah kelas yoga yang membawa banyak pencerahan, Sarah merasa hidupnya perlahan mulai berubah. Semakin sering ia bertemu Dokter Fajar, semakin besar rasa penasaran dan kekagumannya pada pria itu. Fajar memiliki kedalaman dan ketenangan yang sulit ditemui pada kebanyakan orang. Suatu sore, ketika ia datang untuk sesi kontrol di klinik, Fajar memberinya rekomendasi yang sederhana tapi terasa berarti baginya."Saya rasa, mungkin buku-buku ini bisa membantu," kata Fajar sambil menyerahkan beberapa buku pada Sarah. Judul-judulnya bervariasi, tentang pencarian makna hidup, kisah hijrah inspiratif, dan beberapa buku tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan.Sarah membaca sampul buku-buku tersebut dengan kagum. "Terima kasih, Dokter. Sungguh, ini sangat berarti buat saya. Kadang saya merasa seperti hilang arah, dan sulit menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup."Fajar tersenyum, tatapannya teduh. "Kita semua pernah merasa begitu, Sarah. Tapi ketika kita mulai mencari dan membuka h

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31

Bab terbaru

  • Cahaya di Ujung Jalan   Hari yang Penuh Cinta

    Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar, membiaskan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sarah terbangun lebih dulu dan tersenyum melihat Fajar yang tidur nyenyak di sampingnya. Di antara mereka, dua bayi mungil dengan pipi kemerahan tampak tenang dalam tidurnya.Sarah mengulurkan tangan, membelai pipi Fajar dengan lembut. "Mas… bangun, ayo kita lihat si kembar," bisiknya.Fajar membuka matanya perlahan, kemudian tersenyum melihat wajah istrinya yang begitu tenang. "Selamat pagi, Sayang."Sarah tertawa kecil. "Lihat mereka, Mas. Lucu sekali. Aku masih nggak percaya mereka benar-benar ada di sini."Fajar mendekat ke salah satu bayi dan mengecup keningnya. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidup kita, Sayang. Kamu luar biasa."Hari itu dipenuhi dengan tawa kecil bayi, obrolan ringan, dan kebersamaan yang penuh cinta. Fajar mengambil cuti untuk memastikan dirinya ada di rumah, menemani Sarah dan bayi mereka.Di ruang tengah, Fajar menggendong bayi laki-lakinya sambil berbicara

  • Cahaya di Ujung Jalan   Masa Lalu yang Lain

    Bab 48Suasana pagi di rumah Fajar dan Sarah terasa hangat. Cahaya matahari menembus tirai jendela, memantulkan bayangan lembut di wajah Sarah yang tengah menyusui salah satu bayi kembarnya. Sementara itu, Fajar bersiap untuk pergi menemui Jo, sahabat lamanya yang kini menjadi dosen di kampus."Aku harus pergi sebentar, Sayang. Jo bilang dia punya informasi penting," ujar Fajar sambil membetulkan kerah bajunya.Sarah menatap suaminya dengan penuh khawatir. "Hati-hati ya, Mas. Jangan terlalu memaksakan diri."Fajar mendekati Sarah, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku janji akan berhati-hati. Fokus saja pada bayi kita, jangan pikirkan yang aneh-aneh."Setelah berpamitan, Fajar melesat pergi. Jo sudah menunggu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Pria bertubuh atletis dengan rambut cepak itu menyambut Fajar dengan senyuman tipis."Sudah lama ya, kita nggak duduk bareng begini," ujar Jo sambil menyeruput kopinya.Fajar tersenyum lelah. "Iya, Jo. Tapi kali ini bukan untuk sekadar nostalgi

  • Cahaya di Ujung Jalan   Detik-detik Menegangkan

    Beberapa bulan telah berlalu sejak pesan misterius terakhir yang diterima Fajar. Kehidupan mereka berjalan penuh kebahagiaan dan persiapan menyambut kelahiran anak kembar mereka. Sarah semakin bersinar dengan perutnya yang membesar, dan Fajar selalu berusaha untuk ada di setiap momen penting istrinya.Pagi itu, mentari baru saja muncul di balik jendela kamar mereka. Sarah, yang masih terbaring di ranjang, tiba-tiba merasakan nyeri hebat di perutnya. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya."Mas Fajar… Aaah… Sakit, sakit sekali…" ucap Sarah dengan suara bergetar, tangannya mencengkeram selimut.Fajar yang sedang merapikan peralatan kerjanya langsung berbalik. Wajahnya seketika tegang melihat kondisi Sarah. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri istrinya dan memegang perut Sarah dengan lembut."Sayang, tarik napas pelan-pelan, ya. Aku akan periksa sekarang." Fajar berusaha tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.Setelah memeriksa Sarah dengan cepat, Fajar menatap

  • Cahaya di Ujung Jalan   Hari-hari Manis

    Pagi itu, Fajar terbangun lebih dulu. Ia memandang Sarah yang masih terlelap dengan wajah damai. Tangannya perlahan membelai rambut istrinya, lalu berhenti di perut Sarah yang mulai terlihat membuncit. Ia tersenyum kecil, merasa tak pernah cukup bersyukur atas anugerah yang Allah berikan dalam hidupnya.Sarah menggeliat pelan, membuka matanya dengan malas. Melihat Fajar yang menatapnya penuh kasih, ia tersenyum tipis. "Mas, udah bangun? Kok nggak bangunin aku?""Aku nggak tega, Sayang. Kamu tidur nyenyak banget, pasti capek," jawab Fajar lembut, lalu mengecup keningnya. "Gimana perutnya? Ada yang nendang pagi ini?"Sarah mengusap perutnya sambil terkikik kecil. "Kayaknya mereka masih tidur, deh. Anak-anak kamu emang sopan banget, Mas."Fajar tertawa kecil. "Tentu dong, anak siapa dulu? Pasti nurun bapaknya."Sarah memutar mata sambil tertawa. "Narsis banget."Hari itu, Fajar memutuskan untuk bekerja dari rumah agar bisa menemani Sarah. Ia tidak mau istrinya kelelahan dan lebih memilih

  • Cahaya di Ujung Jalan   Kejutan Indah

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar, menyinari wajah Sarah yang sedang tertidur pulas. Fajar duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan penuh kasih. Sudah beberapa minggu berlalu sejak kepergian Mira, dan meskipun badai telah berlalu, bayangannya masih menyisakan luka di hati Fajar. Namun, kehadiran Sarah dan calon buah hati mereka menjadi alasan baginya untuk tetap tegar dan melangkah maju.Sarah menggeliat perlahan, matanya terbuka dan langsung bertemu dengan senyuman hangat Fajar. "Kamu dari tadi lihat-lihatin aku, ya?" godanya dengan suara serak karena baru bangun.Fajar terkekeh kecil dan membelai rambut istrinya. "Iya, soalnya ada bidadari cantik di sebelahku, sayang."Sarah tersenyum malu-malu, lalu duduk sambil memegang perutnya yang mulai membesar. "Mas Fajar..." ucapnya lembut."Hm?" Fajar menatapnya serius, tahu istrinya ingin mengatakan sesuatu yang penting."Menurut kamu... kita beneran bisa bahagia sekarang? Setelah semua yang kita lewati?

  • Cahaya di Ujung Jalan   Kepergian Tak Terduga

    Suasana di rumah sakit terasa begitu mencekam. Lampu ruang ICU yang selalu terang benderang seolah tak mampu mengusir gelapnya duka yang melingkupi tempat itu. Beberapa dokter keluar-masuk ruangan dengan raut serius, sementara perawat bergegas dengan langkah berat.Fajar berdiri di dekat mesin monitor, memperhatikan grafik vital Mira yang semakin melemah. Ia tahu, waktu Mira tidak banyak lagi. Meskipun sudah diberikan perawatan terbaik, tubuh Mira tidak merespons pengobatan seperti yang diharapkan.Pak Hendra berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya menggenggam tasbih kecil. Bibirnya komat-kamit melantunkan doa-doa, sementara air mata terus mengalir tanpa henti."Fajar... bagaimana keadaan Mira?" tanyanya dengan suara parau.Fajar menatap pria itu dengan penuh empati, namun sulit baginya untuk mengucapkan kebenaran. "Kami sudah melakukan yang terbaik, Pak. Tapi... Mira sangat lemah."Pak Hendra menatap putrinya yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. "Dia kuat

  • Cahaya di Ujung Jalan   Permohonan Seorang Ayah

    Bab 40: Kabar yang MenggetarkanPagi itu, Fajar baru saja selesai memeriksa salah satu pasien di rumah sakit ketika seorang perawat mendekatinya dengan wajah serius."Dokter Fajar, ada kabar penting," ujar perawat tersebut dengan nada ragu.Fajar mengerutkan kening. "Apa itu? Ada yang terjadi di ruang IGD?"Perawat itu menggeleng. "Bukan, Dok. Ini tentang... Pasien yang baru saja tiba!"Hati Fajar langsung berdegup kencang. "Siapa? Apa ada yang serius?""Seorang wanita mengalami kecelakaan tadi pagi, Dok. Mobilnya menabrak pembatas jalan di kawasan tol. Dia dibawa ke sini dan sekarang sedang dirawat di ICU. Keadaannya kritis."Fajar terdiam, merasakan gelombang emosi bercampur aduk di dadanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Perawat itu melanjutkan dengan hati-hati. "Menurut saksi, perempuan itu mengemudi dengan kecepatan tinggi dan tampak tidak fokus. Polisi menemukan beberapa botol minuman di mobilnya, tapi kami belum tahu apakah itu ada hubungannya dengan kecelakaan."Tanpa berpikir

  • Cahaya di Ujung Jalan   Tamu Tak Terduga

    Sarah berjalan mendekati pintu dengan ragu. Fajar yang berdiri kaku di ambang pintu tampak sedikit tegang, sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya."Mas Fajar?" panggil Sarah lagi, suaranya pelan tapi penuh dengan rasa ingin tahu.Saat ia mendekat, sosok di depan pintu akhirnya terlihat jelas. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih berdiri di sana, mengenakan setelan jas sederhana dan rapi. Wajahnya menunjukkan campuran antara keraguan dan tekad."Siapa ini?" tanya Sarah lembut, berdiri di samping suaminya.Pria itu tersenyum tipis, lalu berkata, "Perkenalkan, saya Pak Hendra... ayah Mira."Mendengar nama itu, Sarah tertegun. Fajar segera melangkah maju, sedikit menutupi istrinya dengan tubuhnya."Pak Hendra, ada yang bisa saya bantu?" tanya Fajar dengan nada datar, tapi jelas berusaha tetap sopan.Pak Hendra menarik napas panjang sebelum menjawab. "Saya ke sini untuk meminta maaf, Dokter Fajar, kepada Anda dan istri Anda. Saya tahu anak saya telah menyebabkan banyak

  • Cahaya di Ujung Jalan   Titik Baru

    Fajar membuka pintu dengan hati-hati. Di depannya berdiri seorang pria paruh baya dengan raut wajah serius dan terlihat gugup. Sarah berdiri di belakang Fajar, mengintip dari balik bahunya."Dokter Fajar?" tanya pria itu dengan suara yang sedikit bergetar."Iya, saya. Anda siapa?" balas Fajar sambil memperhatikan pria itu dengan waspada."Saya Andri, seorang detektif swasta. Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan Anda dan istri Anda, ini sangat penting," ujar pria itu sambil melirik ke arah Sarah.Fajar ragu sejenak, lalu memberi isyarat pada pria itu untuk masuk. Setelah mereka duduk di ruang tamu, Andri membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa dokumen serta foto."Saya sudah lama mengikuti kasus yang menyangkut keluarga Anda, terutama almarhumah Nisa," kata Andri langsung ke pokok permasalahan.Sarah merasa jantungnya berdebar kencang, sementara Fajar memperhatikan dokumen-dokumen itu dengan tatapan penuh tanya."Dulu, saya disewa oleh seseorang untuk menyelidiki latar belakan

DMCA.com Protection Status