**Bab 1: Malam Pengkhianatan**
Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan. Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam. Namun, Adam tidak sendiri. Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membungkuk, mencium bibirnya. Sarah terpaku. Tubuhnya membeku, sementara dunia di sekelilingnya seolah-olah berhenti. "Tidak mungkin," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Hatinya berdegup kencang, rasa marah, kaget, dan sakit bersatu menjadi satu. Adam menarik diri dari ciuman itu dan tertawa lagi, seolah tidak ada yang salah. Tapi bagi Sarah, itu adalah penghianatan yang begitu nyata, begitu menusuk. Tanpa bisa menahan diri lagi, Sarah melangkah maju, suaranya gemetar saat memanggil, "Adam?" Adam menoleh dengan kaget, matanya membesar saat melihat Sarah berdiri di sana, wajahnya pucat dan terluka. Dia segera melepaskan wanita di sisinya dan mencoba menjelaskan, "Sarah... ini tidak seperti yang kamu pikirkan." Sarah tertawa, tetapi itu bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa putus asa yang keluar di tengah tangisannya. "Tidak seperti yang aku pikirkan? Kamu mencium wanita lain, Adam! Apa lagi yang harus aku pikirkan?" Wanita di samping Adam menatap Sarah dengan sedikit canggung, tetapi Adam mengangkat tangannya seolah ingin meredakan situasi. "Sarah, aku... aku bisa jelaskan..." "Jelaskan apa?" teriak Sarah, suaranya pecah. Matanya sudah dipenuhi air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Apa yang mau kamu jelaskan? Bahwa kamu menghancurkan hatiku? Bahwa semua yang kita punya itu... tidak berarti apa-apa?" Adam terdiam, tak bisa berkata-kata. Sarah menatapnya beberapa detik lebih lama, sebelum rasa muaknya mengambil alih. Dengan gemetar, ia berbalik dan berlari menuju pintu keluar. Tangan Adam mencoba meraih, tapi terlambat. Di luar, udara malam yang dingin menghantam wajah Sarah, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Air mata terus mengalir, sementara pikirannya berkecamuk. Di parkiran, ia hampir tak peduli saat memasuki mobilnya. Tangannya yang gemetar menggenggam setir dengan kuat. Tanpa berpikir panjang, ia menyalakan mesin dan menginjak gas, melaju ke jalanan malam yang gelap dan lengang. Saat mobilnya melaju kencang, Sarah berteriak, "Kenapa?! Kenapa kamu melakukan ini padaku!" Tangisnya semakin keras, hampir menyatu dengan suara deru mesin. Jalanan di depannya mulai kabur oleh air mata dan mabuk yang perlahan menguasainya. Di dalam pikirannya, kilasan kenangan tentang Adam mengisi setiap ruang, senyuman manisnya, janjinya, dan semua harapan yang mereka bangun bersama. Semuanya hancur begitu saja dalam sekejap. "Kenapa aku tidak cukup!" serunya lagi, kali ini lebih pelan, lebih lemah. Sarah menggigit bibirnya untuk menahan isak, tetapi air matanya tak berhenti. Tiba-tiba, pandangannya buram, dan lampu-lampu jalan mulai menjadi garis-garis panjang yang berpendar. "Astaga..." Sarah berusaha memperlambat mobilnya, tetapi kontrolnya hilang. Sebuah truk besar muncul di tikungan, dan dengan kecepatan penuh, Sarah tidak punya waktu untuk menghindar. "Braaakk!!" Dentuman keras mengguncang dunia Sarah. Seketika, segalanya menjadi gelap. --- Ketika Sarah membuka mata, suara bip mesin dan aroma antiseptik mengisi inderanya. Lampu di atas kepalanya terang menyilaukan. Sekujur tubuhnya terasa sakit, nyeri di mana-mana, seolah setiap gerakan kecil pun menusuk tulang-tulangnya. "Dimana aku...?" bisiknya, suara seraknya hampir tak terdengar. Seorang perawat mendekat dengan wajah penuh simpati. "Anda di rumah sakit, Nona Sarah. Anda mengalami kecelakaan." Sarah terdiam, mengingat kembali apa yang terjadi. Ingatan tentang Adam, tentang pesta, tentang penghianatan itu, menghantamnya lagi dengan kekuatan penuh. Tapi kini, rasa sakit di hatinya bersaing dengan rasa sakit di tubuhnya. Air matanya mengalir lagi. Bukan hanya karena rasa sakit fisik yang mendera, tapi karena luka di hatinya yang jauh lebih dalam. Luka yang tak bisa diobati oleh dokter mana pun. "Aku... aku kehilangan segalanya..." gumamnya di antara isak tangis. Perawat itu menatapnya dengan iba, tak tahu harus berkata apa. Di luar, malam terus berjalan, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tapi bagi Sarah, malam itu adalah awal dari kehidupan yang berbeda, kehidupan tanpa Adam, dan tanpa harapan yang pernah ia percaya. ***** Hari-hari di rumah sakit berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan bagi Sarah. Fisiknya mungkin perlahan-lahan pulih, tapi luka di hatinya masih menganga, lebih dalam dari apa pun yang bisa disembuhkan oleh obat-obatan. Setiap kali ia menutup mata, bayangan Adam bersama wanita lain kembali menghantui pikirannya. Suara langkah kaki menggema di koridor rumah sakit. Sarah berbaring lemah di ranjang, menatap jendela yang memperlihatkan langit kelabu di luar. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, terasa suram dan hampa. Ia mendengar pintu kamarnya terbuka perlahan, tapi enggan menoleh. Tidak ada yang penting lagi. Segalanya sudah hancur. Suara itu mendekat. "Sarah..." Suara yang terdengar akrab tapi kini terasa asing terdengar dari belakangnya. Adam. Sarah mengepalkan tangannya erat di atas selimutnya, menahan napas, mencoba menahan rasa marah dan sakit yang meluap-luap di dalam dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar serak, dingin, tanpa emosi. Adam berdiri canggung di samping tempat tidurnya. Dia terlihat kusut, seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. "Aku... aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya pelan, menunduk. "Baik-baik saja?" Sarah tertawa kecut, pandangannya tetap menatap langit-langit kamar. "Apa kamu serius? Aku hampir mati karena kamu, Adam. Dan sekarang kamu datang ke sini, berpikir semua ini akan baik-baik saja?" Adam terdiam, tak mampu menjawab. Di bawah tatapan Sarah yang penuh luka, dia tahu permintaan maaf apa pun tidak akan cukup untuk memperbaiki apa yang sudah dia hancurkan. "Aku... aku benar-benar menyesal, Sarah," gumam Adam, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tahu aku menghancurkan kepercayaanmu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini. Aku masih peduli padamu." Sarah menoleh untuk pertama kalinya sejak Adam masuk, matanya penuh amarah dan kekecewaan. "Peduli?" bibirnya bergetar menahan marah. "Kamu peduli? Kamu peduli padaku setelah kamu menghancurkan segalanya? Jangan bercanda, Adam. Kamu sudah membuat pilihanmu. Kamu memilih wanita lain, dan aku... aku cuma kecelakaan yang kamu tinggalkan di jalan." Adam mengerutkan kening, rasa bersalah semakin jelas di wajahnya. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku bingung... aku..." kata-katanya terhenti di tenggorokan, kehilangan arah. "Tidak, Adam. Kamu tidak bingung. Kamu hanya egois," potong Sarah dingin. Air matanya mulai mengalir, tapi kali ini dia tidak berusaha menahannya. "Aku memberimu segalanya, kepercayaan, cinta... dan kamu malah membuangnya seolah-olah aku ini tak ada artinya." Adam menghela napas panjang, wajahnya penuh penyesalan. Tapi Sarah tidak bisa lagi melihatnya sebagai orang yang pernah dia cintai. Semua sudah berubah. Dia tidak lagi mengenali laki-laki di depannya. "Sarah...," Adam mencoba lagi, suaranya putus asa. "Aku benar-benar menyesal..." "Kamu menyesal?" potong Sarah lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. "Adam, pergi. Aku tidak butuh kamu di sini." Adam berdiri kaku, seperti ingin membantah. Tapi ketika matanya bertemu dengan pandangan Sarah yang tajam, dia tahu tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dia menunduk pelan, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan kamar itu. Sarah memejamkan matanya setelah Adam pergi, tubuhnya gemetar karena marah dan sakit yang masih bergejolak di dadanya. Dia tidak tahu berapa lama dia harus bertahan dengan rasa sakit ini, tetapi yang pasti, dia tidak akan pernah membiarkan dirinya terluka lagi seperti ini. --- Hari mulai berganti, dan tubuh Sarah mulai membaik. Namun, setiap luka yang mengering di kulitnya mengingatkannya pada bekas luka di hatinya yang masih terbuka. Perawat-perawat yang merawatnya bersikap lembut, selalu berusaha membuatnya merasa nyaman, tetapi mereka tidak pernah menyentuh apa yang benar-benar sakit, hatinya yang hancur berkeping-keping.Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?
Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke
Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu
Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap
Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b
Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin