Share

Cahaya di Ujung Jalan
Cahaya di Ujung Jalan
Penulis: Fafafe 36

Malam Pengkhianatan

**Bab 1: Malam Pengkhianatan**

Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.

Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam.

Namun, Adam tidak sendiri.

Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membungkuk, mencium bibirnya.

Sarah terpaku. Tubuhnya membeku, sementara dunia di sekelilingnya seolah-olah berhenti. "Tidak mungkin," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Hatinya berdegup kencang, rasa marah, kaget, dan sakit bersatu menjadi satu.

Adam menarik diri dari ciuman itu dan tertawa lagi, seolah tidak ada yang salah. Tapi bagi Sarah, itu adalah penghianatan yang begitu nyata, begitu menusuk.

Tanpa bisa menahan diri lagi, Sarah melangkah maju, suaranya gemetar saat memanggil, "Adam?"

Adam menoleh dengan kaget, matanya membesar saat melihat Sarah berdiri di sana, wajahnya pucat dan terluka. Dia segera melepaskan wanita di sisinya dan mencoba menjelaskan, "Sarah... ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

Sarah tertawa, tetapi itu bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa putus asa yang keluar di tengah tangisannya. "Tidak seperti yang aku pikirkan? Kamu mencium wanita lain, Adam! Apa lagi yang harus aku pikirkan?"

Wanita di samping Adam menatap Sarah dengan sedikit canggung, tetapi Adam mengangkat tangannya seolah ingin meredakan situasi. "Sarah, aku... aku bisa jelaskan..."

"Jelaskan apa?" teriak Sarah, suaranya pecah. Matanya sudah dipenuhi air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Apa yang mau kamu jelaskan? Bahwa kamu menghancurkan hatiku? Bahwa semua yang kita punya itu... tidak berarti apa-apa?"

Adam terdiam, tak bisa berkata-kata. Sarah menatapnya beberapa detik lebih lama, sebelum rasa muaknya mengambil alih. Dengan gemetar, ia berbalik dan berlari menuju pintu keluar. Tangan Adam mencoba meraih, tapi terlambat.

Di luar, udara malam yang dingin menghantam wajah Sarah, tetapi itu tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Air mata terus mengalir, sementara pikirannya berkecamuk. Di parkiran, ia hampir tak peduli saat memasuki mobilnya. Tangannya yang gemetar menggenggam setir dengan kuat. Tanpa berpikir panjang, ia menyalakan mesin dan menginjak gas, melaju ke jalanan malam yang gelap dan lengang.

Saat mobilnya melaju kencang, Sarah berteriak, "Kenapa?! Kenapa kamu melakukan ini padaku!"

Tangisnya semakin keras, hampir menyatu dengan suara deru mesin. Jalanan di depannya mulai kabur oleh air mata dan mabuk yang perlahan menguasainya. Di dalam pikirannya, kilasan kenangan tentang Adam mengisi setiap ruang, senyuman manisnya, janjinya, dan semua harapan yang mereka bangun bersama. Semuanya hancur begitu saja dalam sekejap.

"Kenapa aku tidak cukup!" serunya lagi, kali ini lebih pelan, lebih lemah. Sarah menggigit bibirnya untuk menahan isak, tetapi air matanya tak berhenti.

Tiba-tiba, pandangannya buram, dan lampu-lampu jalan mulai menjadi garis-garis panjang yang berpendar. "Astaga..." Sarah berusaha memperlambat mobilnya, tetapi kontrolnya hilang. Sebuah truk besar muncul di tikungan, dan dengan kecepatan penuh, Sarah tidak punya waktu untuk menghindar.

"Braaakk!!"

Dentuman keras mengguncang dunia Sarah. Seketika, segalanya menjadi gelap.

---

Ketika Sarah membuka mata, suara bip mesin dan aroma antiseptik mengisi inderanya. Lampu di atas kepalanya terang menyilaukan. Sekujur tubuhnya terasa sakit, nyeri di mana-mana, seolah setiap gerakan kecil pun menusuk tulang-tulangnya.

"Dimana aku...?" bisiknya, suara seraknya hampir tak terdengar.

Seorang perawat mendekat dengan wajah penuh simpati. "Anda di rumah sakit, Nona Sarah. Anda mengalami kecelakaan."

Sarah terdiam, mengingat kembali apa yang terjadi. Ingatan tentang Adam, tentang pesta, tentang penghianatan itu, menghantamnya lagi dengan kekuatan penuh. Tapi kini, rasa sakit di hatinya bersaing dengan rasa sakit di tubuhnya.

Air matanya mengalir lagi. Bukan hanya karena rasa sakit fisik yang mendera, tapi karena luka di hatinya yang jauh lebih dalam. Luka yang tak bisa diobati oleh dokter mana pun.

"Aku... aku kehilangan segalanya..." gumamnya di antara isak tangis.

Perawat itu menatapnya dengan iba, tak tahu harus berkata apa. Di luar, malam terus berjalan, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tapi bagi Sarah, malam itu adalah awal dari kehidupan yang berbeda, kehidupan tanpa Adam, dan tanpa harapan yang pernah ia percaya.

*****

Hari-hari di rumah sakit berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa seperti hukuman yang tak berkesudahan bagi Sarah. Fisiknya mungkin perlahan-lahan pulih, tapi luka di hatinya masih menganga, lebih dalam dari apa pun yang bisa disembuhkan oleh obat-obatan. Setiap kali ia menutup mata, bayangan Adam bersama wanita lain kembali menghantui pikirannya.

Suara langkah kaki menggema di koridor rumah sakit. Sarah berbaring lemah di ranjang, menatap jendela yang memperlihatkan langit kelabu di luar. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, terasa suram dan hampa. Ia mendengar pintu kamarnya terbuka perlahan, tapi enggan menoleh. Tidak ada yang penting lagi. Segalanya sudah hancur.

Suara itu mendekat. "Sarah..." Suara yang terdengar akrab tapi kini terasa asing terdengar dari belakangnya. Adam.

Sarah mengepalkan tangannya erat di atas selimutnya, menahan napas, mencoba menahan rasa marah dan sakit yang meluap-luap di dalam dirinya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar serak, dingin, tanpa emosi.

Adam berdiri canggung di samping tempat tidurnya. Dia terlihat kusut, seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. "Aku... aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya pelan, menunduk.

"Baik-baik saja?" Sarah tertawa kecut, pandangannya tetap menatap langit-langit kamar. "Apa kamu serius? Aku hampir mati karena kamu, Adam. Dan sekarang kamu datang ke sini, berpikir semua ini akan baik-baik saja?"

Adam terdiam, tak mampu menjawab. Di bawah tatapan Sarah yang penuh luka, dia tahu permintaan maaf apa pun tidak akan cukup untuk memperbaiki apa yang sudah dia hancurkan.

"Aku... aku benar-benar menyesal, Sarah," gumam Adam, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tahu aku menghancurkan kepercayaanmu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini. Aku masih peduli padamu."

Sarah menoleh untuk pertama kalinya sejak Adam masuk, matanya penuh amarah dan kekecewaan. "Peduli?" bibirnya bergetar menahan marah. "Kamu peduli? Kamu peduli padaku setelah kamu menghancurkan segalanya? Jangan bercanda, Adam. Kamu sudah membuat pilihanmu. Kamu memilih wanita lain, dan aku... aku cuma kecelakaan yang kamu tinggalkan di jalan."

Adam mengerutkan kening, rasa bersalah semakin jelas di wajahnya. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Aku bingung... aku..." kata-katanya terhenti di tenggorokan, kehilangan arah.

"Tidak, Adam. Kamu tidak bingung. Kamu hanya egois," potong Sarah dingin. Air matanya mulai mengalir, tapi kali ini dia tidak berusaha menahannya. "Aku memberimu segalanya, kepercayaan, cinta... dan kamu malah membuangnya seolah-olah aku ini tak ada artinya."

Adam menghela napas panjang, wajahnya penuh penyesalan. Tapi Sarah tidak bisa lagi melihatnya sebagai orang yang pernah dia cintai. Semua sudah berubah. Dia tidak lagi mengenali laki-laki di depannya.

"Sarah...," Adam mencoba lagi, suaranya putus asa. "Aku benar-benar menyesal..."

"Kamu menyesal?" potong Sarah lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya. "Adam, pergi. Aku tidak butuh kamu di sini."

Adam berdiri kaku, seperti ingin membantah. Tapi ketika matanya bertemu dengan pandangan Sarah yang tajam, dia tahu tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dia menunduk pelan, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan kamar itu.

Sarah memejamkan matanya setelah Adam pergi, tubuhnya gemetar karena marah dan sakit yang masih bergejolak di dadanya. Dia tidak tahu berapa lama dia harus bertahan dengan rasa sakit ini, tetapi yang pasti, dia tidak akan pernah membiarkan dirinya terluka lagi seperti ini.

---

Hari mulai berganti, dan tubuh Sarah mulai membaik. Namun, setiap luka yang mengering di kulitnya mengingatkannya pada bekas luka di hatinya yang masih terbuka. Perawat-perawat yang merawatnya bersikap lembut, selalu berusaha membuatnya merasa nyaman, tetapi mereka tidak pernah menyentuh apa yang benar-benar sakit, hatinya yang hancur berkeping-keping.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status