Bab 6: Proses Menghadapi Masa Lalu
Sarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan. Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya. "Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut. Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir. Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa berkata apa-apa. Ana mengambil ponsel itu dan menghela napas panjang setelah membaca artikel tersebut. "Oh, Sarah," kata Ana pelan, duduk di samping Sarah di tempat tidurnya. "Ini pasti sangat sulit untukmu. Tapi kau tahu, Adam tidak pantas membuatmu hancur seperti ini." Sarah memejamkan matanya, menahan air mata yang sudah siap tumpah. "Aku tahu, Ana. Tapi melihatnya seperti ini… Aku merasa dia telah benar-benar melupakan aku. Semua kenangan kita tampak tidak berarti baginya." Ana mengelus pundak Sarah dengan lembut. "Kau berhak merasa sakit, Sarah. Tapi kau juga berhak untuk sembuh. Ingat, kamu sudah memulai langkah untuk melanjutkan hidup. Jangan biarkan berita ini menarikmu kembali." Sarah mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Mungkin kamu benar. Aku tidak bisa terus terjebak di sini selamanya." Keesokan harinya, Sarah akhirnya menghadiri sesi konseling pertamanya. Ruangan itu nyaman, dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan yang menenangkan, dan sofa empuk yang tampak mengundang untuk diduduki. Konselor, seorang wanita paruh baya bernama Bu Dewi, menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat datang, Sarah. Aku senang kamu memutuskan untuk datang ke sini," kata Bu Dewi lembut, mempersilakan Sarah duduk. Sarah duduk di sofa, menggenggam tangannya sendiri untuk menenangkan diri. Ini pertama kalinya ia benar-benar membuka diri tentang rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Terima kasih, Bu Dewi. Jujur saja, aku sangat gugup," kata Sarah dengan suara pelan. "Tak apa-apa merasa gugup. Itu wajar, terutama ketika kita mulai menghadapi hal-hal yang sulit," jawab Bu Dewi. "Apa yang ingin kamu bicarakan hari ini?" Sarah menarik napas panjang sebelum memulai. "Aku mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu, dan itu mengubah hidupku. Namun, yang paling menghancurkan bukan hanya kecelakaannya, tetapi pengkhianatan Adam, tunanganku. Kami putus setelah kecelakaan itu, dan tidak lama kemudian dia bertunangan dengan wanita lain." Bu Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan ruang bagi Sarah untuk bercerita tanpa menghakimi. "Setelah kecelakaan itu," lanjut Sarah, "aku merasa hidupku berantakan. Aku kehilangan pekerjaan, kehilangan rasa percaya diriku, dan yang terparah, aku merasa kehilangan diriku sendiri." "Sarah, itu adalah perasaan yang sangat valid," kata Bu Dewi dengan lembut. "Kehilangan sesuatu yang besar seperti hubungan dan kesehatan fisik bisa membuat kita merasa hancur. Tapi penting untuk diingat bahwa kamu tidak sendirian dalam hal ini, dan langkah pertama untuk sembuh adalah menerima perasaanmu." Sarah merasakan sesuatu yang aneh, bukan kesedihan seperti yang biasa ia rasakan, melainkan semacam kelegaan. Untuk pertama kalinya, dia merasa didengar dan dipahami. Percakapan dengan Bu Dewi itu membuka jalan baginya untuk menghadapi luka-lukanya secara perlahan, tapi pasti. Di tengah perjalanan pulang, Ana mencoba menghiburnya. "Bagaimana sesi konselingnya, Sarah?" "Baik," jawab Sarah sambil tersenyum tipis. "Aku rasa aku akan terus menjalani terapi ini. Rasanya… lega bisa bercerita dan didengarkan tanpa merasa dihakimi." "Itu hebat!" seru Ana dengan antusias. "Aku bangga sama kamu, Sarah. Ini langkah besar." Tiba-tiba, Ana tertawa terbahak-bahak saat melihat sesuatu di jalan. Sarah menoleh, sedikit bingung dengan reaksi Ana. "Kenapa kamu tertawa?" tanya Sarah penasaran. Ana menunjuk ke arah depan, dan Sarah baru menyadari bahwa ada seekor anjing kecil yang sedang berlari sambil menarik kantong plastik yang penuh dengan roti. Anjing itu tampak bersemangat seperti sedang berlomba dalam kompetisi, sementara seorang pria yang tampaknya pemilik roti itu berlari tergopoh-gopoh mengejar anjing tersebut. "Aku tidak bisa menahan tawa, Sarah. Lihat anjing itu, dia benar-benar bersemangat mencuri roti!" Ana berkata sambil tertawa lagi. Sarah, yang semula merasa sedih, tiba-tiba ikut tertawa keras melihat pemandangan konyol itu. Entah bagaimana, melihat anjing itu berlari dengan penuh semangat sambil membawa roti curian, membuatnya merasa hidup sedikit lebih ringan. "Konyol sekali!" seru Sarah sambil menggelengkan kepala, masih tertawa. "Mungkin anjing itu hanya sedang mencari makan siang!" Ana mengangguk sambil menyeka air mata tawa dari sudut matanya. "Kadang-kadang, hal-hal kecil dan konyol seperti ini yang bisa mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu tentang beban dan rasa sakit. Ada momen lucu yang bisa membuat kita tersenyum." Sore itu, Sarah memutuskan untuk mencoba meditasi yang disarankan oleh Bu Dewi. Ia menyiapkan ruangan di sudut kamarnya dengan lilin aroma terapi dan bantal-bantal empuk. Ana, yang penasaran, memutuskan untuk bergabung. "Baiklah, kita coba meditasi bersama," kata Ana sambil tertawa kecil. "Tapi jangan tertawa kalau aku tiba-tiba ketiduran, ya." Sarah tersenyum dan mulai memejamkan mata, mencoba fokus pada pernapasannya. Suasana menjadi tenang, dengan hanya suara lembut lilin yang berkedip dan aroma lavender yang menyebar di udara. Namun, di tengah meditasi, Ana tiba-tiba mengeluarkan dengkuran kecil. Sarah membuka satu mata dan melihat Ana yang sudah tertidur dengan kepala miring ke samping. Dia mencoba menahan tawa, tetapi gagal total. Suara cekikikan Sarah akhirnya membangunkan Ana. "Apa yang terjadi?" tanya Ana, setengah terjaga dan kebingungan. "Kamu… kamu ketiduran!" kata Sarah sambil tertawa keras. "Aku bilang jangan tertidur!" Ana menggosok matanya dan mulai tertawa juga. "Baiklah, sepertinya meditasi bukan gayaku. Tapi hey, kalau aku ketiduran, setidaknya itu berarti aku sangat rileks, kan?" Mereka berdua tertawa bersama, mengakhiri hari dengan penuh keceriaan. Meski proses penyembuhan Sarah masih panjang, momen-momen kecil seperti ini membantu meringankan beban di hatinya. Di malam hari, ketika Sarah berbaring di tempat tidurnya, ia merasa lebih damai. Ada banyak hal yang masih harus ia hadapi, terutama bayangan Adam dan masa lalunya. Namun, dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya,dan momen-momen konyol yang tiba-tiba datang dalam hidupnya, Sarah tahu bahwa ia akan bisa melewati ini semua, satu langkah kecil demi langkah kecil.Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin
Pagi itu, Sarah berdiri di tengah-tengah studio yoga, mencoba untuk fokus pada instruktur yang mengarahkan mereka ke posisi "tree pose." Ia sedikit canggung, belum terbiasa dengan postur yang mengharuskannya berdiri dengan satu kaki sambil mengangkat kedua tangan. Tapi meski ada rasa canggung, ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam kelas yoga ini."Bayangkan diri kalian sebagai pohon besar yang kuat," ujar instruktur dengan suara lembut, "berakar di tanah, tenang dan kokoh."Sarah mencoba membayangkan dirinya sebagai pohon. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. Dalam beberapa menit, pikirannya mulai tenang, dan ia merasa ringan, seakan masalah yang membebani pikirannya perlahan-lahan lenyap.Namun, ketenangannya buyar saat seseorang di sebelahnya kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menjatuhkan Sarah ke lantai."Astaga, maaf banget!" kata seorang wanita sambil membantu Sarah bangkit. Wanita itu mengenakan legging be
Setelah kelas yoga yang membawa banyak pencerahan, Sarah merasa hidupnya perlahan mulai berubah. Semakin sering ia bertemu Dokter Fajar, semakin besar rasa penasaran dan kekagumannya pada pria itu. Fajar memiliki kedalaman dan ketenangan yang sulit ditemui pada kebanyakan orang. Suatu sore, ketika ia datang untuk sesi kontrol di klinik, Fajar memberinya rekomendasi yang sederhana tapi terasa berarti baginya."Saya rasa, mungkin buku-buku ini bisa membantu," kata Fajar sambil menyerahkan beberapa buku pada Sarah. Judul-judulnya bervariasi, tentang pencarian makna hidup, kisah hijrah inspiratif, dan beberapa buku tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan.Sarah membaca sampul buku-buku tersebut dengan kagum. "Terima kasih, Dokter. Sungguh, ini sangat berarti buat saya. Kadang saya merasa seperti hilang arah, dan sulit menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup."Fajar tersenyum, tatapannya teduh. "Kita semua pernah merasa begitu, Sarah. Tapi ketika kita mulai mencari dan membuka h
Hari itu, Sarah kembali ke studio untuk sesi pemotretan. Lampu-lampu sorot kembali menyinari wajahnya, memancarkan glamor yang biasa ia kenakan seperti topeng. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada kehampaan yang sulit dijelaskan, perasaan bahwa sesuatu telah berubah di dalam dirinya.Di sela-sela pengambilan gambar, Nadia, manajernya, mendekat. "Sarah, kamu kelihatan… berbeda hari ini," komentar Nadia, alisnya terangkat penasaran. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"Sarah tersenyum tipis, berusaha tetap profesional. "Enggak, kok, Nad. Cuma mungkin… aku lagi mikirin banyak hal," jawabnya, setengah melamun.Namun, di tengah percakapan mereka, seorang teman lama, Maya, yang juga seorang model, tiba-tiba muncul. "Sarah! Lama banget nggak ketemu, ya ampun!" serunya sambil memeluk Sarah dengan hangat. Maya masih sama, ceria dan penuh semangat, tapi sekarang, ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkan Sarah akan masa lalunya."Wow, Maya! Udah lama banget, gimana kabar kamu?" jawab Sarah dengan
Sarah mengangkat telepon dan mendengar suara Ana yang penuh semangat di seberang sana. "Sarah, besok ada kegiatan di masjid dekat rumahku. Ayo, kamu ikut ya? Aku yakin kamu bakal suka."Sarah tersenyum tipis, meski ada sedikit ragu dalam dirinya. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di masjid, dan ia tak yakin apa yang akan ia rasakan. Namun, ajakan Ana ini terdengar menarik, terutama setelah semua kekosongan yang belakangan ia rasakan dalam hidupnya."Baiklah, Ana," jawab Sarah akhirnya, "Aku ikut."Setelah menolak ajakan Adam, Sarah membutuhkan pencerahan agar bisa melupakan masa lalu yang terus mengiringi. Keesokan harinya, Sarah dan Ana memasuki halaman masjid. Masjid itu tidak terlalu besar, tapi memiliki arsitektur yang indah dan suasana yang damai. Beberapa wanita duduk berkelompok, mengenakan hijab dan tersenyum ramah ke arah mereka. Sarah merasa sedikit canggung, namun ada ketenangan aneh yang mulai meresap ke dalam hatinya.Ana menyentuh lengan Sarah. "Aku tahu, ini mungki
Tiba-tiba, segala kekuatan yang Sarah kumpulkan untuk melanjutkan hidup terasa goyah. "Apa maksudmu, Adam?" tanyanya dengan nada khawatir.Adam menarik napas dalam-dalam di seberang telepon, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang berat. "Sarah… ada sesuatu yang kau perlu tahu tentang Dokter Fajar. Dia… dia bukan siapa yang kau kira."Sarah terdiam, jantungnya berdetak cepat. Dalam kepalanya, Dokter Fajar adalah sosok yang penuh ketenangan dan kebijaksanaan. Bagaimana mungkin ada sisi lain dari dirinya yang begitu asing?"Adam, jika ini hanya trikmu untuk mengalihkan perhatianku, aku...""Tidak, Sarah. Aku tidak main-main," potong Adam dengan tegas. "Dulu aku pernah satu kampus dengan Dokter Fajar di fakultas kedokteran. Dia… dia memang dikenal baik, tapi… ada insiden di tahun terakhir kami yang membuat banyak orang mempertanyakan siapa dia sebenarnya."Sarah masih terpaku, rasa penasaran bercampur takut semakin menguasainya. "Insiden apa yang kau bicarakan?"Adam m
Bab 12: Kebenaran yang TersembunyiSarah merasakan hatinya berdebar tak menentu setelah percakapan terakhir dengan Adam. Masih terngiang di benaknya peringatan Adam tentang masa lalu Dokter Fajar dan gadis bernama Aisyah. Namun, di tengah keraguannya, ada sesuatu yang tak masuk akal dari cerita Adam. Adam selalu memiliki caranya sendiri untuk menyampaikan sesuatu, dan Sarah sadar betul, dia tak selalu jujur.Dengan pikiran penuh kebimbangan, Sarah kembali bertemu Dokter Fajar di taman klinik tempatnya berobat. Hembusan angin sore menambah keheningan di antara mereka sebelum akhirnya Sarah mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Dokter Fajar, aku… aku merasa harus menanyakan ini meski rasanya tidak pantas. Tentang Aisyah... Adam bilang dia masih hidup."Dokter Fajar tampak terkejut, tetapi segera menghela napas dalam-dalam. "Sarah, aku tak ingin ada keraguan di antara kita. Aisyah memang masih hidup. Dia tidak hilang atau meninggal seperti yang dikabarkan. Tapi… ada peristiwa yang mem
Sarah menggenggam ponselnya erat. Nama Dokter Fajar yang terpampang di layar seperti panggilan dari dunia yang selama ini ia percayai, tapi kini penuh dengan keraguan. Di sisi lain, amplop misterius itu tergeletak di meja, menggoda untuk dibuka dan menguak rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.Akhirnya, dengan napas yang tertahan, ia menjawab panggilan itu. "Halo, Dokter Fajar.""Sar… kamu baik-baik saja?" Suara Fajar terdengar hangat dan menenangkan seperti biasa, tapi kali ini Sarah merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada suaranya."Ya, aku baik-baik saja," jawabnya pendek, suaranya serak. Ada begitu banyak yang ingin ia tanyakan, tapi semuanya mengendap dalam keraguan yang kian dalam.Fajar terdiam sejenak, seolah menyadari ada yang tidak beres. "Kita harus bicara. Bisa bertemu besok?"Sarah menggigit bibirnya, menimbang-nimbang. Bagian dari dirinya ingin menjauh, tapi ada sesuatu yang mendesaknya untuk menghadapi Dokter Fajar dan menemukan kebenaran. "Baik, kita
Sarah menatap layar ponselnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tahu, jika ia terus memikirkan pesan itu, malam indah ini akan sia-sia. Dengan senyum yang dipaksakan, ia menekan tombol hapus pesan tersebut tanpa membacanya lagi."Aku nggak mau hal-hal kayak gini merusak malamku," gumamnya dalam hati.Ia meletakkan ponsel di meja, berbalik ke arah Fajar, dan mendapati suaminya sedang memperhatikannya."Beneran nggak apa-apa?" tanya Fajar dengan nada khawatir.Sarah mendekat, duduk di samping Fajar sambil menggenggam tangannya. "Nggak apa-apa, Mas. Malam ini aku cuma mau fokus sama kita berdua."Fajar tersenyum lega, lalu mengusap kepala istrinya penuh kasih. "Kamu ini memang luar biasa. Selalu tahu cara bikin aku merasa lebih tenang."Setelah selesai makan, Sarah mengajak Fajar keluar ke balkon. Angin malam yang sejuk menyelimuti mereka, dan bintang-bintang bersinar terang di langit. Sarah sudah menyiapkan dua cangkir teh hangat, yang ia letakkan di meja kecil di balkon."Malam
Beberapa bulan sejak kejadian itu Sarah dan Fajar sudah melupakan semuanya, mereka pun sudah resmi menikah, dan kehidupan mereka terasa seperti halaman novel romansa yang indah. Setiap momen terasa istimewa, meski dengan kesederhanaan yang mereka jalani.Pagi itu, Fajar menyentuh rambut Sarah yang masih kusut karena baru bangun tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap istrinya yang meringkuk manja di balik selimut."Bangun, Bu Dokter. Nanti kita kesiangan lagi kalau mau sarapan di luar," ujar Fajar sambil menepuk pelan pipi Sarah.Sarah hanya meringis, lalu menarik selimut lebih tinggi hingga menutupi wajahnya. "Lima menit lagi, Mas. Aku masih ngantuk…"Fajar tertawa kecil, lalu menarik selimutnya dengan lembut. "Sudah jam tujuh, Sayang. Kita mau ke pasar pagi atau mau bikin aku sarapan mie instan lagi?" godanya.Sarah langsung membuka matanya lebar-lebar, wajahnya merona malu. "Itu kan waktu aku kehabisan ide masak, Mas! Lagian, siapa yang makan mie instan cuma pake bawang goreng? A
Suara itu milik seorang pria yang tidak mereka kenal. Tinggi, berpakaian serba hitam, dan memiliki aura yang menekan. Fajar maju selangkah, melindungi Mira di belakangnya, sementara Andi mengarahkan pistolnya dengan waspada."Siapa kamu?" tanya Fajar, suaranya tegas meski tubuhnya tegang.Pria itu tersenyum tipis. "Bukan siapa-siapa. Aku hanya seseorang yang memastikan rencana ini berjalan sesuai keinginanku."Mira tampak bingung. "Rencana apa? Aku yang mengatur ini semua!"Pria itu tertawa kecil, terdengar penuh ejekan. "Oh, Mira... Kau hanya pion dalam permainan ini. Pesan-pesan yang Sarah dan Fajar terima bukan hanya dari kamu. Itu juga dariku."Mata Mira membulat. "Kamu... menggunakan aku?"Pria itu melipat tangannya. "Aku memberimu sedikit dorongan, Mira. Aku tahu kau punya alasan untuk mendekati Fajar. Tapi sayangnya, aku punya agenda yang lebih besar. Fajar bukan hanya sekadar dokter. Dia adalah kunci untuk sesuatu yang lebih penting."Fajar mengernyit. "Apa maksudmu? Aku hanya
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Sarah memutuskan untuk meningkatkan kewaspadaan. Kejadian ini bukan lagi sekadar gangguan, ini adalah ancaman nyata yang tidak bisa diabaikan.---Pagi itu, Fajar menghubungi seorang teman lamanya, Andi, seorang mantan polisi yang sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan."Andi, aku butuh bantuanmu," kata Fajar setelah menjelaskan situasinya."Aku akan segera ke sana," jawab Andi. "Kamu tetap tenang dan jangan bertindak gegabah. Pastikan tidak ada yang tahu kalian merasa terancam."Sarah mendengarkan percakapan itu dari sofa, wajahnya penuh kecemasan. "Apa kita aman di sini, Mas Fajar?”Fajar menatap Sarah, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya gelisah. "Kita akan aman. Andi tahu apa yang harus dilakukan."Sore harinya, saat berjalan di tepi pantai, Sarah menemukan sesuatu yang membuatnya merinding, secarik kertas terlipat rapi, separuh terkubur di pasir. Ia membuka kertas itu dengan hati-hati."Kamu tidak bisa menyembunyikan siapa dirimu
Fajar memutuskan untuk tidak menunda lagi. Pagi itu, ia menghubungi salah satu rekan lamanya yang masih memiliki koneksi dengan Mira. Meski Sarah sempat khawatir, ia akhirnya setuju bahwa menghadapi Mira secara langsung mungkin adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.Setelah beberapa kali mencoba, Fajar akhirnya mendapatkan alamat Mira. Ia tinggal di sebuah vila sederhana di pinggir kota. Dengan perasaan campur aduk, Fajar memutuskan untuk pergi bersama Sarah."Mas Fajar, aku tahu kamu ingin melindungiku, tapi aku harus ikut," kata Sarah tegas saat Fajar mencoba menyuruhnya tinggal di villa.Fajar memandangnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, tapi tetap di belakangku, ya."Ketika mereka tiba di vila Mira, seorang perempuan membuka pintu. Dia adalah Mira, terlihat jauh berbeda dari yang Fajar ingat. Wajahnya menampilkan senyum pahit, seolah dia sudah tahu mengapa Fajar datang."Fajar," katanya pelan, suaranya dingin. "Aku sudah menunggu."Fajar menarik napas dalam-dalam. "
Bab Baru: Bulan Madu yang Tak TerlupakanSarah dan Fajar memilih Bali sebagai tujuan wisata mereka. Pesona alam dan budaya Bali menawarkan ketenangan yang mereka butuhkan setelah melewati serangkaian ujian dalam perjalanan mereka menuju pernikahan. Namun, bulan madu yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan itu justru diwarnai kejadian-kejadian tak terduga.Mereka menginap di sebuah villa privat yang menghadap laut, memberikan suasana romantis nan damai. Hari-hari pertama mereka dipenuhi dengan aktivitas santai, seperti menikmati sarapan di pinggir pantai, mengunjungi Pura Ulun Danu, dan menjelajahi sawah terasering Tegalalang.Di sela perjalanan, Fajar dan Sarah berbicara tentang harapan mereka akan kehidupan rumah tangga. "Aku ingin kita selalu bisa saling mendukung, apapun tantangannya," kata Sarah sambil menggenggam tangan Fajar."Aku janji, aku akan selalu ada untukmu," balas Fajar lembut.Ketika mereka kembali ke villa suatu malam, Sarah menemukan sebuah amplop di meja mak
Fajar memutuskan untuk bertemu Mira secara langsung. Dia merasa perlu mendengar langsung dari Mira, apakah benar wanita itu ada hubungannya dengan teror yang dialaminya belakangan ini. Dengan hati-hati, Fajar mengatur pertemuan di sebuah kafe yang tenang, jauh dari pusat kota, berharap percakapan mereka akan tetap pribadi. Mira tiba lebih dulu. Dia tampak terkejut ketika melihat Fajar menghampirinya. "Sudah lama sekali," katanya dengan senyum yang samar, meskipun matanya tampak menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Iya, sudah lama, Mira," Fajar menjawab sambil duduk di depannya. Dia mencoba tetap tenang, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu... apakah kamu terlibat dengan pesan-pesan yang belakangan ini mengganggu hidupku?" Mira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku? Mengganggu hidupmu? Lucu sekali, Fajar," ucapnya sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu dulu mengabaikan perasaanku dan sekarang kamu malah menuduhku seperti ini?" Fa
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pagi itu, udara terasa berbeda, tenang, tapi penuh dengan harapan yang berdebar-debar. Di kamarnya yang penuh dengan dekorasi bunga, Sarah duduk di depan cermin sambil tersenyum lembut. Ana, yang membantu merapikan jilbabnya, sesekali melontarkan canda untuk mencairkan suasana."Sarah, kamu terlihat seperti bidadari. Dokter Fajar bakal terpesona lagi nih, padahal kamu sudah selalu bikin dia terpesona," ujar Ana sambil terkikik.Sarah tertawa kecil, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. "Ah, Ana, kamu bisa aja. Doain ya, supaya hari ini berjalan lancar," balas Sarah dengan nada penuh harap.Di ruang tamu, Fajar sedang duduk dengan tenang. Wajahnya memancarkan keteduhan, tapi ada secuil kecemasan yang terselip di matanya. Dia merasa siap, tetapi tidak bisa menepis kekhawatiran yang datang sesekali, terutama mengingat pesan-pesan misterius yang mengganggu beberapa waktu terakhir. Tapi ia menenangkan diri, meyakinkan hati bahwa hari ini
Di suasana pagi yang tenang. Sarah mulai menikmati kehidupan barunya yang lebih damai setelah meninggalkan dunia modeling. Perjalanan hijrahnya kini terasa lebih mantap, terlebih dengan dukungan dari Fajar yang selalu ada di sisinya. Rasa hangat dan tenang perlahan menggantikan kekhawatiran yang dulu selalu menghantui.Pagi itu, saat sedang menikmati teh di teras rumahnya, Sarah menerima pesan dari Fajar. Isinya sederhana tapi penuh makna: "Sarah, aku ingin bicara sesuatu yang penting sore ini. Maukah kamu bertemu di taman tempat kita biasa berbincang?"Sarah tersenyum, membalas pesannya dengan antusias. Rasa penasaran sekaligus harapan mulai tumbuh di hatinya. Meski masih ada pesan-pesan misterius yang sesekali masuk ke ponselnya, Sarah semakin bertekad untuk mengabaikannya. Kali ini, ia tidak ingin membiarkan rasa takut atau bayangan masa lalu menguasainya. Keputusannya sudah bulat; ia ingin memberi dirinya kesempatan untuk bahagia bersama seseorang yang benar-benar peduli padanya.