Bab 6: Proses Menghadapi Masa Lalu
Sarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan. Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya. "Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut. Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir. Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa berkata apa-apa. Ana mengambil ponsel itu dan menghela napas panjang setelah membaca artikel tersebut. "Oh, Sarah," kata Ana pelan, duduk di samping Sarah di tempat tidurnya. "Ini pasti sangat sulit untukmu. Tapi kau tahu, Adam tidak pantas membuatmu hancur seperti ini." Sarah memejamkan matanya, menahan air mata yang sudah siap tumpah. "Aku tahu, Ana. Tapi melihatnya seperti ini… Aku merasa dia telah benar-benar melupakan aku. Semua kenangan kita tampak tidak berarti baginya." Ana mengelus pundak Sarah dengan lembut. "Kau berhak merasa sakit, Sarah. Tapi kau juga berhak untuk sembuh. Ingat, kamu sudah memulai langkah untuk melanjutkan hidup. Jangan biarkan berita ini menarikmu kembali." Sarah mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Mungkin kamu benar. Aku tidak bisa terus terjebak di sini selamanya." Keesokan harinya, Sarah akhirnya menghadiri sesi konseling pertamanya. Ruangan itu nyaman, dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan yang menenangkan, dan sofa empuk yang tampak mengundang untuk diduduki. Konselor, seorang wanita paruh baya bernama Bu Dewi, menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat datang, Sarah. Aku senang kamu memutuskan untuk datang ke sini," kata Bu Dewi lembut, mempersilakan Sarah duduk. Sarah duduk di sofa, menggenggam tangannya sendiri untuk menenangkan diri. Ini pertama kalinya ia benar-benar membuka diri tentang rasa sakit yang selama ini ia pendam. "Terima kasih, Bu Dewi. Jujur saja, aku sangat gugup," kata Sarah dengan suara pelan. "Tak apa-apa merasa gugup. Itu wajar, terutama ketika kita mulai menghadapi hal-hal yang sulit," jawab Bu Dewi. "Apa yang ingin kamu bicarakan hari ini?" Sarah menarik napas panjang sebelum memulai. "Aku mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu, dan itu mengubah hidupku. Namun, yang paling menghancurkan bukan hanya kecelakaannya, tetapi pengkhianatan Adam, tunanganku. Kami putus setelah kecelakaan itu, dan tidak lama kemudian dia bertunangan dengan wanita lain." Bu Dewi mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan ruang bagi Sarah untuk bercerita tanpa menghakimi. "Setelah kecelakaan itu," lanjut Sarah, "aku merasa hidupku berantakan. Aku kehilangan pekerjaan, kehilangan rasa percaya diriku, dan yang terparah, aku merasa kehilangan diriku sendiri." "Sarah, itu adalah perasaan yang sangat valid," kata Bu Dewi dengan lembut. "Kehilangan sesuatu yang besar seperti hubungan dan kesehatan fisik bisa membuat kita merasa hancur. Tapi penting untuk diingat bahwa kamu tidak sendirian dalam hal ini, dan langkah pertama untuk sembuh adalah menerima perasaanmu." Sarah merasakan sesuatu yang aneh, bukan kesedihan seperti yang biasa ia rasakan, melainkan semacam kelegaan. Untuk pertama kalinya, dia merasa didengar dan dipahami. Percakapan dengan Bu Dewi itu membuka jalan baginya untuk menghadapi luka-lukanya secara perlahan, tapi pasti. Di tengah perjalanan pulang, Ana mencoba menghiburnya. "Bagaimana sesi konselingnya, Sarah?" "Baik," jawab Sarah sambil tersenyum tipis. "Aku rasa aku akan terus menjalani terapi ini. Rasanya… lega bisa bercerita dan didengarkan tanpa merasa dihakimi." "Itu hebat!" seru Ana dengan antusias. "Aku bangga sama kamu, Sarah. Ini langkah besar." Tiba-tiba, Ana tertawa terbahak-bahak saat melihat sesuatu di jalan. Sarah menoleh, sedikit bingung dengan reaksi Ana. "Kenapa kamu tertawa?" tanya Sarah penasaran. Ana menunjuk ke arah depan, dan Sarah baru menyadari bahwa ada seekor anjing kecil yang sedang berlari sambil menarik kantong plastik yang penuh dengan roti. Anjing itu tampak bersemangat seperti sedang berlomba dalam kompetisi, sementara seorang pria yang tampaknya pemilik roti itu berlari tergopoh-gopoh mengejar anjing tersebut. "Aku tidak bisa menahan tawa, Sarah. Lihat anjing itu, dia benar-benar bersemangat mencuri roti!" Ana berkata sambil tertawa lagi. Sarah, yang semula merasa sedih, tiba-tiba ikut tertawa keras melihat pemandangan konyol itu. Entah bagaimana, melihat anjing itu berlari dengan penuh semangat sambil membawa roti curian, membuatnya merasa hidup sedikit lebih ringan. "Konyol sekali!" seru Sarah sambil menggelengkan kepala, masih tertawa. "Mungkin anjing itu hanya sedang mencari makan siang!" Ana mengangguk sambil menyeka air mata tawa dari sudut matanya. "Kadang-kadang, hal-hal kecil dan konyol seperti ini yang bisa mengingatkan kita bahwa hidup tidak selalu tentang beban dan rasa sakit. Ada momen lucu yang bisa membuat kita tersenyum." Sore itu, Sarah memutuskan untuk mencoba meditasi yang disarankan oleh Bu Dewi. Ia menyiapkan ruangan di sudut kamarnya dengan lilin aroma terapi dan bantal-bantal empuk. Ana, yang penasaran, memutuskan untuk bergabung. "Baiklah, kita coba meditasi bersama," kata Ana sambil tertawa kecil. "Tapi jangan tertawa kalau aku tiba-tiba ketiduran, ya." Sarah tersenyum dan mulai memejamkan mata, mencoba fokus pada pernapasannya. Suasana menjadi tenang, dengan hanya suara lembut lilin yang berkedip dan aroma lavender yang menyebar di udara. Namun, di tengah meditasi, Ana tiba-tiba mengeluarkan dengkuran kecil. Sarah membuka satu mata dan melihat Ana yang sudah tertidur dengan kepala miring ke samping. Dia mencoba menahan tawa, tetapi gagal total. Suara cekikikan Sarah akhirnya membangunkan Ana. "Apa yang terjadi?" tanya Ana, setengah terjaga dan kebingungan. "Kamu… kamu ketiduran!" kata Sarah sambil tertawa keras. "Aku bilang jangan tertidur!" Ana menggosok matanya dan mulai tertawa juga. "Baiklah, sepertinya meditasi bukan gayaku. Tapi hey, kalau aku ketiduran, setidaknya itu berarti aku sangat rileks, kan?" Mereka berdua tertawa bersama, mengakhiri hari dengan penuh keceriaan. Meski proses penyembuhan Sarah masih panjang, momen-momen kecil seperti ini membantu meringankan beban di hatinya. Di malam hari, ketika Sarah berbaring di tempat tidurnya, ia merasa lebih damai. Ada banyak hal yang masih harus ia hadapi, terutama bayangan Adam dan masa lalunya. Namun, dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya,dan momen-momen konyol yang tiba-tiba datang dalam hidupnya, Sarah tahu bahwa ia akan bisa melewati ini semua, satu langkah kecil demi langkah kecil.Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin
**Bab 1: Malam Pengkhianatan**Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam. Namun, Adam tidak sendiri.Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membun
Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?
Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke
Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu
Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap