Hari itu, Sarah kembali ke studio untuk sesi pemotretan. Lampu-lampu sorot kembali menyinari wajahnya, memancarkan glamor yang biasa ia kenakan seperti topeng. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada kehampaan yang sulit dijelaskan, perasaan bahwa sesuatu telah berubah di dalam dirinya.Di sela-sela pengambilan gambar, Nadia, manajernya, mendekat. "Sarah, kamu kelihatan… berbeda hari ini," komentar Nadia, alisnya terangkat penasaran. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"Sarah tersenyum tipis, berusaha tetap profesional. "Enggak, kok, Nad. Cuma mungkin… aku lagi mikirin banyak hal," jawabnya, setengah melamun.Namun, di tengah percakapan mereka, seorang teman lama, Maya, yang juga seorang model, tiba-tiba muncul. "Sarah! Lama banget nggak ketemu, ya ampun!" serunya sambil memeluk Sarah dengan hangat. Maya masih sama, ceria dan penuh semangat, tapi sekarang, ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkan Sarah akan masa lalunya."Wow, Maya! Udah lama banget, gimana kabar kamu?" jawab Sarah dengan
Sarah mengangkat telepon dan mendengar suara Ana yang penuh semangat di seberang sana. "Sarah, besok ada kegiatan di masjid dekat rumahku. Ayo, kamu ikut ya? Aku yakin kamu bakal suka."Sarah tersenyum tipis, meski ada sedikit ragu dalam dirinya. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di masjid, dan ia tak yakin apa yang akan ia rasakan. Namun, ajakan Ana ini terdengar menarik, terutama setelah semua kekosongan yang belakangan ia rasakan dalam hidupnya."Baiklah, Ana," jawab Sarah akhirnya, "Aku ikut."Setelah menolak ajakan Adam, Sarah membutuhkan pencerahan agar bisa melupakan masa lalu yang terus mengiringi. Keesokan harinya, Sarah dan Ana memasuki halaman masjid. Masjid itu tidak terlalu besar, tapi memiliki arsitektur yang indah dan suasana yang damai. Beberapa wanita duduk berkelompok, mengenakan hijab dan tersenyum ramah ke arah mereka. Sarah merasa sedikit canggung, namun ada ketenangan aneh yang mulai meresap ke dalam hatinya.Ana menyentuh lengan Sarah. "Aku tahu, ini mungki
Tiba-tiba, segala kekuatan yang Sarah kumpulkan untuk melanjutkan hidup terasa goyah. "Apa maksudmu, Adam?" tanyanya dengan nada khawatir.Adam menarik napas dalam-dalam di seberang telepon, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang berat. "Sarah… ada sesuatu yang kau perlu tahu tentang Dokter Fajar. Dia… dia bukan siapa yang kau kira."Sarah terdiam, jantungnya berdetak cepat. Dalam kepalanya, Dokter Fajar adalah sosok yang penuh ketenangan dan kebijaksanaan. Bagaimana mungkin ada sisi lain dari dirinya yang begitu asing?"Adam, jika ini hanya trikmu untuk mengalihkan perhatianku, aku...""Tidak, Sarah. Aku tidak main-main," potong Adam dengan tegas. "Dulu aku pernah satu kampus dengan Dokter Fajar di fakultas kedokteran. Dia… dia memang dikenal baik, tapi… ada insiden di tahun terakhir kami yang membuat banyak orang mempertanyakan siapa dia sebenarnya."Sarah masih terpaku, rasa penasaran bercampur takut semakin menguasainya. "Insiden apa yang kau bicarakan?"Adam m
Bab 12: Kebenaran yang TersembunyiSarah merasakan hatinya berdebar tak menentu setelah percakapan terakhir dengan Adam. Masih terngiang di benaknya peringatan Adam tentang masa lalu Dokter Fajar dan gadis bernama Aisyah. Namun, di tengah keraguannya, ada sesuatu yang tak masuk akal dari cerita Adam. Adam selalu memiliki caranya sendiri untuk menyampaikan sesuatu, dan Sarah sadar betul, dia tak selalu jujur.Dengan pikiran penuh kebimbangan, Sarah kembali bertemu Dokter Fajar di taman klinik tempatnya berobat. Hembusan angin sore menambah keheningan di antara mereka sebelum akhirnya Sarah mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Dokter Fajar, aku… aku merasa harus menanyakan ini meski rasanya tidak pantas. Tentang Aisyah... Adam bilang dia masih hidup."Dokter Fajar tampak terkejut, tetapi segera menghela napas dalam-dalam. "Sarah, aku tak ingin ada keraguan di antara kita. Aisyah memang masih hidup. Dia tidak hilang atau meninggal seperti yang dikabarkan. Tapi… ada peristiwa yang mem
Sarah menggenggam ponselnya erat. Nama Dokter Fajar yang terpampang di layar seperti panggilan dari dunia yang selama ini ia percayai, tapi kini penuh dengan keraguan. Di sisi lain, amplop misterius itu tergeletak di meja, menggoda untuk dibuka dan menguak rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.Akhirnya, dengan napas yang tertahan, ia menjawab panggilan itu. "Halo, Dokter Fajar.""Sar… kamu baik-baik saja?" Suara Fajar terdengar hangat dan menenangkan seperti biasa, tapi kali ini Sarah merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada suaranya."Ya, aku baik-baik saja," jawabnya pendek, suaranya serak. Ada begitu banyak yang ingin ia tanyakan, tapi semuanya mengendap dalam keraguan yang kian dalam.Fajar terdiam sejenak, seolah menyadari ada yang tidak beres. "Kita harus bicara. Bisa bertemu besok?"Sarah menggigit bibirnya, menimbang-nimbang. Bagian dari dirinya ingin menjauh, tapi ada sesuatu yang mendesaknya untuk menghadapi Dokter Fajar dan menemukan kebenaran. "Baik, kita
Bab 15: Menerima Masa LaluSarah menatap pesan di layar ponselnya, merasakan campuran ketakutan dan kebimbangan. Ia tahu bahwa pesan itu mungkin akan membawanya pada kebenaran yang berbeda, atau justru manipulasi yang lebih dalam. Namun, kali ini ia memilih untuk mengikuti suara hatinya, bukan godaan untuk mengorek lebih jauh.Ia menghapus pesan itu, memutuskan untuk tidak mengejar bayang-bayang dari masa lalu Dokter Fajar. Sebaliknya, ia ingin mencoba menerima bahwa setiap orang memiliki masa lalu, termasuk dirinya sendiri. Ia sadar, dirinya pun pernah memiliki banyak cerita yang tak selamanya menyenangkan, dan ia berharap Fajar pun bisa menerimanya seutuhnya.Beberapa hari berlalu dengan Sarah dan Fajar kembali pada percakapan yang lebih terbuka. Meski tak sepenuhnya mudah, ia mulai merasakan beban kecurigaan yang dulu menghantuinya perlahan memudar. Suatu sore di taman kota, Sarah duduk berdua dengan Fajar di bangku kayu yang menghadap ke danau kecil. Daun-daun berguguran di sekita
Malam itu, Sarah duduk di taman yang sepi, menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Sejak menerima pesan misterius tadi, perasaannya campur aduk. Tapi tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki yang familiar di belakangnya. Ia menoleh dan mendapati Dokter Fajar berdiri di sana, wajahnya terlihat tegas namun lembut."Sarah," ucap Fajar, suaranya tenang namun bergetar. "Aku tahu kamu mungkin punya banyak pertanyaan. Aku ingin jujur padamu. Aku akan menceritakan semuanya malam ini, tanpa ada yang kututup-tutupi. Tapi setelah itu, aku akan memberikanmu kebebasan untuk memilih, untuk tetap berada di sisiku atau meninggalkanku."Sarah menelan ludah, merasa gugup tapi juga lega. Ia mengangguk pelan, mempersilakan Fajar duduk di sampingnya.Fajar memulai ceritanya dengan suara rendah, matanya menatap lurus ke depan seolah mengingat setiap detail dari masa lalunya. "Sarah, masa lalu yang mungkin kamu dengar atau lihat… tidak semuanya benar. Ada sebagian yang sengaja dibuat-buat. Adam
Proses hijrah Sarah tidak mudah, dan kali ini dia dihadapkan pada ujian besar yang benar-benar menguji tekadnya. Suatu siang, manajernya, Nadia, mendatangi Sarah dengan senyum penuh antusias. "Sarah, ini kesempatan emas! Brand besar ini sudah lama ingin bekerja sama denganmu. Ini akan jadi proyek besar yang bisa mengangkat namamu kembali," ujar Nadia bersemangat sambil menunjukkan kontrak di tangannya.Mata Sarah membelalak saat melihat angka di lembar kontrak itu. Jumlah yang fantastis. Dengan bayaran sebesar itu, dia bisa dengan mudah membantu keluarganya dan berkontribusi pada banyak kegiatan sosial yang ingin dia dukung sejak lama. Namun, saat matanya melirik persyaratan pemotretan, jantungnya berdegup kencang. Ternyata proyek tersebut mengharuskannya berpenampilan terbuka, sesuatu yang sudah dia tinggalkan sejak memulai hijrah.Kegelisahan langsung melanda Sarah. Nadia yang melihat perubahan ekspresi di wajah Sarah, mendesah. "Aku tahu ini mungkin tidak mudah untukmu sekarang, Sa
Sarah menatap layar ponselnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tahu, jika ia terus memikirkan pesan itu, malam indah ini akan sia-sia. Dengan senyum yang dipaksakan, ia menekan tombol hapus pesan tersebut tanpa membacanya lagi."Aku nggak mau hal-hal kayak gini merusak malamku," gumamnya dalam hati.Ia meletakkan ponsel di meja, berbalik ke arah Fajar, dan mendapati suaminya sedang memperhatikannya."Beneran nggak apa-apa?" tanya Fajar dengan nada khawatir.Sarah mendekat, duduk di samping Fajar sambil menggenggam tangannya. "Nggak apa-apa, Mas. Malam ini aku cuma mau fokus sama kita berdua."Fajar tersenyum lega, lalu mengusap kepala istrinya penuh kasih. "Kamu ini memang luar biasa. Selalu tahu cara bikin aku merasa lebih tenang."Setelah selesai makan, Sarah mengajak Fajar keluar ke balkon. Angin malam yang sejuk menyelimuti mereka, dan bintang-bintang bersinar terang di langit. Sarah sudah menyiapkan dua cangkir teh hangat, yang ia letakkan di meja kecil di balkon."Malam
Beberapa bulan sejak kejadian itu Sarah dan Fajar sudah melupakan semuanya, mereka pun sudah resmi menikah, dan kehidupan mereka terasa seperti halaman novel romansa yang indah. Setiap momen terasa istimewa, meski dengan kesederhanaan yang mereka jalani.Pagi itu, Fajar menyentuh rambut Sarah yang masih kusut karena baru bangun tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap istrinya yang meringkuk manja di balik selimut."Bangun, Bu Dokter. Nanti kita kesiangan lagi kalau mau sarapan di luar," ujar Fajar sambil menepuk pelan pipi Sarah.Sarah hanya meringis, lalu menarik selimut lebih tinggi hingga menutupi wajahnya. "Lima menit lagi, Mas. Aku masih ngantuk…"Fajar tertawa kecil, lalu menarik selimutnya dengan lembut. "Sudah jam tujuh, Sayang. Kita mau ke pasar pagi atau mau bikin aku sarapan mie instan lagi?" godanya.Sarah langsung membuka matanya lebar-lebar, wajahnya merona malu. "Itu kan waktu aku kehabisan ide masak, Mas! Lagian, siapa yang makan mie instan cuma pake bawang goreng? A
Suara itu milik seorang pria yang tidak mereka kenal. Tinggi, berpakaian serba hitam, dan memiliki aura yang menekan. Fajar maju selangkah, melindungi Mira di belakangnya, sementara Andi mengarahkan pistolnya dengan waspada."Siapa kamu?" tanya Fajar, suaranya tegas meski tubuhnya tegang.Pria itu tersenyum tipis. "Bukan siapa-siapa. Aku hanya seseorang yang memastikan rencana ini berjalan sesuai keinginanku."Mira tampak bingung. "Rencana apa? Aku yang mengatur ini semua!"Pria itu tertawa kecil, terdengar penuh ejekan. "Oh, Mira... Kau hanya pion dalam permainan ini. Pesan-pesan yang Sarah dan Fajar terima bukan hanya dari kamu. Itu juga dariku."Mata Mira membulat. "Kamu... menggunakan aku?"Pria itu melipat tangannya. "Aku memberimu sedikit dorongan, Mira. Aku tahu kau punya alasan untuk mendekati Fajar. Tapi sayangnya, aku punya agenda yang lebih besar. Fajar bukan hanya sekadar dokter. Dia adalah kunci untuk sesuatu yang lebih penting."Fajar mengernyit. "Apa maksudmu? Aku hanya
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Sarah memutuskan untuk meningkatkan kewaspadaan. Kejadian ini bukan lagi sekadar gangguan, ini adalah ancaman nyata yang tidak bisa diabaikan.---Pagi itu, Fajar menghubungi seorang teman lamanya, Andi, seorang mantan polisi yang sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan."Andi, aku butuh bantuanmu," kata Fajar setelah menjelaskan situasinya."Aku akan segera ke sana," jawab Andi. "Kamu tetap tenang dan jangan bertindak gegabah. Pastikan tidak ada yang tahu kalian merasa terancam."Sarah mendengarkan percakapan itu dari sofa, wajahnya penuh kecemasan. "Apa kita aman di sini, Mas Fajar?”Fajar menatap Sarah, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya gelisah. "Kita akan aman. Andi tahu apa yang harus dilakukan."Sore harinya, saat berjalan di tepi pantai, Sarah menemukan sesuatu yang membuatnya merinding, secarik kertas terlipat rapi, separuh terkubur di pasir. Ia membuka kertas itu dengan hati-hati."Kamu tidak bisa menyembunyikan siapa dirimu
Fajar memutuskan untuk tidak menunda lagi. Pagi itu, ia menghubungi salah satu rekan lamanya yang masih memiliki koneksi dengan Mira. Meski Sarah sempat khawatir, ia akhirnya setuju bahwa menghadapi Mira secara langsung mungkin adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.Setelah beberapa kali mencoba, Fajar akhirnya mendapatkan alamat Mira. Ia tinggal di sebuah vila sederhana di pinggir kota. Dengan perasaan campur aduk, Fajar memutuskan untuk pergi bersama Sarah."Mas Fajar, aku tahu kamu ingin melindungiku, tapi aku harus ikut," kata Sarah tegas saat Fajar mencoba menyuruhnya tinggal di villa.Fajar memandangnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, tapi tetap di belakangku, ya."Ketika mereka tiba di vila Mira, seorang perempuan membuka pintu. Dia adalah Mira, terlihat jauh berbeda dari yang Fajar ingat. Wajahnya menampilkan senyum pahit, seolah dia sudah tahu mengapa Fajar datang."Fajar," katanya pelan, suaranya dingin. "Aku sudah menunggu."Fajar menarik napas dalam-dalam. "
Bab Baru: Bulan Madu yang Tak TerlupakanSarah dan Fajar memilih Bali sebagai tujuan wisata mereka. Pesona alam dan budaya Bali menawarkan ketenangan yang mereka butuhkan setelah melewati serangkaian ujian dalam perjalanan mereka menuju pernikahan. Namun, bulan madu yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan itu justru diwarnai kejadian-kejadian tak terduga.Mereka menginap di sebuah villa privat yang menghadap laut, memberikan suasana romantis nan damai. Hari-hari pertama mereka dipenuhi dengan aktivitas santai, seperti menikmati sarapan di pinggir pantai, mengunjungi Pura Ulun Danu, dan menjelajahi sawah terasering Tegalalang.Di sela perjalanan, Fajar dan Sarah berbicara tentang harapan mereka akan kehidupan rumah tangga. "Aku ingin kita selalu bisa saling mendukung, apapun tantangannya," kata Sarah sambil menggenggam tangan Fajar."Aku janji, aku akan selalu ada untukmu," balas Fajar lembut.Ketika mereka kembali ke villa suatu malam, Sarah menemukan sebuah amplop di meja mak
Fajar memutuskan untuk bertemu Mira secara langsung. Dia merasa perlu mendengar langsung dari Mira, apakah benar wanita itu ada hubungannya dengan teror yang dialaminya belakangan ini. Dengan hati-hati, Fajar mengatur pertemuan di sebuah kafe yang tenang, jauh dari pusat kota, berharap percakapan mereka akan tetap pribadi. Mira tiba lebih dulu. Dia tampak terkejut ketika melihat Fajar menghampirinya. "Sudah lama sekali," katanya dengan senyum yang samar, meskipun matanya tampak menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Iya, sudah lama, Mira," Fajar menjawab sambil duduk di depannya. Dia mencoba tetap tenang, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu... apakah kamu terlibat dengan pesan-pesan yang belakangan ini mengganggu hidupku?" Mira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku? Mengganggu hidupmu? Lucu sekali, Fajar," ucapnya sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu dulu mengabaikan perasaanku dan sekarang kamu malah menuduhku seperti ini?" Fa
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pagi itu, udara terasa berbeda, tenang, tapi penuh dengan harapan yang berdebar-debar. Di kamarnya yang penuh dengan dekorasi bunga, Sarah duduk di depan cermin sambil tersenyum lembut. Ana, yang membantu merapikan jilbabnya, sesekali melontarkan canda untuk mencairkan suasana."Sarah, kamu terlihat seperti bidadari. Dokter Fajar bakal terpesona lagi nih, padahal kamu sudah selalu bikin dia terpesona," ujar Ana sambil terkikik.Sarah tertawa kecil, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. "Ah, Ana, kamu bisa aja. Doain ya, supaya hari ini berjalan lancar," balas Sarah dengan nada penuh harap.Di ruang tamu, Fajar sedang duduk dengan tenang. Wajahnya memancarkan keteduhan, tapi ada secuil kecemasan yang terselip di matanya. Dia merasa siap, tetapi tidak bisa menepis kekhawatiran yang datang sesekali, terutama mengingat pesan-pesan misterius yang mengganggu beberapa waktu terakhir. Tapi ia menenangkan diri, meyakinkan hati bahwa hari ini
Di suasana pagi yang tenang. Sarah mulai menikmati kehidupan barunya yang lebih damai setelah meninggalkan dunia modeling. Perjalanan hijrahnya kini terasa lebih mantap, terlebih dengan dukungan dari Fajar yang selalu ada di sisinya. Rasa hangat dan tenang perlahan menggantikan kekhawatiran yang dulu selalu menghantui.Pagi itu, saat sedang menikmati teh di teras rumahnya, Sarah menerima pesan dari Fajar. Isinya sederhana tapi penuh makna: "Sarah, aku ingin bicara sesuatu yang penting sore ini. Maukah kamu bertemu di taman tempat kita biasa berbincang?"Sarah tersenyum, membalas pesannya dengan antusias. Rasa penasaran sekaligus harapan mulai tumbuh di hatinya. Meski masih ada pesan-pesan misterius yang sesekali masuk ke ponselnya, Sarah semakin bertekad untuk mengabaikannya. Kali ini, ia tidak ingin membiarkan rasa takut atau bayangan masa lalu menguasainya. Keputusannya sudah bulat; ia ingin memberi dirinya kesempatan untuk bahagia bersama seseorang yang benar-benar peduli padanya.