Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya.
"Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?" Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas. "Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu." Ana duduk di hadapannya, dengan tenang meletakkan tangannya di atas tangan Sarah. "Sarah, aku selalu percaya bahwa di balik setiap kesulitan, ada kesempatan untuk menemukan kembali dirimu sendiri. Kau bukan hanya seorang model. Kau lebih dari itu. Dan aku ada di sini untuk memastikan kau menyadarinya." Sarah menatap Ana dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Ana bukan hanya asisten, dia adalah teman setianya, seseorang yang selalu ada di sisinya sejak kecelakaan itu. "Aku pikir mungkin ini saatnya aku mempertimbangkan terapi," ujar Sarah tiba-tiba. "Aku sudah cukup lama menunda-nunda. Mungkin itu bisa membantu." Ana tersenyum lebar, mengangguk penuh semangat. "Itu adalah keputusan yang luar biasa, Sarah! Terapis bisa membantumu menemukan cara untuk menghadapi trauma ini. Ingat, kamu tidak perlu menjalani ini sendirian." --- Beberapa jam kemudian, Sarah berada di ruang tunggu klinik dokter Fajar. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Meski ini hanya kunjungan kontrol, pertemuan dengan dokter Fajar selalu membuatnya merasa sedikit lebih baik. Sosok dokter muda itu tidak hanya profesional dalam merawat fisiknya, tetapi juga memberikan dukungan emosional yang sangat berarti. Pintu ruangan dokter terbuka, dan dokter Fajar muncul dengan senyum hangat. "Sarah! Masuklah, aku sudah menunggumu." Sarah tersenyum tipis dan memasuki ruang periksa. "Bagaimana kabarmu, Dok?" "Saya baik, terima kasih," jawab Fajar, sembari mempersilakan Sarah duduk. "Bagaimana dengan kamu? Bagaimana perasaanmu setelah kunjungan terakhir?" Sarah menghela napas panjang. "Sejujurnya, Dok, hari-hariku masih terasa berat. Pemotretan kemarin berjalan buruk, dan aku mulai merasa mungkin aku memang sudah tidak cocok lagi di dunia itu." Dokter Fajar mendengarkan dengan seksama, menatap Sarah dengan empati. "Sarah, pemulihan itu tidak hanya soal fisik. Kadang, yang lebih sulit adalah menyembuhkan luka batin. Ketika kita mengalami trauma besar, kita perlu memberikan waktu untuk diri sendiri. Itu sangat wajar." Sarah menunduk. "Aku takut, Dok. Takut aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti dulu lagi." Fajar mengangguk pelan. "Aku mengerti. Dan aku ingin kau tahu, kau tidak perlu melalui ini sendirian. Selain terapi fisik, aku sangat menyarankan kau untuk mencoba konseling atau terapi psikologis. Mereka bisa membantumu menemukan cara untuk mengatasi perasaan ini. Jika kau ingin berdiskusi lebih jauh tentang perasaanmu, aku di sini untukmu." Mata Sarah sedikit berkaca-kaca mendengar tawaran itu. Ada sesuatu dalam cara bicara Fajar yang menenangkan, seolah mengatakan bahwa tidak apa-apa merasa rapuh. "Aku mungkin akan mencobanya, Dok. Terapis, maksudku," kata Sarah pelan. "Aku sudah bicara dengan Ana tentang ini. Aku tidak bisa terus mengabaikan perasaanku." "Bagus sekali, Sarah," Dokter Fajar tersenyum lagi. "Langkah kecil menuju penyembuhan adalah sesuatu yang sangat besar. Dan jangan lupa, ada banyak orang yang siap membantumu, termasuk aku." --- Setelah sesi kontrol selesai, Sarah keluar dari klinik dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Saat menunggu Ana yang sedang memarkir mobil, Sarah duduk di ruang tunggu dan memperhatikan sekelilingnya. Di seberang ruangan, ia melihat seorang wanita muda yang duduk dengan kaki yang terbalut perban. Wanita itu tersenyum ramah saat menyadari Sarah sedang menatapnya. "Kecelakaan juga, ya?" tanya wanita itu dengan nada ringan. Sarah tersenyum tipis. "Iya, beberapa bulan yang lalu. Kamu juga?" Wanita itu mengangguk. "Ya, kecelakaan motor. Awalnya, aku pikir hidupku sudah berakhir. Tapi di sini aku sekarang, masih mencoba bertahan." Mendengar kata-kata itu, Sarah merasa ada secercah rasa lega. Mungkin dia tidak sendirian dalam perjuangannya. Ada banyak orang di luar sana yang juga sedang berusaha pulih, dan mereka semua sama, sedang mencoba mencari jalan kembali ke kehidupan mereka. "Kamu kuat," kata Sarah tulus. "Aku masih berjuang dengan itu." "Kita semua begitu," jawab wanita itu. "Tapi kita akan sampai di sana. Satu langkah kecil pada satu waktu." --- Ketika Sarah dan Ana akhirnya meninggalkan klinik, hari sudah mulai senja. Ana mengajak Sarah untuk makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman di dekat rumah mereka. Sarah setuju, meski pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai hal yang baru saja ia alami di klinik. Namun, ketika mereka sedang berjalan menuju restoran, tiba-tiba sebuah truk air yang melintas di jalan basah tergelincir dan menyemprotkan air ke segala arah. Sarah, yang berdiri di pinggir trotoar, langsung terkena cipratan besar dari genangan air. "Ya Tuhan!" teriak Sarah, terkejut dan basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ana, yang berdiri di belakangnya, langsung tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Sarah! Maaf, tapi kamu terlihat sangat konyol sekarang!" Ana mencoba menahan tawanya tapi gagal. Sarah, yang awalnya terkejut dan kesal, akhirnya ikut tertawa. "Tentu saja! Tentu saja ini terjadi padaku! Setelah hari yang berat, kenapa tidak?" Ana menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar. "Mungkin ini tanda bahwa kau butuh lebih banyak momen konyol dalam hidupmu. Mungkin ini yang kita butuhkan untuk melepas stres." Mereka berdua tertawa sambil melangkah ke dalam restoran, Sarah dengan pakaian yang setengah basah, tapi dengan hati yang lebih ringan. Konyol atau tidak, tawa itu adalah sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Sarah merasa sedikit lebih bebas. Mungkin, pikirnya, pemulihan itu memang penuh kejutan, baik yang manis maupun yang basah kuyup.Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b
Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin
**Bab 1: Malam Pengkhianatan**Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam. Namun, Adam tidak sendiri.Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membun
Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?
Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke
Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu