Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.
Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah. "Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah. Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri." Nadia menatap Sarah dengan tatapan penuh pengertian. "Aku tahu kamu mengalami masa-masa yang berat, tapi aku percaya kamu bisa melewati ini. Aku ingin membicarakan sebuah proyek baru untukmu, sesuatu yang ringan untuk memulainya lagi. Kamu tahu, aku tak akan mendorongmu terlalu keras jika kamu belum siap." Sarah menunduk, merasa gugup sekaligus tergerak oleh keyakinan Nadia. "Aku tidak yakin, Nad. Rasanya aneh kembali ke dunia modeling setelah semua yang terjadi. Fisikku mungkin sudah pulih, tapi emosiku…" suaranya menghilang, matanya berkaca-kaca, mengingat trauma yang masih menghantuinya. Nadia meraih tangan Sarah, menekannya dengan lembut. "Aku mengerti. Tapi kamu harus tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk mendapatkan kembali dirimu. Kamu adalah salah satu model terbaik yang pernah aku kelola, dan dunia masih menunggumu, Sarah. Tapi kamu harus kuat. Industri ini keras, dan kita tidak bisa membiarkan luka masa lalu menghentikanmu." Kata-kata Nadia menusuk hati Sarah. Ia tahu Nadia benar. Meski ada rasa takut yang menggumpal di dalam dirinya, ada juga keinginan untuk kembali, untuk menunjukkan bahwa ia masih memiliki kekuatan, meski rapuh. "Apa proyeknya?" tanya Sarah akhirnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Pemotretan untuk kampanye iklan katalog fashion. Tidak terlalu berat, hanya beberapa pose sederhana untuk brand lokal yang cukup terkenal. Aku pikir ini bisa menjadi awal yang baik untukmu," jawab Nadia. Sarah mengangguk perlahan, merasa sedikit lega mendengar proyek itu tidak terlalu besar atau penuh tekanan. "Baiklah, aku akan mencobanya." Mata Nadia bersinar senang. "Itu semangat yang aku suka, Sarah! Jangan khawatir, aku akan ada di sana selama pemotretan, memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu tidak sendirian." --- Hari pemotretan akhirnya tiba. Sarah berdiri di depan cermin besar di ruang ganti studio. Dia mengenakan gaun hitam sederhana yang seharusnya memancarkan keanggunan dan kepercayaan diri, tapi yang dia lihat di cermin adalah wanita yang dipenuhi ketidakpastian. Bayangan masa lalu menghantui benaknya, bayangan kecelakaan itu, bayangan Adam yang mengkhianatinya dengan model lain, dan bayangan dirinya yang terjatuh, hancur. Nadia berdiri di samping Sarah, melihat kegugupan di wajahnya. "Kamu bisa melakukannya, Sarah. Ini hanyalah langkah pertama. Lakukan saja yang terbaik." Sarah mencoba menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya bahwa ini adalah pemotretan seperti yang pernah ia lakukan ribuan kali sebelumnya. Namun, ketika lampu kilat pertama menyala dan kamera mulai fokus padanya, tubuhnya terasa kaku. Setiap gerakan terasa canggung, tidak ada aliran alami yang biasa ia rasakan ketika berpose di depan kamera. Setiap kilatan cahaya membuatnya tersentak, seolah kembali ke momen kecelakaan itu. "Sar, kamu oke?" tanya fotografer, seorang pria muda yang terlihat prihatin melihat ekspresi kaku di wajah Sarah. Sarah menelan ludah, mencoba memaksakan senyum. "Iya, aku… aku hanya butuh waktu sedikit." Namun, semakin lama ia berusaha, semakin hancur kepercayaan dirinya. Setiap klik kamera seperti menghakimi kelemahan dan ketakutannya. Bayangan Adam kembali muncul di pikirannya, wajahnya yang dulu dicintai, senyum yang kini terasa seperti luka yang tak pernah sembuh. Adam, pria yang pernah menjadi segalanya baginya, dan kemudian menghancurkan dunianya. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipi Sarah. "Maaf," katanya dengan suara bergetar. "Aku… aku tidak bisa." Nadia segera menghampiri, menghentikan pemotretan. "Sarah, sayang, tidak apa-apa. Ambil napas dulu, ya? Kamu tidak harus melakukannya sekarang." Sarah menggeleng, merasa gagal. "Aku pikir aku siap, tapi ternyata aku salah. Ini terlalu berat." Nadia mengusap punggung Sarah dengan lembut. "Tidak ada yang salah dengan itu, Sarah. Kamu baru saja kembali, dan ini adalah proses. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri." Sarah menunduk, merasa malu dan kecewa pada dirinya sendiri. "Aku ingin bisa melewati ini, Nad. Tapi setiap kali aku mencoba, bayangan Adam dan kecelakaan itu kembali menghantui." Nadia menghela napas panjang, matanya penuh simpati. "Kamu tidak perlu melawan semuanya sendirian, Sarah. Kan ada Ana juga yang selalu menemanimu, kita bisa mencoba lagi nanti, saat kamu siap." --- Malam itu, setelah kembali ke apartemennya, Sarah duduk di sofa dengan selimut membalut tubuhnya. Pikirannya masih kacau setelah kegagalan di pemotretan. Ia merasa seolah-olah seluruh dunia berada di pundaknya, dan beban itu terlalu berat untuk dipikul. Di tengah kesunyian, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdebar keras, Adam. Sarah menatap layar itu, jari-jarinya gemetar. Sudah beberapa hari sejak terakhir kali mereka bicara, sejak dia menemukan Adam berselingkuh dengan model lain, saat itu semuanya hancur berantakan. Ia memandang layar itu lama, hati kecilnya berperang antara keinginan untuk mendengar penjelasan dan dorongan untuk melindungi dirinya dari lebih banyak rasa sakit. Telepon terus berdering, mengisi keheningan malam dengan ketegangan yang makin meningkat. "Jangan jawab, Sarah," bisiknya pada diri sendiri. "Kamu sudah cukup terluka." Akhirnya, dengan tangan yang gemetar, Sarah mematikan telepon itu. Ia tidak siap untuk mendengar apa pun yang ingin Adam katakan. Rasa sakit yang ia bawa sudah cukup, dan ia tidak akan membuka kembali luka lama yang belum sembuh. Namun, meskipun ia tidak menjawab panggilan itu, air mata jatuh di pipinya, menandakan bahwa rasa sakit itu masih ada, mengintai di balik setiap senyuman palsu dan ketegaran yang ia coba tunjukkan kepada dunia. "Ada apa! Apa dia mengganggumu lagi!" tanya Ana yang tiba-tiba datang membawa makan malam untuknya. Sarah mengangguk lirih, tidak ada rahasia antara dirinya dan Ana, teman sekaligus asisten pribadinya itu selalu setia menemani dalam suka maupun duka. Ana adalah gadis yatim piatu yang sudah lama ikut bekerja dengan keluarga Sarah. Dulu kedua orang tua Ana juga pernah berjasa di keluarga Sarah. "Jangan kau berhubungan lagi dengan dia!" ucap Ana penuh intimidasi, Ana tau Sarah sangat rapuh dan mudah memaafkan, Ana takut tiba-tiba Sarah luluh dengan rayuan Adam tanpa sepengetahuannya.Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap
Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b
Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin
**Bab 1: Malam Pengkhianatan**Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam. Namun, Adam tidak sendiri.Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membun
Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?
Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke