Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"
Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat. Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh." Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya. Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar." Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?" tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik. Dokter itu tersenyum hangat. "Dengan waktu, dan mungkin dengan bantuan orang-orang yang peduli pada Anda. Tidak ada luka yang terlalu dalam untuk sembuh, Sarah. Kadang kita hanya butuh sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran. Sarah terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di dalam hatinya, masih ada rasa sakit yang luar biasa, tapi untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasakan sesuatu yang lain, sedikit harapan. Harapan bahwa mungkin suatu hari nanti, meski tidak hari ini atau besok, dia akan bisa bangkit lagi. "Terima kasih dokter, " Setelah berkonsultasi, hari itu juga Sarah diperbolehkan pulang, dengan catatan 3 gari lagi harus kontrol kakinya yang harus mendapatkan perawatan ekstra. *** Malam telah jatuh, menggelapkan langit dan mengisi dunia dengan keheningan. Di dalam apartemennya yang sunyi, Sarah duduk di sudut kamar dengan lampu yang redup, matanya kosong menatap dinding. Hatinya terasa begitu berat, seolah-olah hidupnya tidak memiliki tujuan lagi. Bayangan pengkhianatan Adam terus berputar di pikirannya, seperti luka yang terus-terusan disayat tanpa henti. Rasanya seperti tak ada lagi yang bisa ia kejar. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dunia seolah-olah kehilangan warnanya. Di depannya, sebotol pil tidur tergeletak di atas meja. Tangannya gemetar saat ia membuka tutup botol itu, memandangi pil-pil kecil yang terjatuh ke telapak tangannya. Ia berpikir, mungkin inilah jalan keluarnya. Mungkin dengan cara ini, semua rasa sakit akan berhenti. Tidak ada lagi mimpi buruk, tidak ada lagi tangis yang tak terhenti setiap malam. Air matanya mengalir deras, mengaburkan pandangannya saat dia mengangkat segenggam pil ke mulutnya. "Aku lelah," bisiknya pelan, hampir tak terdengar. "Aku hanya ingin semuanya berhenti." Namun sebelum ia sempat menelan pil itu, pintu apartemennya terbuka keras, diikuti suara langkah kaki yang tergesa. Ana, teman sekaligus asisten Sarah yang selalu mendampinginya, bergegas masuk. Ia sudah mendengar kabar mengenai kondisi Sarah dan firasat buruk mengantarnya ke sini. "Sarah! Apa yang kamu lakukan! Ana berteriak panik saat melihat pil di tangannya. Sarah terkejut dan menoleh, air matanya masih berlinang. Ana dengan cepat berlari ke arahnya, meraih pil dari tangan Sarah sebelum gadis itu sempat bertindak lebih jauh. Ia membuang pil itu ke lantai, menghancurkannya dengan sepatunya, dan memegang bahu Sarah dengan lembut namun tegas. "Kamu nggak boleh melakukan ini, Sarah!" Ana berkata dengan nada yang tegas tapi penuh kasih. Matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku tahu kamu sedang dalam keadaan sulit, tapi ini bukan solusinya!" Sarah terisak, tubuhnya lemah dalam dekapan Ana. "Aku nggak tahu harus gimana lagi, An. Aku merasa seperti… nggak ada yang tersisa. Semuanya hancur. Aku cuma mau rasa sakit ini berhenti.” Ana menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. Dia mengerti bahwa Sarah telah mengalami banyak hal, tetapi dia tidak bisa membiarkannya menyerah begitu saja. "Sarah," katanya pelan, "aku tahu ini berat. Aku tahu rasanya dunia seperti runtuh. Tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini. Aku akan membantu kamu melewati semua ini." Sarah memejamkan matanya, air mata masih mengalir deras. "Bagaimana caranya, An? Semua sudah hancur. Aku nggak bisa menghadapinya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku masih bisa merasa hidup lagi." Ana menatap Sarah dengan tatapan yang penuh harapan. "Aku nggak punya jawaban instan, Sarah. Tapi aku tahu satu hal, kamu lebih kuat dari apa yang kamu kira. Rasa sakit ini, kesedihan ini… ini tidak akan bertahan selamanya. Ada harapan, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun." Sarah tetap diam, tapi dia bisa merasakan kehangatan dari kata-kata Ana meresap ke dalam dirinya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelapan yang menyelimutinya. "Aku nggak akan biarkan kamu melewati ini sendirian," Ana melanjutkan, nadanya penuh ketulusan. "Aku akan ada di sini, di sampingmu. Setiap hari. Sampai kamu merasa lebih baik. Sampai kamu bisa menemukan alasan untuk bertahan lagi." Sarah akhirnya menatap Ana, matanya yang bengkak dan merah mencoba mencari kejujuran di wajah gadis itu. Dan di sana, dia melihat harapan, sebuah harapan yang selama ini hilang darinya. "Bertahanlah, Sarah," Ana berkata pelan, menyeka air mata di pipi Sarah dengan lembut. "Aku janji, ini tidak akan bertahan selamanya. Ada cahaya di ujung jalan ini, dan aku akan memastikan kamu sampai ke sana." Sarah hanya bisa mengangguk pelan, terlalu lemah untuk mengatakan apa pun. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ana. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa melewati semua ini dengan bantuan seseorang. Malam itu, meski perasaan putus asa masih membayangi, Sarah menemukan sedikit kedamaian dalam kehadiran Ana. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terlihat, tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan melalui semuanya sendirian. Ana telah memberinya secercah harapan, dan itu cukup untuk membuatnya terus bertahan, setidaknya untuk saat ini. **Bab 2 (Lanjutan): Ketika Harapan Mulai Padam** Hari-hari berlalu setelah malam yang kelam itu. Sarah perlahan-lahan mencoba untuk kembali menjalani hidupnya, meski setiap langkah terasa berat. Ana, seperti yang dia janjikan, selalu ada di sisinya. Ia datang hampir setiap hari, menghabiskan waktu bersama Sarah, baik itu hanya sekadar duduk dalam keheningan atau membicarakan hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang ia alami. Namun, meski Ana telah menjadi sandaran yang kuat bagi Sarah, luka hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ada saat-saat ketika malam terasa terlalu sunyi dan pikirannya dipenuhi oleh bayangan Adam dan pengkhianatannya. Dalam kegelapan malam, rasa putus asa sering kali kembali menghantui. Suatu sore, Sarah duduk di balkon apartemennya. Pandangannya kosong menatap langit yang mulai memudar, perlahan berubah dari biru menjadi jingga. Ia memegang secangkir teh hangat di tangannya, mencoba merasakan kehangatannya meresap, tetapi pikirannya tetap jauh, tersesat dalam kenangan yang menyakitkan. Ana tiba di apartemen Sarah tepat ketika langit mulai menggelap. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum melangkah masuk, mengenakan senyum yang selalu ia bawa bersamanya. "Hey, aku bawa sesuatu untukmu," katanya ceria sambil mengangkat kantong berisi makanan favorit Sarah. Sarah tersenyum kecil, tapi tetap lemah. "Terima kasih, An," ucapnya pelan. "Kamu selalu perhatian." Ana duduk di sebelah Sarah di balkon, menatap langit yang sama. Ia menahan diri untuk tidak langsung membicarakan perasaan Sarah, memberinya ruang untuk bicara jika ia siap. Mereka berdua terdiam untuk sementara waktu, menikmati keheningan yang terasa damai. Akhirnya, Ana memecah keheningan. "Sarah," katanya perlahan, "aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku harus mengatakannya. Apa yang kamu alami... aku nggak bisa membayangkan betapa sakitnya itu. Tapi satu hal yang aku tahu, kamu nggak boleh biarkan rasa sakit ini mendefinisikan hidupmu." Sarah menatapnya sebentar sebelum kembali menunduk. "Aku tahu, An," jawabnya, suaranya serak. "Tapi sulit. Setiap kali aku berpikir aku bisa melangkah maju, semuanya kembali ke pikiranku. Seolah-olah aku terus-menerus ditarik kembali ke titik di mana semuanya hancur." Ana mengangguk, memahami perasaan Sarah. "Aku paham, Sarah. Trauma memang begitu, itu tidak hilang begitu saja. Tapi kamu harus percaya bahwa perlahan-lahan, rasa sakit itu akan memudar. Dan pada saat itu tiba, kamu akan menyadari bahwa kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan sekarang." Sarah menatap langit yang kini berwarna ungu kehitaman, lalu menarik napas dalam-dalam. "Kadang aku merasa seperti… aku nggak pantas untuk bahagia lagi," katanya, suaranya gemetar. "Seolah-olah aku sudah kehilangan semua kesempatan untuk hidup normal." Ana meraih tangan Sarah dan menggenggamnya dengan lembut, memberikan sentuhan yang penuh dukungan. "Itu nggak benar, Sarah," katanya dengan tegas. "Kamu pantas untuk bahagia. Kamu pantas untuk menemukan kebahagiaanmu kembali, meskipun sekarang rasanya jauh dari jangkauan. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Bahkan kamu." Sarah terdiam, merasakan kekuatan yang Ana berikan melalui genggamannya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang perlahan mulai terbangun. Mungkin, hanya mungkin, Ana benar. Mungkin ia masih bisa menemukan kebahagiaannya kembali, meski jalan yang harus ditempuh terasa panjang dan penuh rintangan. "Aku nggak tahu apakah aku bisa, An," bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kamu bisa," jawab Ana dengan mantap. "Dan aku akan ada di sini untuk membantumu setiap langkahnya. Kita akan melakukannya bersama." Sarah menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang masih berkecamuk. Ia menatap Ana dengan mata yang penuh air mata namun penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, An. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini." Ana tersenyum lembut, memandang Sarah dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak perlu mengucapkan terima kasih, Sarah. Aku di sini karena aku peduli padamu. Dan aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi." Untuk pertama kalinya sejak malam tragis itu, Sarah merasakan secercah kelegaan. Meski rasa sakit masih ada, meski perasaannya masih campur aduk, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup baginya untuk tetap bertahan. Di malam yang gelap itu, dengan kehangatan dari dukungan Ana, Sarah menemukan bahwa mungkin, di suatu tempat di masa depan, ada harapan untuk kebahagiaan yang baru. Langkah-langkah kecil, meskipun perlahan, akan membawanya menuju kehidupan yang berbeda, kehidupan yang tidak lagi didefinisikan oleh masa lalunya yang menyakitkan, tetapi oleh kekuatannya untuk bertahan dan melanjutkan hidup.Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke
Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu
Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap
Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b
Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin
Pagi itu, Sarah berdiri di tengah-tengah studio yoga, mencoba untuk fokus pada instruktur yang mengarahkan mereka ke posisi "tree pose." Ia sedikit canggung, belum terbiasa dengan postur yang mengharuskannya berdiri dengan satu kaki sambil mengangkat kedua tangan. Tapi meski ada rasa canggung, ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam kelas yoga ini."Bayangkan diri kalian sebagai pohon besar yang kuat," ujar instruktur dengan suara lembut, "berakar di tanah, tenang dan kokoh."Sarah mencoba membayangkan dirinya sebagai pohon. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. Dalam beberapa menit, pikirannya mulai tenang, dan ia merasa ringan, seakan masalah yang membebani pikirannya perlahan-lahan lenyap.Namun, ketenangannya buyar saat seseorang di sebelahnya kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menjatuhkan Sarah ke lantai."Astaga, maaf banget!" kata seorang wanita sambil membantu Sarah bangkit. Wanita itu mengenakan legging be
Setelah kelas yoga yang membawa banyak pencerahan, Sarah merasa hidupnya perlahan mulai berubah. Semakin sering ia bertemu Dokter Fajar, semakin besar rasa penasaran dan kekagumannya pada pria itu. Fajar memiliki kedalaman dan ketenangan yang sulit ditemui pada kebanyakan orang. Suatu sore, ketika ia datang untuk sesi kontrol di klinik, Fajar memberinya rekomendasi yang sederhana tapi terasa berarti baginya."Saya rasa, mungkin buku-buku ini bisa membantu," kata Fajar sambil menyerahkan beberapa buku pada Sarah. Judul-judulnya bervariasi, tentang pencarian makna hidup, kisah hijrah inspiratif, dan beberapa buku tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan.Sarah membaca sampul buku-buku tersebut dengan kagum. "Terima kasih, Dokter. Sungguh, ini sangat berarti buat saya. Kadang saya merasa seperti hilang arah, dan sulit menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup."Fajar tersenyum, tatapannya teduh. "Kita semua pernah merasa begitu, Sarah. Tapi ketika kita mulai mencari dan membuka h
Hari itu, Sarah kembali ke studio untuk sesi pemotretan. Lampu-lampu sorot kembali menyinari wajahnya, memancarkan glamor yang biasa ia kenakan seperti topeng. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada kehampaan yang sulit dijelaskan, perasaan bahwa sesuatu telah berubah di dalam dirinya.Di sela-sela pengambilan gambar, Nadia, manajernya, mendekat. "Sarah, kamu kelihatan… berbeda hari ini," komentar Nadia, alisnya terangkat penasaran. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"Sarah tersenyum tipis, berusaha tetap profesional. "Enggak, kok, Nad. Cuma mungkin… aku lagi mikirin banyak hal," jawabnya, setengah melamun.Namun, di tengah percakapan mereka, seorang teman lama, Maya, yang juga seorang model, tiba-tiba muncul. "Sarah! Lama banget nggak ketemu, ya ampun!" serunya sambil memeluk Sarah dengan hangat. Maya masih sama, ceria dan penuh semangat, tapi sekarang, ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkan Sarah akan masa lalunya."Wow, Maya! Udah lama banget, gimana kabar kamu?" jawab Sarah dengan
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar, membiaskan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sarah terbangun lebih dulu dan tersenyum melihat Fajar yang tidur nyenyak di sampingnya. Di antara mereka, dua bayi mungil dengan pipi kemerahan tampak tenang dalam tidurnya.Sarah mengulurkan tangan, membelai pipi Fajar dengan lembut. "Mas… bangun, ayo kita lihat si kembar," bisiknya.Fajar membuka matanya perlahan, kemudian tersenyum melihat wajah istrinya yang begitu tenang. "Selamat pagi, Sayang."Sarah tertawa kecil. "Lihat mereka, Mas. Lucu sekali. Aku masih nggak percaya mereka benar-benar ada di sini."Fajar mendekat ke salah satu bayi dan mengecup keningnya. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidup kita, Sayang. Kamu luar biasa."Hari itu dipenuhi dengan tawa kecil bayi, obrolan ringan, dan kebersamaan yang penuh cinta. Fajar mengambil cuti untuk memastikan dirinya ada di rumah, menemani Sarah dan bayi mereka.Di ruang tengah, Fajar menggendong bayi laki-lakinya sambil berbicara
Bab 48Suasana pagi di rumah Fajar dan Sarah terasa hangat. Cahaya matahari menembus tirai jendela, memantulkan bayangan lembut di wajah Sarah yang tengah menyusui salah satu bayi kembarnya. Sementara itu, Fajar bersiap untuk pergi menemui Jo, sahabat lamanya yang kini menjadi dosen di kampus."Aku harus pergi sebentar, Sayang. Jo bilang dia punya informasi penting," ujar Fajar sambil membetulkan kerah bajunya.Sarah menatap suaminya dengan penuh khawatir. "Hati-hati ya, Mas. Jangan terlalu memaksakan diri."Fajar mendekati Sarah, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku janji akan berhati-hati. Fokus saja pada bayi kita, jangan pikirkan yang aneh-aneh."Setelah berpamitan, Fajar melesat pergi. Jo sudah menunggu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Pria bertubuh atletis dengan rambut cepak itu menyambut Fajar dengan senyuman tipis."Sudah lama ya, kita nggak duduk bareng begini," ujar Jo sambil menyeruput kopinya.Fajar tersenyum lelah. "Iya, Jo. Tapi kali ini bukan untuk sekadar nostalgi
Beberapa bulan telah berlalu sejak pesan misterius terakhir yang diterima Fajar. Kehidupan mereka berjalan penuh kebahagiaan dan persiapan menyambut kelahiran anak kembar mereka. Sarah semakin bersinar dengan perutnya yang membesar, dan Fajar selalu berusaha untuk ada di setiap momen penting istrinya.Pagi itu, mentari baru saja muncul di balik jendela kamar mereka. Sarah, yang masih terbaring di ranjang, tiba-tiba merasakan nyeri hebat di perutnya. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya."Mas Fajar… Aaah… Sakit, sakit sekali…" ucap Sarah dengan suara bergetar, tangannya mencengkeram selimut.Fajar yang sedang merapikan peralatan kerjanya langsung berbalik. Wajahnya seketika tegang melihat kondisi Sarah. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri istrinya dan memegang perut Sarah dengan lembut."Sayang, tarik napas pelan-pelan, ya. Aku akan periksa sekarang." Fajar berusaha tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.Setelah memeriksa Sarah dengan cepat, Fajar menatap
Pagi itu, Fajar terbangun lebih dulu. Ia memandang Sarah yang masih terlelap dengan wajah damai. Tangannya perlahan membelai rambut istrinya, lalu berhenti di perut Sarah yang mulai terlihat membuncit. Ia tersenyum kecil, merasa tak pernah cukup bersyukur atas anugerah yang Allah berikan dalam hidupnya.Sarah menggeliat pelan, membuka matanya dengan malas. Melihat Fajar yang menatapnya penuh kasih, ia tersenyum tipis. "Mas, udah bangun? Kok nggak bangunin aku?""Aku nggak tega, Sayang. Kamu tidur nyenyak banget, pasti capek," jawab Fajar lembut, lalu mengecup keningnya. "Gimana perutnya? Ada yang nendang pagi ini?"Sarah mengusap perutnya sambil terkikik kecil. "Kayaknya mereka masih tidur, deh. Anak-anak kamu emang sopan banget, Mas."Fajar tertawa kecil. "Tentu dong, anak siapa dulu? Pasti nurun bapaknya."Sarah memutar mata sambil tertawa. "Narsis banget."Hari itu, Fajar memutuskan untuk bekerja dari rumah agar bisa menemani Sarah. Ia tidak mau istrinya kelelahan dan lebih memilih
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar, menyinari wajah Sarah yang sedang tertidur pulas. Fajar duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan penuh kasih. Sudah beberapa minggu berlalu sejak kepergian Mira, dan meskipun badai telah berlalu, bayangannya masih menyisakan luka di hati Fajar. Namun, kehadiran Sarah dan calon buah hati mereka menjadi alasan baginya untuk tetap tegar dan melangkah maju.Sarah menggeliat perlahan, matanya terbuka dan langsung bertemu dengan senyuman hangat Fajar. "Kamu dari tadi lihat-lihatin aku, ya?" godanya dengan suara serak karena baru bangun.Fajar terkekeh kecil dan membelai rambut istrinya. "Iya, soalnya ada bidadari cantik di sebelahku, sayang."Sarah tersenyum malu-malu, lalu duduk sambil memegang perutnya yang mulai membesar. "Mas Fajar..." ucapnya lembut."Hm?" Fajar menatapnya serius, tahu istrinya ingin mengatakan sesuatu yang penting."Menurut kamu... kita beneran bisa bahagia sekarang? Setelah semua yang kita lewati?
Suasana di rumah sakit terasa begitu mencekam. Lampu ruang ICU yang selalu terang benderang seolah tak mampu mengusir gelapnya duka yang melingkupi tempat itu. Beberapa dokter keluar-masuk ruangan dengan raut serius, sementara perawat bergegas dengan langkah berat.Fajar berdiri di dekat mesin monitor, memperhatikan grafik vital Mira yang semakin melemah. Ia tahu, waktu Mira tidak banyak lagi. Meskipun sudah diberikan perawatan terbaik, tubuh Mira tidak merespons pengobatan seperti yang diharapkan.Pak Hendra berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya menggenggam tasbih kecil. Bibirnya komat-kamit melantunkan doa-doa, sementara air mata terus mengalir tanpa henti."Fajar... bagaimana keadaan Mira?" tanyanya dengan suara parau.Fajar menatap pria itu dengan penuh empati, namun sulit baginya untuk mengucapkan kebenaran. "Kami sudah melakukan yang terbaik, Pak. Tapi... Mira sangat lemah."Pak Hendra menatap putrinya yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. "Dia kuat
Bab 40: Kabar yang MenggetarkanPagi itu, Fajar baru saja selesai memeriksa salah satu pasien di rumah sakit ketika seorang perawat mendekatinya dengan wajah serius."Dokter Fajar, ada kabar penting," ujar perawat tersebut dengan nada ragu.Fajar mengerutkan kening. "Apa itu? Ada yang terjadi di ruang IGD?"Perawat itu menggeleng. "Bukan, Dok. Ini tentang... Pasien yang baru saja tiba!"Hati Fajar langsung berdegup kencang. "Siapa? Apa ada yang serius?""Seorang wanita mengalami kecelakaan tadi pagi, Dok. Mobilnya menabrak pembatas jalan di kawasan tol. Dia dibawa ke sini dan sekarang sedang dirawat di ICU. Keadaannya kritis."Fajar terdiam, merasakan gelombang emosi bercampur aduk di dadanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Perawat itu melanjutkan dengan hati-hati. "Menurut saksi, perempuan itu mengemudi dengan kecepatan tinggi dan tampak tidak fokus. Polisi menemukan beberapa botol minuman di mobilnya, tapi kami belum tahu apakah itu ada hubungannya dengan kecelakaan."Tanpa berpikir
Sarah berjalan mendekati pintu dengan ragu. Fajar yang berdiri kaku di ambang pintu tampak sedikit tegang, sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya."Mas Fajar?" panggil Sarah lagi, suaranya pelan tapi penuh dengan rasa ingin tahu.Saat ia mendekat, sosok di depan pintu akhirnya terlihat jelas. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih berdiri di sana, mengenakan setelan jas sederhana dan rapi. Wajahnya menunjukkan campuran antara keraguan dan tekad."Siapa ini?" tanya Sarah lembut, berdiri di samping suaminya.Pria itu tersenyum tipis, lalu berkata, "Perkenalkan, saya Pak Hendra... ayah Mira."Mendengar nama itu, Sarah tertegun. Fajar segera melangkah maju, sedikit menutupi istrinya dengan tubuhnya."Pak Hendra, ada yang bisa saya bantu?" tanya Fajar dengan nada datar, tapi jelas berusaha tetap sopan.Pak Hendra menarik napas panjang sebelum menjawab. "Saya ke sini untuk meminta maaf, Dokter Fajar, kepada Anda dan istri Anda. Saya tahu anak saya telah menyebabkan banyak
Fajar membuka pintu dengan hati-hati. Di depannya berdiri seorang pria paruh baya dengan raut wajah serius dan terlihat gugup. Sarah berdiri di belakang Fajar, mengintip dari balik bahunya."Dokter Fajar?" tanya pria itu dengan suara yang sedikit bergetar."Iya, saya. Anda siapa?" balas Fajar sambil memperhatikan pria itu dengan waspada."Saya Andri, seorang detektif swasta. Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan Anda dan istri Anda, ini sangat penting," ujar pria itu sambil melirik ke arah Sarah.Fajar ragu sejenak, lalu memberi isyarat pada pria itu untuk masuk. Setelah mereka duduk di ruang tamu, Andri membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa dokumen serta foto."Saya sudah lama mengikuti kasus yang menyangkut keluarga Anda, terutama almarhumah Nisa," kata Andri langsung ke pokok permasalahan.Sarah merasa jantungnya berdebar kencang, sementara Fajar memperhatikan dokumen-dokumen itu dengan tatapan penuh tanya."Dulu, saya disewa oleh seseorang untuk menyelidiki latar belakan