Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"
Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat. Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh." Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya. Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar." Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?" tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik. Dokter itu tersenyum hangat. "Dengan waktu, dan mungkin dengan bantuan orang-orang yang peduli pada Anda. Tidak ada luka yang terlalu dalam untuk sembuh, Sarah. Kadang kita hanya butuh sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran. Sarah terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di dalam hatinya, masih ada rasa sakit yang luar biasa, tapi untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasakan sesuatu yang lain, sedikit harapan. Harapan bahwa mungkin suatu hari nanti, meski tidak hari ini atau besok, dia akan bisa bangkit lagi. "Terima kasih dokter, " Setelah berkonsultasi, hari itu juga Sarah diperbolehkan pulang, dengan catatan 3 gari lagi harus kontrol kakinya yang harus mendapatkan perawatan ekstra. *** Malam telah jatuh, menggelapkan langit dan mengisi dunia dengan keheningan. Di dalam apartemennya yang sunyi, Sarah duduk di sudut kamar dengan lampu yang redup, matanya kosong menatap dinding. Hatinya terasa begitu berat, seolah-olah hidupnya tidak memiliki tujuan lagi. Bayangan pengkhianatan Adam terus berputar di pikirannya, seperti luka yang terus-terusan disayat tanpa henti. Rasanya seperti tak ada lagi yang bisa ia kejar. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dunia seolah-olah kehilangan warnanya. Di depannya, sebotol pil tidur tergeletak di atas meja. Tangannya gemetar saat ia membuka tutup botol itu, memandangi pil-pil kecil yang terjatuh ke telapak tangannya. Ia berpikir, mungkin inilah jalan keluarnya. Mungkin dengan cara ini, semua rasa sakit akan berhenti. Tidak ada lagi mimpi buruk, tidak ada lagi tangis yang tak terhenti setiap malam. Air matanya mengalir deras, mengaburkan pandangannya saat dia mengangkat segenggam pil ke mulutnya. "Aku lelah," bisiknya pelan, hampir tak terdengar. "Aku hanya ingin semuanya berhenti." Namun sebelum ia sempat menelan pil itu, pintu apartemennya terbuka keras, diikuti suara langkah kaki yang tergesa. Ana, teman sekaligus asisten Sarah yang selalu mendampinginya, bergegas masuk. Ia sudah mendengar kabar mengenai kondisi Sarah dan firasat buruk mengantarnya ke sini. "Sarah! Apa yang kamu lakukan! Ana berteriak panik saat melihat pil di tangannya. Sarah terkejut dan menoleh, air matanya masih berlinang. Ana dengan cepat berlari ke arahnya, meraih pil dari tangan Sarah sebelum gadis itu sempat bertindak lebih jauh. Ia membuang pil itu ke lantai, menghancurkannya dengan sepatunya, dan memegang bahu Sarah dengan lembut namun tegas. "Kamu nggak boleh melakukan ini, Sarah!" Ana berkata dengan nada yang tegas tapi penuh kasih. Matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku tahu kamu sedang dalam keadaan sulit, tapi ini bukan solusinya!" Sarah terisak, tubuhnya lemah dalam dekapan Ana. "Aku nggak tahu harus gimana lagi, An. Aku merasa seperti… nggak ada yang tersisa. Semuanya hancur. Aku cuma mau rasa sakit ini berhenti.” Ana menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. Dia mengerti bahwa Sarah telah mengalami banyak hal, tetapi dia tidak bisa membiarkannya menyerah begitu saja. "Sarah," katanya pelan, "aku tahu ini berat. Aku tahu rasanya dunia seperti runtuh. Tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini. Aku akan membantu kamu melewati semua ini." Sarah memejamkan matanya, air mata masih mengalir deras. "Bagaimana caranya, An? Semua sudah hancur. Aku nggak bisa menghadapinya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku masih bisa merasa hidup lagi." Ana menatap Sarah dengan tatapan yang penuh harapan. "Aku nggak punya jawaban instan, Sarah. Tapi aku tahu satu hal, kamu lebih kuat dari apa yang kamu kira. Rasa sakit ini, kesedihan ini… ini tidak akan bertahan selamanya. Ada harapan, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun." Sarah tetap diam, tapi dia bisa merasakan kehangatan dari kata-kata Ana meresap ke dalam dirinya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelapan yang menyelimutinya. "Aku nggak akan biarkan kamu melewati ini sendirian," Ana melanjutkan, nadanya penuh ketulusan. "Aku akan ada di sini, di sampingmu. Setiap hari. Sampai kamu merasa lebih baik. Sampai kamu bisa menemukan alasan untuk bertahan lagi." Sarah akhirnya menatap Ana, matanya yang bengkak dan merah mencoba mencari kejujuran di wajah gadis itu. Dan di sana, dia melihat harapan, sebuah harapan yang selama ini hilang darinya. "Bertahanlah, Sarah," Ana berkata pelan, menyeka air mata di pipi Sarah dengan lembut. "Aku janji, ini tidak akan bertahan selamanya. Ada cahaya di ujung jalan ini, dan aku akan memastikan kamu sampai ke sana." Sarah hanya bisa mengangguk pelan, terlalu lemah untuk mengatakan apa pun. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ana. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa melewati semua ini dengan bantuan seseorang. Malam itu, meski perasaan putus asa masih membayangi, Sarah menemukan sedikit kedamaian dalam kehadiran Ana. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terlihat, tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan melalui semuanya sendirian. Ana telah memberinya secercah harapan, dan itu cukup untuk membuatnya terus bertahan, setidaknya untuk saat ini. **Bab 2 (Lanjutan): Ketika Harapan Mulai Padam** Hari-hari berlalu setelah malam yang kelam itu. Sarah perlahan-lahan mencoba untuk kembali menjalani hidupnya, meski setiap langkah terasa berat. Ana, seperti yang dia janjikan, selalu ada di sisinya. Ia datang hampir setiap hari, menghabiskan waktu bersama Sarah, baik itu hanya sekadar duduk dalam keheningan atau membicarakan hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang ia alami. Namun, meski Ana telah menjadi sandaran yang kuat bagi Sarah, luka hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ada saat-saat ketika malam terasa terlalu sunyi dan pikirannya dipenuhi oleh bayangan Adam dan pengkhianatannya. Dalam kegelapan malam, rasa putus asa sering kali kembali menghantui. Suatu sore, Sarah duduk di balkon apartemennya. Pandangannya kosong menatap langit yang mulai memudar, perlahan berubah dari biru menjadi jingga. Ia memegang secangkir teh hangat di tangannya, mencoba merasakan kehangatannya meresap, tetapi pikirannya tetap jauh, tersesat dalam kenangan yang menyakitkan. Ana tiba di apartemen Sarah tepat ketika langit mulai menggelap. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum melangkah masuk, mengenakan senyum yang selalu ia bawa bersamanya. "Hey, aku bawa sesuatu untukmu," katanya ceria sambil mengangkat kantong berisi makanan favorit Sarah. Sarah tersenyum kecil, tapi tetap lemah. "Terima kasih, An," ucapnya pelan. "Kamu selalu perhatian." Ana duduk di sebelah Sarah di balkon, menatap langit yang sama. Ia menahan diri untuk tidak langsung membicarakan perasaan Sarah, memberinya ruang untuk bicara jika ia siap. Mereka berdua terdiam untuk sementara waktu, menikmati keheningan yang terasa damai. Akhirnya, Ana memecah keheningan. "Sarah," katanya perlahan, "aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku harus mengatakannya. Apa yang kamu alami... aku nggak bisa membayangkan betapa sakitnya itu. Tapi satu hal yang aku tahu, kamu nggak boleh biarkan rasa sakit ini mendefinisikan hidupmu." Sarah menatapnya sebentar sebelum kembali menunduk. "Aku tahu, An," jawabnya, suaranya serak. "Tapi sulit. Setiap kali aku berpikir aku bisa melangkah maju, semuanya kembali ke pikiranku. Seolah-olah aku terus-menerus ditarik kembali ke titik di mana semuanya hancur." Ana mengangguk, memahami perasaan Sarah. "Aku paham, Sarah. Trauma memang begitu, itu tidak hilang begitu saja. Tapi kamu harus percaya bahwa perlahan-lahan, rasa sakit itu akan memudar. Dan pada saat itu tiba, kamu akan menyadari bahwa kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan sekarang." Sarah menatap langit yang kini berwarna ungu kehitaman, lalu menarik napas dalam-dalam. "Kadang aku merasa seperti… aku nggak pantas untuk bahagia lagi," katanya, suaranya gemetar. "Seolah-olah aku sudah kehilangan semua kesempatan untuk hidup normal." Ana meraih tangan Sarah dan menggenggamnya dengan lembut, memberikan sentuhan yang penuh dukungan. "Itu nggak benar, Sarah," katanya dengan tegas. "Kamu pantas untuk bahagia. Kamu pantas untuk menemukan kebahagiaanmu kembali, meskipun sekarang rasanya jauh dari jangkauan. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Bahkan kamu." Sarah terdiam, merasakan kekuatan yang Ana berikan melalui genggamannya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang perlahan mulai terbangun. Mungkin, hanya mungkin, Ana benar. Mungkin ia masih bisa menemukan kebahagiaannya kembali, meski jalan yang harus ditempuh terasa panjang dan penuh rintangan. "Aku nggak tahu apakah aku bisa, An," bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kamu bisa," jawab Ana dengan mantap. "Dan aku akan ada di sini untuk membantumu setiap langkahnya. Kita akan melakukannya bersama." Sarah menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang masih berkecamuk. Ia menatap Ana dengan mata yang penuh air mata namun penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, An. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini." Ana tersenyum lembut, memandang Sarah dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak perlu mengucapkan terima kasih, Sarah. Aku di sini karena aku peduli padamu. Dan aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi." Untuk pertama kalinya sejak malam tragis itu, Sarah merasakan secercah kelegaan. Meski rasa sakit masih ada, meski perasaannya masih campur aduk, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup baginya untuk tetap bertahan. Di malam yang gelap itu, dengan kehangatan dari dukungan Ana, Sarah menemukan bahwa mungkin, di suatu tempat di masa depan, ada harapan untuk kebahagiaan yang baru. Langkah-langkah kecil, meskipun perlahan, akan membawanya menuju kehidupan yang berbeda, kehidupan yang tidak lagi didefinisikan oleh masa lalunya yang menyakitkan, tetapi oleh kekuatannya untuk bertahan dan melanjutkan hidup.Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke
Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu
Pagi itu, Sarah duduk di meja makan sambil menatap kosong ke arah luar jendela. Langit biru cerah yang seharusnya memberikan semangat, baginya masih terasa abu-abu dan suram. Ketika Ana datang dengan secangkir teh hangat, wajah Sarah masih dipenuhi keraguan dan ketakutan akan masa depannya."Aku sudah membuatkan teh hijau kesukaanmu," kata Ana dengan senyum hangat. "Ayo, jangan terus terlarut dalam pikiran. Hari ini kamu ada janji dengan dokter Fajar, kan?"Sarah hanya mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum meminum teh itu. Ana selalu tahu apa yang membuatnya nyaman. Setelah kegagalan pemotretan kemarin, Sarah merasa seperti semakin tenggelam ke dalam rasa putus asa. Dia tahu dia harus berjuang, tetapi melawan perasaan yang begitu berat terasa seperti melawan arus laut yang ganas."Kau tahu, Ana," Sarah berkata pelan. "Aku merasa seperti kehilangan arah. Dunia modeling dulu adalah segalanya buatku, dan sekarang… rasanya aku tidak tahu siapa diriku tanpa itu."Ana duduk di hadap
Bab 6: Proses Menghadapi Masa LaluSarah duduk di depan cermin kamar tidurnya, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, hasil dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskan dengan memikirkan masa lalunya, lebih khusus lagi, tentang Adam. Pikirannya dipenuhi bayangan hari-hari indah yang dulu mereka habiskan bersama, namun kini semua itu hanya menyisakan kepedihan.Sebuah notifikasi ponsel berbunyi, mengganggu lamunannya. Sarah mengambil ponsel di meja, matanya membelalak saat melihat pemberitahuan tersebut. Itu adalah sebuah artikel daring tentang pengumuman pertunangan Adam. Senyumnya lebar di samping seorang wanita yang tidak Sarah kenal, wanita yang kini telah menggantikan posisinya."Pertunangan Adam?" Sarah berseru dengan suara tercekat, jari-jarinya gemetar saat membaca judul artikel tersebut.Ana, yang sedang di dapur, mendengar suara Sarah dan bergegas masuk ke kamarnya. "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.Sarah menunjukkan layar ponselnya tanpa b
Pagi itu, sinar matahari mengintip melalui tirai jendela studio, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Di tengah keramaian kru yang sedang menyiapkan peralatan pemotretan, Sarah berdiri di depan cermin besar, memeriksa penampilannya sekali lagi. Hari ini, dia kembali ke dunia modeling, tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda, perasaan bahwa ia tidak lagi sekadar bertahan, tetapi siap untuk melangkah maju.Ana berdiri di sampingnya, memberi dukungan penuh. "Kamu siap, Sarah? Ini adalah momenmu."Sarah mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam. "Aku siap, Ana. Aku sudah lama menghindar dari dunia ini, tapi kali ini, aku tidak akan lari lagi."Ana tersenyum bangga dan memeluk Sarah dengan erat. "Aku selalu tahu kamu punya kekuatan itu di dalam dirimu. Sekarang, tunjukkan kepada dunia siapa Sarah yang sebenarnya."Saat pemotretan dimulai, Sarah berdiri di depan kamera dengan pose yang anggun, tubuhnya bergerak dengan lancar, dan ekspresinya memancarkan keyakin
Pagi itu, Sarah berdiri di tengah-tengah studio yoga, mencoba untuk fokus pada instruktur yang mengarahkan mereka ke posisi "tree pose." Ia sedikit canggung, belum terbiasa dengan postur yang mengharuskannya berdiri dengan satu kaki sambil mengangkat kedua tangan. Tapi meski ada rasa canggung, ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dalam kelas yoga ini."Bayangkan diri kalian sebagai pohon besar yang kuat," ujar instruktur dengan suara lembut, "berakar di tanah, tenang dan kokoh."Sarah mencoba membayangkan dirinya sebagai pohon. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. Dalam beberapa menit, pikirannya mulai tenang, dan ia merasa ringan, seakan masalah yang membebani pikirannya perlahan-lahan lenyap.Namun, ketenangannya buyar saat seseorang di sebelahnya kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menjatuhkan Sarah ke lantai."Astaga, maaf banget!" kata seorang wanita sambil membantu Sarah bangkit. Wanita itu mengenakan legging be
Setelah kelas yoga yang membawa banyak pencerahan, Sarah merasa hidupnya perlahan mulai berubah. Semakin sering ia bertemu Dokter Fajar, semakin besar rasa penasaran dan kekagumannya pada pria itu. Fajar memiliki kedalaman dan ketenangan yang sulit ditemui pada kebanyakan orang. Suatu sore, ketika ia datang untuk sesi kontrol di klinik, Fajar memberinya rekomendasi yang sederhana tapi terasa berarti baginya."Saya rasa, mungkin buku-buku ini bisa membantu," kata Fajar sambil menyerahkan beberapa buku pada Sarah. Judul-judulnya bervariasi, tentang pencarian makna hidup, kisah hijrah inspiratif, dan beberapa buku tentang kebahagiaan dalam kesederhanaan.Sarah membaca sampul buku-buku tersebut dengan kagum. "Terima kasih, Dokter. Sungguh, ini sangat berarti buat saya. Kadang saya merasa seperti hilang arah, dan sulit menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup."Fajar tersenyum, tatapannya teduh. "Kita semua pernah merasa begitu, Sarah. Tapi ketika kita mulai mencari dan membuka h
Hari itu, Sarah kembali ke studio untuk sesi pemotretan. Lampu-lampu sorot kembali menyinari wajahnya, memancarkan glamor yang biasa ia kenakan seperti topeng. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Ada kehampaan yang sulit dijelaskan, perasaan bahwa sesuatu telah berubah di dalam dirinya.Di sela-sela pengambilan gambar, Nadia, manajernya, mendekat. "Sarah, kamu kelihatan… berbeda hari ini," komentar Nadia, alisnya terangkat penasaran. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"Sarah tersenyum tipis, berusaha tetap profesional. "Enggak, kok, Nad. Cuma mungkin… aku lagi mikirin banyak hal," jawabnya, setengah melamun.Namun, di tengah percakapan mereka, seorang teman lama, Maya, yang juga seorang model, tiba-tiba muncul. "Sarah! Lama banget nggak ketemu, ya ampun!" serunya sambil memeluk Sarah dengan hangat. Maya masih sama, ceria dan penuh semangat, tapi sekarang, ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkan Sarah akan masa lalunya."Wow, Maya! Udah lama banget, gimana kabar kamu?" jawab Sarah dengan
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Sarah memutuskan untuk meningkatkan kewaspadaan. Kejadian ini bukan lagi sekadar gangguan, ini adalah ancaman nyata yang tidak bisa diabaikan.---Pagi itu, Fajar menghubungi seorang teman lamanya, Andi, seorang mantan polisi yang sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan."Andi, aku butuh bantuanmu," kata Fajar setelah menjelaskan situasinya."Aku akan segera ke sana," jawab Andi. "Kamu tetap tenang dan jangan bertindak gegabah. Pastikan tidak ada yang tahu kalian merasa terancam."Sarah mendengarkan percakapan itu dari sofa, wajahnya penuh kecemasan. "Apa kita aman di sini, Mas Fajar?”Fajar menatap Sarah, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya gelisah. "Kita akan aman. Andi tahu apa yang harus dilakukan."Sore harinya, saat berjalan di tepi pantai, Sarah menemukan sesuatu yang membuatnya merinding, secarik kertas terlipat rapi, separuh terkubur di pasir. Ia membuka kertas itu dengan hati-hati."Kamu tidak bisa menyembunyikan siapa dirimu
Fajar memutuskan untuk tidak menunda lagi. Pagi itu, ia menghubungi salah satu rekan lamanya yang masih memiliki koneksi dengan Mira. Meski Sarah sempat khawatir, ia akhirnya setuju bahwa menghadapi Mira secara langsung mungkin adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.Setelah beberapa kali mencoba, Fajar akhirnya mendapatkan alamat Mira. Ia tinggal di sebuah vila sederhana di pinggir kota. Dengan perasaan campur aduk, Fajar memutuskan untuk pergi bersama Sarah."Mas Fajar, aku tahu kamu ingin melindungiku, tapi aku harus ikut," kata Sarah tegas saat Fajar mencoba menyuruhnya tinggal di villa.Fajar memandangnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, tapi tetap di belakangku, ya."Ketika mereka tiba di vila Mira, seorang perempuan membuka pintu. Dia adalah Mira, terlihat jauh berbeda dari yang Fajar ingat. Wajahnya menampilkan senyum pahit, seolah dia sudah tahu mengapa Fajar datang."Fajar," katanya pelan, suaranya dingin. "Aku sudah menunggu."Fajar menarik napas dalam-dalam. "
Bab Baru: Bulan Madu yang Tak TerlupakanSarah dan Fajar memilih Bali sebagai tujuan wisata mereka. Pesona alam dan budaya Bali menawarkan ketenangan yang mereka butuhkan setelah melewati serangkaian ujian dalam perjalanan mereka menuju pernikahan. Namun, bulan madu yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan itu justru diwarnai kejadian-kejadian tak terduga.Mereka menginap di sebuah villa privat yang menghadap laut, memberikan suasana romantis nan damai. Hari-hari pertama mereka dipenuhi dengan aktivitas santai, seperti menikmati sarapan di pinggir pantai, mengunjungi Pura Ulun Danu, dan menjelajahi sawah terasering Tegalalang.Di sela perjalanan, Fajar dan Sarah berbicara tentang harapan mereka akan kehidupan rumah tangga. "Aku ingin kita selalu bisa saling mendukung, apapun tantangannya," kata Sarah sambil menggenggam tangan Fajar."Aku janji, aku akan selalu ada untukmu," balas Fajar lembut.Ketika mereka kembali ke villa suatu malam, Sarah menemukan sebuah amplop di meja mak
Fajar memutuskan untuk bertemu Mira secara langsung. Dia merasa perlu mendengar langsung dari Mira, apakah benar wanita itu ada hubungannya dengan teror yang dialaminya belakangan ini. Dengan hati-hati, Fajar mengatur pertemuan di sebuah kafe yang tenang, jauh dari pusat kota, berharap percakapan mereka akan tetap pribadi. Mira tiba lebih dulu. Dia tampak terkejut ketika melihat Fajar menghampirinya. "Sudah lama sekali," katanya dengan senyum yang samar, meskipun matanya tampak menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Iya, sudah lama, Mira," Fajar menjawab sambil duduk di depannya. Dia mencoba tetap tenang, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu... apakah kamu terlibat dengan pesan-pesan yang belakangan ini mengganggu hidupku?" Mira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku? Mengganggu hidupmu? Lucu sekali, Fajar," ucapnya sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu dulu mengabaikan perasaanku dan sekarang kamu malah menuduhku seperti ini?" Fa
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pagi itu, udara terasa berbeda, tenang, tapi penuh dengan harapan yang berdebar-debar. Di kamarnya yang penuh dengan dekorasi bunga, Sarah duduk di depan cermin sambil tersenyum lembut. Ana, yang membantu merapikan jilbabnya, sesekali melontarkan canda untuk mencairkan suasana."Sarah, kamu terlihat seperti bidadari. Dokter Fajar bakal terpesona lagi nih, padahal kamu sudah selalu bikin dia terpesona," ujar Ana sambil terkikik.Sarah tertawa kecil, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. "Ah, Ana, kamu bisa aja. Doain ya, supaya hari ini berjalan lancar," balas Sarah dengan nada penuh harap.Di ruang tamu, Fajar sedang duduk dengan tenang. Wajahnya memancarkan keteduhan, tapi ada secuil kecemasan yang terselip di matanya. Dia merasa siap, tetapi tidak bisa menepis kekhawatiran yang datang sesekali, terutama mengingat pesan-pesan misterius yang mengganggu beberapa waktu terakhir. Tapi ia menenangkan diri, meyakinkan hati bahwa hari ini
Di suasana pagi yang tenang. Sarah mulai menikmati kehidupan barunya yang lebih damai setelah meninggalkan dunia modeling. Perjalanan hijrahnya kini terasa lebih mantap, terlebih dengan dukungan dari Fajar yang selalu ada di sisinya. Rasa hangat dan tenang perlahan menggantikan kekhawatiran yang dulu selalu menghantui.Pagi itu, saat sedang menikmati teh di teras rumahnya, Sarah menerima pesan dari Fajar. Isinya sederhana tapi penuh makna: "Sarah, aku ingin bicara sesuatu yang penting sore ini. Maukah kamu bertemu di taman tempat kita biasa berbincang?"Sarah tersenyum, membalas pesannya dengan antusias. Rasa penasaran sekaligus harapan mulai tumbuh di hatinya. Meski masih ada pesan-pesan misterius yang sesekali masuk ke ponselnya, Sarah semakin bertekad untuk mengabaikannya. Kali ini, ia tidak ingin membiarkan rasa takut atau bayangan masa lalu menguasainya. Keputusannya sudah bulat; ia ingin memberi dirinya kesempatan untuk bahagia bersama seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Sarah berdiri di depan cermin, mengagumi dirinya dalam balutan pakaian tertutup. Dengan senyum tipis, ia merasa bahwa inilah langkah pertama dalam memulai kehidupan yang lebih bermakna. Hari ini, ia akan mengumumkan keputusannya yang besar kepada publik, pengunduran dirinya dari dunia modeling yang telah membesarkan namanya.Ketika ia menekan tombol "kirim" untuk memposting pengumuman itu, ada rasa lega yang meluap dalam dirinya, seakan ia baru saja melepaskan beban berat yang selama ini tertanam di bahunya. Berbagai komentar mulai bermunculan. Beberapa mendukung, beberapa mempertanyakan, tapi Sarah tak lagi goyah.Di sela perasaan lega itu, teleponnya berdering. Nama Fajar muncul di layar, dan Sarah mengangkatnya dengan senyum yang tak bisa ia tahan."Assalamu'alaikum, Sarah," suara Fajar terdengar hangat. "Kamu sudah benar-benar melakukannya, ya?""Wa'alaikumsalam, Mas Fajar," jawab Sarah. "Ya, aku sudah melakukannya. Rasanya seperti… aku bebas untuk pertama kalinya."Fajar tertawa
Sarah duduk di tepi jalan, masih memegang ponselnya yang terasa lebih berat dari biasanya, seolah menjadi saksi dari pilihan-pilihan sulit yang kini dihadapinya. Saat melihat mobil Dokter Fajar mendekat, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya. Ia tahu, percakapan ini harus terjadi.Mobil Fajar berhenti tepat di depannya. Dengan senyum hangat, Fajar membukakan pintu, menyambutnya masuk. Begitu ia duduk dan memasang sabuk pengaman, Fajar meliriknya dengan ekspresi sedikit heran."Kok di sini? Kamu sedang apa?" tanyanya sambil menjalankan mobil.Sarah terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkannya. Namun, ia menyadari bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan agar hubungan mereka tetap kuat. Ia tak ingin ada rahasia yang bisa memicu kesalahpahaman."Aku... baru saja bertemu dengan Adam," ucapnya pelan, tapi cukup jelas. Ia menatap Fajar, berusaha menangkap reaksinya.Fajar mengangguk pelan, masih tenang meski ada sedikit perubahan di raut
Sarah menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh keraguan. Nomor tak dikenal yang kini memanggilnya terasa seperti pintu menuju masa lalu yang telah berusaha ia tutup rapat. Jemarinya gemetar, berkutat antara menerima atau mengabaikan panggilan itu. Namun, dorongan hati yang kuat membuatnya akhirnya menggeser layar dan menerima panggilan tersebut."Halo?" suara Sarah terdengar pelan, nyaris tercekat oleh gugup yang menghantui."Sarah," suara di seberang itu terdengar akrab, namun penuh dengan rasa bersalah yang terselubung."Adam?" Sarah hampir tak percaya. Napasnya tercekat mendengar suara mantan tunangannya yang dulu mengkhianatinya dan meninggalkannya terluka."Sarah, aku tahu kamu pasti nggak mau dengar apa pun dariku. Tapi, tolong dengarkan sebentar saja," suara Adam terdengar penuh penyesalan, sedikit serak."Ada apa lagi, Adam?" Sarah menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku rasa kamu sudah cukup jelas dengan semua yang terjadi. Apa lagi yang mau kamu katakan?""A