Share

Dukungan

Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"

Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.

Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."

Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.

Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."

Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?" tanyanya pelan, suaranya hampir berbisik.

Dokter itu tersenyum hangat. "Dengan waktu, dan mungkin dengan bantuan orang-orang yang peduli pada Anda. Tidak ada luka yang terlalu dalam untuk sembuh, Sarah. Kadang kita hanya butuh sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran.

Sarah terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di dalam hatinya, masih ada rasa sakit yang luar biasa, tapi untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasakan sesuatu yang lain, sedikit harapan. Harapan bahwa mungkin suatu hari nanti, meski tidak hari ini atau besok, dia akan bisa bangkit lagi.

"Terima kasih dokter, "

Setelah berkonsultasi, hari itu juga Sarah diperbolehkan pulang, dengan catatan 3 gari lagi harus kontrol kakinya yang harus mendapatkan perawatan ekstra.

***

Malam telah jatuh, menggelapkan langit dan mengisi dunia dengan keheningan. Di dalam apartemennya yang sunyi, Sarah duduk di sudut kamar dengan lampu yang redup, matanya kosong menatap dinding. Hatinya terasa begitu berat, seolah-olah hidupnya tidak memiliki tujuan lagi. Bayangan pengkhianatan Adam terus berputar di pikirannya, seperti luka yang terus-terusan disayat tanpa henti.

Rasanya seperti tak ada lagi yang bisa ia kejar. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dunia seolah-olah kehilangan warnanya.

Di depannya, sebotol pil tidur tergeletak di atas meja. Tangannya gemetar saat ia membuka tutup botol itu, memandangi pil-pil kecil yang terjatuh ke telapak tangannya. Ia berpikir, mungkin inilah jalan keluarnya. Mungkin dengan cara ini, semua rasa sakit akan berhenti. Tidak ada lagi mimpi buruk, tidak ada lagi tangis yang tak terhenti setiap malam.

Air matanya mengalir deras, mengaburkan pandangannya saat dia mengangkat segenggam pil ke mulutnya. "Aku lelah," bisiknya pelan, hampir tak terdengar. "Aku hanya ingin semuanya berhenti."

Namun sebelum ia sempat menelan pil itu, pintu apartemennya terbuka keras, diikuti suara langkah kaki yang tergesa. Ana, teman sekaligus asisten Sarah yang selalu mendampinginya, bergegas masuk. Ia sudah mendengar kabar mengenai kondisi Sarah dan firasat buruk mengantarnya ke sini.

"Sarah! Apa yang kamu lakukan! Ana berteriak panik saat melihat pil di tangannya.

Sarah terkejut dan menoleh, air matanya masih berlinang. Ana dengan cepat berlari ke arahnya, meraih pil dari tangan Sarah sebelum gadis itu sempat bertindak lebih jauh. Ia membuang pil itu ke lantai, menghancurkannya dengan sepatunya, dan memegang bahu Sarah dengan lembut namun tegas.

"Kamu nggak boleh melakukan ini, Sarah!" Ana berkata dengan nada yang tegas tapi penuh kasih. Matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku tahu kamu sedang dalam keadaan sulit, tapi ini bukan solusinya!"

Sarah terisak, tubuhnya lemah dalam dekapan Ana. "Aku nggak tahu harus gimana lagi, An. Aku merasa seperti… nggak ada yang tersisa. Semuanya hancur. Aku cuma mau rasa sakit ini berhenti.”

Ana menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. Dia mengerti bahwa Sarah telah mengalami banyak hal, tetapi dia tidak bisa membiarkannya menyerah begitu saja. "Sarah," katanya pelan, "aku tahu ini berat. Aku tahu rasanya dunia seperti runtuh. Tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini. Aku akan membantu kamu melewati semua ini."

Sarah memejamkan matanya, air mata masih mengalir deras. "Bagaimana caranya, An? Semua sudah hancur. Aku nggak bisa menghadapinya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku masih bisa merasa hidup lagi."

Ana menatap Sarah dengan tatapan yang penuh harapan. "Aku nggak punya jawaban instan, Sarah. Tapi aku tahu satu hal, kamu lebih kuat dari apa yang kamu kira. Rasa sakit ini, kesedihan ini… ini tidak akan bertahan selamanya. Ada harapan, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun."

Sarah tetap diam, tapi dia bisa merasakan kehangatan dari kata-kata Ana meresap ke dalam dirinya, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelapan yang menyelimutinya.

"Aku nggak akan biarkan kamu melewati ini sendirian," Ana melanjutkan, nadanya penuh ketulusan. "Aku akan ada di sini, di sampingmu. Setiap hari. Sampai kamu merasa lebih baik. Sampai kamu bisa menemukan alasan untuk bertahan lagi."

Sarah akhirnya menatap Ana, matanya yang bengkak dan merah mencoba mencari kejujuran di wajah gadis itu. Dan di sana, dia melihat harapan, sebuah harapan yang selama ini hilang darinya.

"Bertahanlah, Sarah," Ana berkata pelan, menyeka air mata di pipi Sarah dengan lembut. "Aku janji, ini tidak akan bertahan selamanya. Ada cahaya di ujung jalan ini, dan aku akan memastikan kamu sampai ke sana."

Sarah hanya bisa mengangguk pelan, terlalu lemah untuk mengatakan apa pun. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ana. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa melewati semua ini dengan bantuan seseorang.

Malam itu, meski perasaan putus asa masih membayangi, Sarah menemukan sedikit kedamaian dalam kehadiran Ana. Ia tidak tahu bagaimana masa depannya akan terlihat, tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan melalui semuanya sendirian. Ana telah memberinya secercah harapan, dan itu cukup untuk membuatnya terus bertahan, setidaknya untuk saat ini.

**Bab 2 (Lanjutan): Ketika Harapan Mulai Padam**

Hari-hari berlalu setelah malam yang kelam itu. Sarah perlahan-lahan mencoba untuk kembali menjalani hidupnya, meski setiap langkah terasa berat. Ana, seperti yang dia janjikan, selalu ada di sisinya. Ia datang hampir setiap hari, menghabiskan waktu bersama Sarah, baik itu hanya sekadar duduk dalam keheningan atau membicarakan hal-hal ringan untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang ia alami.

Namun, meski Ana telah menjadi sandaran yang kuat bagi Sarah, luka hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ada saat-saat ketika malam terasa terlalu sunyi dan pikirannya dipenuhi oleh bayangan Adam dan pengkhianatannya. Dalam kegelapan malam, rasa putus asa sering kali kembali menghantui.

Suatu sore, Sarah duduk di balkon apartemennya. Pandangannya kosong menatap langit yang mulai memudar, perlahan berubah dari biru menjadi jingga. Ia memegang secangkir teh hangat di tangannya, mencoba merasakan kehangatannya meresap, tetapi pikirannya tetap jauh, tersesat dalam kenangan yang menyakitkan.

Ana tiba di apartemen Sarah tepat ketika langit mulai menggelap. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum melangkah masuk, mengenakan senyum yang selalu ia bawa bersamanya. "Hey, aku bawa sesuatu untukmu," katanya ceria sambil mengangkat kantong berisi makanan favorit Sarah.

Sarah tersenyum kecil, tapi tetap lemah. "Terima kasih, An," ucapnya pelan. "Kamu selalu perhatian."

Ana duduk di sebelah Sarah di balkon, menatap langit yang sama. Ia menahan diri untuk tidak langsung membicarakan perasaan Sarah, memberinya ruang untuk bicara jika ia siap. Mereka berdua terdiam untuk sementara waktu, menikmati keheningan yang terasa damai.

Akhirnya, Ana memecah keheningan. "Sarah," katanya perlahan, "aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku harus mengatakannya. Apa yang kamu alami... aku nggak bisa membayangkan betapa sakitnya itu. Tapi satu hal yang aku tahu, kamu nggak boleh biarkan rasa sakit ini mendefinisikan hidupmu."

Sarah menatapnya sebentar sebelum kembali menunduk. "Aku tahu, An," jawabnya, suaranya serak. "Tapi sulit. Setiap kali aku berpikir aku bisa melangkah maju, semuanya kembali ke pikiranku. Seolah-olah aku terus-menerus ditarik kembali ke titik di mana semuanya hancur."

Ana mengangguk, memahami perasaan Sarah. "Aku paham, Sarah. Trauma memang begitu, itu tidak hilang begitu saja. Tapi kamu harus percaya bahwa perlahan-lahan, rasa sakit itu akan memudar. Dan pada saat itu tiba, kamu akan menyadari bahwa kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan sekarang."

Sarah menatap langit yang kini berwarna ungu kehitaman, lalu menarik napas dalam-dalam. "Kadang aku merasa seperti… aku nggak pantas untuk bahagia lagi," katanya, suaranya gemetar. "Seolah-olah aku sudah kehilangan semua kesempatan untuk hidup normal."

Ana meraih tangan Sarah dan menggenggamnya dengan lembut, memberikan sentuhan yang penuh dukungan. "Itu nggak benar, Sarah," katanya dengan tegas. "Kamu pantas untuk bahagia. Kamu pantas untuk menemukan kebahagiaanmu kembali, meskipun sekarang rasanya jauh dari jangkauan. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Bahkan kamu."

Sarah terdiam, merasakan kekuatan yang Ana berikan melalui genggamannya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang perlahan mulai terbangun. Mungkin, hanya mungkin, Ana benar. Mungkin ia masih bisa menemukan kebahagiaannya kembali, meski jalan yang harus ditempuh terasa panjang dan penuh rintangan.

"Aku nggak tahu apakah aku bisa, An," bisiknya, nyaris tak terdengar.

"Kamu bisa," jawab Ana dengan mantap. "Dan aku akan ada di sini untuk membantumu setiap langkahnya. Kita akan melakukannya bersama."

Sarah menarik napas dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang masih berkecamuk. Ia menatap Ana dengan mata yang penuh air mata namun penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, An. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini."

Ana tersenyum lembut, memandang Sarah dengan penuh kasih sayang. "Kamu nggak perlu mengucapkan terima kasih, Sarah. Aku di sini karena aku peduli padamu. Dan aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."

Untuk pertama kalinya sejak malam tragis itu, Sarah merasakan secercah kelegaan. Meski rasa sakit masih ada, meski perasaannya masih campur aduk, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup baginya untuk tetap bertahan.

Di malam yang gelap itu, dengan kehangatan dari dukungan Ana, Sarah menemukan bahwa mungkin, di suatu tempat di masa depan, ada harapan untuk kebahagiaan yang baru. Langkah-langkah kecil, meskipun perlahan, akan membawanya menuju kehidupan yang berbeda, kehidupan yang tidak lagi didefinisikan oleh masa lalunya yang menyakitkan, tetapi oleh kekuatannya untuk bertahan dan melanjutkan hidup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status