"Saya terima nikah dan kawinnya Imelda Sri binti Hartanto dengan mas kawin sepuluh gram logam mulia dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!"
"Sah?"
"Saaaaaaaaaah!"
Gemuruh beberapa saksi dan juga beberapa orang dari kedua mempelai yang sedang di sahkan dalam ikatan suci pernikahan itu.
Walau hanya di hadiri oleh keluarga inti tetapi suara mereka memenuhi ruang tamu berukuran enam kali delapan meter rumah sederhana itu.
"Selamat ya!"
"Selamat ya!"
"Jeng, akhirnya jadi juga kita besanan," ucap seorang wanita kepada wanita lain dengan begitu sumringah setelah kata sah bergema. Keduanya berpelukan seperti teletubbies.
Sang mempelai wanita menadahkan tangan dengan wajah yang berbinar mengikuti ritual doa yang di pimpin oleh seorang pemuka agama yang hadir pada malam itu.
Dia mengucapkan kata 'amin' dengan begitu kencangnya di dalam hatinya. Berharap bahwa apa yang dia dapat hari ini akan kekal selamanya.
"Akulah pemenangnya," lanjutnya masih di dalam hati dengan kedua sudut bibir yang terangkat tipis.
Tak lama, dia mengikuti arahan dari para orang tua untuk mencium tangan sang pria yang sudah sah menjadi suaminya.
Bukan pria yang baru di kenal sehari dua hari. Tapi, pria ini adalah mantan kekasihnya dua tahun yang lalu. Mereka menjalin kasih sejak mereka kuliah tapi harus berakhir setelah lima tahun berpacaran di karenakan ego masing-masing.
Sejak dua tahun lalu, Melda -panggilan akrab wanita itu- sudah mencoba menjalin hubungan dengan beberapa pria, tetapi hanya bertahan seumuran jagung bahkan ada yang hanya satu bulan di karenakan tidak ada yang seperti mantannya ini.
Setiap dia berkencan dengan gebetan ataupun pria yang sudah sah jadi pacarnya, dia selalu membandingkan perlakuan pria-pria itu dengan mantan terindahnya yang bernama Abian. Alhasil, selalu terjadi percekcokan dan akhirnya putus karena apa yang dia inginkan dalam hubungan itu tidak bisa ia dapatkan.
Dan malam ini, pria yang selalu ada di dalam pandangannya kini sudah sah menjadi suaminya. Pria itu adalah Abian Ardiansyah .
"Cium keningnya dengan penuh perasaan!" titah orang tua itu pada Abian tapi kalimat itu tidak masuk ke telinga Melda lagi karena euforia dalam hatinya yang begitu besar.
Deg!
Jantung Melda serasa copot karena terkejut ketika merasakan bibir dingin itu menyapa keningnya. Wanita itu mengepalkan tangannya dan memejamkan mata meresapi ciuman itu. Ada keinginan dalam hati, bahwa dia menginginkan bibir itu mendarat juga di bagian tubuhnya yang lain.
"Apakah rasanya masih sama?" batinnya seraya terkikik.
"Cepatlah acara ini berlalu, aku sudah sangat tidak sabar memeluk Abianku, menciumi seluruh tubuhnya dan menanggalkan pakaiannya. Sungguh pemandangan yang sangat aku rindukan ketika pakaian kami berserakan di lantai," jerit Melda dalam hati.
Agak laen emang pikirannya!
*****
Karena acara yang sakral ini sangat intim dan hanya di hadiri oleh keluarga inti saja, maka tidak banyak acara lain seperti adat istiadat.
Usai sungkem dan meminta doa restu pada orang tua kedua mempelai, mereka lalu makan bersama lalu berbincang-bincang sebentar.
"Apa aku bilang Jeng, dari awal kita kenal, aku sudah punya keyakinan bahwa kita memang akan menjadi keluarga," ucap seorang wanita bernama Lisna. Wanita itu adalah ibunda dari Melda.
Senyum cerah di sertai anggukan dua kali sebagai jawaban dari ibunda Abian yang bernama Romauli.
Dua wanita paruh bayah itu asyik dalam pembicaraan dengan berbagai topik sementara pasangan mereka tidak membahas soal pernikahan anak-anak mereka walaupun mereka duduk berdekatan. Bahkan ucapan selamat karena sudah menjadi besan pun tidak ada keluar dari mulut masing-masing.
Mereka malah terhanyut dalam topik yang di bicarakan oleh orang lain yang duduk bersama mereka.
Menikmati minuman zero alkohol dan berbatang-batang rokok seperti kereta api yang tidak punya rem.
Politik, pemerintahan hingga ke permasalahan para rakyat menjadi topik utama para pria itu. Tak secuil pun masalah pernikahan ini di bahas bahkan kapan acara resepsi sekaligus adat akan di laksanakan tidak menarik perhatian mereka.
Ada apa? Apakah orang tua laki-laki kedua mempelai tidak begitu mengharapkan pernikahan ini? Apakah mereka sekumpulan 'sutis' yang hanya bisa mengangguk pada apapun keputusan istri?
Sungguh ironis sekali!
*****
"Aku ngantuk!" ujar Melda sedikit manja dan sedikit sensual pada Abian.
Dia merangkulkan tangannya pada lengan Abian dan segera menjatuhkan kepalanya di lengan atas pria itu.
Abian meliriknya sebentar lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Kamu dengar aku nggak sih, suami?" tanya Melda seraya menahan senyum ketika mengatakan 'suami'. Ada sesuatu perasaan yang tidak bisa ia deskripsikan saat kata 'suami' meluncur dari mulutnya. Kata yang sudah lama dia impikan kini sudah sah untuk dia ucapkan setiap hari bahkan setiap detik pada pria pujaannya.
"Kalau ngantuk, pergi tidur, jangan lupa izin dulu sama orang tua!" ujar Abian cuek dan sangat dingin.
Selain mengucapkan ijab kobul dengan kalimat yang lumayan panjang, baru kalimat ini yang keluar dari mulutnya sejak acara ini di mulai.
Melda memanjangkan bibirnya dan membuat mimik wajahnya kesal-kesal manja.
"Temeniiiiiin!" ujarnya dengan rayuan seraya merapatkan pelukan di lengan Abian.
"Ck! Kamu kayak anak kecil aja. Masa mau tidur aja di temenin. Pergi aja sana. Itu kamar aku!"
"Tau!" jawab Melda semakin memanjangkan bibirnya.
"Aku tahu itu kamar kamu dan akan jadi kamar kita mulai malam ini. Aku bahkan tahu letak barang-barang disana karena dulu aku sering masuk ke sana bahkan aku tidur disana. Tapi, masa kamu tega nyuruh aku pergi sendirian kesana sekarang? Aku ini udah istri kamu loh! Ini malam pengantin kita loh, jangan lupa kan itu! Apa kata orang nanti kalau aku pergi sendirian kesana?"
Bara api di kepala Abian sudah mulai menyala setelah mendengar sebaris kalimat dari mulut Imelda. Bisakah dia berteriak sekarang bahwa menjadikan wanita mungil cantik yang bergelayut manja di lengannya ini menjadi seorang istri bukanlah keinginannya tapi karena terpaksa? Sangat terpaksa!
Bisakah dia menyadarkan wanita ini bahwa Melda sendirilah yang melemparkan dirinya untuk di jadikan istri?
"Kam--"
"Sttt! Jangan pasang wajah kayak gitu. Aku nggak suka!" potong Melda. Wanita itu langsung merubah raut wajahnya dalam sekejap. Tidak ada senyum manja-manja lagi.
Perang dingin antar pasangan baru itu mulai bergemuruh.
"Nggak usah munafik Abian, walaupun aku yang mendekati ibumu dan meminta untuk menikahkan aku denganmu, jika kamu tidak punya rasa terhadapku, kamu pasti bisa menolaknya dengan berbagai macam alasan," ujar Melda seraya menarik diri dari lengan Abian.
"Bilang saja, kamu juga merindukan aku, kan? Kamu juga menginginkan aku, kan? Jauh di lubuk hati kamu yang paling dalam, aku masih ada Abian. Jangan bilang nggak karena aku nggak akan percaya!" cecarnya seraya mengerlingkan mata ke arah suaminya itu. Dia juga mulai mengangkat kedua sudut bibirnya. Remeh!
Inilah sifat asli Imelda. Keras dan pemaksa juga manipulatif. Dalam dua detik raut wajahnya bisa berubah. Kadang, kata-kata yang keluar dari mulutnya juga sangat manis tetapi tajam melebihi tajamnya silet.
Lidahnya tidak pernah keseleo ketika mengucapkan hal-hal yang tidak ada menjadi ada. Sama seperti beberapa waktu sebelum hari ini, wanita itu sangat pandai berbicara kepada ibundanya Abian. Mengatakan bahwa mereka masih berhubungan walau sudah sering putus nyambung tapi cinta di antara mereka masih ada bahkan sangat kuat.
Ucapannya yang sangat manis dan pujian yang dia lontarkan pada orang tua Abian membuat wanita paruh baya itu luluh dan segera berbicara pada suami juga Abian bahkan sedikit memaksa dan hasil dari paksaan itu adalah apa yang terjadi malam ini. Pernikahan sakral yang intim kata Melda.
Sifat Melda yang keras dan pemaksa sering kali membuat wanita itu tanpa rasa takut memberikan ancaman secara halus demi memenangkan dirinya sendiri.
"Jangan menatapku seperti itu, kamu tahu aku, kan? Aku tidak bisa melepaskan apa yang aku mau, termasuk dirimu. Lagian..."
Wanita itu menggantung kalimatnya dan mulai bergelayut kembali di lengan Abian. Salah satu tangannya sengaja dia usapkan di paha Abian dengan gerakan lambat.
"Apa kamu nggak antusias untuk malam ini? Ini malam pengantin kita," ucapnya dengan sumringah.
Lalu tanpa rasa malu sama sekali, Melda mengangkat tubuhnya sedikit dan berbisik di telinga Abian dengan begitu sensualnya.
"Aku masih sama seperti dulu. Gurih dan sempit seperti kata kamu dulu."
"Haaaahhhh,""uhhh, ahhh, uhhh, ahhh,"Terdengar hembusan nafas sensual dan desahan pelan yang semakin membakar gairah seorang pria.Pria tetaplah pria. Jika di suguhi sesuatu yang bisa membangkitkan gairah, pasti akan segera lupa dengan kekesalan hati dan akan memenuhi keinginan untuk memuaskan diri.Perang dingin antara dua mempelai tadi hanya berlangsung sebentar karena sekali lagi, Melda memenangkan peperangan malam ini setelah keduanya di suruh istirahat di kamar.Tanpa segan, Melda langsung melepas kebaya sederhana yang dia gunakan saat akad. Dia lalu berjalan mendekat ke arah Abian hanya dengan bra tanpa tali dan juga celana short warna hitam. Dengan leluasa, dia menarik kerah baju Abian dan mulai melepas jas di ikuti dengan kancing kemeja satu persatu.Tidak ada perlawanan, karena pemandangan di depan Abian sungguh membuatnya bungkam dan tidak bisa mengalihkan wajahnya ke arah lain. Bahkan terdengar suara tegukan air liur sendiri membuat Melda tersenyum penuh kemenangan lagi.
"Hufff!"Gina mendesah setelah dia terbangun dan menyadari keadaannya sendiri. Ingatannya kembali ke kejadian tadi malam dan dia semakin mendesah lagi karena kecewa dan malu pada diri sendiri.Apakah dia sebegitu rindunya bermesraan sampai sampai membayangkan hal romantis dan panas tadi malam? Memanasi diri sendiri dan membayangkan tangan Abian yang membelai tubuhnya."Memalukan sekali!" umpatnya pelan seraya meninju bantalnya beberapa kali hingga dia kelelahan dan menelungkupkan badannya beberapa saat dengan nafas yang tersengal.Dia meraih ponselnya dan melihat tanda ceklis satu di room chatnya dengan Abian."Tidak bisa di biarkan, aku harus cek kesana," gumamnya seraya bergegas dari kasur dan berjalan langsung ke kamar mandi dengan keadaan telanjang.Gina langsung membersihkan dirinya dan sudah bertekad akan mengunjungi Abian di rumahnya karena khawatir. Dalam pikirannya, mungkin saja Abian sakit karena lupa makan sampai-sampai ponselnya power off.Sementara, pria yang sedang dia k
"Mau kemana?" tanya Melda begitu melihat Abian keluar dari kamar dengan tampilan rapi.Dia sangat terkesima melihat ketampanan suaminya itu.Rambutnya yang pendek dan terlihat basah dan juga wajahnya yang berseri. Pakaiannya biasa aja tapi mengikuti tren jaman sekarang. Penampilannya hampir saja membuat Melda tantrum karena takut Abian di lirik oleh para gadis di luar sana. Dalam hati, Melda mempunyai tujuan agar bisa merubah tampilan Abian suatu saat nanti. Tidak boleh setampan itu."Keluar sebentar. Aku udah ada janji sama teman-temanku," jawab Abian seraya terus berjalan melewati istrinya itu."Bu, Pak, Bian keluar sebentar yah. Udah ada janji sama teman," pamit Abian pada kedua orang tuanya."Hmm," sahut sang ayah."Teman apa? Kamu baru menikah loh. Ya ajak Melda dong! Sekalian kenalin sama teman-teman kamu. Ntar mereka ngiranya kamu masih lajang loh. Kalau ada perempuan yang suka sama kamu gimana?" cecar ibunya membuat Melda menahan senyum dan bersorak sorai di dalam hati."Meman
Abian membuka gerbang kecil rumahnya dan mendorong motornya ke dalam.Terlihat dua kotak sedang di dalam kresek menggantung di stang motornya.Mengetuk pintu sebentar lalu menekan handle pintu dan mendorongnya. Sepi!"Kemana semua orang?" batinnya.Dia melihat ke ruang tamu dan mendapati kedua orang tuanya sedang menonton acara tidak bermutu menurut Abian.terlihat pasangan itu sangat menikmati tontonan bahkan ibunya sesekali menyahut sambil tertawa. Nampak jelas ini acara favorit mereka di rumah setiap malamnya."Bu, Pak. Belum tidur?" tanyanya seraya mendekat membuat kedua pasangan paruh baya itu sedikit terkejut melihat kedatangan seseorang itu."Bikin kaget aja. Jantung Ibu bisa aja copot Bian!" geram wanita itu seraya memukul tangan Abian yang hendak salim."Hehehe, kalian sangat fokus menonton sampai-sampai nggak dengar aku ketuk pintu dan buka sendiri. Melda mana?" ucap Abian seraya mengedarkan pandangan usai salim pada kedua orang tuanya."Ketiduran mungkin. Kamu kenapa lama s
Sebulan pernikahan terlewati dengan damai.Abian menikmati peran menjadi seorang suami dan kekasih dari dua orang wanita. Full service dari keduanya kala dia membutuhkannya. Jahat? Sangat! Tapi namanya laki-laki, di suguhi layanan vvip masa di tolak.Malam ini, Melda mendapat shift kedua. Artinya masuk di sore hari dan pulang di malam hari. Yang seperti ini menjadi kesempatan emas bagi Abian untuk bertemu pujaan hati."Yang, kok sekarang kamu jarang bangat main di malam minggu kemari, ajak aku keluar juga udah jarang sekarang," ujar Gina manja di pelukan kekasihnya.Abian terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban yang tepat yang tidak akan menyakiti hati kekasihnya itu."Ya gimana ya Yang. Kamu tahu kan, aku dan kawan-kawanku mulai bisnis baru. Karena kami semua pekerja, jadi waktu kami yang luang untuk membicarakan itu cuma di akhir pekan aja. Nggak enak dong pas lagi seru-serunya aku pamit biar bisa datang kesini dan ajak kamu kencan," jawab Abian sangat manis.Apa yang harus di ban
Masih terngiang-ngiang di telinga Gina saat Abian memanggilnya Bebe. Bukankah selama ini sejak dia memulai hubungan dengan Abian, pria itu selalu memanggilnya Sayang? Tidak pernah panggilan lain kecuali Dek sesekali. Lalu, kenapa tiba-tiba memanggil Bebe?Tidak ingin su'udzon tapi pikirannya tetap mengajak Gina untuk memikirkan bahwa Abian sepertinya mempunyai rahasia. Apakah ini berkaitan dengan tidak pernahnya Abian berkencan di malam minggu lagi bersama Gina?Apakah waktu akhir pekannya sekarang bersama seseorang yang dia panggil 'Bebe'?Feeling seorang perempuan selalu akurat tapi kebanyakan dari perempuan itu akan menahannya dalam hati dan akhirnya tertekan batin.TringBunyi pesan masuk di ponsel Gina membuat gadis itu kembali dari pikirannya ke alam nyata saat ini. Dia membuka pesan masuk dan menemukan sebuah foto.Itu adalah sebuh gelang cantik yang selama ini dia impikan. Tidak ada pesan lain selain foto itu tetapi dia tahu bahwa gelang itu di beli untuk dirinya oleh sang kek
YA AYO BERTEMUAbian menatap ke arah sumber suara dan detik berikutnya dia mengumpat dalam hati."Abian, kamu udah menikah?" tanya wanita itu seraya menatap Abian dan Melda bergantian. Tanpa di persilahkan, wanita itu menarik salah satu kursi lalu duduk."Duduk, Pa!" titahnya pada sang suami yang masih menatap Abian dengan pandangan bertanya-tanya."Hallo, Melda!" ujar Melda seraya mengulurkan tangan ke arah wanita itu lalu ke arah pria yang baru saja berjalan ke sisi Abian untuk duduk disana."Aku istrinya Abian, Kakak ini teman Abian?" lanjut Melda ingin tahu. Dalam hati, dia ingin sekali menendang Abian karena pria itu langsung kicep seolah-olah tertangkap basah selingkuh oleh kekasih."Istri? Wow, kapan nikahnya? Aku Maya dan dia suamiku Ferdinan, teman satu kantor Abian," ujar wanita itu seraya menunjuk suaminya yang hanya menyunggingkan senyum tipis lalu menatap Abian tajam untuk mencari jawaban sebenarnya.Melda langsung mengangguk dan suasana hatinya tenang karena yang menjadi
Sejoli itu saling pandang lalu saling menunduk untuk menghindari pandangan satu sama lain.Gina memegang cangkir kopi panasnya dengan kedua tangan dan sesekali memutarnya.Akhirnya, pasangan itu bertemu di sebuah cafe di pinggiran kota, jauh dari jangkauan orang-orang yang mungkin mengenal mereka."Tidak pernah ada penghinaan yang begitu dalam dan menyakitkan sekaligus mengecewakan aku sepanjang hidupku. Kau menipuku, membodohiku terutama memanfaatkan aku karena kau tahu aku begitu mencintaimu," ucap gadis itu sendu memulai percakapan yang sedari tadi hening. Dia menjauhkan pandangan matanya dari pria di hadapannya."Tidak masalah jika kau menikah dengannya entah karena alasan apapun. Sumpah, aku tidak akan pernah menahanmu untuk berada di sisiku jika kau akhirnya memilihnya. Aku tidak ingin kau merasa terpaksa atau kasihan atau merasa harus membalas cintaku," lanjutnya membuat pria yang hampir menjadi mantan kekasihnya itu menggeleng ingin membantah beberapa kata yang baru saja menya
"Dia sengaja. Sengaja sekali mau membuat aku marah," ujar Gina pada Abian."Aku tahu kalian sering melakukannya dulu. Jelas, karena kalian suami istri. Tapi sekarang kan nggak lagi. Kalian sudah mantan, kenapa dia menciummu di depanku?"Abian datang dan memeluk Gina."Kamu tahu, seperti itu lah dia. Dia tidak akan peduli dirinya di anggap rendahan asalkan dia bisa membalas kamu dan membuat kamu marah.""Dasar l0nt3, pantas aja kamu ceraikan dia. Mungkin gitu juga dia buat ke orang lain waktu dia selingkuh, sama kayak yang sama kita dulu kan? Dia merampas kamu dari aku dengan cara kotor. Bilang kamu udah tidur sama dia dan minta pertanggung jawaban. Memang, kalau jalan di mulainya saja tidak mulus, ya nggak akan pernah mulus."Gina masih berapi-api di dalam pelukan Bian. Pikirannya benar-benar di kacaukan oleh Melda.Satu harapan Gina,"Jangan sampai dia berbuat gila lagi sama kita biar kita nggak happy as a couple."Gina menarik diri dari pelukan Abian. Dia menatap Abian yang ada di d
"Ambil ini juga!""Ini juga.""Ini, ini dan yang ini,"Abian dan Gina hanya diam terpaku hampir bersandar ke dinding rumah ketika melihat Melda berkeliling di ruang tamu seraya menunjuk satu per satu perabot rumah yang ada disana.Ibunya Arion itu datang dengan membawa sepupunya yang pernah datang ke rumah Gina dan juga beberapa pria kekar yang siap melahap Bian dan Gina jika saja mereka berani melawan.Di luar ada truk warna kuning yang siap mengangkut semua barang yang di tunjuk oleh Melda."Itu hadiah dari ibuku, kenapa di bawa juga?" tanya Abian ketika pria pria kekar itu mengangkat sofa coklat yang selama ini ada di ruang tamu.Memang, itu baru di beli menggantikan sofa lama setelah Melda menjadi istri di rumah itu dan uangnya dari orang tua Abian .Melda hanya berkontribusi memilihkan warna saja."Iya benar, tapi itu di beli untukku. Bukan untuk istri barumu," jawab Melda. "Kalau mau sofa baru, minta ke mertuamu saja, cuma aku kok kurang yakin akan di belikan, haha," lanjutnya s
"Maaf ya, aku nggak sengaja ketiduran. Aku nungguin kamu bentar eh taunya aku ketiduran," ujar Gina pada Abian.Dia berbohong!Dia sedang menutupi perasaan terbuang nya, perasaan tidak di terima dan tidak di akui."Hmm, tapi kenapa kamu nggak langsung ke kamar aja," jawab Abian.Saat ini keduanya sudah ada di kamar dan barusan Abian baru menyeret koper Gina dari ruang depan.Koper itu luput dari matanya tadi saat dia panik tidak menemukan Gina di kamar."Aku nggak enak sama mama kamu. Kan belum di persilahkan. Masa langsung masuk.""Sayaaaang! Kenapa berpikir sampai sejauh itu? Kamu kan udah pernah ke sini, udah tahu kamar aku yang mana. Kenapa harus di persilahkan lagi?"Hah!Capek ngomong sama laki yang pemikirannya lurus lurus aja. Yang tidak paham betapa rumitnya pikiran perempuan.Bagi beberapa perempuan yang baru menikah, hal ini sangat sederhana dan kalau bisa keharusan walaupun sudah pernah beberapa kali ke rumah si laki dan sudah tahu setiap sudut rumah itu. Karena dengan beg
Badai berlalu.Rumah tangga baru di mulai walau dengan pernikahan siri tapi keluarga inti Gina menerimanya dan memberikan wejangan yang lumayan banyak pada Gina sembari mengingatkan Abian agar pria itu tidak lupa mendaftarkan pernikahan mereka nanti."Kemarin kamu hanya anak Ibu. Mulai hari ini orang tuamu sudah bertambah. Ibunya suamimu adalah ibumu juga walau namanya ibu mertua. Bagaimana kamu memperlakukan Ibumu ini, begitu jugalah kamu harus memperlakukan ibu mertuamu," ujar ibunya Gina saat akan melepas Gina di bawa oleh Abian dan keluarganya."Kehormatan keluarga ibumu ada di tanganmu. Jangan berperilaku buruk yang mempermalukan keluarga suamimu agar nama baik ibumu ini tidak tercoreng."Gina mengangguk seraya menahan tangis.Dalam hati dia sadar, ibunya merestui Abian secepat ini karena dia kadung hamil. Jika tidak, butuh waktu yang lama baginya karena ibunya masih berpegang teguh pada permintaan terakhir almarhum bapaknya."Maafin Gina ya Bu. Tolong ketika ibu berdoa, tolong s
"Bu, maafin Gina yah!"Gina berlutut di kaki ibunya yang masih sesenggukan karena menahan tangis."Gina bodoh, Bu. Maaf ya. Kalau ibu nggak mau Gina menikah siri, ayo kita pergi saja. Gak apa-apa Gina nggak jadi menikah."Mendengar itu, ibunya semakin sesenggukan."Menikah saja. Siri juga nggak apa-apa. Tidak mungkin kamu hamil tanpa suami. Apa kata orang nanti."Perasaan bersalah kian besar di hati Gina. Dia mengutuk dirinya karena tidak bisa menahan godaan Abian. Dia menikmati semua itu tanpa memikirkan konsekuensinya.Sekarang, setelah dia mendapatkan hasil dari perbuatannya, dia seolah-olah tidak di terima oleh keluarga Abian yang hanya ingin menikahkan siri mereka dengan alasan masih belum bisa melakukan pesta besar karena Abian baru saja bercerai."Apa kata orang nanti. Bisa-bisa Abian yang di tuduh main perempuan makanya bercerai."Begitu kata orang tua Abian ketika mereka kumpul dua keluarga untuk membicarakan perihal pernikahan ini. Walau keluarga inti Gina tidak terima tapi
"Ibu!""Ibu tidak marah karena tidak ada guna lagi. Ibu kecewa karena kalian ternyata sudah sejauh itu. Karena itu nak Abian, sebelum Gina menjadi bahan pembicaraan orang-orang, bisakah kamu menikahi dia segera?"Gina langsung berdiri karena tidak setuju dengan perkataan ibunya. Dia tidak hamil. Dia juga dulu pernah melakukan ini bahkan sering tapi tidak pernah hamil karena Abian pakai pengaman atau nggak buang di luar.Kali ini juga mereka buang di luar kenapa dia bisa hamil?Sementara Abian, dia menunduk lesu.Menikah dengan Gina adalah impiannya tapi bukan karena Gina hamil.Dia mengepalkan tangannya karena tidak bisa mengontrol ga!rahnya. Terakhir kali dia main dengan Gina, mereka menghabiskan setengah hari di rumahnya dan melakukannya beberapa kali di berbagai sudut.Buang di luar sih, tapi dia sadar, sisa sisanya mungkin masih ada dia sudah colok lagi karena masih bergairah.Dan sekarang, mereka seperti terpaksa di restui.Abian langsung berdiri lalu bersimpuh di kaki ibunya Gin
"Loh loh, apa ini, Bu?"Gina langsung berjalan cepat ke arah kamar begitu melihat ada tas milik ibunya di samping pintu kamar.Jantungnya berdebar karena berbagai hal.Baru saja menghabiskan sisa hari bersama Abian dengan bermain di atas kasur membuat dia melayang bahagia dan tiba di rumah di kejutkan dengan aksi ibunya."Bu, tas nya buat apa? Ibu mau kemana?"Gina langsung mendekat pada ibunya yang sedang membereskan tas kecil tempat barang barang berharga.Air mata Gina langsung menetes dan dia dengan segera bersimpuh di kaki ibunya."Gina tahu, Gina sudah keterlaluan sama Ibu. Maafkan Gina. Tapi, tidak bisakah Ibu merestui Gina? Gina tahu kita menderita sebelumnya dan ada kaitannya dengan pria itu. Tapi itu bukan salahnya, Bu. Perempuan itulah yang salah."Ibunya hanya tersenyum.Gina ternyata sudah hilang akal dan dia jadi berpikir, apa yang akan terjadi pada Gina jika dia pergi? Bisa jadi anak gadisnya itu hilang arah karena mengikuti cinta yang masih membara.Sang ibu menghela d
SepiRumah yang hanya berpenghuni dua orang dan biasanya sepi kini semakin sepi dan sunyi karena keduanya sama sama mengurung diri di kamar.Sudah tiga hari sejak kejadian itu.Bahkan ketika Gina berangkat kerja, dia hanya pamit dari luar pintu kamar.Hatinya juga keras, dia tetap mempertahan cintanya bahkan setelah di tolak oleh orang tuanya.Terdengar suara motor yang menjauh. Ibunya Gina mengintip dari jendela kamar. Gerbang besi sudah di tutup dan Gina sudah pergi bekerja.Wajahnya bengkak dan matanya sembab."Pak, maafkan ibu, ibu gagal. Ibu nggak bisa mengikuti apa kata bapak. Anak bungsu kita bahkan sampai memilih tidak akan pernah menikah jika tidak dengan pria itu. Ibu takut dia nekat kalai ibu bersikeras pak. Pak ibu harus gimana?"Wanita yang sudah melalui jurang dan bukit percintaan tahu benar bahwa menyadarkan Gina yang saat ini jatuh cinta bukanlah perkara muda. Usia Gina yang sudah termasuk matang tidak bisa di jadikan patokan kedewasaan berpikirnya apalagi jaman sekara
Galau! Ya, Abian benar-benar galau beberapa hari ini. Jika orang tua Gina tidak menerimanya lalu bagaimana kelanjutan hubungan mereka ini sekarang? Berhenti sampai disini atau lanjut menerjang badai? Pria itu uring uringan selama beberapa hari dan mencoba untuk tidak menghubungi Gina untuk mengetes perasaannya. Serasa ada yang hilang. Hampa! Sementara itu, Gina juga sedang galau. Dia juga menyesal karena ucapannya pada Abian malam itu. "Kenapa aku harus mengatakannya kemarin. Seharusnya aku simpan saja dalam hati dan biarkan dia berjuang menghadapi ibu," gumam Gina. Dia memandang kebun kecil milik ibunya di belakang rumah kontrakan mereka. Matanya menatap jauh tapi kosong. "Pak, maafkan Gina yah. Permintaan terakhir bapak pun Gina tak bisa kabulkan. Tolong maafkan Gina ya pak." Gina langsung menoleh dengan mata bulat setelah mendengar, "Maksud kamu apa, Nduk?" Ibunya berdiri hanya berjarak tiga puluh senti di belakangnya dengan raut wajah tidak percaya dengan apa yang ba