“Sial, sepertinya aku sudah gila!” geram Rama sembari memukul setir mobil dengan keras. Napasnya memburu, dadanya naik turun, dan pelipisnya berdenyut kencang.
Malam itu, Rama mengemudikan mobilnya di jalanan yang sepi. Mesinnya menderu dengan stabil, sementara pikirannya sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Rama memukul setir sekali lagi, amarahnya belum juga mereda.
Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu dari kejauhan. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan, seseorang tampak menarik paksa seorang gadis menuju tepi pagar pembatas, seolah-olah hendak mendorongnya ke bawah.
“Brengsek! Sedang apa mereka?” desisnya, matanya terbelalak. "Apa yang akan mereka lakukan pada gadis itu?”
Kakinya refleks menginjak rem, suara decitan ban beradu dengan aspal yang kasar. Tanpa berpikir panjang, ia keluar dari mobil dan berlari menuju jembatan. Namun, belum sempat mencapai tangga, sebuah sepeda motor datang melaju dari arah yang tak terduga.
“Brak!”
Tubuh Rama terpental ke aspal, menghantam dengan keras. Pandangannya buram, telinga berdengung, dan rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh.
“Sialan,” erangnya, merasakan tubuhnya tak bisa digerakkan.
Suara motor yang menjauh semakin sayup. Di sekitar Rama, tidak ada lagi suara lain, kecuali deru napasnya yang mulai melemah. Lalu, segalanya menjadi gelap.
***
Rama sudah terbaring di dalam ruangan bercat putih ketika ia mulai tersadar. Pandangannya tertuju pada lampu putih terang di langit-langit. Tubuhnya terasa berat dan nyeri.
“Syukurlah, aku masih hidup..” gumamnya pelan, suaranya serak. Ia memalingkan wajah, melihat selang infus yang menancap di lengannya. Dadanya masih terasa nyeri, dan ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah.
Seorang perawat masuk ke ruangan, mendekati ranjangnya dengan catatan medis di tangan. Rama mengerang saat mencoba bersandar.
“Oh, anda sudah sadar, syukurlah. Bagaimana perasaannya sekarang?” tanya perawat itu penuh perhatian.
“Di mana ini?”
“Anda sekarang berada di rumah sakit, Pak. Semalam anda mengalami kecelakaan. Untung saja tidak terlalu parah,” jawab perawat itu sembari mengganti cairan infus yang sudah hampir kosong.
Rama tiba-tiba teringat kejadian di jembatan. Ia menatap perawat itu dengan penuh rasa penasaran.
“Bagaimana dengan gadis itu? Ada seseorang bersamanya saat itu, sepertinya mereka ingin mencelakainya. Bagaimana kondisinya sekarang?” cecar Rama tidak sabar.
“Gadis? Tidak ada laporan seperti itu, Pak. Anda ditemukan sendirian di jalan oleh polisi. Mereka tidak melihat siapa pun selain Anda,” jawab sang perawat bingung.
“Tidak mungkin. Aku melihatnya sendiri, sepertinya dia dalam masalah,” balasnya dengan yakin.
“Maaf, Pak. Mungkin Anda salah lihat. Terkadang kecelakaan bisa membuat seseorang mengalami halusinasi.”
“Aku tidak berhalusinasi,” sanggah Rama sambil mendengus kesal.
“Anda masih dalam pemulihan... Lebih baik fokus pada penyembuhan dulu, Pak,” usul perawat itu lembut sebelum meninggalkan ruangan.
Rama duduk termenung. Bagaimana mungkin tidak ada seorang pun yang melihat gadis itu? Semua terlihat sangat nyata. Ia mencoba mengingat lebih dalam, tapi semuanya tetap kabur. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi tidak tahu itu tentang apa.
***
Malam berikutnya, Rama tidak bisa tidur karena merasa gelisah. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, dan suasana rumah sakit sangat sepi. Hanya ada suara mesin-mesin medis dan langkah kaki perawat di luar ruangan.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka perlahan. Rama menoleh, matanya terpaku pada sosok yang berdiri di ambang pintu. Itu gadis yang dia lihat di jembatan pada malam kecelakaanya. Wajahnya pucat disertai dengan tatapan mata yang kosong.
“Kamu...” suaranya tercekat.
Gadis itu berdiri diam lalu membuka mulutnya dan berbicara dengan pelan. “Tolong aku.”
Rama segera bangkit untuk memastikan jika itu memang gadis yang dia lihat sebelumnya, namun tiba-tiba tubuhnya terasa kaku.
"Apa yang terjadi padaku?” tanyanya dengan panik.
Gadis itu tidak menjawab, hanya menatapnya sebentar sebelum tubuhnya memudar dan menghilang begitu saja. Rama sangat terkejut melihat kejadian yang sebelumnya tidak pernah ia alami. Ia tidak bisa berkata-kata kali ini, sungguh hal yang aneh.
***
“Bagaimana tidur Anda tadi malam, Pak?” tanya perawat yang datang saat memeriksa kondisi Rama.
Rama tidak menjawab, terlihat jelas lingkaran hitam di matanya menunjukan bahwa dia tidak bisa tidur semalaman. Perawat itu masih dengan cekatan melakukan perawatan luka pada Rama. Kemudian Rama menjawab dengan ragu-ragu.
“Ada gadis... yang masuk ke kamarku tadi malam,” ucapnya perlahan, dengan raut muka lelah.
“Gadis? Tidak ada siapa-siapa, Pak. Anda pasti bermimpi.”
Rama menggeleng, tidak yakin. "Aku tidak bermimpi. Aku melihatnya saat sadar. Dia berdiri di ambang pintu dan kalian pasti melihatnya.”
Perawat itu hanya tersenyum, kemudian mencoba menenangkannya.
“Mungkin Anda masih dalam keadaan setengah sadar, Pak. Jangan terlalu dipikirkan, yang penting sekarang adalah fokus pada penyembuhan Anda.”
Rama tidak menjawab. Ia tidak ingin berdebat lebih jauh, tapi dalam hatinya ia tahu apa yang dilihatnya semalam benar-benar nyata.
“Apa mungkin cuma halusinasi?” batinya sambil menghela napas berat.
***
Beberapa hari setelah pulang, Rama tak bisa lepas dari bayang-bayang kejadian saat itu. Dia mencoba mencari informasi di beberapa situs berita, tapi tidak ada laporan tentang gadis itu. Semuanya nihil dan membuat Rama frustrasi. Rama mencoba berbagi cerita ini dengan teman-temannya. Namun, respons yang ia dapatkan hanya tawa kecil dan tatapan iba.
“Kamu itu perlu istirahat, Ram. Mungkin kamu sedang stres” ujar salah satu temannya sambil menepuk bahu Rama dengan iba. Seolah menyuruhnya melupakan semua yang sudah terjadi.
Tapi, bagaimana mungkin melupakan sesuatu yang terus menghantuinya. Setiap detik, setiap saat, ia merasa ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang menunggu untuk segera dia temukan.
Malam itu, Rama duduk di ruang tamu. Lampu-lampu sengaja dimatikan. Kegelapan melingkupi ruangan hanya ditemani cahaya bulan yang samar menembus melalui jendela. Suara detik jam di dinding terasa lebih lambat dari biasanya, seolah waktu menahan napas bersama Rama. Di luar, angin malam menggoyangkan ranting-ranting pohon, menciptakan bayangan aneh di atas permukaan kaca.
Rama menatap kosong ke arah jendela, pikirannya terus melayang dan kembali pada kejadian malam itu.
“Gadis itu... siapa dia sebenarnya? Kenapa tidak ada informasi sama sekali?” batinnya seraya memahami setiap kejadian yang sudah dia lalui. Jari-jarinya mengetuk kursi tanpa sadar, mengikuti irama ketegangan yang tak bisa ia jelaskan.
Tiba-tiba, suara pintu berderit pelan, Rama mengira itu hanya ulah angin karena diluar sedang hujan.
Namun tiba tiba tubuhnya menjadi kaku, matanya membulat saat melihat seseorang berdiri di ambang pintu, dia adalah gadis yang sama. Gadis yang selalu muncul di pikirannya. Rambutnya hitam panjang, terurai lebat menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Matanya gelap dan kosong, tapi mengunci pandangan Rama dengan keheningan yang menakutkan.
“Kamu... siapa?”
Rama akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya, walaupun terdengar sedikit tercekat.
Gadis itu tidak menjawab. Hanya memandangnya dengan tatapan yang mengirimkan ribuan pertanyaan ke dalam kepala Rama. Dia berjalan semakin dekat, rambutnya bergerak perlahan seperti ditiup angin yang tidak bisa dia rasakan.
“Beritahu aku siapa dirimu sebenarnya!”seru Rama dengan keras. Kali ini dia bertekat tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Tanpa menggubris pertanyaan Rama, gadis mengarahkan jarinya pada tas yang tergeletak di atas nakas. Rama spontan menoleh mengikuti arah yang dia tunjuk.
Rama menatap gadis itu kembali, melihatnya dengan ragu. “Itu tasku, ada apa dengan tas nya?
Sosok itu tidak menjawab lagi, dia hanya menunjukan raut wajah yang menyedihkan. Lalu Rama mengambilnya dan segera membuka isi tas itu. Penasaran dengan apa yang bermasalah dengan tasnya.
“Buku?” ujar Rama bingung. “Aku tidak pernah memiliki buku ini sebelumnya. Dari mana dia datang?” sambungnya lagi saat menemukan buku itu.
Tangannya masih menggenggam benda berwarna biru muda itu, mengingat-ngingat apakah dia pernah membelinya, atau menemukan buku itu sebelumnya.
"Apakah ini yang kau maksud?" tanyanya sambil menunjukkan buku itu. Alisnya berkerut menunjukan rasa kebingungan. Namun, ketika ia mengangkat kembali pandangannya , gadis itu sudah menghilang seolah-olah tidak pernah ada di sana . Hanya keheningan yang tersisa, membuat bulu kuduknya meremang.
Rama menelpon beberapa anak buahnya, yang sempat mengemasi barang-barang di Rumah Sakit saat dia pulang waktu itu.
“Aku memasukkannya ke dalam tas , karena buku itu ada di atas mejamu Mas. Ku pikir itu milikmu,” jawab seseorang diseberang sana.
“Rasanya aneh, aku tidak pernah merasa memiliki benda ini,” gumamnya pelan.
Dia mulai membuka buku itu dengan penasaran. Namun, tiba-tiba pintu rumahnya terbuka dengan kasar. Seseorang berusaha mendobrak masuk. Rama tersentak, buku di tangannya hampir terjatuh. Tampak di ambang pintu berdiri seorang pria berkaus hitam, tatapannya tajam dan penuh ancaman, seperti predator yang mengintai mangsanya. Sorot matanya gelap, penuh intensitas yang menakutkan.
“Rama!” teriaknya.
“Siapa kau?” teriak Rama, merasakan adrenalin yang mengalir deras di seluruh tubuhnya. Dia berusaha mencari sesuatu untuk melawan, tetapi tidak ada yang bisa dijadikan senjata. Dengan langkah mundur, ia mencoba menghindari pria itu, sambil mencari celah untuk bertahan atau melarikan diri.“Kau tidak bisa bersembunyi, Rama!” ujarnya dengan suara yang mengancam.Mendengar namanya dipanggil dengan nada seperti itu, Rama merasa mulai tertantang. Namun, ia tidak bisa bersikap gegabah saat ini.“Baiklah, majulah kalau begitu!” tantang Rama dengan tenang.Orang itu berlari, mengarahkan tinjunya pada Rama. Namun Rama berhasil menghindarinya. Mengantisipasi gerakan berikutnya, dengan cepat Rama membalikkan tubuh menangkap tangan pria itu dan membantingnya sebelum dia sempat menyerang lagi. Rama mencengkramnya dengan kuat, membuat pria itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Rama tajam, suaranya dingin dan penuh peringatan.“Dengar, aku tidak ingin melukaim
Setelah menerima pesan dari bosnya, Rama tampak gelisah. Dia berdiri di ruang tamu, memandangi ponselnya yang masih menampilkan pesan tadi. Angel berada di dekat Rama, memerhatikan dengan wajah serius, tapi ada keraguan yang jelas di matanya. Mereka berdua sama-sama diam, seolah-olah tak ada yang tahu harus memulai dari mana."Apa mungkin kamu pernah mengenalnya? Atau... mungkin bos pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya sambil berjalan mondar-mandir.Angel menggoyang-goyangkan kepala, ekspresinya semakin bingung.“Aku tidak ingat! Aku cuma ingat saat-saat setelah kecelakaan itu. Sebelum itu... aku bahkan tidak tahu siapa diriku. Setiap kali mencoba mengingatnya, selalu ada kabut yang muncul di pikiranku Rama,” sesalnya.Angel meremas jemarinya, merasa tidak berdaya. “Apakah ini semua cuma kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang tidak aku ingat?”Rama berhenti di depan Angel, menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak percaya pada kebetulan sebesar ini. Sudah jelas ada sesuatu. Bos
Rama tidak bisa bernapas sejenak. Pemandangan dalam video itu membuat darahnya berdesir dingin, ini sangat menjijikan lebih dari apa pun yang pernah ia alami selama ini. Di dalam video, gadis itu dikelilingi oleh beberapa pria asing. Mereka berbicara dalam nada rendah, seperti sedang memutuskan sesuatu yang mengerikan.“Siapa mereka?” desisnya marah.Tubuhnya bergetar, kepalan tangannya semakin mengeras saat para pria di dalam video mulai mendekati gadis yang tak berdaya itu. Mereka tertawa kecil, menikmati penderitaannya dan mempermainkan gadis itu. Mereka mengikat lebih erat tali di pergelangan tangan dan kakinya, memperlakukan tubuh lemah itu dengan biadab tanpa belas kasih.Suara tawa mereka terasa lebih kejam. Rama tak sanggup melihatnya lebih jauh. Dengan cepat ia menghentikan video itu. Napasnya terengah-engah, jiwanya dilanda kebingungan antara amarah dan rasa bersalah.“Kenapa bosku memiliki video ini?” gumamnya dalam hati. “Apakah dia terlibat bersama orang-orang itu?”Rama
Dalam perjalanan pulang, Rama terus memikirkan informasi yang baru saja didapatnya. Angel tidak hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia gelap ini, dia adalah kunci dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya dipahami guntur. Dia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang sudah dia kumpulkan. Angel tidak ikut bersamanya kali ini. Mungkin lebih baik Angel tidak mendengar semua hal menyakitkan itu.Tiba-tiba, suara keras terdengar dari depan, sesuatu terjatuh dengan keras diatas kap mobilnya. Spontan dia menginjak rem dengan cepat, membuat mobil berhenti mendadak.“Sialan!” desis Rama, terkejut. Dia menatap lurus ke depan. “Apa-apaan ini?”Jalanan sepi, tidak ada kendaraan lain atau suara manusia. Namun, sesuatu tampak tergeletak di depan mobilnya. Rama menghela napas berat, hatinya berdegup kencang. Dengan ragu, ia keluar dari mobil untuk memastikan.Di depan mobilnya, seorang pria tampak tertelungkup di jalanan tidak bergerak.“Siapa ini?” Rama men
"Tempat apa ini?" desisnya, sambil melangkah maju, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya."Rama... kemarilah," panggil seseorang dengan lembut.Rama menajamkan pendengarannya, mencari dari mana suara itu berasal. Terdengar sayup-sayup seseorang bersenandung lemah, bergema di antara suara percikan air."Angel?" panggilnya, sedikit ragu.Gadis itu tampak sedang berendam di jacuzzi, dengan posisi membelakangi Rama. Sedikit merasa janggal karena di tempat asing ini, ia bisa melihat Angel menyentuh sesuatu. Namun, ia yakin jika yang memanggilnya adalah suara Angel."Kamu sudah datang, Rama?" tanya gadis itu sambil berbalik.Rama seketika terdiam, apa yang dilihatnya membuat otaknya berhenti bekerja sejenak. Wajahnya memanas, matanya segera berpaling."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rama terkejut."Kemarilah Rama, bantu menggosok punggungku!" jawab Angel dengan suara mendayu, seolah sengaja menggoda Rama."Tidak... lakukanlah sendiri. Aku akan segera keluar," sanggah Rama cepat.T
Rama melajukan mobilnya menembus jalanan yang lenggang, namun tidak dengan pikirannya yang terasa lebih sesak. Tidak seperti biasanya, Rama mulai merasa takut dengan apa yang akan dihadapi di masa depan. Akhirnya, dia tiba di sebuah gedung tua yang selama ini digunakan untuk berkumpul dengan teman-temannya, merencanakan maupun merayakan sesuatu. "Halo, Bos!" sapanya dengan hormat. "Oh, hei! Sejak kapan kamu tiba di sini?" tanya bosnya, tidak menyadari kehadiran Rama. Rama menjawabnya hanya dengan seulas senyum tanpa berniat menjelaskan. Dia langsung mengambil posisi duduk berhadapan dengan Sang Bos dan mengambil minuman yang sudah tersedia di depannya. "Apakah terjadi sesuatu, Rama?" Sang Bos menatap tangan kanan kesayangannya itu dengan intens. "Sejauh ini masih aman, tenang saja," jawabnya setelah menenggak setengah gelas bir. "Aku mengenalmu lebih dari siapapun, Rama," ucap Sang Bos menegaskan. Hanya senyum tipis yang bisa Rama berikan untuk menjawab perkataan Bosnya. Dia