Setelah menerima pesan dari bosnya, Rama tampak gelisah. Dia berdiri di ruang tamu, memandangi ponselnya yang masih menampilkan pesan tadi. Angel berada di dekat Rama, memerhatikan dengan wajah serius, tapi ada keraguan yang jelas di matanya. Mereka berdua sama-sama diam, seolah-olah tak ada yang tahu harus memulai dari mana.
"Apa mungkin kamu pernah mengenalnya? Atau... mungkin bos pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya sambil berjalan mondar-mandir.
Angel menggoyang-goyangkan kepala, ekspresinya semakin bingung.
“Aku tidak ingat! Aku cuma ingat saat-saat setelah kecelakaan itu. Sebelum itu... aku bahkan tidak tahu siapa diriku. Setiap kali mencoba mengingatnya, selalu ada kabut yang muncul di pikiranku Rama,” sesalnya.
Angel meremas jemarinya, merasa tidak berdaya. “Apakah ini semua cuma kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang tidak aku ingat?”
Rama berhenti di depan Angel, menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak percaya pada kebetulan sebesar ini. Sudah jelas ada sesuatu. Bos tidak mungkin asal bicara tentang ini,” timpalnya sembari menggelengkan kepala.
Matanya berubah menjadi lebih curiga. Tatapannya menjadi tajam dan itu membuat Angel merasa tidak nyaman.
“Kamu meragukan aku sekarang?” Wajahnya tampak terkejut, seakan tidak percaya Rama bisa meragukannya.
Suara Angel gemetar, terasa sakit melihat Rama mulai ragu. Dia mundur selangkah, ekspresinya menunjukan rasa kecewa.
“Entahlah, aku tidak tahu siapa yang bisa aku percaya sekarang. Bosku, kamu, bahkan diriku sendiri.” Suara Rama melemah, menunjukkan sisi rapuhnya yang jarang dia tunjukkan.
“Aku tidak punya alasan untuk berbohong. Tidak ada yang bisa kulakukan saat ini karna aku tidak tahu alasanku menjadi seperti ini. Kalau aku tahu sesuatu, aku pasti sudah memberitahumu,” jawab Angel kali ini dengan suara yang lebih yakin.
Rama menatap Angel lama, seolah mencari kejujuran di matanya. Ketegangan di antara mereka mulai mereda, meskipun rasa ragu masih menggantung di hati Rama.
“Ya, aku tahu... Tapi kita harus berhati-hati. Ini bisa jadi lebih besar dari yang kita kira,” sahut Rama sembari menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosi.
“Oke, mari kita selidiki ini. Kita mulai dari mana?” lanjut Angel dengan semangat, sorot matanya kini memancarkan tekad yang kuat.
***
Rama memutuskan untuk menemui bosnya, di sebuah gedung tersembunyi di pinggir kota yang dikenal sebagai markas dari bisnis mereka. Ketika Rama tiba di sana, suasana berubah. Para penjaga di depan gerbang tampak lebih waspada daripada biasanya. Rama berjalan melewati mereka dengan santai.
“Bos sedang keluar Mas Rama. Mau titip pesan atau bagaimana?” sambut seseorang yang berjaga di dalam.
Rama tetap bersikap tenang meski pikirannya terus berpacu.
“Tidak perlu, aku hanya mau melihat sesuatu di ruangan Bos,” ujar Rama dengan tenang. Walaupun hatinya sedikit tegang saat mencari alasan.
Joko yang berjaga malam itu hanya mengangkat bahu, lalu membuka pintu gerbang untuk Rama.
“Silahkan, Mas Rama” ucapnya mempersilahkan.
Rama melangkah memasuki ruangan arsip. Ruang itu penuh dengan berkas-berkas yang selama ini digunakan bosnya untuk mengatur bisnis mereka. Dia tahu, di sinilah kemungkinan besar ada jejak tentang siapa gadis yang sedang dicari oleh bosnya.
“Rama... apa kamu yakin ada yang bisa kita temukan di sini? Ini tempat yang sangat menyeramkan,” tanya Angel dengan pelan.
Rama tetap fokus mencari petunjuk dengan serius. Harapan nya kali ini tergantung dari petunjuk yang dia temukan disana. Karena akan sulit mencari kesempatan seperti ini lagi
“Kalau ingin mencari sesuatu tentang kamu, pasti ada di sini. Jangan khawatir, mereka percaya padaku tidak ada yang akan curiga. Dan juga kenapa kamu harus berbisik, mereka tidak akan mendengarmu,” jawab Rama tanpa memandang Angel, karena masih sibuk mencari sesuatu.
“Oh iya, kau benar juga,” ujar Angel merasa konyol.
Setelah beberapa saat, Rama akhirnya menemukan sebuah berkas yang tampaknya berbeda dari yang lain. Di dalamnya, ada foto seorang perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan Angel. Rambutnya tergerai panjang, dengan seulas senyum yang terekam di dalam foto hitam-putih itu. Di bawahnya tertulis "Proyek LIRA".
“Proyek? Apa maksudnya?” tanya Rama dalam hati.
Angel menatap foto itu dengan bingung. "Itu... aku? Mirip sekali...”
Rama merasa kepalanya mulai berdenyut, perasaannya sedikit gelisah. Dia menyadari bahwa semua ini jauh lebih rumit daripada yang dia duga.
"Kamu lihat ini? Bosku pasti tahu sesuatu tentang kamu atau mungkinkah orang lain yang sangat mirip denganmu?”
Rama menatap Angel dengan serius. Angel menggeleng pelan, tampak ketakutan.
“Aku tidak ingat apapun, Rama. Aku benar-benar tidak tahu. Tapi kalau ini benar... apa yang mereka inginkan dariku?”
Rama menggenggam berkas itu erat-erat, wajahnya semakin terlihat serius dan penuh dengan tekad.
“Kita akan cari tahu. Bosku tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”
Tiba-tiba, suara pintu terbuka dari kejauhan, dan langkah kaki berat terdengar mendekat. Rama tahu dia harus cepat bertindak. Dia menyimpan berkas itu di dalam jaketnya dan bergegas keluar.
***
Rama mulai membuka flash disk yang dia temukan bersama dokumen lain di kamarnya. Di dalamnya terdapat beberapa video tanpa judul. Ia segera membuka salah satunya, dan ketika komputer mulai memutarnya, pemandangan pertama yang terlihat langsung menusuk hati Rama.
Dalam video yang buram, seorang gadis terbaring di lantai sebuah ruangan yang hampir tanpa cahaya. Tangan dan kakinya terikat, wajahnya dipenuhi luka lebam. Matanya memohon ampunan, tetapi tidak ada yang mendengarnya.
Rama terbelalak tidak percaya, darahnya seakan berhenti mengalir saat melihat cuplikan dalam video itu. Gadis itu, dia mengenalnya. Angel mendekat, matanya melebar saat melihat gambar di layar. Mereka berdua terdiam, menyadari bahwa kebenaran ini jauh lebih rumit dan lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan.
Rama tidak bisa bernapas sejenak. Pemandangan dalam video itu membuat darahnya berdesir dingin, ini sangat menjijikan lebih dari apa pun yang pernah ia alami selama ini. Di dalam video, gadis itu dikelilingi oleh beberapa pria asing. Mereka berbicara dalam nada rendah, seperti sedang memutuskan sesuatu yang mengerikan.“Siapa mereka?” desisnya marah.Tubuhnya bergetar, kepalan tangannya semakin mengeras saat para pria di dalam video mulai mendekati gadis yang tak berdaya itu. Mereka tertawa kecil, menikmati penderitaannya dan mempermainkan gadis itu. Mereka mengikat lebih erat tali di pergelangan tangan dan kakinya, memperlakukan tubuh lemah itu dengan biadab tanpa belas kasih.Suara tawa mereka terasa lebih kejam. Rama tak sanggup melihatnya lebih jauh. Dengan cepat ia menghentikan video itu. Napasnya terengah-engah, jiwanya dilanda kebingungan antara amarah dan rasa bersalah.“Kenapa bosku memiliki video ini?” gumamnya dalam hati. “Apakah dia terlibat bersama orang-orang itu?”Rama
Dalam perjalanan pulang, Rama terus memikirkan informasi yang baru saja didapatnya. Angel tidak hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia gelap ini, dia adalah kunci dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya dipahami guntur. Dia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang sudah dia kumpulkan. Angel tidak ikut bersamanya kali ini. Mungkin lebih baik Angel tidak mendengar semua hal menyakitkan itu.Tiba-tiba, suara keras terdengar dari depan, sesuatu terjatuh dengan keras diatas kap mobilnya. Spontan dia menginjak rem dengan cepat, membuat mobil berhenti mendadak.“Sialan!” desis Rama, terkejut. Dia menatap lurus ke depan. “Apa-apaan ini?”Jalanan sepi, tidak ada kendaraan lain atau suara manusia. Namun, sesuatu tampak tergeletak di depan mobilnya. Rama menghela napas berat, hatinya berdegup kencang. Dengan ragu, ia keluar dari mobil untuk memastikan.Di depan mobilnya, seorang pria tampak tertelungkup di jalanan tidak bergerak.“Siapa ini?” Rama men
"Tempat apa ini?" desisnya, sambil melangkah maju, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya."Rama... kemarilah," panggil seseorang dengan lembut.Rama menajamkan pendengarannya, mencari dari mana suara itu berasal. Terdengar sayup-sayup seseorang bersenandung lemah, bergema di antara suara percikan air."Angel?" panggilnya, sedikit ragu.Gadis itu tampak sedang berendam di jacuzzi, dengan posisi membelakangi Rama. Sedikit merasa janggal karena di tempat asing ini, ia bisa melihat Angel menyentuh sesuatu. Namun, ia yakin jika yang memanggilnya adalah suara Angel."Kamu sudah datang, Rama?" tanya gadis itu sambil berbalik.Rama seketika terdiam, apa yang dilihatnya membuat otaknya berhenti bekerja sejenak. Wajahnya memanas, matanya segera berpaling."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rama terkejut."Kemarilah Rama, bantu menggosok punggungku!" jawab Angel dengan suara mendayu, seolah sengaja menggoda Rama."Tidak... lakukanlah sendiri. Aku akan segera keluar," sanggah Rama cepat.T
Rama melajukan mobilnya menembus jalanan yang lenggang, namun tidak dengan pikirannya yang terasa lebih sesak. Tidak seperti biasanya, Rama mulai merasa takut dengan apa yang akan dihadapi di masa depan. Akhirnya, dia tiba di sebuah gedung tua yang selama ini digunakan untuk berkumpul dengan teman-temannya, merencanakan maupun merayakan sesuatu. "Halo, Bos!" sapanya dengan hormat. "Oh, hei! Sejak kapan kamu tiba di sini?" tanya bosnya, tidak menyadari kehadiran Rama. Rama menjawabnya hanya dengan seulas senyum tanpa berniat menjelaskan. Dia langsung mengambil posisi duduk berhadapan dengan Sang Bos dan mengambil minuman yang sudah tersedia di depannya. "Apakah terjadi sesuatu, Rama?" Sang Bos menatap tangan kanan kesayangannya itu dengan intens. "Sejauh ini masih aman, tenang saja," jawabnya setelah menenggak setengah gelas bir. "Aku mengenalmu lebih dari siapapun, Rama," ucap Sang Bos menegaskan. Hanya senyum tipis yang bisa Rama berikan untuk menjawab perkataan Bosn
Rama membuka pintu rumah dengan hati-hati, mencoba menghindari sesuatu yang sudah dia perhitungkan sebelumnya. Setelah berhari-hari tidak pulang, dia bisa membayangkan betapa rumitnya pertanyaan yang akan muncul dari gadis itu. Sebetulnya, bukan hanya pekerjaan yang menahannya tidak pulang, tetapi dia merasa membutuhkan waktu untuk tidak bertemu dengan Angel setelah mimpi aneh yang dia alami bersama gadis itu.Baru saja kakinya melangkah masuk, Rama harus berhenti karena sebuah panggilan yang tidak bisa dihindari.“Rama!” panggilnya, sambil melayang mendekati Rama yang terlihat seperti sedang menyusup.Angel melayang tepat di belakang Rama, dia tidak menyadari posisinya terlalu dekat. Sedangkan Rama spontan memutar tubuh, ingin segera memberi alasan kenapa sikapnya seperti itu. Namun tidak sengaja, wajahnya hampir menyentuh wajah Angel yang sedang melayang di belakang tubuhnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, Rama merasa suasana di ruangannya sangat panas, pipinya memerah. Sedang
"Rama! Pergi!" teriak seorang lelaki yang tergeletak di lantai, bersimbah darah, suaranya dipenuhi dengan ketakutan. Di sampingnya, seorang perempuan bermata teduh melihat Rama dengan tatapan penuh harap."Rama, cepat lari nak, aku mohon pergilah!" Perempuan itu berbisik, suaranya lembut namun penuh tekanan.Rama terpaku, tubuhnya seolah beku. "Ayah... Ibu..." Hanya itu yang bisa terucap, meski suaranya serak. Kepalanya berdenyut nyeri, rasa sakit di hatinya menjalar seperti ribuan jarum menusuk."Rama, pergi! Sekarang!" teriak ayahnya menggema, mendesaknya untuk segera bergerak.Namun, Rama tidak bisa bergerak, seolah waktu telah berhenti dan membuatnya membeku. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan kalian!" jawabnya setengah terisak.Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. "Akhhh!" teriaknya dengan keras, saat kegelapan mulai menyelimuti pandangannya. Suara-suara itu memudar, dan semuanya terasa melayang.Dengan satu tarikan napas yang dalam, Rama terbangun. Keringat bercucuran di dah
"Pak Darmawan!" serunya hangat, sambil menjabat tangan bosnya. "Sungguh luar biasa bisa bertemu Anda lagi setelah kejadian yang menimpa Anda beberapa waktu lalu."Pak Darmawan tampak sedikit terkejut melihatnya, dan Rama menangkap ekspresi gugup yang sekilas melintas di wajah bosnya sebelum semua orang menyadarinya. Dengan senyum yang dipaksakan, Pak Darmawan membalas, "Senang bertemu Anda kembali, Dokter.""Saya masih tidak percaya, Anda bisa kembali sehat seperti sedia kala setelah dinyatakan mati otak," kata dokter itu, nadanya penuh kekaguman, tapi juga bertanya-tanya.Rama mendengarnya, dan ia merasa bulu kuduknya meremang. "Apa?" bisiknya pada dirinya sendiri. Apa maksud dokter itu? Mati otak? Pikiran Rama berpacu, menghubungkan potongan-potongan informasi yang mulai terasa janggal.Dokter itu terus bicara, menatap Pak Darmawan dengan perasaan penuh rasa syukur. Pak Darmawan tampak semakin canggung, senyumnya hampir hilang. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kendali.Pak Darm
“Apa kamu baik-baik saja?" tanya Angel, tatkala melihat Rama yang sedari tadi diam, bahkan beberapa jam setelah mereka pulang.“Hemh, aku baik-baik saja,” jawab Rama singkat, terlihat tidak semangat.“Sepertinya aku tahu tujuan laki-laki tadi mengikuti kita. Lebih tepatnya, mengikutimu,” gumam Angel setengah berbisik.Rama menatapnya sebelum kemudian bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu?”Angel tersenyum kecil. “Karena aku bisa memperhatikan orang lain tanpa mereka sadari,” jawabnya, seolah itu hal yang biasa.Rama tertawa pelan. “Aku bahkan tidak tahu, apakah aku harus takut atau kagum padamu setelah mendengar alasanmu,” ujar Rama sambil memandang Angel dengan ekspresi aneh.Angel mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan ucapan Rama. “Apa maksudmu?” tanyanya heran.“Bisa jadi selama ini kamu memperhatikanku saat di kamar mandi,” jawab Rama sekenanya.Angel terkikik, sambil menggelengkan kepala. “Oh, jadi menurutmu aku memperhatikanmu saat mandi? Aku rasa imajinasimu lebih liar dari
Dalam ruangan yang sunyi, hanya suara detik jam yang pelan menyelinap di antara dinding-dinding yang dingin. Rama duduk di kursi, matanya terpaku pada meja besar di depannya. Wajahnya datar, tetapi ada kilatan tajam di matanya. Dia sudah duduk di sana selama satu jam, namun pikirannya terus berputar. Pintu akhirnya berderit, membuka jalan bagi seorang pria paruh baya dengan tatapan yang tegas. “Kau menungguku?” tanya pria paruh baya itu saat mendekat menuju tempat Rama berdiam. Rama tidak bergeming, tetap duduk terpaku tanpa menyambut pria itu. Ada perasaan aneh yang dirasakan pria paruh baya yang baru saja tiba, melihat Rama yang tidak seramah biasanya. Kali ini Rama terlihat sangat dingin dan kejam. Dia berjalan ke belakang meja dan duduk di depan Rama. “Katakanlah, ada apa?” tanyanya penasaran, saat melihat Rama yang hanya tertunduk tanpa ekpresi. “Jika aku mengatakannya, apakah kamu akan menjawab semua pertanyaan untukku?” sahut Rama seraya megangkat pandangannya pada pria di
"Sudah lama menunggu?" tanya seorang wanita yang datang tergesa-gesa, nafasnya sedikit terengah. Rambutnya yang sedikit berantakan menunjukkan bahwa ia telah bergegas untuk sampai di sana.Rama menoleh, menatapnya sejenak dengan senyum tipis sebelum menjawab. "Lumayan," katanya santai. "Duduklah, aku akan memesankanmu minuman. Apa yang kamu mau?"Wanita itu menghela napas pelan, kemudian duduk di kursi di depannya. "Kopi saja, yang hitam," jawabnya singkat sambil merapikan rambutnya yang terurai.Rama mengangguk dan melambaikan tangan ke arah pelayan. "Satu kopi hitam dan satu teh hangat, tolong," katanya sebelum kembali menatap wanita di depannya."Kamu terlihat lelah," ujarnya pelan.Wanita itu tersenyum lemah. "Banyak urusan tadi. Maaf kalau aku terlambat.""Tak apa," Rama menjawab sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Yang penting kamu di sini sekarang."Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Kopi hitam dan teh hangat diletakkan di mej
BAB 14Di salah satu gudang tua yang terletak di ujung pelabuhan, Rama duduk di kursi kayu dengan wajah serius. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang sudah sedikit lusuh, menandakan pengabdian panjangnya dalam dunia kelam yang digelutinya. Di hadapannya, beberapa anak buahnya berdiri tegak, menunggu perintah."Kita tidak punya waktu banyak. Barang ini harus sampai ke pembeli sebelum fajar," ucap Rama dengan suara datar penuh wibawa. Ia memandang tajam pria di depannya, seorang perantara bisnis senjata api ilegal yang sedang dalam negosiasi penting malam itu."Tapi harga yang kalian tawarkan terlalu tinggi, Rama," jawab pria itu, mencoba menawar.Sebelum Rama bisa merespons, ponselnya bergetar di dalam saku jaket. Ia mengerutkan kening, heran. Jarang ada yang menghubunginya di tengah pertemuan seperti ini, apalagi nomor pribadinya yang hanya diketahui oleh sedikit orang."Sebentar," katanya singkat, mengambil ponsel dan melihat nama pengirim pesan.Sebuah nomor baru. Dengan hati-hati, Ra
Langkah kaki Rama tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit, matanya terus memandang ke arah pintu ICU yang telah hangus terbakar. Asap masih samar-samar mengepul dari celah-celah pintu yang kini tertutup rapat oleh garis polisi. "Angel... di mana kau?" bisiknya lirih, rasa putus asa mulai menyelimuti hatinya. Pencariannya yang baru saja menemukan secercah harapan kini kembali terhenti oleh musibah ini. Namun, di balik kekalutannya, tekadnya tidak goyah. Dia tahu, dia harus menemukan Angel, apapun caranya.Rama duduk kembali di halaman rumah sakit, memperhatikan lalu lalang manusia yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana hatinya masih kacau, mencoba mencerna kejadian yang baru saja dialami di bangsal ICU.Tiba-tiba, seorang wanita mendekatinya dengan membawa dua kaleng minuman dingin. Dengan senyum ramah, dia menyodorkan satu kaleng ke arah Rama."Minum, mungkin bisa sedikit menenangkan," katanya dengan suara lembut.Rama menoleh sejenak, menatap wanita itu tanpa ekspresi seb
"Angel!" panggil Rama dengan keras.Suaranya terdengar panik dan kalut. Langkahnya tergesa, dan pandangannya tidak berhenti mencari ke setiap sudut ruangan. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Sungguh, ini begitu menyakitkan baginya. Belum sempat dia mengatakan apa pun pada gadis itu. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya menemukan identitas asli Angel dengan cepat.Rama menghentikan langkahnya, dan seketika tubuhnya ambruk. Tanpa bisa menahan beban yang tiba-tiba begitu berat, ia berlutut. Kepalanya mulai berdenyut hebat, dan tangannya tanpa sadar meremas rambutnya, mencoba mengusir rasa sakit yang datang.Dia menahan tangis. Bibirnya gemetar, namun air mata tidak bisa berhenti mengalir. Setiap tetesnya menyiratkan penyesalan yang begitu dalam. Dunia seakan memudar di sekelilingnya; hanya ada hampa dan kegelisahan yang mencekam.Pandangannya mulai kabur, berputar, dan dunia di sekelilingnya seolah-olah meluncur menjauh. Tanpa sadar, tubuhnya terjatuh, tak lagi mam
“Apa kamu baik-baik saja?" tanya Angel, tatkala melihat Rama yang sedari tadi diam, bahkan beberapa jam setelah mereka pulang.“Hemh, aku baik-baik saja,” jawab Rama singkat, terlihat tidak semangat.“Sepertinya aku tahu tujuan laki-laki tadi mengikuti kita. Lebih tepatnya, mengikutimu,” gumam Angel setengah berbisik.Rama menatapnya sebelum kemudian bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu?”Angel tersenyum kecil. “Karena aku bisa memperhatikan orang lain tanpa mereka sadari,” jawabnya, seolah itu hal yang biasa.Rama tertawa pelan. “Aku bahkan tidak tahu, apakah aku harus takut atau kagum padamu setelah mendengar alasanmu,” ujar Rama sambil memandang Angel dengan ekspresi aneh.Angel mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan ucapan Rama. “Apa maksudmu?” tanyanya heran.“Bisa jadi selama ini kamu memperhatikanku saat di kamar mandi,” jawab Rama sekenanya.Angel terkikik, sambil menggelengkan kepala. “Oh, jadi menurutmu aku memperhatikanmu saat mandi? Aku rasa imajinasimu lebih liar dari
"Pak Darmawan!" serunya hangat, sambil menjabat tangan bosnya. "Sungguh luar biasa bisa bertemu Anda lagi setelah kejadian yang menimpa Anda beberapa waktu lalu."Pak Darmawan tampak sedikit terkejut melihatnya, dan Rama menangkap ekspresi gugup yang sekilas melintas di wajah bosnya sebelum semua orang menyadarinya. Dengan senyum yang dipaksakan, Pak Darmawan membalas, "Senang bertemu Anda kembali, Dokter.""Saya masih tidak percaya, Anda bisa kembali sehat seperti sedia kala setelah dinyatakan mati otak," kata dokter itu, nadanya penuh kekaguman, tapi juga bertanya-tanya.Rama mendengarnya, dan ia merasa bulu kuduknya meremang. "Apa?" bisiknya pada dirinya sendiri. Apa maksud dokter itu? Mati otak? Pikiran Rama berpacu, menghubungkan potongan-potongan informasi yang mulai terasa janggal.Dokter itu terus bicara, menatap Pak Darmawan dengan perasaan penuh rasa syukur. Pak Darmawan tampak semakin canggung, senyumnya hampir hilang. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kendali.Pak Darm
"Rama! Pergi!" teriak seorang lelaki yang tergeletak di lantai, bersimbah darah, suaranya dipenuhi dengan ketakutan. Di sampingnya, seorang perempuan bermata teduh melihat Rama dengan tatapan penuh harap."Rama, cepat lari nak, aku mohon pergilah!" Perempuan itu berbisik, suaranya lembut namun penuh tekanan.Rama terpaku, tubuhnya seolah beku. "Ayah... Ibu..." Hanya itu yang bisa terucap, meski suaranya serak. Kepalanya berdenyut nyeri, rasa sakit di hatinya menjalar seperti ribuan jarum menusuk."Rama, pergi! Sekarang!" teriak ayahnya menggema, mendesaknya untuk segera bergerak.Namun, Rama tidak bisa bergerak, seolah waktu telah berhenti dan membuatnya membeku. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan kalian!" jawabnya setengah terisak.Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. "Akhhh!" teriaknya dengan keras, saat kegelapan mulai menyelimuti pandangannya. Suara-suara itu memudar, dan semuanya terasa melayang.Dengan satu tarikan napas yang dalam, Rama terbangun. Keringat bercucuran di dah
Rama membuka pintu rumah dengan hati-hati, mencoba menghindari sesuatu yang sudah dia perhitungkan sebelumnya. Setelah berhari-hari tidak pulang, dia bisa membayangkan betapa rumitnya pertanyaan yang akan muncul dari gadis itu. Sebetulnya, bukan hanya pekerjaan yang menahannya tidak pulang, tetapi dia merasa membutuhkan waktu untuk tidak bertemu dengan Angel setelah mimpi aneh yang dia alami bersama gadis itu.Baru saja kakinya melangkah masuk, Rama harus berhenti karena sebuah panggilan yang tidak bisa dihindari.“Rama!” panggilnya, sambil melayang mendekati Rama yang terlihat seperti sedang menyusup.Angel melayang tepat di belakang Rama, dia tidak menyadari posisinya terlalu dekat. Sedangkan Rama spontan memutar tubuh, ingin segera memberi alasan kenapa sikapnya seperti itu. Namun tidak sengaja, wajahnya hampir menyentuh wajah Angel yang sedang melayang di belakang tubuhnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, Rama merasa suasana di ruangannya sangat panas, pipinya memerah. Sedang