Rama tidak bisa bernapas sejenak. Pemandangan dalam video itu membuat darahnya berdesir dingin, ini sangat menjijikan lebih dari apa pun yang pernah ia alami selama ini. Di dalam video, gadis itu dikelilingi oleh beberapa pria asing. Mereka berbicara dalam nada rendah, seperti sedang memutuskan sesuatu yang mengerikan.
“Siapa mereka?” desisnya marah.
Tubuhnya bergetar, kepalan tangannya semakin mengeras saat para pria di dalam video mulai mendekati gadis yang tak berdaya itu. Mereka tertawa kecil, menikmati penderitaannya dan mempermainkan gadis itu. Mereka mengikat lebih erat tali di pergelangan tangan dan kakinya, memperlakukan tubuh lemah itu dengan biadab tanpa belas kasih.
Suara tawa mereka terasa lebih kejam. Rama tak sanggup melihatnya lebih jauh. Dengan cepat ia menghentikan video itu. Napasnya terengah-engah, jiwanya dilanda kebingungan antara amarah dan rasa bersalah.
“Kenapa bosku memiliki video ini?” gumamnya dalam hati. “Apakah dia terlibat bersama orang-orang itu?”
Rama berbalik ingin melihat kondisi Angel, tanpa sadar tangannya menggapai tangan pucat itu tapi tidak bisa menyentuhnya.
“Angel...” panggil Rama dengan pelan.
Terlihat Angel yang sedang berdiri tak bergeming menatap layar di depannya. Tampak dengan jelas dimatanya tersimpan ketakutan dan trauma yang tidak bisa di jelaskan. Tubuh Angel gemetar. Meski ingatannya kabur, kilasan video itu membuatnya merasakan kembali trauma yang pernah ia alami.
"Apa itu benar-benar aku Rama?” tanyanya dengan suara parau, hampir tidak terdengar.
Rama menatap Angel dengan perasaan bersalah. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkannya, tapi apa yang bisa ia katakan? Penderitaan yang Angel alami ini adalah sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan.
"Aku akan mencari tahu, siapa yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpamu. Aku berjanji, Angel,” tekadnya meyakinkan Angel.
***
Rama akhirnya menemukan petunjuk mengenai identitas salah satu pria dalam video tersebut. Namanya Guntur, seorang anggota dari geng rival yang dikenal dengan kebrutalannya. Anggota geng itu memiliki catatan kriminal yang mengerikan, termasuk perdagangan manusia dan pelecehan. Rama tahu bahwa Guntur bisa menjadi kunci untuk menggali lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Angel.
Malam itu, dia menyusup ke dalam wilayah musuh. Setelah berhasil menghindari beberapa penjaga, Rama akhirnya sampai di ruang pertemuan di mana Guntur biasanya berkumpul dengan anggotanya. Dia mengintip dari balik pintu, melihat Guntur dikelilingi oleh beberapa orang yang sedang tertawa dan merayakan sesuatu. Dengan hati hati Rama memasuki ruangan itu.
“Guntur!” panggilnya dengan keras.
Guntur menoleh, terkejut sejenak sebelum tersenyum sinis.
“Oh, lihat siapa yang datang. Si kecil yang berani. Apa yang kau lakukan disini, kau tidak tahu ini wilayah kami?”
Menanggapi ucapan Guntur, Rama hanya tertawa kecil. Melihat Rama tertawa, beberapa pria merasa tersinggung dan mencoba mengeroyoknya tanpa ampun. Namun, pada akhirnya tidak ada satu pun dari mereka yang mampu menyentuh Rama.
“Sialan… apa maumu kali ini? Bukankah kita tidak pernah terlibat masalah?” umpatnya dengan kesal, melihat Rama membuat keonaran di markasnya.
“Aku tidak ingin membuat masalah, tapi jika kamu menolak bekerjasama, maka aku pastikan akan terjadi masalah disini” jawab Rama tegas.
“Cih…sombong sekali tingkahmu. Ingat Rama, ini wilayah kami kamu bisa hilang tanpa jejak jika aku mau,” ancam Guntur dengan keras.
“Kelompokku akan dengan mudah melacak posisi terakhirku disini jika aku tiba-tiba hilang. Dan kau tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya jika itu terjadi?” tanya Rama sambil menyeringai.
Guntur hanya mendengus kesal mendengar kata-kata Rama. Ada kemarahan yang jelas di balik tatapannya, namun dia tahu Rama bukan orang yang bisa dianggap remeh. Setiap orang di lingkaran dunia gelap ini tahu reputasi Rama, dia adalah manusia yang nyaris tidak memiliki rasa takut, bahkan ketika di bawah tekanan sekalipun. Meskipun begitu, ancaman dari Guntur bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.
”Tidak selamanya nasib baik akan selalu memihakmu. Aku bisa membuatmu lenyap kapan saja, dan kali ini kau tak akan beruntung,” ancam Guntur lagi. Kali ini dia mengatakannya dengan dingin, sementara beberapa anak buahnya mulai merapat, siap menyerang jika perintah itu diberikan.
“Kau selalu suka bicara besar, Guntur. Kita tahu bagaimana dunia ini bekerja. Kau bisa mencobanya, tapi aku yakin kau juga yang lebih tahu akibatnya,” jawabnya tanpa gentar.
Rama hanya tersenyum samar, melihat gelagat orang-orang di sekelilingnya. Guntur tampak bimbang sejenak dalam menimbang pilihan. Dia tahu bahwa berurusan dengan Rama bukanlah hal yang sederhana. Rama menatap Guntur dengan tajam, ekspresinya berubah lebih serius daripada sebelumnya.
“"Aku datang bukan untuk bercanda kali ini, Guntur,” ucapnya perlahan, namun penuh ancaman. “Aku ingin mencari tahu informasi tentang seseorang. Kau tahu siapa yang kumaksud.”
Guntur mengangkat alisnya dengan tatapan penuh teka-teki. “Seseorang? Siapa yang kau cari?”
“Seseorang yang menjadi korban dalam proyek LIRA,” jawab Rama tanpa ragu memotong jeda dramatis Guntur.
“Aku tahu kau terlibat dengan orang-orang besar di kota ini, dan aku juga tahu kau masih menjalankan perdagangan manusia yang kotor itu. Kalau kau tidak mau bekerja sama dan memberitahu apa yang kau tahu tentang proyek itu, kupastikan bisnismu hancur dalam waktu singkat.”
Guntur tertawa sinis. “Kau mengancamku, Rama? Lucu sekali. Kau pikir aku takut pada ancaman kosongmu?”
Rama mendekat, tatapannya semakin dingin. “Ini bukan ancaman kosong, Guntur. Aku punya bukti atas bisnis gelapmu. Data perdagangan manusia yang kau lakukan. Aku hanya perlu melakukan satu langkah saja, dan ketika seluruh dunia tahu bahkan orang-orang besar di belakangkmu tidak akan mampu melindungi bisnismu. Dalam hitungan jam, kau akan melihat bisnismu runtuh.”
Guntur terdiam, rahangnya mengatup rapat. Dia tahu Rama tidak main-main.
“Apa yang kau inginkan?” tanya dia akhirnya. Nada suaranya berubah, lebih lembut dan berhati-hati.
Rama melipat tangannya, bersandar santai di depan meja Guntur.
“Informasi tentang perempuan bernama Angel. Aku tahu dia terlibat dalam sesuatu yang besar. Dan kau salah satu yang tahu lebih banyak dari siapa pun.”
Guntur mendesah, akhirnya menyerah. “Baiklah. Tapi kau tidak akan suka dengan apa yang kau dengar.”
“Katakan saja semua yang kau tahu,” perintah Rama tegas.
“Terakhir kali aku melihatnya, dia dalam kondisi buruk. Tapi tenang saja, mereka tidak akan membunuhnya.”
“Kenapa tidak? Apa yang membuatnya begitu penting?” tanyanya dengan dahi mengernyit.
“Ada orang-orang besar di belakang ini semua, Rama.” Guntur mulai menjelaskan dengan suara yang rendah.
"Angel bukan gadis biasa. Dia adalah kunci bagi sesuatu yang sedang mereka incar. Aku tidak tahu apa tepatnya, tapi mereka tidak akan membiarkannya mati begitu saja... setidaknya tidak sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan."
Rama terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu.
“Jadi, di mana dia sekarang?” tanya Rama penasaran.
Guntur menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Mungkin dia sedang disembunyikan, menunggu sampai waktunya tiba. Ketika dia tidak berguna lagi, mereka mungkin akan menyingkirkannya.”
Rama mengepalkan tinjunya, jantungnya berdegup kencang.
“Angel... apa mungkin dia sudah mati?” lirihnya dalam hati, teringat bahwa Angel yang ia kenal sekarang hanyalah arwah. Tapi kunci apa yang dimaksud? Kenapa Angel begitu penting?
Setelah beberapa saat hening, Guntur menghela napas.
"Itu semua yang kutahu. Jika kau ingin mencari lebih banyak, kau harus mendekati orang-orang di atas sana. Mereka yang menarik tali di balik layar," jelas Guntur menegaskan.
Rama tidak menjawab. Dia hanya menatap tajam, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
"Terima kasih, Guntur. Untuk kali ini," ucapnya dengan dingin sebelum keluar dari markas.
Dalam perjalanan pulang, Rama terus memikirkan informasi yang baru saja didapatnya. Angel tidak hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia gelap ini, dia adalah kunci dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya dipahami guntur. Dia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang sudah dia kumpulkan. Angel tidak ikut bersamanya kali ini. Mungkin lebih baik Angel tidak mendengar semua hal menyakitkan itu.Tiba-tiba, suara keras terdengar dari depan, sesuatu terjatuh dengan keras diatas kap mobilnya. Spontan dia menginjak rem dengan cepat, membuat mobil berhenti mendadak.“Sialan!” desis Rama, terkejut. Dia menatap lurus ke depan. “Apa-apaan ini?”Jalanan sepi, tidak ada kendaraan lain atau suara manusia. Namun, sesuatu tampak tergeletak di depan mobilnya. Rama menghela napas berat, hatinya berdegup kencang. Dengan ragu, ia keluar dari mobil untuk memastikan.Di depan mobilnya, seorang pria tampak tertelungkup di jalanan tidak bergerak.“Siapa ini?” Rama men
"Tempat apa ini?" desisnya, sambil melangkah maju, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya."Rama... kemarilah," panggil seseorang dengan lembut.Rama menajamkan pendengarannya, mencari dari mana suara itu berasal. Terdengar sayup-sayup seseorang bersenandung lemah, bergema di antara suara percikan air."Angel?" panggilnya, sedikit ragu.Gadis itu tampak sedang berendam di jacuzzi, dengan posisi membelakangi Rama. Sedikit merasa janggal karena di tempat asing ini, ia bisa melihat Angel menyentuh sesuatu. Namun, ia yakin jika yang memanggilnya adalah suara Angel."Kamu sudah datang, Rama?" tanya gadis itu sambil berbalik.Rama seketika terdiam, apa yang dilihatnya membuat otaknya berhenti bekerja sejenak. Wajahnya memanas, matanya segera berpaling."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rama terkejut."Kemarilah Rama, bantu menggosok punggungku!" jawab Angel dengan suara mendayu, seolah sengaja menggoda Rama."Tidak... lakukanlah sendiri. Aku akan segera keluar," sanggah Rama cepat.T
Rama melajukan mobilnya menembus jalanan yang lenggang, namun tidak dengan pikirannya yang terasa lebih sesak. Tidak seperti biasanya, Rama mulai merasa takut dengan apa yang akan dihadapi di masa depan. Akhirnya, dia tiba di sebuah gedung tua yang selama ini digunakan untuk berkumpul dengan teman-temannya, merencanakan maupun merayakan sesuatu. "Halo, Bos!" sapanya dengan hormat. "Oh, hei! Sejak kapan kamu tiba di sini?" tanya bosnya, tidak menyadari kehadiran Rama. Rama menjawabnya hanya dengan seulas senyum tanpa berniat menjelaskan. Dia langsung mengambil posisi duduk berhadapan dengan Sang Bos dan mengambil minuman yang sudah tersedia di depannya. "Apakah terjadi sesuatu, Rama?" Sang Bos menatap tangan kanan kesayangannya itu dengan intens. "Sejauh ini masih aman, tenang saja," jawabnya setelah menenggak setengah gelas bir. "Aku mengenalmu lebih dari siapapun, Rama," ucap Sang Bos menegaskan. Hanya senyum tipis yang bisa Rama berikan untuk menjawab perkataan Bosn
Rama membuka pintu rumah dengan hati-hati, mencoba menghindari sesuatu yang sudah dia perhitungkan sebelumnya. Setelah berhari-hari tidak pulang, dia bisa membayangkan betapa rumitnya pertanyaan yang akan muncul dari gadis itu. Sebetulnya, bukan hanya pekerjaan yang menahannya tidak pulang, tetapi dia merasa membutuhkan waktu untuk tidak bertemu dengan Angel setelah mimpi aneh yang dia alami bersama gadis itu.Baru saja kakinya melangkah masuk, Rama harus berhenti karena sebuah panggilan yang tidak bisa dihindari.“Rama!” panggilnya, sambil melayang mendekati Rama yang terlihat seperti sedang menyusup.Angel melayang tepat di belakang Rama, dia tidak menyadari posisinya terlalu dekat. Sedangkan Rama spontan memutar tubuh, ingin segera memberi alasan kenapa sikapnya seperti itu. Namun tidak sengaja, wajahnya hampir menyentuh wajah Angel yang sedang melayang di belakang tubuhnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, Rama merasa suasana di ruangannya sangat panas, pipinya memerah. Sedang
"Rama! Pergi!" teriak seorang lelaki yang tergeletak di lantai, bersimbah darah, suaranya dipenuhi dengan ketakutan. Di sampingnya, seorang perempuan bermata teduh melihat Rama dengan tatapan penuh harap."Rama, cepat lari nak, aku mohon pergilah!" Perempuan itu berbisik, suaranya lembut namun penuh tekanan.Rama terpaku, tubuhnya seolah beku. "Ayah... Ibu..." Hanya itu yang bisa terucap, meski suaranya serak. Kepalanya berdenyut nyeri, rasa sakit di hatinya menjalar seperti ribuan jarum menusuk."Rama, pergi! Sekarang!" teriak ayahnya menggema, mendesaknya untuk segera bergerak.Namun, Rama tidak bisa bergerak, seolah waktu telah berhenti dan membuatnya membeku. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan kalian!" jawabnya setengah terisak.Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. "Akhhh!" teriaknya dengan keras, saat kegelapan mulai menyelimuti pandangannya. Suara-suara itu memudar, dan semuanya terasa melayang.Dengan satu tarikan napas yang dalam, Rama terbangun. Keringat bercucuran di dah
"Pak Darmawan!" serunya hangat, sambil menjabat tangan bosnya. "Sungguh luar biasa bisa bertemu Anda lagi setelah kejadian yang menimpa Anda beberapa waktu lalu."Pak Darmawan tampak sedikit terkejut melihatnya, dan Rama menangkap ekspresi gugup yang sekilas melintas di wajah bosnya sebelum semua orang menyadarinya. Dengan senyum yang dipaksakan, Pak Darmawan membalas, "Senang bertemu Anda kembali, Dokter.""Saya masih tidak percaya, Anda bisa kembali sehat seperti sedia kala setelah dinyatakan mati otak," kata dokter itu, nadanya penuh kekaguman, tapi juga bertanya-tanya.Rama mendengarnya, dan ia merasa bulu kuduknya meremang. "Apa?" bisiknya pada dirinya sendiri. Apa maksud dokter itu? Mati otak? Pikiran Rama berpacu, menghubungkan potongan-potongan informasi yang mulai terasa janggal.Dokter itu terus bicara, menatap Pak Darmawan dengan perasaan penuh rasa syukur. Pak Darmawan tampak semakin canggung, senyumnya hampir hilang. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kendali.Pak Darm
“Apa kamu baik-baik saja?" tanya Angel, tatkala melihat Rama yang sedari tadi diam, bahkan beberapa jam setelah mereka pulang.“Hemh, aku baik-baik saja,” jawab Rama singkat, terlihat tidak semangat.“Sepertinya aku tahu tujuan laki-laki tadi mengikuti kita. Lebih tepatnya, mengikutimu,” gumam Angel setengah berbisik.Rama menatapnya sebelum kemudian bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu?”Angel tersenyum kecil. “Karena aku bisa memperhatikan orang lain tanpa mereka sadari,” jawabnya, seolah itu hal yang biasa.Rama tertawa pelan. “Aku bahkan tidak tahu, apakah aku harus takut atau kagum padamu setelah mendengar alasanmu,” ujar Rama sambil memandang Angel dengan ekspresi aneh.Angel mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan ucapan Rama. “Apa maksudmu?” tanyanya heran.“Bisa jadi selama ini kamu memperhatikanku saat di kamar mandi,” jawab Rama sekenanya.Angel terkikik, sambil menggelengkan kepala. “Oh, jadi menurutmu aku memperhatikanmu saat mandi? Aku rasa imajinasimu lebih liar dari
"Angel!" panggil Rama dengan keras.Suaranya terdengar panik dan kalut. Langkahnya tergesa, dan pandangannya tidak berhenti mencari ke setiap sudut ruangan. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Sungguh, ini begitu menyakitkan baginya. Belum sempat dia mengatakan apa pun pada gadis itu. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya menemukan identitas asli Angel dengan cepat.Rama menghentikan langkahnya, dan seketika tubuhnya ambruk. Tanpa bisa menahan beban yang tiba-tiba begitu berat, ia berlutut. Kepalanya mulai berdenyut hebat, dan tangannya tanpa sadar meremas rambutnya, mencoba mengusir rasa sakit yang datang.Dia menahan tangis. Bibirnya gemetar, namun air mata tidak bisa berhenti mengalir. Setiap tetesnya menyiratkan penyesalan yang begitu dalam. Dunia seakan memudar di sekelilingnya; hanya ada hampa dan kegelisahan yang mencekam.Pandangannya mulai kabur, berputar, dan dunia di sekelilingnya seolah-olah meluncur menjauh. Tanpa sadar, tubuhnya terjatuh, tak lagi mam
Dalam ruangan yang sunyi, hanya suara detik jam yang pelan menyelinap di antara dinding-dinding yang dingin. Rama duduk di kursi, matanya terpaku pada meja besar di depannya. Wajahnya datar, tetapi ada kilatan tajam di matanya. Dia sudah duduk di sana selama satu jam, namun pikirannya terus berputar. Pintu akhirnya berderit, membuka jalan bagi seorang pria paruh baya dengan tatapan yang tegas. “Kau menungguku?” tanya pria paruh baya itu saat mendekat menuju tempat Rama berdiam. Rama tidak bergeming, tetap duduk terpaku tanpa menyambut pria itu. Ada perasaan aneh yang dirasakan pria paruh baya yang baru saja tiba, melihat Rama yang tidak seramah biasanya. Kali ini Rama terlihat sangat dingin dan kejam. Dia berjalan ke belakang meja dan duduk di depan Rama. “Katakanlah, ada apa?” tanyanya penasaran, saat melihat Rama yang hanya tertunduk tanpa ekpresi. “Jika aku mengatakannya, apakah kamu akan menjawab semua pertanyaan untukku?” sahut Rama seraya megangkat pandangannya pada pria di
"Sudah lama menunggu?" tanya seorang wanita yang datang tergesa-gesa, nafasnya sedikit terengah. Rambutnya yang sedikit berantakan menunjukkan bahwa ia telah bergegas untuk sampai di sana.Rama menoleh, menatapnya sejenak dengan senyum tipis sebelum menjawab. "Lumayan," katanya santai. "Duduklah, aku akan memesankanmu minuman. Apa yang kamu mau?"Wanita itu menghela napas pelan, kemudian duduk di kursi di depannya. "Kopi saja, yang hitam," jawabnya singkat sambil merapikan rambutnya yang terurai.Rama mengangguk dan melambaikan tangan ke arah pelayan. "Satu kopi hitam dan satu teh hangat, tolong," katanya sebelum kembali menatap wanita di depannya."Kamu terlihat lelah," ujarnya pelan.Wanita itu tersenyum lemah. "Banyak urusan tadi. Maaf kalau aku terlambat.""Tak apa," Rama menjawab sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Yang penting kamu di sini sekarang."Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Kopi hitam dan teh hangat diletakkan di mej
BAB 14Di salah satu gudang tua yang terletak di ujung pelabuhan, Rama duduk di kursi kayu dengan wajah serius. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang sudah sedikit lusuh, menandakan pengabdian panjangnya dalam dunia kelam yang digelutinya. Di hadapannya, beberapa anak buahnya berdiri tegak, menunggu perintah."Kita tidak punya waktu banyak. Barang ini harus sampai ke pembeli sebelum fajar," ucap Rama dengan suara datar penuh wibawa. Ia memandang tajam pria di depannya, seorang perantara bisnis senjata api ilegal yang sedang dalam negosiasi penting malam itu."Tapi harga yang kalian tawarkan terlalu tinggi, Rama," jawab pria itu, mencoba menawar.Sebelum Rama bisa merespons, ponselnya bergetar di dalam saku jaket. Ia mengerutkan kening, heran. Jarang ada yang menghubunginya di tengah pertemuan seperti ini, apalagi nomor pribadinya yang hanya diketahui oleh sedikit orang."Sebentar," katanya singkat, mengambil ponsel dan melihat nama pengirim pesan.Sebuah nomor baru. Dengan hati-hati, Ra
Langkah kaki Rama tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit, matanya terus memandang ke arah pintu ICU yang telah hangus terbakar. Asap masih samar-samar mengepul dari celah-celah pintu yang kini tertutup rapat oleh garis polisi. "Angel... di mana kau?" bisiknya lirih, rasa putus asa mulai menyelimuti hatinya. Pencariannya yang baru saja menemukan secercah harapan kini kembali terhenti oleh musibah ini. Namun, di balik kekalutannya, tekadnya tidak goyah. Dia tahu, dia harus menemukan Angel, apapun caranya.Rama duduk kembali di halaman rumah sakit, memperhatikan lalu lalang manusia yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana hatinya masih kacau, mencoba mencerna kejadian yang baru saja dialami di bangsal ICU.Tiba-tiba, seorang wanita mendekatinya dengan membawa dua kaleng minuman dingin. Dengan senyum ramah, dia menyodorkan satu kaleng ke arah Rama."Minum, mungkin bisa sedikit menenangkan," katanya dengan suara lembut.Rama menoleh sejenak, menatap wanita itu tanpa ekspresi seb
"Angel!" panggil Rama dengan keras.Suaranya terdengar panik dan kalut. Langkahnya tergesa, dan pandangannya tidak berhenti mencari ke setiap sudut ruangan. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Sungguh, ini begitu menyakitkan baginya. Belum sempat dia mengatakan apa pun pada gadis itu. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya menemukan identitas asli Angel dengan cepat.Rama menghentikan langkahnya, dan seketika tubuhnya ambruk. Tanpa bisa menahan beban yang tiba-tiba begitu berat, ia berlutut. Kepalanya mulai berdenyut hebat, dan tangannya tanpa sadar meremas rambutnya, mencoba mengusir rasa sakit yang datang.Dia menahan tangis. Bibirnya gemetar, namun air mata tidak bisa berhenti mengalir. Setiap tetesnya menyiratkan penyesalan yang begitu dalam. Dunia seakan memudar di sekelilingnya; hanya ada hampa dan kegelisahan yang mencekam.Pandangannya mulai kabur, berputar, dan dunia di sekelilingnya seolah-olah meluncur menjauh. Tanpa sadar, tubuhnya terjatuh, tak lagi mam
“Apa kamu baik-baik saja?" tanya Angel, tatkala melihat Rama yang sedari tadi diam, bahkan beberapa jam setelah mereka pulang.“Hemh, aku baik-baik saja,” jawab Rama singkat, terlihat tidak semangat.“Sepertinya aku tahu tujuan laki-laki tadi mengikuti kita. Lebih tepatnya, mengikutimu,” gumam Angel setengah berbisik.Rama menatapnya sebelum kemudian bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu?”Angel tersenyum kecil. “Karena aku bisa memperhatikan orang lain tanpa mereka sadari,” jawabnya, seolah itu hal yang biasa.Rama tertawa pelan. “Aku bahkan tidak tahu, apakah aku harus takut atau kagum padamu setelah mendengar alasanmu,” ujar Rama sambil memandang Angel dengan ekspresi aneh.Angel mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan ucapan Rama. “Apa maksudmu?” tanyanya heran.“Bisa jadi selama ini kamu memperhatikanku saat di kamar mandi,” jawab Rama sekenanya.Angel terkikik, sambil menggelengkan kepala. “Oh, jadi menurutmu aku memperhatikanmu saat mandi? Aku rasa imajinasimu lebih liar dari
"Pak Darmawan!" serunya hangat, sambil menjabat tangan bosnya. "Sungguh luar biasa bisa bertemu Anda lagi setelah kejadian yang menimpa Anda beberapa waktu lalu."Pak Darmawan tampak sedikit terkejut melihatnya, dan Rama menangkap ekspresi gugup yang sekilas melintas di wajah bosnya sebelum semua orang menyadarinya. Dengan senyum yang dipaksakan, Pak Darmawan membalas, "Senang bertemu Anda kembali, Dokter.""Saya masih tidak percaya, Anda bisa kembali sehat seperti sedia kala setelah dinyatakan mati otak," kata dokter itu, nadanya penuh kekaguman, tapi juga bertanya-tanya.Rama mendengarnya, dan ia merasa bulu kuduknya meremang. "Apa?" bisiknya pada dirinya sendiri. Apa maksud dokter itu? Mati otak? Pikiran Rama berpacu, menghubungkan potongan-potongan informasi yang mulai terasa janggal.Dokter itu terus bicara, menatap Pak Darmawan dengan perasaan penuh rasa syukur. Pak Darmawan tampak semakin canggung, senyumnya hampir hilang. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kendali.Pak Darm
"Rama! Pergi!" teriak seorang lelaki yang tergeletak di lantai, bersimbah darah, suaranya dipenuhi dengan ketakutan. Di sampingnya, seorang perempuan bermata teduh melihat Rama dengan tatapan penuh harap."Rama, cepat lari nak, aku mohon pergilah!" Perempuan itu berbisik, suaranya lembut namun penuh tekanan.Rama terpaku, tubuhnya seolah beku. "Ayah... Ibu..." Hanya itu yang bisa terucap, meski suaranya serak. Kepalanya berdenyut nyeri, rasa sakit di hatinya menjalar seperti ribuan jarum menusuk."Rama, pergi! Sekarang!" teriak ayahnya menggema, mendesaknya untuk segera bergerak.Namun, Rama tidak bisa bergerak, seolah waktu telah berhenti dan membuatnya membeku. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan kalian!" jawabnya setengah terisak.Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. "Akhhh!" teriaknya dengan keras, saat kegelapan mulai menyelimuti pandangannya. Suara-suara itu memudar, dan semuanya terasa melayang.Dengan satu tarikan napas yang dalam, Rama terbangun. Keringat bercucuran di dah
Rama membuka pintu rumah dengan hati-hati, mencoba menghindari sesuatu yang sudah dia perhitungkan sebelumnya. Setelah berhari-hari tidak pulang, dia bisa membayangkan betapa rumitnya pertanyaan yang akan muncul dari gadis itu. Sebetulnya, bukan hanya pekerjaan yang menahannya tidak pulang, tetapi dia merasa membutuhkan waktu untuk tidak bertemu dengan Angel setelah mimpi aneh yang dia alami bersama gadis itu.Baru saja kakinya melangkah masuk, Rama harus berhenti karena sebuah panggilan yang tidak bisa dihindari.“Rama!” panggilnya, sambil melayang mendekati Rama yang terlihat seperti sedang menyusup.Angel melayang tepat di belakang Rama, dia tidak menyadari posisinya terlalu dekat. Sedangkan Rama spontan memutar tubuh, ingin segera memberi alasan kenapa sikapnya seperti itu. Namun tidak sengaja, wajahnya hampir menyentuh wajah Angel yang sedang melayang di belakang tubuhnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, Rama merasa suasana di ruangannya sangat panas, pipinya memerah. Sedang