Rama melajukan mobilnya menembus jalanan yang lenggang, namun tidak dengan pikirannya yang terasa lebih sesak. Tidak seperti biasanya, Rama mulai merasa takut dengan apa yang akan dihadapi di masa depan.
Akhirnya, dia tiba di sebuah gedung tua yang selama ini digunakan untuk berkumpul dengan teman-temannya, merencanakan maupun merayakan sesuatu. "Halo, Bos!" sapanya dengan hormat. "Oh, hei! Sejak kapan kamu tiba di sini?" tanya bosnya, tidak menyadari kehadiran Rama. Rama menjawabnya hanya dengan seulas senyum tanpa berniat menjelaskan. Dia langsung mengambil posisi duduk berhadapan dengan Sang Bos dan mengambil minuman yang sudah tersedia di depannya. "Apakah terjadi sesuatu, Rama?" Sang Bos menatap tangan kanan kesayangannya itu dengan intens. "Sejauh ini masih aman, tenang saja," jawabnya setelah menenggak setengah gelas bir. "Aku mengenalmu lebih dari siapapun, Rama," ucap Sang Bos menegaskan. Hanya senyum tipis yang bisa Rama berikan untuk menjawab perkataan Bosnya. Dia tahu, tidak ada yang bisa mengenalnya sejauh orang yang merawatnya selama ini. Dia juga tahu, tidak akan bisa mengelabui orang yang ada di depannya saat ini. Dia sangat bersyukur memilikinya; dialah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia yang kejam ini. "Apa tugasku kali ini?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Baiklah, tugasmu kali ini hanya mengikuti orang ini!" tutur Sang Bos, sambil menunjukkan sebuah foto. Rama menatap seorang pria yang tampak tak asing. "Maksudmu aku harus menguntitnya?" tanya Rama memastikan. "Hahahahaha..." suara tawa Sang Bos pecah ketika mendengar pertanyaan Rama. "Maksudku, kamu jadi penjaganya. Bukan jadi penguntit," ucapnya menjelaskan. Rama mengangguk, tanda sudah mengerti. Mungkin orang ini bukan orang biasa, hingga dia meminta penjagaan dari orang-orang seperti mereka. "Siapa dia?" tanya Rama penasaran. "Dia salah satu kandidat calon walikota di kota ini," jelasnya lagi. Tangannya masih sibuk menghitung tumpukan uang yang ada di depannya. Bisa dipahami, kenapa orang-orang itu selalu meminta bantuan mereka untuk menjadi penjaganya. Di dunia politik ini memang sangat mengerikan. Tak jarang kandidat yang berakhir tragis sebelum pemilihan dimulai. Persis seperti kejadian lima tahun lalu, kematian calon kandidat yang masih menjadi misteri hingga saat ini. Namun keluarganya memilih untuk diam dan meninggalkan kota kelahirannya ini. *** Rama tiba di kediaman sang calon walikota pada pagi hari. Udara dingin masih menyelimuti kota. Mobil hitam berhenti di depan rumah besar yang megah namun penuh dengan ornamen sederhana, menandakan kesederhanaan pemiliknya. Pintu terbuka, dan dari dalam muncul Pak Darmawan, sang calon walikota, dengan senyum ramah yang menjadi ciri khasnya. "Selamat pagi, Pak," sapanya dengan tegas seperti biasa. "Terima kasih sudah datang, Rama. Hari ini kita akan ke desa Kalipasir. Mereka sedang mengalami masalah air bersih dan wabah penyakit kulit. Sangat memprihatinkan, kita harus segera melihatnya," ucapnya memberi arahan. Rama mengangguk, wajahnya tetap tenang. Ini bukan pertama kalinya ia mengawal seseorang ke daerah yang mengalami masalah. Meskipun situasinya terdengar aneh. Pak Darmawan adalah sosok yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat, terutama di kota tempat ia tinggal dan bekerja selama bertahun-tahun. Sebagai seorang politisi yang kharismatik, ia telah menjabat sebagai walikota selama satu periode dan kini tengah mencalonkan diri kembali untuk masa jabatan kedua. Mobil melaju melewati jalan-jalan kota yang sibuk menuju wilayah pedesaan. Semakin jauh mereka pergi, semakin sepi dan tandus pemandangan di sekitar. Rama duduk di kursi depan, sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan keadaan aman. "Desa ini tidak jauh dari kota, kan, Pak? Anehnya, desa lain di sekitar sini masih hujan," ujar Rama membuka pembicaraan. "Ya, itulah yang menjadi pertanyaan. Sumur-sumur di desa itu tiba-tiba mengering, dan sekarang mereka bahkan kesulitan untuk sekadar mandi atau minum air bersih. Padahal desa di sebelahnya masih normal." Rama mengerutkan dahi. Tanda-tanda ini tidak bisa diabaikan begitu saja, namun dia tetap bersikap profesional. Sedangkan Pak Darmawan hanya tersenyum tipis, menatap Rama dengan mimik yang sulit diartikan. Warga desa berdiri berjajar di sepanjang jalan utama, menatap mereka dengan tatapan kosong dan kaku. Pak Darmawan turun dari mobil dan disambut kepala desa, seorang pria tua dengan wajah yang lelah. "Selamat datang, Pak Darmawan. Kami sangat berterima kasih atas bantuan yang anda berikan, Pak,” sambut kepala desa dengan hangat. "Saya sangat senang bisa membantu, Pak Aji. Jangan sungkan," ucap Pak Darmawan dengan nada percaya diri, seolah-olah ingin meyakinkan. "Air di sini tiba-tiba saja kering, padahal sungai seharusnya masih mengalir. Dan juga, tiba-tiba seminggu ini penyakit kulit mulai menjangkiti warga. Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kami," keluh Kepala Desa dengan suara bergetar, sambil meremas tangan di dadanya dengan cemas. Rama menyipitkan matanya, menyimak ucapan kepala desa itu dengan seksama. Terasa sangat aneh memang, dia bilang kejadiannya sangat tiba-tiba, dan penyakitnya baru datang seminggu. Rama berkata, sambil mengerutkan dahi. “Ada yang aneh, Pak. Desa ini kering, tetapi kita baru saja melewati daerah yang penuh air. Penyakit ini juga menyebar dengan sangat cepat... sepertinya bukan penyakit biasa.” Pak Darmawan hanya tersenyum, seolah tidak terpengaruh oleh kekhawatiran Rama. "Kita di sini untuk membantu, Rama. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu," ucap Pak Darmawan dengan senyuman tenang, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Namun, Rama tak bisa menyingkirkan perasaan aneh yang terus menghantuinya. Setiap langkah yang diambil di desa itu terasa seperti menyusuri tempat yang berbeda dari biasanya. Suara-suara samar terdengar dari kejauhan, dan beberapa kali Rama merasa ada sesuatu yang mengintai dari balik pohon-pohon kering di pinggir jalan. Saat Pak Darmawan berbicara dengan warga setempat, Rama menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Suasana sunyi yang aneh meliputi tempat ini. Biasanya, desa-desa dipenuhi dengan suara kehidupan seperti suara anak-anak bermain, orang-orang bercakap-cakap di halaman. Tapi di sini, semua tampak suram. Bahkan hewan ternak tampak diam dan lesu. "Kamu merasa aneh dengan desa ini, kan?" bisik Rama dengan suara rendah, seolah takut ada yang mendengar. Seorang pemuda yang kebetulan berdiri di dekatnya menoleh, lalu mengangguk lemah. "Iya, Pak. Semua tiba-tiba berubah beberapa minggu lalu. Sumur kami mengering, anak-anak mulai sakit, dan beberapa orang tua bahkan mulai terkena penyakit kulit," terangnya. “Baru Pak Darmawan yang berani datang ke mari, karena orang lain tidak mau ke sini, mereka takut tertular penyakit kami,” lanjutnya lagi. Rama hanya diam, mencerna penjelasan orang itu. Berbagai pikiran berkelindan di benaknya. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik situasi ini, namun belum bisa mengungkapkan apa. Tatapannya menelusuri wajah-wajah pucat penduduk desa yang berkumpul di sekitar mereka, wajah-wajah yang dipenuhi keputusasaan. Rama mendekati sebuah rumah kecil di mana seorang wanita tua sedang duduk di beranda, mengelus-ngelus lengan yang penuh bercak merah. "Sejak kapan masalah ini mulai terasa seperti ini?" tanya Rama, mengangkat alisnya dengan rasa ingin tahu. "Dua minggu lalu, Nak," jawab Kepala Desa dengan nada lesu. "Tiba-tiba saja. Kami bahkan tidak bisa mandi lagi. Air bersih sudah tidak ada." Rama diam, memperhatikan sekeliling. Kondisi ini aneh, tapi tidak ada tanda-tanda mistis atau supranatural. Semuanya hanya tampak... salah. Saat Pak Darmawan mulai memberikan pidato singkat kepada warga, tiba-tiba seorang pria muncul dari kerumunan, berlari cepat sambil membawa ember berisi air kotor. Tanpa peringatan, pria itu menyiramkan air kotor ke arah Pak Darmawan, menyebabkan warga berteriak dan mundur karena terkejut. "Berhenti!" suara Rama menggema di antara kerumunan, menarik perhatian semua orang yang sedang panik. Pria itu berlari melalui gang-gang kecil, mencoba meloloskan diri. Rama bergerak cepat, mengejar dengan langkah mantap, tapi pria itu terlalu cepat dan menghilang di balik tumpukan rumah-rumah kecil di desa itu. Ia kembali dengan wajah serius, menghela napas panjang. Pak Darmawan menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Tak apa, Rama. Mungkin ini ulah seseorang yang sedang frustrasi karena situasi di desa saat ini." Rama tidak begitu yakin. Serangan itu terasa terlalu mendadak dan terencana. Meski Pak Darmawan adalah sosok yang dihormati, ada sesuatu yang terasa salah dengan cara orang-orang memperlakukannya. Mengapa seseorang yang datang untuk membantu mendapatkan perlakuan seperti itu?“Sial, sepertinya aku sudah gila!” geram Rama sembari memukul setir mobil dengan keras. Napasnya memburu, dadanya naik turun, dan pelipisnya berdenyut kencang.Malam itu, Rama mengemudikan mobilnya di jalanan yang sepi. Mesinnya menderu dengan stabil, sementara pikirannya sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Rama memukul setir sekali lagi, amarahnya belum juga mereda.Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu dari kejauhan. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan, seseorang tampak menarik paksa seorang gadis menuju tepi pagar pembatas, seolah-olah hendak mendorongnya ke bawah.“Brengsek! Sedang apa mereka?” desisnya, matanya terbelalak. "Apa yang akan mereka lakukan pada gadis itu?”Kakinya refleks menginjak rem, suara decitan ban beradu dengan aspal yang kasar. Tanpa berpikir panjang, ia keluar dari mobil dan berlari menuju jembatan. Namun, belum sempat mencapai tangga, sebuah sepeda motor datang melaju dari arah yang tak terduga.“Brak!”Tubuh Rama terpental ke aspal, menghantam de
“Siapa kau?” teriak Rama, merasakan adrenalin yang mengalir deras di seluruh tubuhnya. Dia berusaha mencari sesuatu untuk melawan, tetapi tidak ada yang bisa dijadikan senjata. Dengan langkah mundur, ia mencoba menghindari pria itu, sambil mencari celah untuk bertahan atau melarikan diri.“Kau tidak bisa bersembunyi, Rama!” ujarnya dengan suara yang mengancam.Mendengar namanya dipanggil dengan nada seperti itu, Rama merasa mulai tertantang. Namun, ia tidak bisa bersikap gegabah saat ini.“Baiklah, majulah kalau begitu!” tantang Rama dengan tenang.Orang itu berlari, mengarahkan tinjunya pada Rama. Namun Rama berhasil menghindarinya. Mengantisipasi gerakan berikutnya, dengan cepat Rama membalikkan tubuh menangkap tangan pria itu dan membantingnya sebelum dia sempat menyerang lagi. Rama mencengkramnya dengan kuat, membuat pria itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Rama tajam, suaranya dingin dan penuh peringatan.“Dengar, aku tidak ingin melukaim
Setelah menerima pesan dari bosnya, Rama tampak gelisah. Dia berdiri di ruang tamu, memandangi ponselnya yang masih menampilkan pesan tadi. Angel berada di dekat Rama, memerhatikan dengan wajah serius, tapi ada keraguan yang jelas di matanya. Mereka berdua sama-sama diam, seolah-olah tak ada yang tahu harus memulai dari mana."Apa mungkin kamu pernah mengenalnya? Atau... mungkin bos pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya sambil berjalan mondar-mandir.Angel menggoyang-goyangkan kepala, ekspresinya semakin bingung.“Aku tidak ingat! Aku cuma ingat saat-saat setelah kecelakaan itu. Sebelum itu... aku bahkan tidak tahu siapa diriku. Setiap kali mencoba mengingatnya, selalu ada kabut yang muncul di pikiranku Rama,” sesalnya.Angel meremas jemarinya, merasa tidak berdaya. “Apakah ini semua cuma kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang tidak aku ingat?”Rama berhenti di depan Angel, menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak percaya pada kebetulan sebesar ini. Sudah jelas ada sesuatu. Bos
Rama tidak bisa bernapas sejenak. Pemandangan dalam video itu membuat darahnya berdesir dingin, ini sangat menjijikan lebih dari apa pun yang pernah ia alami selama ini. Di dalam video, gadis itu dikelilingi oleh beberapa pria asing. Mereka berbicara dalam nada rendah, seperti sedang memutuskan sesuatu yang mengerikan.“Siapa mereka?” desisnya marah.Tubuhnya bergetar, kepalan tangannya semakin mengeras saat para pria di dalam video mulai mendekati gadis yang tak berdaya itu. Mereka tertawa kecil, menikmati penderitaannya dan mempermainkan gadis itu. Mereka mengikat lebih erat tali di pergelangan tangan dan kakinya, memperlakukan tubuh lemah itu dengan biadab tanpa belas kasih.Suara tawa mereka terasa lebih kejam. Rama tak sanggup melihatnya lebih jauh. Dengan cepat ia menghentikan video itu. Napasnya terengah-engah, jiwanya dilanda kebingungan antara amarah dan rasa bersalah.“Kenapa bosku memiliki video ini?” gumamnya dalam hati. “Apakah dia terlibat bersama orang-orang itu?”Rama
Dalam perjalanan pulang, Rama terus memikirkan informasi yang baru saja didapatnya. Angel tidak hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia gelap ini, dia adalah kunci dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya dipahami guntur. Dia mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang sudah dia kumpulkan. Angel tidak ikut bersamanya kali ini. Mungkin lebih baik Angel tidak mendengar semua hal menyakitkan itu.Tiba-tiba, suara keras terdengar dari depan, sesuatu terjatuh dengan keras diatas kap mobilnya. Spontan dia menginjak rem dengan cepat, membuat mobil berhenti mendadak.“Sialan!” desis Rama, terkejut. Dia menatap lurus ke depan. “Apa-apaan ini?”Jalanan sepi, tidak ada kendaraan lain atau suara manusia. Namun, sesuatu tampak tergeletak di depan mobilnya. Rama menghela napas berat, hatinya berdegup kencang. Dengan ragu, ia keluar dari mobil untuk memastikan.Di depan mobilnya, seorang pria tampak tertelungkup di jalanan tidak bergerak.“Siapa ini?” Rama men
"Tempat apa ini?" desisnya, sambil melangkah maju, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya."Rama... kemarilah," panggil seseorang dengan lembut.Rama menajamkan pendengarannya, mencari dari mana suara itu berasal. Terdengar sayup-sayup seseorang bersenandung lemah, bergema di antara suara percikan air."Angel?" panggilnya, sedikit ragu.Gadis itu tampak sedang berendam di jacuzzi, dengan posisi membelakangi Rama. Sedikit merasa janggal karena di tempat asing ini, ia bisa melihat Angel menyentuh sesuatu. Namun, ia yakin jika yang memanggilnya adalah suara Angel."Kamu sudah datang, Rama?" tanya gadis itu sambil berbalik.Rama seketika terdiam, apa yang dilihatnya membuat otaknya berhenti bekerja sejenak. Wajahnya memanas, matanya segera berpaling."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rama terkejut."Kemarilah Rama, bantu menggosok punggungku!" jawab Angel dengan suara mendayu, seolah sengaja menggoda Rama."Tidak... lakukanlah sendiri. Aku akan segera keluar," sanggah Rama cepat.T