"Jangan biarkan aku berjalan tanpa arah, karena tanpa dirimu, aku hanya setengah dari yang seharusnya."
"Angel!" panggil Rama dengan keras.Suaranya terdengar panik dan kalut. Langkahnya tergesa, dan pandangannya tidak berhenti mencari ke setiap sudut ruangan. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Sungguh, ini begitu menyakitkan baginya. Belum sempat dia mengatakan apa pun pada gadis itu. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya menemukan identitas asli Angel dengan cepat.Rama menghentikan langkahnya, dan seketika tubuhnya ambruk. Tanpa bisa menahan beban yang tiba-tiba begitu berat, ia berlutut. Kepalanya mulai berdenyut hebat, dan tangannya tanpa sadar meremas rambutnya, mencoba mengusir rasa sakit yang datang.Dia menahan tangis. Bibirnya gemetar, namun air mata tidak bisa berhenti mengalir. Setiap tetesnya menyiratkan penyesalan yang begitu dalam. Dunia seakan memudar di sekelilingnya; hanya ada hampa dan kegelisahan yang mencekam.Pandangannya mulai kabur, berputar, dan dunia di sekelilingnya seolah-olah meluncur menjauh. Tanpa sadar, tubuhnya terjatuh, tak lagi mam
Langkah kaki Rama tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit, matanya terus memandang ke arah pintu ICU yang telah hangus terbakar. Asap masih samar-samar mengepul dari celah-celah pintu yang kini tertutup rapat oleh garis polisi. "Angel... di mana kau?" bisiknya lirih, rasa putus asa mulai menyelimuti hatinya. Pencariannya yang baru saja menemukan secercah harapan kini kembali terhenti oleh musibah ini. Namun, di balik kekalutannya, tekadnya tidak goyah. Dia tahu, dia harus menemukan Angel, apapun caranya.Rama duduk kembali di halaman rumah sakit, memperhatikan lalu lalang manusia yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana hatinya masih kacau, mencoba mencerna kejadian yang baru saja dialami di bangsal ICU.Tiba-tiba, seorang wanita mendekatinya dengan membawa dua kaleng minuman dingin. Dengan senyum ramah, dia menyodorkan satu kaleng ke arah Rama."Minum, mungkin bisa sedikit menenangkan," katanya dengan suara lembut.Rama menoleh sejenak, menatap wanita itu tanpa ekspresi seb
BAB 14Di salah satu gudang tua yang terletak di ujung pelabuhan, Rama duduk di kursi kayu dengan wajah serius. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang sudah sedikit lusuh, menandakan pengabdian panjangnya dalam dunia kelam yang digelutinya. Di hadapannya, beberapa anak buahnya berdiri tegak, menunggu perintah."Kita tidak punya waktu banyak. Barang ini harus sampai ke pembeli sebelum fajar," ucap Rama dengan suara datar penuh wibawa. Ia memandang tajam pria di depannya, seorang perantara bisnis senjata api ilegal yang sedang dalam negosiasi penting malam itu."Tapi harga yang kalian tawarkan terlalu tinggi, Rama," jawab pria itu, mencoba menawar.Sebelum Rama bisa merespons, ponselnya bergetar di dalam saku jaket. Ia mengerutkan kening, heran. Jarang ada yang menghubunginya di tengah pertemuan seperti ini, apalagi nomor pribadinya yang hanya diketahui oleh sedikit orang."Sebentar," katanya singkat, mengambil ponsel dan melihat nama pengirim pesan.Sebuah nomor baru. Dengan hati-hati, Ra
"Sudah lama menunggu?" tanya seorang wanita yang datang tergesa-gesa, nafasnya sedikit terengah. Rambutnya yang sedikit berantakan menunjukkan bahwa ia telah bergegas untuk sampai di sana.Rama menoleh, menatapnya sejenak dengan senyum tipis sebelum menjawab. "Lumayan," katanya santai. "Duduklah, aku akan memesankanmu minuman. Apa yang kamu mau?"Wanita itu menghela napas pelan, kemudian duduk di kursi di depannya. "Kopi saja, yang hitam," jawabnya singkat sambil merapikan rambutnya yang terurai.Rama mengangguk dan melambaikan tangan ke arah pelayan. "Satu kopi hitam dan satu teh hangat, tolong," katanya sebelum kembali menatap wanita di depannya."Kamu terlihat lelah," ujarnya pelan.Wanita itu tersenyum lemah. "Banyak urusan tadi. Maaf kalau aku terlambat.""Tak apa," Rama menjawab sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Yang penting kamu di sini sekarang."Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Kopi hitam dan teh hangat diletakkan di mej
Dalam ruangan yang sunyi, hanya suara detik jam yang pelan menyelinap di antara dinding-dinding yang dingin. Rama duduk di kursi, matanya terpaku pada meja besar di depannya. Wajahnya datar, tetapi ada kilatan tajam di matanya. Dia sudah duduk di sana selama satu jam, namun pikirannya terus berputar. Pintu akhirnya berderit, membuka jalan bagi seorang pria paruh baya dengan tatapan yang tegas. “Kau menungguku?” tanya pria paruh baya itu saat mendekat menuju tempat Rama berdiam. Rama tidak bergeming, tetap duduk terpaku tanpa menyambut pria itu. Ada perasaan aneh yang dirasakan pria paruh baya yang baru saja tiba, melihat Rama yang tidak seramah biasanya. Kali ini Rama terlihat sangat dingin dan kejam. Dia berjalan ke belakang meja dan duduk di depan Rama. “Katakanlah, ada apa?” tanyanya penasaran, saat melihat Rama yang hanya tertunduk tanpa ekpresi. “Jika aku mengatakannya, apakah kamu akan menjawab semua pertanyaan untukku?” sahut Rama seraya megangkat pandangannya pada pria di
“Sial, sepertinya aku sudah gila!” geram Rama sembari memukul setir mobil dengan keras. Napasnya memburu, dadanya naik turun, dan pelipisnya berdenyut kencang.Malam itu, Rama mengemudikan mobilnya di jalanan yang sepi. Mesinnya menderu dengan stabil, sementara pikirannya sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Rama memukul setir sekali lagi, amarahnya belum juga mereda.Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu dari kejauhan. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan, seseorang tampak menarik paksa seorang gadis menuju tepi pagar pembatas, seolah-olah hendak mendorongnya ke bawah.“Brengsek! Sedang apa mereka?” desisnya, matanya terbelalak. "Apa yang akan mereka lakukan pada gadis itu?”Kakinya refleks menginjak rem, suara decitan ban beradu dengan aspal yang kasar. Tanpa berpikir panjang, ia keluar dari mobil dan berlari menuju jembatan. Namun, belum sempat mencapai tangga, sebuah sepeda motor datang melaju dari arah yang tak terduga.“Brak!”Tubuh Rama terpental ke aspal, menghantam de
“Siapa kau?” teriak Rama, merasakan adrenalin yang mengalir deras di seluruh tubuhnya. Dia berusaha mencari sesuatu untuk melawan, tetapi tidak ada yang bisa dijadikan senjata. Dengan langkah mundur, ia mencoba menghindari pria itu, sambil mencari celah untuk bertahan atau melarikan diri.“Kau tidak bisa bersembunyi, Rama!” ujarnya dengan suara yang mengancam.Mendengar namanya dipanggil dengan nada seperti itu, Rama merasa mulai tertantang. Namun, ia tidak bisa bersikap gegabah saat ini.“Baiklah, majulah kalau begitu!” tantang Rama dengan tenang.Orang itu berlari, mengarahkan tinjunya pada Rama. Namun Rama berhasil menghindarinya. Mengantisipasi gerakan berikutnya, dengan cepat Rama membalikkan tubuh menangkap tangan pria itu dan membantingnya sebelum dia sempat menyerang lagi. Rama mencengkramnya dengan kuat, membuat pria itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Rama tajam, suaranya dingin dan penuh peringatan.“Dengar, aku tidak ingin melukaim
Setelah menerima pesan dari bosnya, Rama tampak gelisah. Dia berdiri di ruang tamu, memandangi ponselnya yang masih menampilkan pesan tadi. Angel berada di dekat Rama, memerhatikan dengan wajah serius, tapi ada keraguan yang jelas di matanya. Mereka berdua sama-sama diam, seolah-olah tak ada yang tahu harus memulai dari mana."Apa mungkin kamu pernah mengenalnya? Atau... mungkin bos pernah melihatmu sebelumnya?" tanyanya sambil berjalan mondar-mandir.Angel menggoyang-goyangkan kepala, ekspresinya semakin bingung.“Aku tidak ingat! Aku cuma ingat saat-saat setelah kecelakaan itu. Sebelum itu... aku bahkan tidak tahu siapa diriku. Setiap kali mencoba mengingatnya, selalu ada kabut yang muncul di pikiranku Rama,” sesalnya.Angel meremas jemarinya, merasa tidak berdaya. “Apakah ini semua cuma kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang tidak aku ingat?”Rama berhenti di depan Angel, menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak percaya pada kebetulan sebesar ini. Sudah jelas ada sesuatu. Bos
Dalam ruangan yang sunyi, hanya suara detik jam yang pelan menyelinap di antara dinding-dinding yang dingin. Rama duduk di kursi, matanya terpaku pada meja besar di depannya. Wajahnya datar, tetapi ada kilatan tajam di matanya. Dia sudah duduk di sana selama satu jam, namun pikirannya terus berputar. Pintu akhirnya berderit, membuka jalan bagi seorang pria paruh baya dengan tatapan yang tegas. “Kau menungguku?” tanya pria paruh baya itu saat mendekat menuju tempat Rama berdiam. Rama tidak bergeming, tetap duduk terpaku tanpa menyambut pria itu. Ada perasaan aneh yang dirasakan pria paruh baya yang baru saja tiba, melihat Rama yang tidak seramah biasanya. Kali ini Rama terlihat sangat dingin dan kejam. Dia berjalan ke belakang meja dan duduk di depan Rama. “Katakanlah, ada apa?” tanyanya penasaran, saat melihat Rama yang hanya tertunduk tanpa ekpresi. “Jika aku mengatakannya, apakah kamu akan menjawab semua pertanyaan untukku?” sahut Rama seraya megangkat pandangannya pada pria di
"Sudah lama menunggu?" tanya seorang wanita yang datang tergesa-gesa, nafasnya sedikit terengah. Rambutnya yang sedikit berantakan menunjukkan bahwa ia telah bergegas untuk sampai di sana.Rama menoleh, menatapnya sejenak dengan senyum tipis sebelum menjawab. "Lumayan," katanya santai. "Duduklah, aku akan memesankanmu minuman. Apa yang kamu mau?"Wanita itu menghela napas pelan, kemudian duduk di kursi di depannya. "Kopi saja, yang hitam," jawabnya singkat sambil merapikan rambutnya yang terurai.Rama mengangguk dan melambaikan tangan ke arah pelayan. "Satu kopi hitam dan satu teh hangat, tolong," katanya sebelum kembali menatap wanita di depannya."Kamu terlihat lelah," ujarnya pelan.Wanita itu tersenyum lemah. "Banyak urusan tadi. Maaf kalau aku terlambat.""Tak apa," Rama menjawab sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Yang penting kamu di sini sekarang."Percakapan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa pesanan mereka. Kopi hitam dan teh hangat diletakkan di mej
BAB 14Di salah satu gudang tua yang terletak di ujung pelabuhan, Rama duduk di kursi kayu dengan wajah serius. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang sudah sedikit lusuh, menandakan pengabdian panjangnya dalam dunia kelam yang digelutinya. Di hadapannya, beberapa anak buahnya berdiri tegak, menunggu perintah."Kita tidak punya waktu banyak. Barang ini harus sampai ke pembeli sebelum fajar," ucap Rama dengan suara datar penuh wibawa. Ia memandang tajam pria di depannya, seorang perantara bisnis senjata api ilegal yang sedang dalam negosiasi penting malam itu."Tapi harga yang kalian tawarkan terlalu tinggi, Rama," jawab pria itu, mencoba menawar.Sebelum Rama bisa merespons, ponselnya bergetar di dalam saku jaket. Ia mengerutkan kening, heran. Jarang ada yang menghubunginya di tengah pertemuan seperti ini, apalagi nomor pribadinya yang hanya diketahui oleh sedikit orang."Sebentar," katanya singkat, mengambil ponsel dan melihat nama pengirim pesan.Sebuah nomor baru. Dengan hati-hati, Ra
Langkah kaki Rama tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit, matanya terus memandang ke arah pintu ICU yang telah hangus terbakar. Asap masih samar-samar mengepul dari celah-celah pintu yang kini tertutup rapat oleh garis polisi. "Angel... di mana kau?" bisiknya lirih, rasa putus asa mulai menyelimuti hatinya. Pencariannya yang baru saja menemukan secercah harapan kini kembali terhenti oleh musibah ini. Namun, di balik kekalutannya, tekadnya tidak goyah. Dia tahu, dia harus menemukan Angel, apapun caranya.Rama duduk kembali di halaman rumah sakit, memperhatikan lalu lalang manusia yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana hatinya masih kacau, mencoba mencerna kejadian yang baru saja dialami di bangsal ICU.Tiba-tiba, seorang wanita mendekatinya dengan membawa dua kaleng minuman dingin. Dengan senyum ramah, dia menyodorkan satu kaleng ke arah Rama."Minum, mungkin bisa sedikit menenangkan," katanya dengan suara lembut.Rama menoleh sejenak, menatap wanita itu tanpa ekspresi seb
"Angel!" panggil Rama dengan keras.Suaranya terdengar panik dan kalut. Langkahnya tergesa, dan pandangannya tidak berhenti mencari ke setiap sudut ruangan. Apa yang diharapkannya tidak terjadi. Sungguh, ini begitu menyakitkan baginya. Belum sempat dia mengatakan apa pun pada gadis itu. Dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantunya menemukan identitas asli Angel dengan cepat.Rama menghentikan langkahnya, dan seketika tubuhnya ambruk. Tanpa bisa menahan beban yang tiba-tiba begitu berat, ia berlutut. Kepalanya mulai berdenyut hebat, dan tangannya tanpa sadar meremas rambutnya, mencoba mengusir rasa sakit yang datang.Dia menahan tangis. Bibirnya gemetar, namun air mata tidak bisa berhenti mengalir. Setiap tetesnya menyiratkan penyesalan yang begitu dalam. Dunia seakan memudar di sekelilingnya; hanya ada hampa dan kegelisahan yang mencekam.Pandangannya mulai kabur, berputar, dan dunia di sekelilingnya seolah-olah meluncur menjauh. Tanpa sadar, tubuhnya terjatuh, tak lagi mam
“Apa kamu baik-baik saja?" tanya Angel, tatkala melihat Rama yang sedari tadi diam, bahkan beberapa jam setelah mereka pulang.“Hemh, aku baik-baik saja,” jawab Rama singkat, terlihat tidak semangat.“Sepertinya aku tahu tujuan laki-laki tadi mengikuti kita. Lebih tepatnya, mengikutimu,” gumam Angel setengah berbisik.Rama menatapnya sebelum kemudian bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu?”Angel tersenyum kecil. “Karena aku bisa memperhatikan orang lain tanpa mereka sadari,” jawabnya, seolah itu hal yang biasa.Rama tertawa pelan. “Aku bahkan tidak tahu, apakah aku harus takut atau kagum padamu setelah mendengar alasanmu,” ujar Rama sambil memandang Angel dengan ekspresi aneh.Angel mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan ucapan Rama. “Apa maksudmu?” tanyanya heran.“Bisa jadi selama ini kamu memperhatikanku saat di kamar mandi,” jawab Rama sekenanya.Angel terkikik, sambil menggelengkan kepala. “Oh, jadi menurutmu aku memperhatikanmu saat mandi? Aku rasa imajinasimu lebih liar dari
"Pak Darmawan!" serunya hangat, sambil menjabat tangan bosnya. "Sungguh luar biasa bisa bertemu Anda lagi setelah kejadian yang menimpa Anda beberapa waktu lalu."Pak Darmawan tampak sedikit terkejut melihatnya, dan Rama menangkap ekspresi gugup yang sekilas melintas di wajah bosnya sebelum semua orang menyadarinya. Dengan senyum yang dipaksakan, Pak Darmawan membalas, "Senang bertemu Anda kembali, Dokter.""Saya masih tidak percaya, Anda bisa kembali sehat seperti sedia kala setelah dinyatakan mati otak," kata dokter itu, nadanya penuh kekaguman, tapi juga bertanya-tanya.Rama mendengarnya, dan ia merasa bulu kuduknya meremang. "Apa?" bisiknya pada dirinya sendiri. Apa maksud dokter itu? Mati otak? Pikiran Rama berpacu, menghubungkan potongan-potongan informasi yang mulai terasa janggal.Dokter itu terus bicara, menatap Pak Darmawan dengan perasaan penuh rasa syukur. Pak Darmawan tampak semakin canggung, senyumnya hampir hilang. Namun, ia masih mencoba mempertahankan kendali.Pak Darm
"Rama! Pergi!" teriak seorang lelaki yang tergeletak di lantai, bersimbah darah, suaranya dipenuhi dengan ketakutan. Di sampingnya, seorang perempuan bermata teduh melihat Rama dengan tatapan penuh harap."Rama, cepat lari nak, aku mohon pergilah!" Perempuan itu berbisik, suaranya lembut namun penuh tekanan.Rama terpaku, tubuhnya seolah beku. "Ayah... Ibu..." Hanya itu yang bisa terucap, meski suaranya serak. Kepalanya berdenyut nyeri, rasa sakit di hatinya menjalar seperti ribuan jarum menusuk."Rama, pergi! Sekarang!" teriak ayahnya menggema, mendesaknya untuk segera bergerak.Namun, Rama tidak bisa bergerak, seolah waktu telah berhenti dan membuatnya membeku. "Tidak, aku tidak bisa meninggalkan kalian!" jawabnya setengah terisak.Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. "Akhhh!" teriaknya dengan keras, saat kegelapan mulai menyelimuti pandangannya. Suara-suara itu memudar, dan semuanya terasa melayang.Dengan satu tarikan napas yang dalam, Rama terbangun. Keringat bercucuran di dah
Rama membuka pintu rumah dengan hati-hati, mencoba menghindari sesuatu yang sudah dia perhitungkan sebelumnya. Setelah berhari-hari tidak pulang, dia bisa membayangkan betapa rumitnya pertanyaan yang akan muncul dari gadis itu. Sebetulnya, bukan hanya pekerjaan yang menahannya tidak pulang, tetapi dia merasa membutuhkan waktu untuk tidak bertemu dengan Angel setelah mimpi aneh yang dia alami bersama gadis itu.Baru saja kakinya melangkah masuk, Rama harus berhenti karena sebuah panggilan yang tidak bisa dihindari.“Rama!” panggilnya, sambil melayang mendekati Rama yang terlihat seperti sedang menyusup.Angel melayang tepat di belakang Rama, dia tidak menyadari posisinya terlalu dekat. Sedangkan Rama spontan memutar tubuh, ingin segera memberi alasan kenapa sikapnya seperti itu. Namun tidak sengaja, wajahnya hampir menyentuh wajah Angel yang sedang melayang di belakang tubuhnya.Jantungnya berdegup tidak beraturan, Rama merasa suasana di ruangannya sangat panas, pipinya memerah. Sedang