“Harry, kita harus sembunyi di mana?” jerit wanita itu pelan dengan sangat panik. Napas Harry dan wanita sudah tidak beraturan. Ketakutan dan kelelahan berlari membuat mereka bertambah tegang.
Sekarang mereka berada di lorong yang terpasang cermin kiri dan kanan. Sangat banyak sehingga mereka bisa melihat pantulan diri mereka yang berantakan.
“Heii, ayo cari di sebelah sini!! Seharusnya mereka masih di sekitar rumah ini!! Cari!! Jangan pernah lepaskan mereka!!” Terdengar teriakan orang-orang dari ujung lorong.
Mendengar teriakan itu, Harry menarik tangan wanita itu untuk kembali berlari menjauhi orang-orang itu. Napas mereka yang terengah-engah terdengar memenuhi lorong itu.
Harry berusaha menahan napasnya agar suara napasnya yang tersengal-sengal tidak kedengaran, tapi terasa sesak di dada. Karena jantungnya berdetak dengan kencang.
“Harry!!” Tiba-tiba wanita itu menjerit panik dan ketakutan. Ada kengerian
Saat Harry masih memikirkan napasnya yang terengah-engah, dia tidak memperhatikan wanita itu menyentuh sebuah cermin unik yang terpajang di dinding dan tertarik masuk ke dalam cermin itu.
Harry berusaha menarik tangan wanita itu yang masih dalam genggamannya dengan kedua tangannya melawan kekuatan isap cermin yang sangat kuat, sehingga dia pun mulai ikut tertarik. Dia menggunakan kakinya yang tertahan di dinding sebagai penahan untuk menarik wanita itu, tapi genggaman tangannya pada wanita itu perlahan-lahan terlepas. Dan akhirnya wanita itu terisap penuh masuk ke dalam cermin.
“Niiikkkaaa!!!”
Harry terlompat bangun dari tempat tidurnya. Napasnya terengah-engah. Harry mengusap wajah dengan tangannya. Ini mimpi buruk yang kesekian kalinya.
Selalu di tempat yang tidak pernah dia tahu di mana dan siapa wanita itu. Dia hanya mengingat nama wanita itu, Nika dan bola mata yang sangat indah.
Ddrrr!!
Getaran dari ponselnya membuatnya tersadar penuh dari mimpi buruknya. Dia melihat pesan dari seseorang yang mengirimkan link untuk bergabung ke kelompok doa pagi.
Kelompok doa pagi dari komunitasnya yang rutin tiap hari dilakukan setiap jam 6 pagi. Setelah menenangkan diri, Harry mengeklik link tersebut.
Dengan mengikuti doa itu, Harry bisa melalui sepanjang hari dengan tidak mengingat-ingat lagi mimpi buruk. Karena dia menyerahkan semuanya pada Yang Di Atas.
Harry, seorang CEO di sebuah perusahaan konstruksi yang cukup bonafide di kotanya. Dia juga ekspansi ke daerah lain, tapi belum serius ditekuni.
Sebagai seorang CEO, dia tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk mendekati wanita-wanita cantik yang bekerja di perusahaannya, walau dia tahu, sebagian besar wanita bersedia melakukan apa saja yang dia minta.
Karena Harry bukan saja mempunyai kedudukan tinggi tapi juga pintar, tampan, tinggi. Hampir mendekati kata ‘sempurna’, jika sikapnya tidak merendahkan orang dan tatapannya tidak dingin.
Karena itu dia tidak pernah melirik seorang wanita pun, walau wanita yang berdiri di hadapannya sangat cantik dengan tubuh seperti gitar dan berpakaian minim. Dia malah merasa jijik melihat wanita yang berpakaian seperti itu.
“Pagi, Pak Harry,” sapa sekretarisnya, Gina, sambil mengekor masuk ke dalam ruang kerja Harry. Dia sangat menyukai Gina yang betul-betul bisa menghargai dirinya sebagai wanita.
“Hari ini jadwalnya apa saja?” tanya Harry setelah duduk nyaman di kursi kebesarannya.
“Jam 9 pagi ada pertemuan dengan Pak Toni di kantor kita. Jam 3 sore bertemu dengan Ibu Sandra di kafe Kenangan. Terakhir jam 7 malam ada janji dengan Pak Eko dan Pak Taruf di tempat karaoke. Kata Pak Eko, nanti dikirimkan lewat pesan untuk lokasinya. Hanya itu, Pak,” jawab Gina dengan lugas dan santai.
Di matanya, walau sikap Harry sombong dan sangat dingin pada semua staf tapi hatinya sangat baik dan polos seperti anak kecil. Sehingga Gina yang sudah menikah, kadang-kadang menganggap Harry sebagai adik kecilnya.
Gina masih ingat saat suaminya kecelakaan, Harrylah yang pontang-panting mengurus semuanya sehingga melupakan jadwal pertemuan. Itulah pertama kali dia melihat Harry melepaskan sikap angkuhnya.
Dan Gina bersyukur, kolega Harry bisa mengerti keadaannya dan bersedia mengubah jadwal pertemuan. Yang tentu saja tidak terlepas dari kepiawaian Harry dalam beragumen.
“Baiklah. Minta tolong kamu siapkan kontrak untuk pertemuan dengan Pak Toni dan Ibu Sandra. Tolong cek apa surat izin membangunnya sudah keluar atau belum? Jangan lupa minta NPWP dan bukti pembayaran biaya listrik dan air terakhir pemilik tanahnya.”
“Baik, Pak. Maaf, Pak. Apa Bapak mimpi buruk lagi?” tanya Gina ragu-ragu.
Dia melihat ada tanda hitam yang melingkar di bawah mata. Biasanya Harry menutupinya dengan concealer, tapi setiap mimpi buruk, kebiasaannya itu dia lupakan.
Mendengar pertanyaan Gina, Harry langsung mengambil ponselnya untuk bercermin.
“Aahh, saya lupa lagi memakainya,” tawa harry kecut. “Terima kasih, Gina, kamu selalu memperhatikanku. Ohya, bagaimana kabar Kak Jeff?”
“Terima kasih kembali, Pak. Kak Jeff sudah sehat. Hari ini dia sudah mulai bekerja lagi,” tawa Gina saat melihat Harry mendelik padanya.
Seharusnya Jeff belum bisa bekerja setelah mengalami kecelakaan yang sangat parah, saat menjalankan tugasnya menyelidiki kasus pembunuhan. Jeff seorang polisi yang sangat ditakuti, karena sangat piawai dalam menganalisa kasus-kasus.
Jika Jeff sampai meninggal karena kecelakaan tempo hari, semua penjahat pasti berpesta pora, dan kepolisian akan mengalami kerugian serta kedukaan yang sangat besar.
“Saya tahu, Pak. Dia belum bisa. Tapi ada kasus pembunuhan yang baru saja terjadi kemarin malam. Teman-temannya berjanji kalau Kak Jeff hanya ditugaskan menganalisa kasus dan tidak turun ke lapangan.”
“Syukurlah. Dia pasti masih diincar para penjahat. Seharusnya dia meminta perlindungan 24 jam dari kepolisian,” protes Harry. Harry sangat menghormati Gina dan Jeff. Mereka sudah seperti keluarganya sendiri.
Mendengar protes Harry, Gina merasa terharu. Ternyata pemikiran Harry juga sama dengan pemikriannya.
Tiba-tiba dering ponsel Gina berbunyi dengan keras membuatnya kaget. Cepat-cepat dia melirik Harry dan hatinya lega, Harry tidak merasa terganggu. Tapi saat melihat layar ponselnya, Gina tertegun. Hatinya langsung kacau balau.
Harry melirik pada Gina yang hanya menatap layar ponselnya tanpa mengangkatnya. Harry menghampiri Gina dan ikut melihat layar tersebut. Keningnya berkerut. Nomor yang tertera di ponsel itu sama dengan sewaktu Gina mendapat telepon saat suaminya kecelakaan.
Harry langsung mengambil ponsel dari tangan Gina dan menindis tombol hijau serta menyalakan pengeras suara.
“Halo,” sapa Harry.
“Eh, ini dengan siapa? Ini telepon istriku, Gina, kan?” kata suara dari seberang.
“Kak Jeff! Apa kamu baik-baik saja?” jerit Gina tertahan. Air matanya mengalir. Harry meremas bahu Gina dengan lembut.
“Aku baik-baik saja. Ponselku rusak karena terjadi pengeboman di kantor polisi. Tapi aku baik-baik saja. Hanya sedikit terluka. Jadi jangan kamu khawatir kalau mendengar berita ya."
BUM!!
"Kak Jeff!!" teriak Gina saat mendengar suara keras itu.
Gina memandang Harry dengan nanar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Harry langsung menarik tangan Gina dan berlari ke tempat parkir.
BUM!!"Kak Jeff!!" teriak Gina saat mendengar suara keras itu. Gina memandang Harry dengan nanar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Harry langsung menarik tangan Gina dan berlari ke tempat parkir.“Terus berteriak, Gina. Panggil Kak Jeff terus,” perintah Harry. Hatinya merasa cemas.Walau demikian, saat berkendara, dia usahakan tetap fokus pada jalanan.“Pak, bagaimana ini? Kak Jeff tidak balas-balas. Padahal teleponnya masih aktif,” nangis Gina panik.“Panggil terus dengan kencang!! Siapa tahu dia bisa mendengarmu!” saran Harry yang juga mulai ikutan panik.Dari kejauhan mereka melihat kekacauan di daerah kantor polisi. Sebelum Harry menghentikan mobilnya, Gina sudah lompat keluar dan berlari masuk ke dalam kantor polisi.“Pak John!” Gina melihat kepala tim Jeff.“Oh, Ibu Gina. Saya baru saja mau menelepon Ibu. Pak Jeff su
Momo berlari keluar dari tempat karaoke itu. Dia tidak pernah semalu ini. Perlahan larinya semakin memelan. Akhirnya dia berhenti di sebuah halte bus dan merenung.Momo ingat saat pertama kali datang ke kota ini. Hidupnya sangat kacau. Tidak dapat pekerjaan tetap. Gaji kurang. Dompet hampir kosong.Di saat keterpurukannya, Momo bertemu dengan Lita. Lita berteman akrab dengan Sinta, anak seorang konglomerat yang pendiam tapi gila. Perlu sekali-sekali dicuci otaknya.Sinta yang punya uang banyak, memulai membuat permainan ini hingga pada akhirnya terbentuklah beberapa kelompok. Salah satunya, kelompok Eko, Taruf dan Harry. Harry adalah pemain, Eko dan Taruf yang mengeluarkan uang sebagai modal awal. Begitu pun kelompok Sinta, dia dan Lita yang mengeluarkan modal awal dan Momo sebagai pemain.Jika kelompok mereka menang, pemain akan mendapat penghasilan yang tidak sedikit. Kerena taruhan ini memakai modal yang banyak.Momo telah mendapat cukup uang un
Dengan kebingungan, Gina masuk ke ruangannya Harry Dia melihat Harry sedang tafakur memikirkan sesuatu. Tapi Harry mengangkat wajahnya dan memandang Gina.“Bagaimana menurutmu? Apa dia bisa bekerja seperti dirimu?” tanya Harry.Mendengar kata ‘seperti dirimu’ membuat Gina melambung tinggi.“Kalau menurutku, dia bisa dan mau belajar. Tapi tentu saja, dia harus bekerja keras. Kalau dia tidak kuat tahan banting, yah otomatis dia akan resign.”“Apa ada kemungkinan itu?” tanya Harry.“Kalau melihat sifatnya, 80% dia akan bertahan. Tapi kita tidak bisa menutup kemungkinan 20% itu.”Harry kembali tafakur. ‘Apa dia mau ambil resiko? Tapi wanita itu tidak bisa hilang begitu saja dari kepalaku. Apalagi tadi mendengar hasil wawancaranya dengan Gina, dia terdengar sangat pintar dan jujur,’ batin Harry.“Bagaimana kalau beri dia masa percobaan 1 bulan? Sebulan k
Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.“Kau!!” teriak Momo.“Kenapa dengan saya?” tanya Harry dengan dingin. “Apa kita berteman akrab? Sehingga kamu memanggil Bosmu dengan ‘kau’?”Kata-kata Harry seakan-akan menampar wajah Momo. Dengan malu, dia menundukkan kepalanya.“Kamu sudah diajar apa yang harus dilakukan sama Gina, kan?” tanya Harry. Tapi Momo yang kebingungan dan kaget, diam. Pikirannya masih belum fokus pada pekerjaannya. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.“Apa begitu tingkahmu pada Pimpinanmu?!” bentak Harry dengan keras. “Apa saya harus menyesal telah menerimamu bekerja di sini?!”Bentakan Harry berhasil mendaratkan Momo kembali ke kantor itu. Dengan terperangah mendengar suara Harry, mengingatkan dia pekerjaannya sebagai sekretaris
“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereska
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.“Di mana?”Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik tok
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan. Semua mata juga memandang ke pintu.Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran. Dia jatuh terduduk sambil menatap Clark dengan perasaan bercampur aduk. Matanya berkaca-kaca.“Harry, siapa dia? Kenapa begitu tingkahnya saat melihat Clark?” bentak Mamanya Harry, Anisa dengan panik. Suara Anisa yang paling keras dibandingkan suara yang lain yang juga protes dengan reaksi Momo saat melihat Clark.Clark yang divonis autis sama dokter kadang-kadang dianggap sebuah beban bagi orang tua Clark. Harry pernah mendengar Kakak dan Kakak iparnya bertengkar karena masalah Clark yang autis. Dan karena autis, Clark terlihat aneh.Harry melirik kakak iparnya, Agna, yang menunduk dengan wajah memerah. Harry hanya berdiri bingung tidak harus buat apa. Di
"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo."Ken sudah tidak ada bersama kita.”“Apa? Apa maksudmu?”“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.&ldqu