“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”
“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”
“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.
Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.
“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.
“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.
Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereskan meja kerja, Pak.”
Tanpa menunggu jawaban dari Harry, Momo keluar dan menuju ke toilet. Dia mengambil tisu lap tangan dan melipatnya tebal-tebal. Kemudian dia mendekap tisu itu di mulutnya dan berteriak sekencang-kencangnya dengan kesal.
Seandainya dia disuruh kerja, dia masih mau lembur sampai jam berapa saja. Tapi disuruh makan dan pergi belanja? Sejak kapan dia jadi asisten pribadi?
Momo sangat ingin bertanya pada Gina, tapi dia takut mengganggu Gina yang sedang merawat suaminya. Setelah menenangkan diri di toilet, Momo menuju ke mejanya.
Dia sempat syok melihat Harry berdiri di depan mejanya dan membawa makanan itu. Harry melihat Momo hanya berdiri melongo menatapnya.
“Makanlah. Mungkin kamu sungkan makan denganku. Jadi aku membawanya keluar. Setengah jam lagi, kita keluar dan kabari orang rumahmu, karena kemungkinan akan agak malam baru pulang.” Tanpa menunggu jawaban dari Momo, Harry langsung masuk ke ruangannya.
Setelah Harry menghilang dari pandangannya, Momo langsung melepas napas lega. ‘Kenapa juga aku selalu tegang di hadapannya? Dan mengapa semalaman aku dengannya? Oh, Tuhan, hari pertama yang melelahkan,’ batin Momo dengan kesal.
Pas setengah jam kemudian, Harry keluar dari ruangannya. Momo yang tipe disiplin dengan waktu, sudah menunggunya. Harry tersenyum, dia sangat senang dengan orang yang tepat waktu.
Momo kaget dengan penampilan Harry yang kasual. Dengan kaus v neck yang ketat sehingga memperlihat otot bisep lengannya. Momo hanya bisa menelan salivanya. ‘Apakah di bagian perutnya six pack?’ pikir Momo yang sudah melenceng jauh.
Harry memberi kode jentikan jari di depan wajahnya Momo untuk mengikutinya, membuat Momo jatuh kembali ke ruang kantornya. Momo cepat-cepat menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sembunyi-sembunyi. Dia harus menghentikan pikiran kotornya.
Harry melangkah keluar dan Momo mengekor di belakangnya. Momo sempat melirik ke ruangan rekan kerjanya dan terlihat mereka mengikutinya dengan netra mereka. Telinga Momo sempat menangkap sedikit pembicaraan mereka.
“Hei, mau dibawa ke mana itu si Monita? Pasti Monita sakit kepala melihat Pangeran Tampan di depan matanya tapi tidak bisa menyentuhnya.”
“Hahaha, kamu saja yang pikiran begitu, Rina. Tapi kenapa ya Monita terlihat ketakutan begitu? Kasihan.”
“Iya, Ibu Gina juga kaget saat aku memberi tahu padanya.”
“Untung bukan kita yang jadi asisten. Lama-lama aku jadi kurus nih.”
“Sudah saatnya kamu diet, hahaha.”
“….”
Momo tidak mendengar lagi pembicaraan mereka. Dia melirik pada Harry. Entah harry mendengarnya atau tidak. Karena dia terus berjalan menuju lift tanpa komentar.
‘Aku mendengarnya ibu-ibu. Emangnya aku bikin apa sama Monita ini, sampai kalian mengasihaninya? Untung juga bukan kalian yang jadi asisten. Karena aku sudah pasti tidak ada semangat kerja lagi,’ batin Harry sambil melirik Momo yang menunduk.
“Kamu sudah memberi tahu orang tuamu?” tanya Harry basa-basi.
“Tidak,” jawab Momo singkat. Dia asyik memperhatikan kakinya.
“Kenapa? Tidak takut mereka cemas?”
“Tidak akan. Karena aku tinggal sendiri.”
“Oh.” Harry menjawab dengan cuek, tapi dalam hatinya dia kaget. ‘Pantes saja dia begitu bebas.’
Harry dan Momo berdiam diri sampai tiba di pusat perbelanjaan. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan.
Sesampai di pusat perbelanjaan, Momo mengekor Harry, tanpa berniat mau berjalan di sampingnya. Tiba-tiba bayangan kejadian semalam terbayang di pelupuk matanya. Dia memandang punggung Harry seolah-olah punggung itu adalah layar televisi dan dia sedang menonton cuplikan ciuman ter-hot.
Tiba-tiba Harry menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Momo yang netranya terus menonton adegan kemarin malam, menabrak dada Harry. Terukir bentuk bibir di baju kausnya Harry. Tapi Momo bersyukur, hari ini dia memakai lipstick berwarna peach, jadi tidak sejelas jika memakai lipstrik berwarna merah.
Netra Momo membesar dan ketakutan. “Pak … saya minta maaf,” bisik Momo panik sambil menatap Harry dengan wajah memelas. Dia tidak berani bersuara keras, takut menjadi bahan tontonan.
“Cih, sudah menabrak bikin kotor lagi,” gerutu Harry sambil memandang bajunya yang tertera bibir berlipstik.
“Ma … mmaaf, kenapa Bapak juga berhenti tiba-tiba?” keluh Momo mencoba cari alasan sambil menggosok hidungnya yang sakit juga. 'Tadi aku menabrak apa ya? Keras banget,' batin Momo penasaran.
“Aku berhenti karena kamu, tahu tidak!” bentak Harry sepelan mungkin sambil menjitak pelipis Momo.
“Aduh!! Sshhh, sakit!” jerit Momo pelan. Dia tidak ingin menarik perhatian pengunjung pusat perbelanjaan itu. “Pak, apa salah saya?”
“Aku ini orangnya sensitif. Jadi tahu kalau ada yang melotot memandangi punggungku. Mungkin seharusnya aku menyesal menerimamu. Kamu sama saja dengan dua ibu-ibu yang di kantor!” omel Harry. Kali ini dia benar-benar merasa sedikit menyesal menerima wanita ini hanya karena penasaran. ‘Cih, semua wanita sama saja,’ batin Harry kesal.
Momo menunduk. Kali ini memang salahnya. Berjalan sambil melamun, yang memalukan pula. “Maaf, Pak.”
“Yah, sudah, Kamu bantu aku mencari kaus baru dan hadiah!” kata Harry dingin.
Harry cepat-cepat melangkah. Dia mulai malu saat dua orang wanita perhatikan noda bajunya. Mereka cekikikan sambil menunjuk-nunjuk bajunya.
Setelah mendapat baju baru dan menggantinya, barulah Harry bisa benapas lega. Dia mulai menikmati setiap adegan salah tingkahnya Momo.
“Pak, mau beli hadiah untuk siapa? Mau hadiah apa?” tanya Momo takut-takut. Toko yang baru mereka tinggalkan merupakan toko ke-10. Dia tidak tahu apa yang dicari Bosnya.
“Kenapa baru tanya sekarang?” keluh Harry.
“Heh?! Maaf, Pak.”
Harry mulai bosan mendengar permintaan maaf sejak insiden bajunya.
“Kamu tidak bosan minta maaf ya. Dari tadi minta maaf melulu,” gerutu Harry. “Aku lagi mencari hadiah spesial untuk anak 7 tahun. Cowok.”
“Kesukaannya apa? Maksudku apa dia suka membaca, bermain mobil-mobilan?” tanya Momo lebih lanjut.
“Hhhmm, dia tidak suka mobil-mobilan. Dia juga tidak suka membaca. Anaknya pintar, tapi tidak bisa duduk tenang, kecuali saat belajar matematika.”
“Mau beli rubik kubus?” tanya Momo.
“Sudah pernah kubeli. Tapi sudah dia buang, karena bosan,” tawa harry saat melihat Momo terperanjat. Momo melihat tawa Harry yang mengemaskan sehingga hampir membuatnya terlena. Cepat-cepat dia mengalihkan matanya ke tempat lain seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.
“Dia suka puzzle?” tanya Momo.
“Suka sekali. Tapi belum dapat yang membuatnya puas.”
“Wow, anak Bapak jenius,” kagum Momo.
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!”
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.“Di mana?”Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik tok
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan. Semua mata juga memandang ke pintu.Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran. Dia jatuh terduduk sambil menatap Clark dengan perasaan bercampur aduk. Matanya berkaca-kaca.“Harry, siapa dia? Kenapa begitu tingkahnya saat melihat Clark?” bentak Mamanya Harry, Anisa dengan panik. Suara Anisa yang paling keras dibandingkan suara yang lain yang juga protes dengan reaksi Momo saat melihat Clark.Clark yang divonis autis sama dokter kadang-kadang dianggap sebuah beban bagi orang tua Clark. Harry pernah mendengar Kakak dan Kakak iparnya bertengkar karena masalah Clark yang autis. Dan karena autis, Clark terlihat aneh.Harry melirik kakak iparnya, Agna, yang menunduk dengan wajah memerah. Harry hanya berdiri bingung tidak harus buat apa. Di
"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo."Ken sudah tidak ada bersama kita.”“Apa? Apa maksudmu?”“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.&ldqu
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Harry panik, lupa dengan ponsel Momo yang masih terhubung dengan Lita.“Momo!! Apa yang terjadi?! Siapa itu laki-laki itu?? Dia bikin apa kamu?!” teriak Lita panik.Harry memandang ponsel Momo dengan netra yang sangat besar. ‘Aduh, aku lupa, dia masih berbicara di telepon!!” seru Harry dalam hati dengan gugup.“Aduh, sori, Lit. Tadi aku tidak sengaja menabrak office boy. Aku kira semua sudah pulang, jadi langsung saja keluar tanpa memperhatikan,” kata Momo tanpa menyaring perkataannya.Netra Harry semakin lebar dan tajam. ‘Aku dibilang office boy? Enak aja ini anak! Berani macam-macam ya karena kamu kenal Clark. Awas besok di kantor,’ gerutu Harry dalam hati.“Ooo, kirain Bosmu lagi bikin kamu apa, hehehe.”“Lita, jangan sembarang ngomong. Nanti Bosku marah,” pekik Momo sambil melirik ke Harry. Tapi Harry su
Mereka berdua berdiri memantung memandang kamar itu. Kamarnya lumayan besar dan bagus, tapi hanya ada 1 kasur besar. Tidak ada sofa untuk dijadikan tempat tidur cadangan. Satu-satunya hanya tempat tidur itu.“Pak, bagaimana ini?” tanya Momo panik.Harry menelan salivanya. Walau hatinya bergetar hebat, dia mencoba menjawab dengan sikap dingin.“Yah, mau bagimana lagi? Kamu di ujung sini dan aku di ujung sana,” kata Harry terlihat santai dan langsung masuk ke kamar mandi.Setelah masuk dan mengunci pintu, Harry duduk di kloset dan meraup kepalanya. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Rasa sakit dan ketakutan menguasai dirinya. Badannya bergetar hebat. Harry terus merapal doa-doa yang telah dia hafal. Karena hanya doa itu yang membuatnya bisa bertahan di samping wanita.Tapi kali ini, Momo adalah orang baru yang Harry belum mengetahui apa pun tentangnya. Dan sekarang mereka harus berdua dalam 1 kamar, bahkan 1 tempat tidur.
“Monita, mulai sekarang aku tidak mau kamu melanjutkan aktivitas malammu itu dengan Lita. Jika aku mengetahui kamu masih melakukannya, silakan angkat kaki dari kantorku. Aku tidak mempekerjakan PSK,” kata Harry dengan nada dingin.Setelah mengatakan peringatan itu, tanpa menoleh, Harry langsung masuk ke mobilnya dan melaju kencang.Momo hanya bisa bergeming memandang kepergian mobil Harry. PSK? Jadi selama ini dia anggap aku PSK? Berengsek!!umpat Momo dalam hati. Dengan kemarahan meluap-luap, Momo masuk ke dalam rumahnya.Untuk meredam kemarahannya, Momo mandi lagi. Setelah merasa lebih segar dan kemarahannya sudah surut, dia mengambil ponselnya.Momo kaget melihat ada 20 kali panggilan tak terjawab dan 10 pesan dari Lita. Dia lupa mengabari Lita sesuai janjinya.Tidak juga, aku berjanji menelepon sesampai di rumah dan aku baru saja tiba di rumah,batin Momo membela diri.Tapi mana mungkin aku mengatakan ka
Perlahan Harry melangkah ke toilet dan dia kaget mendengar teriakan Momo. Tapi dia tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan apa yang diteriakkan Momo. Harry berdiri mematung sambil mendengar tangisan kesal Momo.Setelah Momo merasa sedikit kelegaan dan memperbaiki riasan wajahnya, dia keluar dari toilet.Momo segera menuju ke mejanya dan mulai memilah-milah berkasnya. Dia tidak menyadari kalau dari dalam ruangan, Harry mengintipnya.Tapi saat itu Momo tidak bisa konsentrasi, karena dia terus berpikir. Dia mendengar Harry mengatakan kata ‘cantik’. Apakah aku yang dia maksud dengan cantik? Kenapa jantungku berdebar-debar konyol seperti begini?batin Momo resah. Tidak … tidak. Aku harus konsentrasi mengerjakan pekerjaan hari ini, kalau tidak ingin dipecat. Ayo, Momo. Konsentrasi!Momo cepat-cepat menepis pikirannya yang tidak pada tempatnya dan fokus pada pekerjaannya. Tanpa Momo sadari, waktu berlalu dengan cepat
Harry mengerutkan keningnya saat melihat nomor di layar.“Ada apa, Har?” tanya Anisa.“Ma, Ken gawat!” pekik Harry ketakutan.“Kak Ken!!” teriak Clark.“Ayo, kita langsung ke rumah sakit!” seru Anisa yang langsung berlari ke dapur dan memberi instruksi pada pelayannya.Semua berdesak-desakan dalam mobil Harry, tapi tidak ada yang mengeluh kesempitan. Momo juga ikut dalam mobil itu tanpa berkata apa-apa.Setiba mereka di rumah sakit, mereka langsung menuju ke kamar Ken. Saat itu, dokter Ardy sedang memberi pertolongan pada Ken, sehingga mereka terpaksa menunggu di luar kamar.Hariyanto, Papanya Harry, yang bersamaan datang, memeluk Anisa. Agna dan Clark saling berangkulan sambil menangis.Harry melihat Momo yang terus menerus menengok ke dalam dengan cemas dan gemetar. Entah sudah berapa kali Momo menghapus air matanya. Harry menghampiri Momo dan memeluknya.“Ten