Beranda / Fantasi / CERMIN GERBANG CINTA / Bab 7 Pertemuan Yang Tak Terduga

Share

Bab 7 Pertemuan Yang Tak Terduga

“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.

 “Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”

Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.

“Di mana?”

Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”

Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.

Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik toko itu tahu dia tidak bersalah, tapi tidak mampu melawan suaminya.

“Malam, Bu,” sapa Momo saat masuk ke toko itu.

Senyum pemilik toko itu mengembang saat melihat Momo.

“Momo!!” Dia memeluk Momo dengan eratnya. Dia sangat sayang pada Momo dan dia sangat berharap Momo jadi menantunya. Tapi suaminya tidak setuju dan Momo pun tidak mau.

“Bagaimana kabarmu, Nak?”

“Saya baik-baik saja, Bu. Ohya, ini Bos saya, Bu. Pak, Ibu ini pemilik toko.”

Harry menyalami ibu itu.

“Bu, Bapak sedang mencari puzzle yang susah buat kemenakannya yang berumur 7 tahun. Anaknya pintar. Cowok. Bisa rekomendasikan?”

“Tentu saja. Ada yang baru. Yang ini! Sebenarnya ini untuk anak berumur 10 tahun. Kalau anaknya suka tantangan, saya rekomendasikan puzzle ini.”

Harry melihat puzzle itu dengan seksama. Sebenarnya gambarnya sangat sederhana, seorang ksatria dan membawa daya tarik tersendiri. Harry melihat potongan puzzle-nya juga agak unik. Seakan-akan banyak jebakan.

“Yang ini juga bagus. Tapi lebih kecewekan sedikit gambarnya. Potongannya sangat berbeda dengan yang gambar ksatria itu. Masing-masing mempunyai tingkat kesulitan tersendiri. Sebenarnya ini untuk anak yang berumur 10 sampai 11 tahun.”

Harry memandang gambar puzzle kedua. Memang terlihat potongannya lebih aneh. Dan gambarnya walau sama-sama ksatria, tapi ini wanita dan puzzle yang satunya pria.

“Kelihatannya Ibu mengetahui banyak puzzle,” kata Harry sambil tersenyum mendengar penjelasan ibu itu.

Momo dan ibu itu tertawa.

“Hehehe, Pak, Ibu Lastri jagonya main puzzle. Sekali-sekali bawa kemenakan Bapak dan bertanding kecepatan dengan Ibu Lastri.”

“Sungguh. Wah, kalau begitu rekomendasi Ibu Lastri pasti mantap. Saya ambil dua-duanya.”

“Hah?! Serius, Pak?” sahut Lastri tidak percaya dan senang.

“Dua rius, Bu,” kata Harry sambil tersenyum manis. Untuk kedua kalinya, Momo terlena dengan senyuman Harry.

Setelah membawa berpamitan dengan pemilik toko, mereka keluar.

“Momo!!” Terdengar suara pria memanggilnya.

Momo memandang ke asal suara itu dan tertegun. Dia sangat tidak ingin bertemu dengan pria itu.

“Kak Boni, apa kabar?” tanya Momo basa-basi.

“Baik. Kamu sendiri? Kenapa kamu tidak masuk kerja hari ini?”

“Saya sudah tidak bekerja di minimarket, Kak.”

“Boni!! Masuk!! Dan kamu, untuk apa datang lagi ke sini?! Mau minta uang sama Boni?!” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari samping toko itu.

“Pa, kenapa marah Momo? Justru dia yang bawa pelanggan ke sini,” bentak Lastri yang berlari keluar saat mendengar bentakan suaminya. Tangannya membuat gestur melambai-lambai ke arah Momo.

Momo mengeerti maksud Lastri yang menyuruhnya cepat-cepat pergi.

“Pak, ayo,” bisik Momo sambil menarik tangan Harry dan berlalu dari sana. Serasa dia ingin berlari sekencang-kencangnya, tapi dia tahu, jika dia melakukan itu, pasti Harry menuntut penjelasan dan dia tidak ingin menceritakan apa-apa.

“Hei, Momo! Kamu belum bilang! Kamu kerja di mana sekarang?!” teriak Boni. Tapi Momo mengabaikan teriakan itu. Di belakangnya terdengar sumpah serapah dari mulut suaminya Lastri.

Mereka kembali ke pusat perbelanjaan. Momo masih tidak sadar dia memegang erat tangannya Harry. Tapi saat tiba di dalam pusat perbelanjaan, Momo malah bingung harus melakukan apa.

Harry meraih tangan Momo dan menggenggamnya dengan erat. Dia membawa Momo ke tempat parkir. Tempat untuk menenangkan diri adalah di tempat yang sepi.

Harry membukakan pintu mobil dan mendorong Momo masuk. Dia pun masuk ke dalam mobil tapi hanya menyalakan mesin. Dia menunggu Momo merasa tenang baru dia mengantar Momo pulang.

“Pak, sesudah ini mau ke mana lagi?” tanya Momo lirih.

“Aku akan mengantar kamu pulang,” jawab Harry sambil memandang Momo yang masih menunduk.

“Bapak masih ada acara?” tanya Momo. Dia tidak ingin pulang. Dia bisa gila kalau saat ini sendirian.

“Aku hanya mau mengantar kado itu pada kemenakanku.” Harry mengerutkan keningnya. Dia bingung apa tujuan Momo bertanya begitu.

“Bolehkah saya ikut?” tanya Momo lirih dan hampir berbisik.

“Awalnya memang aku ingin membawamu ke sana. Tapi … apa kamu tidak apa-apa kalau ikut denganku?” tanya Harry. ‘Sebenarnya aku ingin memperkenalkan kamu pada orang tuaku, supaya mereka tahu kalau kamu hanya asistennya Gina. Tidak lebih,’ batin Harry.

Orang tuanya sudah lama menyuruhnya menikah, minimal bawa calon menantu ke rumah. Tapi dia tidak tahu kenapa dia tidak berminat sedikit pun pada wanita, malah terasa ingin muntah setiap melihat wanita. Hanya 2 orang wanita yang dia sukai, Mama dan Gina.

Hanya mereka yang membuatnya merasakan yang namanya bercanda dengan wanita. Hal ini sudah lama. Bahkan Mama siap-siap membawanya ke psikiater. Tapi dia menolaknya.

Selama ini dia merasa nyaman dengan keadaannya yang sekarang. Sendiri dan tidak perlu memikirkan perasaan wanita.

Sesampai di rumah, Harry melirik ke Momo. Selama perjalanan Momo menunduk terus, bahkan dia samar-samar mendengar ada isak. Tapi setelah sampai di depan rumah, Momo mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Harry.

Ada terlihat bekas air mata di sudut mata Momo. Tapi dengan tenang, dia mengambil alat make up-nya dan merias diri dengan sangat sederhana.

“Pak, bisa minta tolong?”

“Apa?” Harry menatap Momo.

“Apa kelihatan ada sesuatu pada wajahku? Aku tidak mungkin terlihat sedih di depan anak yang ulang tahun, kan?”

Harry tersenyum. “Tidak. Kamu hebat menutupinya dengan make up. Ayo, kita turun sebelum dia tidur.”

“Eh, jam segini sudah tidur?”

“Jangan salah, dia sangat disiplin menjaga kesehatan dirinya. Aku harus sering belajar padanya,” kata Harry tersenyum lebar. Melihat senyuman Harry, hati Momo terasa tenang. Seolah-olah senyum itu berteriak padanya, semangat!! Fighting!!

Momo mengekor langkah Harry sambil melihat sekelilingnya. Dia tidak berani terlalu dekat dengan Harry, takut kejadian di pusat perbelanjaan terjadi lagi.

“Malam!!” teriak Harry saat membuka pintu depan.

Di ruang tamu tidak terdengar suara apa pun. Dengan keheranan, Harry menuju ke ruang makan. Di sana dia melihat semua berkumpul, tapi tidak ada yang bersuara.

Sambil melangkah masuk, dia memandang satu per satu. Mereka pun memandang Harry dengan tatapan meminta tolong. ‘Hhmmm, dia berulah lagi,’ batin Harry.

Harry melangkah mendekati kemenakannya yang menuduk merajuk. Harry jongkok di sampingnya dan memegang tangannya dengan lembut. Dia tidak menolak, bahkan memegang tangan Harry dengan erat seolah-olah takut Harry akan pergi.

“Clark, Paman belikan hadiah khusus buatmu. Sesudah makan, kita bermain. Jadi kamu makan dulu ya,” bujuk Harry.

Clark mengangkat wajahnya dan memandang Harry kemudian melengos.

“Tidak mau! Clark marah sama Papa!”

Harry memandang pada Mamanya  Clark dan mengedarkan pandangannya pada wajah-wajah di meja makan. Harry menghela napas. Sudah 2 tahun berturut-turut, Kakaknya tidak pernah mau menghadiri ulang tahun anaknya. Tidak tahu kenapa.

“Clark, bisa bantu Paman? Paman bawa teman. Kan kasihan, nanti dia lapar. Kamu ajak dia makan, oke?”

“Teman?”

“Iya, teman yang cantik. Oke?” Terpaksa tujuan Harry berubah. ‘Nanti aku harus menjelaskan pada Papa dan Mama, siapa Monita itu,’ batin Harry pasrah.

“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan.

Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status