Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.
“Kau!!” teriak Momo.
“Kenapa dengan saya?” tanya Harry dengan dingin. “Apa kita berteman akrab? Sehingga kamu memanggil Bosmu dengan ‘kau’?”
Kata-kata Harry seakan-akan menampar wajah Momo. Dengan malu, dia menundukkan kepalanya.
“Kamu sudah diajar apa yang harus dilakukan sama Gina, kan?” tanya Harry. Tapi Momo yang kebingungan dan kaget, diam. Pikirannya masih belum fokus pada pekerjaannya. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.
“Apa begitu tingkahmu pada Pimpinanmu?!” bentak Harry dengan keras. “Apa saya harus menyesal telah menerimamu bekerja di sini?!”
Bentakan Harry berhasil mendaratkan Momo kembali ke kantor itu. Dengan terperangah mendengar suara Harry, mengingatkan dia pekerjaannya sebagai sekretaris.
‘Tuhan, bantu aku untuk fokus. Fokus!! Fokus!! Ayolah pikiranku. Fokus!’ batin Momo dengan perasaan yang kacau balau. Setelah menarik napas tiga kali, akhirnya Momo bisa menenangkan dirinya.
“Maaf, Pak. Bapak seperti orang yang pernah saya kenal. Maaf, bisa Bapak mengulangi permintaan Bapak?” tanya Momo sambil menatap wajah Harry tanpa ekspresi.
Harry hampir saja menertawai Momo. Karena sangat terlihat kalau Momo berusaha mengatur perasaannya.
“Apa Gina sudah memberi tahu kalau hari ini ada pertemuan dengan Pak Toni?” tanya Harry.
“Sudah, Pak. Berkasnya akan saya antarkan sebentar lagi.”
“Tidak perlu. Kamu tinggal membawanya ke pertemuan nanti sore. Kamu ikut rapat juga,” kata Harry sambil meneruskan pekerjaannya tanpa memandang Momo lagi.
“Baiklah, Pak. Saya permisi dulu.”
Dengan tenang, Momo keluar dan menutup pintu. Setelah menutup pintu di belakangnya, Momo langsung melorot ke lantai.
Setelah menenangkan hatinya, Momo kembali berdiri dan menyemangati hatinya. Dia harus kuat. “Aku tak akan menyerah sebelum mencoba semua yang kubisa,” tekad Momo.
Sambil berdoa, Momo mempersiapkan berkas dan kontrak untuk pertemuan hari ini. Setengah jam sebelum pertemuan, Momo telah merapikan semua file. Dan sesuai pesan Gina, dia membuat 2 rangkap.
Tiba-tiba Harry keluar dari ruangannya. “Monita!”
“Iya, Pak.” Momo langsung berdiri dari tempatnya. Kali ini dia berhasil mengusir perasaan tentang kejadian semalam. Dia bertekad untuk kerja profesional.
“Kamu sudah menyiapkan berkas untuk pertemuan?”
“Sudah, Pak. Ini berkasnya. Saya sudah membuat 2 rangkap.”
Harry kaget melihat berkas yang telah tersusun dengan rapi. Tapi ….
“2 rangkap?!” bentak Harry sambil membanting berkas-berkas tersebut. “Kenapa kamu tidak bertanya? Buat 3 rangkap!!”
“Oh, maaf, Pak. Ibu Gina mengatakan ….”
“Yang ikut rapat aku atau Gina?!” bentak Harry.
Harry yakin bentakannya sampai ke ruangan sebelah. Dan memang benar, Utien dan Rina sedang mengintip kemarahan Harry. Bahkan mereka juga kaget saat Harry membanting berkas itu.
Saat Harry meninggalkan Momo, Utien dan Rina cepat-cepat kembali ke ruangan mereka. Harry sempat melihat bayangan mereka dan terukir senyuman di wajahnya.
‘Kalau memang harus rangkap 3, kan bisa tinggal bilang baik-baik. Tidak perlu sampai membanting berkas segitu kasarnya,’ gerundel Momo dalam hati. Hampir dia menangis melihat berkas-berkasnya berhamburan karena dibanting.
Momo dengan secepat kilat merapikan berkas-berkasnya. Dia merasa bersyukur karena diberikan kecekatan, sehingga di menit-menit terakhir, 3 rangkap berkasnya sudah rapi.
Saat Harry keluar, dia kaget, berkas 3 rangkap sudah rapi. Sehingga membuatnya terkagum-kagum. Bahkan ekspresi Momo pun tenang, seakan-akan dia tidak pernah mendapat bentakan dan bekerja membabi buta.
Dengan cepat Harry mengubah ekspresinya saat dia melihat Momo meliriknya. “Ikut denganku,” kata Harry sambil berlalu menuju ke ruang pertemuan.
“Halo, Pak Toni. Maaf membuat anda menunggu lama.” Harry menyalami Toni.
“Tidak lama. Baru saja tiba. Wah, ada sekretaris baru nih. Gina sudah cabut ya?” goda Toni.
“Tidaklah. Dia asistennya Gina. Bagaimana kalau kita memulai saja?” Harry memberi kode pada Momo untuk membagikan berkasnya. “Ini kontraknya. Silakan Pak Toni membacanya.”
“Apa-apaan ini, Pak Harry?” tanya Toni gusar.
“Ada apa, Pak Toni?” tanya Harry bingung.
“Bukankah kita sudah sepakat, kalau kontrak ini sudah termasuk PPN dan Pph? Kenapa di sini tertulis belum termasuk? Selain itu Pak Harry menjanjikan kotrak ini sudah termasuk air bersih dan pemasangan listrik, kenapa di sini tidak tercantum? Sekarang apa bedanya Pak Harry dengan kontraktor lain?” hardik Toni sambil membanting kontrak itu.
Tanpa bicara, Harry membaca kontrak tersebut dan memandang tajam pada Momo yang sudah pucat pasi.
“Kamu dengar? Kenapa masih berdiri di sini? Cepat pergi ubah kontraknya!” kata Harry dengan nada rendah tapi tajam dan dingin.
Momo langsung berlari kembali ke ruangannya. Momo tidak tahu di belakangnya, Harry dan Toni membuat high five.
“Har, kenapa dengan sekretaris barumu? Aku tidak pernah melihatmu ngerjain pegawaimu apalagi dia masih baru,” tanya Toni.
“Gak apa-apalah. Hanya ingin mengetest apa dia tahan banting atau tidak. Ini kebetulan denganmu, pelanggan yang paling baik. Bagaimana kalau dia bertemu dengan jahat? Bisa jadi di depan pelanggan, dia menangis bombai,” kilah Harry cuek.
Padahal kenyataan tidak seperti dalam kata-katanya. Sebenarnya hatinya juga risau melihat Momo yang pontang-panting.
Momo sambil berlari kembali ke ruangannya, dia terus berdoa, semoga bisa minta tolong pada Rio daripada minta tolong pada Utien atau Rina.
Saat melihat Rio di ruangan sendirian, Momo langsung mengucap syukur. Cepat-cepat Momo menghampiri Rio.
“Pak Rio, bisa minta tolong tidak untuk merevisi kontrak? Aku tidak tahu … bagaimana mengubahnya, karena ... file aslinya ada di komputernya Ibu Gina,” tanya Momo dengan napas tersengal-sengal.
“Tenang … tenang. Kenapa diubah?”
“Kata … Pak Toni, dia sudah dijanji kontraknya termasuk PPN, PPh, air dan listrik.”
“Oh hanya itu. Gampang kok. Ayo, kita pakai komputerku saja ya. Di sana juga ada kontraknya Pak Toni.”
“Sungguh?” kata Momo tidak percaya karena sangat senang. Melihat Rio mengangguk, Momo langsung bernapas lega. “Syukurlah.”
Dengan bantuan Rio, 3 rangkap kontrak selesai dengan cepat. Momo langsung berlari kembali ke ruang pertemuan. Dan hampir menabrak Utien dan Rina yang baru mau masuk.
Momo hanya menghormat imereka dan kembali berlari dengan cepat.
“Rio, kenapa dengan Monita? Larinya seperti sudah mencuri sesuatu di sini,” tanya Utien.
“Dia habis dimarahi Bos, karena kontraknya ada yang salah,” jawab Rio sambil meneruskan pekerjaannya. “Padahal itu baru terjadi hari ini. Yah, mana dia tahu?”
“Apanya yang salah?” tanya Rina.
“Tidak termasuk PPN, PPh, air dan listrik.”
“Apa?! Itu kan baru?” Rina kaget.
“Wah, sepertinya Bos mau ngerjain dia deh. Dari tadi dimarahi terus,” tukas Utien.
“Sudahlah, Kak. Nanti Bos dengar lho,” sahut Rio mencoba mengingatkan mereka berdua.
Untung saja Momo tidak mendengar percakapan rekan kerjanya. Kalau tidak, dia pasti tidak akan berlari seperti orang gila.
Sesampai di ruang pertemuan, Momo menyerahkan kontrak itu. Toni hanya melihat sepintas dan langsung menandatangani kontrak itu.
Toni menjabat tangan Harry sambil berbisik, "Hebat juga dia."
Harry hanya tersenyum. “Terima kasih, Pak Toni.
Setelah mengantar Toni, Harry menyuruh Momo ke ruangannya.
“Aku lapar. Bantu pesankan makanan,” perintah Harry.
“Bapak mau pesan apa dan di mana?” tanya Momo. ‘Wah, aku harus menambah di catatan nih. Tidak ada dalam daftar,’ batin Momo.
“Makanan yang cepat.”
“Fastfood?”
“Yah, itu saja. Pesan 2 porsi.”
“Iya, Pak.”
Setelah Momo pesan lewat pemesanan dan datang. Dia segera membawa ke ruangannya Harry.
“Pak, makanannya sudah datang. Saya taruh di sini.”
“Kamu duduklah.”
“Heh?!” Momo bingung. 'Kenapa aku disuruh duduk?' batin Momo.
“Duduk dan makan bagianmu. Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”
“Heh?”
“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereska
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.“Di mana?”Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik tok
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan. Semua mata juga memandang ke pintu.Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran. Dia jatuh terduduk sambil menatap Clark dengan perasaan bercampur aduk. Matanya berkaca-kaca.“Harry, siapa dia? Kenapa begitu tingkahnya saat melihat Clark?” bentak Mamanya Harry, Anisa dengan panik. Suara Anisa yang paling keras dibandingkan suara yang lain yang juga protes dengan reaksi Momo saat melihat Clark.Clark yang divonis autis sama dokter kadang-kadang dianggap sebuah beban bagi orang tua Clark. Harry pernah mendengar Kakak dan Kakak iparnya bertengkar karena masalah Clark yang autis. Dan karena autis, Clark terlihat aneh.Harry melirik kakak iparnya, Agna, yang menunduk dengan wajah memerah. Harry hanya berdiri bingung tidak harus buat apa. Di
"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo."Ken sudah tidak ada bersama kita.”“Apa? Apa maksudmu?”“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.&ldqu
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Harry panik, lupa dengan ponsel Momo yang masih terhubung dengan Lita.“Momo!! Apa yang terjadi?! Siapa itu laki-laki itu?? Dia bikin apa kamu?!” teriak Lita panik.Harry memandang ponsel Momo dengan netra yang sangat besar. ‘Aduh, aku lupa, dia masih berbicara di telepon!!” seru Harry dalam hati dengan gugup.“Aduh, sori, Lit. Tadi aku tidak sengaja menabrak office boy. Aku kira semua sudah pulang, jadi langsung saja keluar tanpa memperhatikan,” kata Momo tanpa menyaring perkataannya.Netra Harry semakin lebar dan tajam. ‘Aku dibilang office boy? Enak aja ini anak! Berani macam-macam ya karena kamu kenal Clark. Awas besok di kantor,’ gerutu Harry dalam hati.“Ooo, kirain Bosmu lagi bikin kamu apa, hehehe.”“Lita, jangan sembarang ngomong. Nanti Bosku marah,” pekik Momo sambil melirik ke Harry. Tapi Harry su
Mereka berdua berdiri memantung memandang kamar itu. Kamarnya lumayan besar dan bagus, tapi hanya ada 1 kasur besar. Tidak ada sofa untuk dijadikan tempat tidur cadangan. Satu-satunya hanya tempat tidur itu.“Pak, bagaimana ini?” tanya Momo panik.Harry menelan salivanya. Walau hatinya bergetar hebat, dia mencoba menjawab dengan sikap dingin.“Yah, mau bagimana lagi? Kamu di ujung sini dan aku di ujung sana,” kata Harry terlihat santai dan langsung masuk ke kamar mandi.Setelah masuk dan mengunci pintu, Harry duduk di kloset dan meraup kepalanya. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Rasa sakit dan ketakutan menguasai dirinya. Badannya bergetar hebat. Harry terus merapal doa-doa yang telah dia hafal. Karena hanya doa itu yang membuatnya bisa bertahan di samping wanita.Tapi kali ini, Momo adalah orang baru yang Harry belum mengetahui apa pun tentangnya. Dan sekarang mereka harus berdua dalam 1 kamar, bahkan 1 tempat tidur.
“Monita, mulai sekarang aku tidak mau kamu melanjutkan aktivitas malammu itu dengan Lita. Jika aku mengetahui kamu masih melakukannya, silakan angkat kaki dari kantorku. Aku tidak mempekerjakan PSK,” kata Harry dengan nada dingin.Setelah mengatakan peringatan itu, tanpa menoleh, Harry langsung masuk ke mobilnya dan melaju kencang.Momo hanya bisa bergeming memandang kepergian mobil Harry. PSK? Jadi selama ini dia anggap aku PSK? Berengsek!!umpat Momo dalam hati. Dengan kemarahan meluap-luap, Momo masuk ke dalam rumahnya.Untuk meredam kemarahannya, Momo mandi lagi. Setelah merasa lebih segar dan kemarahannya sudah surut, dia mengambil ponselnya.Momo kaget melihat ada 20 kali panggilan tak terjawab dan 10 pesan dari Lita. Dia lupa mengabari Lita sesuai janjinya.Tidak juga, aku berjanji menelepon sesampai di rumah dan aku baru saja tiba di rumah,batin Momo membela diri.Tapi mana mungkin aku mengatakan ka
Perlahan Harry melangkah ke toilet dan dia kaget mendengar teriakan Momo. Tapi dia tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan apa yang diteriakkan Momo. Harry berdiri mematung sambil mendengar tangisan kesal Momo.Setelah Momo merasa sedikit kelegaan dan memperbaiki riasan wajahnya, dia keluar dari toilet.Momo segera menuju ke mejanya dan mulai memilah-milah berkasnya. Dia tidak menyadari kalau dari dalam ruangan, Harry mengintipnya.Tapi saat itu Momo tidak bisa konsentrasi, karena dia terus berpikir. Dia mendengar Harry mengatakan kata ‘cantik’. Apakah aku yang dia maksud dengan cantik? Kenapa jantungku berdebar-debar konyol seperti begini?batin Momo resah. Tidak … tidak. Aku harus konsentrasi mengerjakan pekerjaan hari ini, kalau tidak ingin dipecat. Ayo, Momo. Konsentrasi!Momo cepat-cepat menepis pikirannya yang tidak pada tempatnya dan fokus pada pekerjaannya. Tanpa Momo sadari, waktu berlalu dengan cepat
Momo dan Harry langsung berlari membantu Mira untuk bangun kembali. Mereka tidak memedulikan tawaan dan cibiran orang-orang. Mira sangat marah saat Momo menyentuhnya. Dengan kasar dia menepis tangan Momo, tetapi menyambut dengan senyum manis pada tangan Harry. Sambil menatap Harry dengan intens, Mira mengelus tangan Harry. Harry merasa serba salah. Dia sangat ingin menarik kembali tangannya, tetapi Momo menatapnya dengan tatapan melarang. Akhirnya Harry melayani Mira yang terus menerus menatapnya dengan tatapan menggoda. Dengan izin dari Chu, Mira diperbolehkan tinggal di daerah itu. Namun tidak ada yang memedulikannya. Walau ada rasa enggan, Harry tetap menjenguk Mira. Dia sadar akan tanggung jawabnya. Melihat kebaikan hati Harry, semua penduduk dunia cermin mendukung Harry menggantikan posisi Mira. Namun Harry belum memberi mereka jawaban. “Harry, mengapa kamu tidak segera melakukan pelantikan dirimu jadi penguasa? Apa yang kamu tunggu?” tanya Chu saat sedang menggantikan perban
Mira yang memiliki kecantikan seorang gadis, sekarang berubah menjadi seorang nenek-nenek sesuai dengan usianya. Keriput merajalela di seluruh tubuhya.“Apa yang kamu lakukan, Harry?! Kenapa aku menjadi seperti ini? Tenaga apa yang kamu pakai?! Kembalikan aku pada kecantikan dan kemudaaanku!!” teriak Mira histeris. Namun suara yang awalnya begitu kencang dan tegas, berubah menjadi suara cempreng, suara nenek-nenek yang lemah.Saat Harry melongo melihat keadaan Mira, muncul Devan dan Mischa. Pasukan mereka telah disuruh meninggalkan pos yang sudah diatur sejak awal, karena perubahan rencana. Mereka diminta bersiaga menjaga rumah sakit. Sedangkan Devan dan Mischa yang menawarkan diri untuk mengawasi Harry dari jauh.Saat melihat Mira mengikuti Harry dan Momo, dengan tetap waspada Devan dan Mischa mengikuti dari kejauhan. Namun apa yang mereka takutkan tidak terjadi. Malah Mira kalah dengan keadaan yang sangat aneh.“Harry, kamu pergilah me
Saat kecemasan Momo meningkat, dia merasakan ada tangan yang menggenggam erat tangannya. Dia tidak tahu kalau Harry sudah berada di sisinya sebelum digenggam. Momo bernapas lega saat melihat bola mata Harry.“Wah … wah, kalian telah menyakitiku,” seru Mira sambil tertawa sinis. Mira turun dari mobil serta menghampiri Harry dan Momo dengan tatapan yang tajam, karena sakit hati. Matanya tidak bisa teralihkan dari genggaman tangan Harry pada Momo.“Harry, kamu berbohong ya. Katamu sudah memecat Monita, kenyataannya kamu membawanya ke sini!” bentak Toni dengan marah.“Saya sudah dipecat sebagai sekretaris, Pak Toni. Tapi saya melamar kerja sebagai belahan jiwanya Pak Harry. Apakah itu mengecewakanmu?” kata Momo dengan tenang. Tawa Harry hampir saja pecah saat mendengar Momo mengatakan melamar sebagai belahan jiwanya. Namun melihat kemarahan Mira dan Toni, Harry memilih menyimpannya dalam hati.“Apa-apaan kamu,
“Ada apa?” tanya Tico pada Momo. Tiba-tiba dia disergap rasa khawatir.“Pasukan Mira sedang menuju ke arah sini. Entah dia tahu tempat ini atau hanya mengira-ngira,” timpal Chu.“Dia tidak mengira-ngira! Kemungkinan besar dia tahu tempat ini. Kita harus evakuasi yang tidak bisa bertarung!” perintah Harry. Entah kenapa dia mengeluarkan perintah itu, seolah-olah dia adalah penguasa. Sebagian orang yang mendengarnya langsung bergerak.“Momo, mereka sudah dekat ataukah masih jauh?” tanya sina.“Paling cepat tiba di sini setengah jam lagi,” kata Momo.“Master, kita harus memasang pelindung kita,” pinta Ken.“Kalau kita memasang pelindung, berarti tidak ada yang bisa keluar ataupun masuk,” protes Sina. “Bagaimana caranya kita mengeluarkan yang tidak bisa bertarung? Mereka akan terjebak seperti kita.”“Tetapi kalau kita tidak pasang, mereka
Di belakangnya terlihat beberapa orang mengusung seseorang yang terluka parah. Wajahnya sudah tidak bisa dikenali karena berlumur cairan merah.Terlihat Chu keluar dengan langkah tergopoh-gopoh. Dia segera menyuruh mereka membawa orang itu masuk ke dalam sebuah kamar. Semuanya mengikuti orang yang diusung itu.“Ada apa?” tanya Sina pada pengusung yang sudah meletakkan orang sakit itu di tempat tidur.“Dia dipukul sama anak buahnya Mira sampai babak belur beberapa hari yang lalu. Terus teman-teman membawa dan merawatnya. Saat masih dirawat, teman-teman lain beri tahu kalau adiknya ditangkap sama Mira, dia menuju ke sana dan merelakan dirinya yang dipukul untuk menggantikan adiknya. Tetapi Mira mengenalinya yang tempo hari dia pukul, sehingga dia dipukul berkali-kali lipat,” kata pengusung itu sambil menghela napas. “Padahal adiknya itu bukan adik kandungnya.”“Kenapa dia dan adiknya dipukul?” tanya Sina.
Momo tidak mampu menyelesaikan perkataannya. Hatinya sangat sesak. Tanpa mengharapkan jawaban, dia mengikuti Chu ke sebuah ruangan.Momo hampir pingsan melihat seseorang yang tergeletak dalam keadaan luka parah. Orang itu tidak bergerak, tetapi Momo masih melihat gerakan dadanya naik turun, walau tidak teratur. Dengan cepat, Momo menghampirinya.“Harry!! Harry!! Bangun!! Jangan tinggalkan aku sendiri,” tangis Momo meraung sambil mengguncang badan Harry.“Kalau kamu mau, kamu bisa menyembuhkannya,” kata Chu.Momo tersentak kaget mendengar perkataan Chu. Dia memandang Chu dengan tidak percaya. Air matanya masih mengalir tanpa henti.“Be…bbenarkah, Master? Saya bisa menyembuhkannya. Bagaimana caranya? Tolong beri tahu pada saya, Master, huhuhu….”“Hanya kamu sendiri yang tahu. Seperti kamu bisa melihat masa depan, begitulah kekuatanmu itu akan muncul jika kamu inginkan.”&ldqu
Semua netra menoleh pada sumber suara. Walau Harry dan kawan-kawan diam, tetapi netra mereka menuntut penjelasan.“Maaf, saya tidak bisa menjelaskan lebih terperinci daripada pemberitahuan ini. Silakan kalian masuk lewat pintu kanan,” kata orang itu sambil menunjukkan pintu masuk sebelah kanan. “Eh, tunggu, kecuali kamu. Tempatmu bukan di kanan, tetapi di kiri.”Ken tersentak kaget karena dia disuruh menuju ke pintu kiri. Dengan heran dia memandang orang itu.“Mengapa?”“Ada yang harus kamu temui dahulu.”Hanya jawaban itu, tetapi membuat raut wajah Ken memucat. Dengan lesu, dia menuju ke pintu sebelah kiri.“Siapa yang harus dia temui, Bin?” tanya Sina.“Kamu akan tahu juga nanti,” kata Bin tidak peduli. Dia segera membuka pintu buat mereka bertiga dan mempersilakan mereka masuk ke dalam.Saat mereka masuk, Harry takjub melihat suasana di dalam. Pintu masu
“Mo, ada apa?” tanya Harry khawatir. Setiap kali melihat Momo menangis, hati Harry menjadi sakit. Hatinya juga ingin ikut menangis.Bruk!!Semua terlompat kaget. Mereka mendekati pintu yang mereka lewati tadi. Namun Momo melarang mereka.“Jangan mendekat!” bisik Momo sambil menghapus air matanya. “Kita harus pergi dari sini! Kalau tidak, sia-sialah kesempatan yang diberikan Gus.”“Maksudnya? Kesempatan apa?" tanya Sina heran."Momo benar, Dok. Ayo, kita pergi dari sini!” bisik Harry. Entah kenapa dia mengerti larangan Momo.Walau bingung, semuanya sepakat untuk pergi dari sana. Melewati tangga darurat dengan cepat menuju ke tempat parkir. Dari sana mereka segera meninggalkan rumah sakit dengan menggunakan mobil Sina yang selalu terparkir di tempat parkir rumah sakit.Sani yang menjalankan kendaraan sehingga Sina bisa mengecek berita dari rumah sakit. Namun ada satu video yang dikir
Semua yang melihat Mira marah, mengerutkan kening. Mereka tidak tahu apa yang telah dikatakan dokter kepala sehingga membangkitkan kemarahan Mira dan membuat dokter kepala itu berlutut ketakutan. Apalagi mereka melihat Momo senyam-senyum sambil menonton. Namun mereka memilih diam, karena Momo terlihat serius.“Maafkan saya, Yang Mulia! Saya tidak bermaksud demikian! Tidak ada yang melebihi kehebatan Yang Mulia!” teriak dokter kepala itu ketakutan sambil menyembah Mira.“Sudahlah!” Tangan Mira mengibas-ngibas. “Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Bryan. Antar aku ke tempatnya. Dia masih berlutut, kan?!”“Iya. Dia masih belum mampu berdiri. Saya akan antarkan Yang Mulia ke sana,” kata dokter kepala.Dokter kepala yang berbadan agak besar itu dengan cepat melompat berdiri. Namun karena memang tidak lincah, kakinya terkait di bawah kursi, sehingga dia terjungkal ke depan dan menabrak Mira yang juga kebetu