Dengan kebingungan, Gina masuk ke ruangannya Harry Dia melihat Harry sedang tafakur memikirkan sesuatu. Tapi Harry mengangkat wajahnya dan memandang Gina.
“Bagaimana menurutmu? Apa dia bisa bekerja seperti dirimu?” tanya Harry.
Mendengar kata ‘seperti dirimu’ membuat Gina melambung tinggi.
“Kalau menurutku, dia bisa dan mau belajar. Tapi tentu saja, dia harus bekerja keras. Kalau dia tidak kuat tahan banting, yah otomatis dia akan resign.”
“Apa ada kemungkinan itu?” tanya Harry.
“Kalau melihat sifatnya, 80% dia akan bertahan. Tapi kita tidak bisa menutup kemungkinan 20% itu.”
Harry kembali tafakur. ‘Apa dia mau ambil resiko? Tapi wanita itu tidak bisa hilang begitu saja dari kepalaku. Apalagi tadi mendengar hasil wawancaranya dengan Gina, dia terdengar sangat pintar dan jujur,’ batin Harry.
“Bagaimana kalau beri dia masa percobaan 1 bulan? Sebulan kemudian, kita evaluasi lagi. Mintalah mulai hari ini dia bekerja,” kata Harry langsung mengambil keputudan.
“Bos yakin mau menerimanya sekarang juga?” tanya Gina bingung.
“Tentu saja. Hari ini kamu mengajar dia membuat kontrak dan apa saja yang perlu diperhatikan untuk pertemuan nanti sore. Kebetulan hanya 1 pertemuan dan itu pun dengan Toni, jadi dia bisa belajar. Sesudah makan siang, kamu boleh ke rumah sakit. Aku tidak akan mengganggumu, kecuali sangat penting.”
“Benar, Bos? Saya bisa pulang?” tanya Gina tidak percaya.
“Dengan satu syarat,” goda Harry tanpa memandang Gina.
“Apa itu, Bos? Jangan yang susah-susah,” rengek Gina.
“Hahaha, kenapa raut wajahmu begitu? Tidak susah. Aku hanya ingin kamu mendekati wanita itu dan mencari tahu semua tentang dirinya.” Baru saja timbul ide di kepala Harry untuk mencari tahu tentang Momo lewat Gina. “Karena aku tidak ingin dekat dengan wanita gila.”
“Beres, Bos. Saya akan melakukannya. Sekarang saya akan memberi tahu padanya bahwa dia diterima dan bekerja hari ini. Permisi, Pak.” Tanpa menunggu balasan dari Harry, Gina langsung meluncur keluar dan menuju ruang pertemuan. Harry tersenyum senang. Dia tidak perlu susah-susah menyelidiki wanita itu, karena Gina sangat ahli dalam hal mengorek informasi tanpa orang itu sadar.
“Maaf sudah menunggu lama,” kata Gina saat masuk menemui Momo.
“Ah, tidak apa-apa, Bu.”
“Hari ini kamu ada kegiatan? Janjian dengan seseorang siang ini?” tanya Gina.
“Tidak ada, Bu. Hanya mungkin jalan-jalan dengan teman nanti malam, tapi juga belum pasti karena belum ada janjian.”
“Seandainya kamu diterima, kapan kamu bisa mulai bekerja?” tanya Gina berharap Momo bisa hari ini juga.
“Kapan saja bisa, Bu,” kata Momo senang, berharap ini bukan hanya janji manis.
“Bagaimana kalau hari ini?” tanya Gina sambil menatap Momo dengan penuh arti.
Momo hampir saja menjerit kegirangan. Cepat-cepat dia mendekap mulutnya. “Hari ini, Bu?” tanya Momo lirih tidak percaya.
“Benar, hari ini,” kata Gina dengan wajah serius.
“Bisa, Bu. Bisa,” sahut Momo dengan cepat, matanya berkaca-kaca. Kepalanya terus diangguk-anggukkan.
Gina tersenyum senang. “Tapi kamu akan melewati masa percobaan 1 bulan. Sebulan kemudian akan dievaluasi hasil kerjamu. Tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak apa-apa, Bu. Terima kasih."
"Kalau begitu, mari ikut dengan saya.”
Cepat-cepat Momo mengikuti Gina. Tak putus-putusnya dia bersyukur selama mengikuti Gina ke ruang pegawai.
“Selamat pagi menjelang siang semua,” ucap Gina di hadapan rekan kerja.
“Pagi mejelang siang juga,” sambut para pegawai. Mereka tersenyum, karena jika Gina sudah formal begitu, pasti ada pengumuman penting.
“Hari ini ita kedatangan pegawai baru. Dia akan membantuku. Silakan Monita, perkenalkan dirimu.”
Perkatan Gina disambut dengan berbagai macam tanggapan, sehingga membuat Momo kebingungan untuk memperkenalkan diri.
“Gina, kenapa sekarang kamu punya asisten?”
“Apa karena Kak Jeff masuk rumah sakit?”
Masih banyak pertanyaan yang dilontarkan pada Gina. Gina juga jadi kalang kabut menjelaskan.
“Tunggu … tunggu sebentar!” teriak Gina. Setelah melihat semuanya terdiam, Gina memalingkan wajahnya pada Momo.
“Monita, kamu masuk ke ruangan saya dulu ya,” kata Gina sambil menunjukkan ruangannya yang ada di sebelah.
Momo hanya mengangguk lemas dan menuju ke ruangannya Gina.
“Kenapa sih kalian begitu pada anak baru?” keluh Gina setelah Momo masuk. “Dia itu ditempatkan untuk membantuku, karena aku harus bolak balik ke rumah sakit.”
“Gin, bukannya kami mau jahati anak baru. Tapi sebagian pekerjaanmu selama ini kami sudah tahu. Kenapa bukan salah satu dari kami yang membantumu?”
“Kak Utien, saya juga tidak tahu kenapa Bos memilih dia bukan kalian? Tapi bolehkah minta tolong pada kalian untuk membantunya? Membantunya ….”
“Hei, Gina, apa dia pacarnya Bos?”
“Rina … Rina, kamu tahu sendiri bagaimana dengan Bos kita? Lirik cewek saja kagak, mau dapat dari mana pacar?” tegur Gina.
“Betul, Rina. Kamu lihat penampilan cewek itu? Mau jadi sekretaris kok penampilan seperti mau pergi ke pemakaman?” kata Utien sambil tertawa mengejek.
“Kak Gina, cewek itu bukannya yang mau melamar di bagian administrasi?”
“Rio, dari mana kamu tahu kalau dia melamar di bagian administrasi?” tanya Rina.
“Pertama, penampilannya yang kaku banget seperti mau ke pemakaman. Kedua, sudah tersebar berita kalau ada pelamar yang dialihkan menjadi sekretaris, sedangkan lowongan untuk sekretaris tidak ada. Ketiga, dia cantik sekali,” kata Rio yang disambut dengan teriakan dari para wanita.
“Sudah … sudah. Nanti Bos pertanyakan kalau kita ribut. Tapi dia sudah diterima sebagai pegawai di sini dan jabatannya asistenku. Saya minta tolong pada teman-teman untuk membantunya. Boleh?
“Selain itu, kita belum tahu bagaimana hasil kerjanya? Apakah Bos akan menyukainya atau tidak? Dan kalian tahu sendiri, bagaimana sifat Bos kita. Jadi saya mohon, tolong dia, boleh?” mohon Gina.
“Betul kata kak Gina. Walau kita lolos wawancara, belum tentu ada jalan tol menuju ke Bos kita. Kak Gina, tenang saja. Saya akan membantu sebisa saya,” kata Rio sambil mengacungkan kedua jempolnya.
Rio, satu-satunya pria yang melamar sebagai sekretaris. Karena untuk keperluan bisnis di luar kota, biasanya Harry membawa sekretaris. Walau Harry menyukai kinerja Rio, tapi dia lebih merasa nyaman dengan Gina.
“Terima kasih, Rio. Kak Utien, Rina, tolong ya,” bujuk Gina.
Utien dan Rina hanya mengangguk tak bersemangat. Padahal mereka sudah lama incar posisi Gina yang bisa sering berada dekat dengan Harry. Tapi harapan mereka tinggal harapan, karena sudah ada yang menduduki posisi itu.
Momo yang mendengar pembicaraan mereka, ketakutan. Tapi bukan pada mereka, tapi pada Bos yang belum dia temui. ‘Tuhan, mampukan aku bekerja dengan baik,” doa Momo.
Tanpa mereka semua sadar, Harry telah mendengar pembicaraan mereka. Harry yang mendengar teriakan, cepat-cepat keluar untuk melihat apa yang telah terjadi. Dan dia mengerti mengapa Utien dan Rina tidak senang.
Sambil berjalan kembali ke ruangannya, Harry memikirkan rencana yang bisa membuat pegawainya bisa menyukai Momo, tapi dia juga ingin mengetahui ketangguhan Momo dalam bekerja.
“Maaf, ya, Monita. Maafkan mereka,” kata Gina saat balik ke ruangannya.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti,” balas Momo sambil memberi senyum manisnya.
“Baiklah. Kita mulai ya.”
“Tunggu, Bu. Boleh saya catat penjelasan Ibu?”
“Tentu saja. Lebih baik lagi. Dan ini agenda baru. Kamu catat semua janji pertemuan dengan Bos kita. Jamnya dan di mana pertemuannya, karena ….”
Gina mulai menjelaskan semua yang harus dijelaskan pada Momo dan dicatat dengan rapi. Gina yang melihat keseriusan Momo, mulai senang. ‘Semoga dia bisa bertahan dan Bos menyukainya,’ batin Gina.
“Ohya. Monita. Nanti saya pertemukan kamu dengan Bos kita sebelum saya pergi. Kamu belum bertemu dengan Bos, kan?” kata Gina sambil merapikan mejanya.
“Belum, Bu,” jawab Momo sambil tersenyum geli. Dia sudah beberapa jam di kantor ini, tapi belum bertemu dengan Bos yang akan dia layani. “Jam berapa Ibu akan pergi?”
“Sesudah makan siang. Biasanya Bos juga ikut makan siang, jadi mungkin bisa saya perkenalkan.”
“Iya, Bu. Semoga suami Ibu cepat sembuh.”
“Iya, semoga. Makasih ya, Monita.”
Ternyata saat jam makan siang, Gina tidak menemukan Harry.
“Bu Gina, lagi mencari Bos ya?” tanya pegawai kantin.
“Iya. Kamu melihatnya?”
“Bapak sudah makan duluan tadi, Bu.”
“Hah?!” Gina kaget. Tidak biasanya Harry makan duluan. Terlambat makan siang sudah biasa.
Terpaksa Gina mengajak Momo ke ruangnya Harry. Setelah mengetuk dan mendengar kata ‘masuk’, Gina membuka pintu.
Harry sedang membelakangi mereka dan menelepon. Gina tetap berdiri menunggu dengan sabar sampai Harry selesai menelepon.
“Tunggu sebentar ya,” kata Harry pada teman teleponnya. Tanpa membalikkan badannya, Harry berkata, “Gina, kamu pergi saja dulu. Suruh saja Monita menunggu di sini. Setelah selesai menelepon baru saya berbicara dengannya. Karena pembicaraan ini akan lama.”
“Oh, baiklah, Pak. Saya permisi dulu,” kata Gina, kemudian Gina berbisik pada Momo, “Tidak apa-apa kutinggal?”
“Iya, Bu. Tidak apa-apa.”
Setelah Gina keluar, Momo masih berdiri dengan tegang tanpa tahu harus melakukan apa. Momo mengedarkan pandangannya di sekeliling ruangan Harry. 'Nyaman,' batin Momo.
“Iya, Pak. Baiklah, saya akan atur jadwal untuk melihat lokasi,” kata Harry sambil membalikkan badannya.
Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.
“Kau!!”
Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.“Kau!!” teriak Momo.“Kenapa dengan saya?” tanya Harry dengan dingin. “Apa kita berteman akrab? Sehingga kamu memanggil Bosmu dengan ‘kau’?”Kata-kata Harry seakan-akan menampar wajah Momo. Dengan malu, dia menundukkan kepalanya.“Kamu sudah diajar apa yang harus dilakukan sama Gina, kan?” tanya Harry. Tapi Momo yang kebingungan dan kaget, diam. Pikirannya masih belum fokus pada pekerjaannya. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.“Apa begitu tingkahmu pada Pimpinanmu?!” bentak Harry dengan keras. “Apa saya harus menyesal telah menerimamu bekerja di sini?!”Bentakan Harry berhasil mendaratkan Momo kembali ke kantor itu. Dengan terperangah mendengar suara Harry, mengingatkan dia pekerjaannya sebagai sekretaris
“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereska
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.“Di mana?”Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik tok
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan. Semua mata juga memandang ke pintu.Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran. Dia jatuh terduduk sambil menatap Clark dengan perasaan bercampur aduk. Matanya berkaca-kaca.“Harry, siapa dia? Kenapa begitu tingkahnya saat melihat Clark?” bentak Mamanya Harry, Anisa dengan panik. Suara Anisa yang paling keras dibandingkan suara yang lain yang juga protes dengan reaksi Momo saat melihat Clark.Clark yang divonis autis sama dokter kadang-kadang dianggap sebuah beban bagi orang tua Clark. Harry pernah mendengar Kakak dan Kakak iparnya bertengkar karena masalah Clark yang autis. Dan karena autis, Clark terlihat aneh.Harry melirik kakak iparnya, Agna, yang menunduk dengan wajah memerah. Harry hanya berdiri bingung tidak harus buat apa. Di
"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo."Ken sudah tidak ada bersama kita.”“Apa? Apa maksudmu?”“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.&ldqu
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Harry panik, lupa dengan ponsel Momo yang masih terhubung dengan Lita.“Momo!! Apa yang terjadi?! Siapa itu laki-laki itu?? Dia bikin apa kamu?!” teriak Lita panik.Harry memandang ponsel Momo dengan netra yang sangat besar. ‘Aduh, aku lupa, dia masih berbicara di telepon!!” seru Harry dalam hati dengan gugup.“Aduh, sori, Lit. Tadi aku tidak sengaja menabrak office boy. Aku kira semua sudah pulang, jadi langsung saja keluar tanpa memperhatikan,” kata Momo tanpa menyaring perkataannya.Netra Harry semakin lebar dan tajam. ‘Aku dibilang office boy? Enak aja ini anak! Berani macam-macam ya karena kamu kenal Clark. Awas besok di kantor,’ gerutu Harry dalam hati.“Ooo, kirain Bosmu lagi bikin kamu apa, hehehe.”“Lita, jangan sembarang ngomong. Nanti Bosku marah,” pekik Momo sambil melirik ke Harry. Tapi Harry su
Mereka berdua berdiri memantung memandang kamar itu. Kamarnya lumayan besar dan bagus, tapi hanya ada 1 kasur besar. Tidak ada sofa untuk dijadikan tempat tidur cadangan. Satu-satunya hanya tempat tidur itu.“Pak, bagaimana ini?” tanya Momo panik.Harry menelan salivanya. Walau hatinya bergetar hebat, dia mencoba menjawab dengan sikap dingin.“Yah, mau bagimana lagi? Kamu di ujung sini dan aku di ujung sana,” kata Harry terlihat santai dan langsung masuk ke kamar mandi.Setelah masuk dan mengunci pintu, Harry duduk di kloset dan meraup kepalanya. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Rasa sakit dan ketakutan menguasai dirinya. Badannya bergetar hebat. Harry terus merapal doa-doa yang telah dia hafal. Karena hanya doa itu yang membuatnya bisa bertahan di samping wanita.Tapi kali ini, Momo adalah orang baru yang Harry belum mengetahui apa pun tentangnya. Dan sekarang mereka harus berdua dalam 1 kamar, bahkan 1 tempat tidur.
“Monita, mulai sekarang aku tidak mau kamu melanjutkan aktivitas malammu itu dengan Lita. Jika aku mengetahui kamu masih melakukannya, silakan angkat kaki dari kantorku. Aku tidak mempekerjakan PSK,” kata Harry dengan nada dingin.Setelah mengatakan peringatan itu, tanpa menoleh, Harry langsung masuk ke mobilnya dan melaju kencang.Momo hanya bisa bergeming memandang kepergian mobil Harry. PSK? Jadi selama ini dia anggap aku PSK? Berengsek!!umpat Momo dalam hati. Dengan kemarahan meluap-luap, Momo masuk ke dalam rumahnya.Untuk meredam kemarahannya, Momo mandi lagi. Setelah merasa lebih segar dan kemarahannya sudah surut, dia mengambil ponselnya.Momo kaget melihat ada 20 kali panggilan tak terjawab dan 10 pesan dari Lita. Dia lupa mengabari Lita sesuai janjinya.Tidak juga, aku berjanji menelepon sesampai di rumah dan aku baru saja tiba di rumah,batin Momo membela diri.Tapi mana mungkin aku mengatakan ka