Momo berlari keluar dari tempat karaoke itu. Dia tidak pernah semalu ini. Perlahan larinya semakin memelan. Akhirnya dia berhenti di sebuah halte bus dan merenung.
Momo ingat saat pertama kali datang ke kota ini. Hidupnya sangat kacau. Tidak dapat pekerjaan tetap. Gaji kurang. Dompet hampir kosong.
Di saat keterpurukannya, Momo bertemu dengan Lita. Lita berteman akrab dengan Sinta, anak seorang konglomerat yang pendiam tapi gila. Perlu sekali-sekali dicuci otaknya.
Sinta yang punya uang banyak, memulai membuat permainan ini hingga pada akhirnya terbentuklah beberapa kelompok. Salah satunya, kelompok Eko, Taruf dan Harry. Harry adalah pemain, Eko dan Taruf yang mengeluarkan uang sebagai modal awal. Begitu pun kelompok Sinta, dia dan Lita yang mengeluarkan modal awal dan Momo sebagai pemain.
Jika kelompok mereka menang, pemain akan mendapat penghasilan yang tidak sedikit. Kerena taruhan ini memakai modal yang banyak.
Momo telah mendapat cukup uang untuk menata dirinya. Dia berhasil mengambil berbagai kursus yang bisa menjadi modal untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.
Selama ini Momo berhasil membuat para pria takluk dengan kecantikan dan daya tariknya. Bahkan dia berhasil membuat mereka mengeluarkan uang tidak sedikit untuk mendapatkan ciuman di pipi dari Momo.
Tapi hari ini ….
‘Gila! Aku sudah gila! Kenapa bisa membiarkan bibirku disentuh, bahkan aku juga membalasnya?! Tapi … kenapa ciuman itu tidak terasa asing? Bahkan sepertinya aku sudah menantikannya sejak lama? Seakan-akan kerinduan dalam dasar hatiku keluar dan lepas bebas. Mataku juga tidak bisa lepas darinya. Siapa dia?’ Batin Momo dengan galau.
Momo tersentak kaget, saat merasakan getaran dari ponselnya. Momo mengambil ponsel dan membaca pesan dari Lita.
‘Mo, kamu tidak apa-apa? Ada apa denganmu hari ini? Kamu tidak seperti biasanya.’
‘Aku tidak apa-apa. Aku mungkin lagi stres dengan lamaran kerjaku. Besok aku wawancara di PT. Kencana Prima Dwiantara,’ balas Momo.
Lita tidak membalas, tapi langsung meneleponnya.
“Mo, benaran kamu lulus test tulis?” teriak Lita dari seberang. Terdengar suara seseorang sedang bernyanyi. Sepertinya si Eko.
“Iya, aku lulus. Dan besok wawancara. Doakan aku ya, supaya aku bisa lulus dan dapat kerja tetap. Tidak perlu lagi bekerja di minimarket itu.”
“Tentu saja. Semoga kamu bisa lulus dan cepat bekerja. Tapi setelah kamu dapat kerja, kamu tidak meninggalin kami, kan? Soalnya cari partner sepertimu sangat susah.”
“Aku tidak berani janji, Lit. Kalau aku diterima, harus lihat jadwal kerjaku. Tapi aku berjanji, jika semua mulus, aku tidak akan meninggalkan kalian.”
“Wah, makasih banyak, Mo. Oke, aku tutup dulu ya. Sudah giliran laguku.”
“Oke. Selamat bersenang-senang.”
“Jangan lupa istirahat yang cukup ya. Semangat!”
“Semangat. Makasih, Lit.”
‘Yah, besok aku harus lolos wawancara. Ini kesempatan hanya sekali. Aku harus bisa. Yang hari ini biarkan berlalu. Aku tidak mungkin bertemu dengannya lagi. Jadi untuk apa dipikirkan,’ batin Momo menyemangati dirinya sendiri setelah Lita menutup teleponnya.
Akhirnya Momo bisa mengusir pikiran tentang pria itu. Dia harus mempersiapkan diri untuk wawancara keeseokkan harinya. Untung jadwalnya tidak terlalu pagi.
Momo pulang dengan lesu dan tidur dalam keadaan gelisah. Menjelang pagi dia dibangunkan untuk doa pagi dari komunitasnya.
‘Yah, aku harus berdoa untuk wawancara pagi ini. Semoga aku diterima, jadi aku tidak perlu bekerja di minimarket dan tergantung pada permainan itu,’ doa Momo penuh harapan pada Yang Di Atas.
Dia selalu berharap, permainan ini hanya untuk membalas kebaikan Lita dan Sinta, bukan lagi salah satu mata pencaharian pokoknya.
Momo tiba di kantor itu lebih cepat 10 menit dari yang dijadwalkan. Setelah melapor pada resepsionis dan pegawai HRD, dia duduk menunggu sambil membuka ponselnya.
Momo sedang tidak berminat mengajak bercakap-cakap dengan salah satu pelamar, karena dia sangat tegang. Jadi dengan membuka sosmednya, dia berharap mendapat sesuatu yang membuatnya lebih rileks.
“Monita Setianingsih Wilardi!”
Momo kaget saat namanya disebut. Dia tidak menyangka gilirannya secepat itu. Sambil membuang ponselnya ke dalam tas, dia berlari menuju ke pegawai yang memanggil.
Pegawai itu menunjukkan ruangan yang harus dimasuki. Sebenarnya dia bingung, karena pelamar yang lain tidak masuk ke ruangan ini, tapi di ruangan lain yang agak jauh.
“Silakan masuk, Bu. Kami akan menjelaskan wawancara kali ini. Silakan duduk,” kata pegawai yang memanggilnya. Pegawai itu meninggalkan Momo sendirian. Dengan kebingungan, Momo duduk di salah satu kursi yang ada.
Ruangan itu memiliki meja yang panjang dan banyak kursi. Seperti ruangan untuk pertemuan.
Tidak lama, seorang pria dan seorang wanita masuk. Momo berdiri dan memberi salam.
“Silakan duduk, Bu Monita. Saya Afandi bagian HRD dan ini Ibu Gina. Sebelumnya kami minta maaf, karena kami membuat kesalahan dengan memanggil anda untuk wawancara sebagai staf administrasi.
“Berhubung kedatangan anda ke kantor ini sebelum waktunya, kami ingin tetap mewawancarai anda untuk lowongan sebagai sekretaris. Jika anda bersedia, Ibu Gina dan Pimpinan kami yang akan mewawancarai anda,” kata Afandi yang berusaha tersenyum.
Momo terperanjat penawaran yang diberikan. Apalagi dia mendengar kalau pimpinan perusahaan ini yang akan mewawancarainya. Momo meremas jari jemari dengan gelisah.
‘Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan?’ doa Momo dengan cemas. Dia sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan sebagai staf administrasi, bukan sebagai sekretaris.
“Maaf, Pak. Tapi saya tidak punya latar belakang sebagai sekretaris,” kata Momo dengan cemas. Serasa ingin menangis.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang akan bimbing anda. Selama anda mau bekerja keras, saya yakin anda bisa melakukannya,” jawab Gina berusaha memberi ketenangan pada Momo.
Dia juga tidak habis pikir. Tadi Harry langsung menemuinya dan meminta wanita ini menjadi asistennya. Gina tentu saja sangat senang mempunyai asisten, terutama saat Jeff ada di rumah sakit.
“Ba … bbaiklah, saya bersedia di wawancara sebagai sekretaris,” kata Momo pasrah. Yang penting dapat pekerjaan tetap, kerja apa saja bolehlah.
“Baiklah, kita mulai wawancaranya ya. Setelah saya wawancarai anda, nanti Pimpinan kami lewat speaker itu yang akan mewawancarai anda,” kata Gina tersenyum.
Awalnya melihat Momo, Gina sempat terperanjat. Ada sedikit rasa kekecewaan. Wanita ini memang sangat cantik dengan bibir yang menarik hati dan bola mata yang sangat indah, tapi terlihat seperti wanita jalanan.
Padahal selama ini, Harry tidak tertarik pada wanita seperti ini, bahkan terasa barang yang menjijikkan baginya. Kali ini Gina harus mengubah pandangannya tentang bos.
Gina sempat memandang rendah Momo, karena pendidikannya yang hanya tamat SMA. Dan kebanyakan berkas yang dimasukkan adalah sertifikat dari berbagai tempat kursus.
Tapi semua membuatnya berkualitas karena nilai yang didapat adalah nilai yang hampir mendekati kata ‘sempurna’. Berarti anak ini kemungkinan pintar atau dia memberi uang untuk membeli nilai-nilai yang bagi Gina agak mustahil.
Hampir selama 1 jam, Gina mewawancarai Momo. Dia lebih mirip poisi yang menginterogasi penjahat daripada mewawancarai pelamar.
Gina bisa seenaknya bertanya karena dia sudah menyuruh Afandi keluar setelah 15 menit awal yang hanya berisi pertanyaan tentang pendidikan dan beberapa pertanyaan dasar.
Tapi setelah Afandi keluar, dia mulai mengorek rahasia pribadi Momo. Walau Momo tidak menyebut secara gamblang pekerjaan sehari-harinya, dia berusaha menjawab dengan jujur. Tentu saja dia tidak menyebut kesehariannya bersama Lita dan Sinta.
“Baiklah, sekarang giliran Pimpinan yang mewawancarai anda,” kata Gina tersenyum. Dia cukup puas dengan wawancaranya. Momo terlihat berusaha menjawab dengan jujur, walau wajahnya merona setiap jawabannya agak sensitif. Dan itu memang yang diharapkan Gina.
“Pak, silakan mulai wawancaranya,” kata Gina menghadap pengeras suara itu. Gina dan Momo menunggu suara muncul, tapi sudah semenit lebih, suara Harry tidak keluar.
Gina segera menelepon Harry.
“Pak, sekarang giliran Bapak,” kata Gina bingung. Karena tidak biasanya Harry mengangkat telepon tanpa mengucapkan salam.
“Apa yang harus kutanyakan? Sebagian besar pertanyaan yang kususun sudah kamu tanyakan,” kata Harry dari seberang dengan nada datar.
Gina hanya bisa tertawa getir dan menelan salivanya karena tidak enak hati.
“Gina, bagaimana kalau kamu suruh dia menunggu? Kita berdiskusi sekarang.”
“Sekarang, Pak?” tanya Gina bingung.
“Iya, sekarang. Kamu datang ke ruanganku sekarang.” Harry langsung menutup teleponnya.
Gina memandang Momo yang membalasnya dengan memandang kebingungan.
“Bu Monita, bisa tunggu sebentar? Pimpinan ingin saya berdiskusi dengannya di ruangan. Saya akan balik kembali,” kata Gina tesenyum.
“Iya, Bu. Saya menunggu di sini,” kata Momo.
Setelah Gina pergi, Momo terus berdoa. Semoga setelah begitu lama diwawancara, dia bisa diterima.
“Bos yakin mau menerima sekarang juga?” tanya Gina bingung.
Dengan kebingungan, Gina masuk ke ruangannya Harry Dia melihat Harry sedang tafakur memikirkan sesuatu. Tapi Harry mengangkat wajahnya dan memandang Gina.“Bagaimana menurutmu? Apa dia bisa bekerja seperti dirimu?” tanya Harry.Mendengar kata ‘seperti dirimu’ membuat Gina melambung tinggi.“Kalau menurutku, dia bisa dan mau belajar. Tapi tentu saja, dia harus bekerja keras. Kalau dia tidak kuat tahan banting, yah otomatis dia akan resign.”“Apa ada kemungkinan itu?” tanya Harry.“Kalau melihat sifatnya, 80% dia akan bertahan. Tapi kita tidak bisa menutup kemungkinan 20% itu.”Harry kembali tafakur. ‘Apa dia mau ambil resiko? Tapi wanita itu tidak bisa hilang begitu saja dari kepalaku. Apalagi tadi mendengar hasil wawancaranya dengan Gina, dia terdengar sangat pintar dan jujur,’ batin Harry.“Bagaimana kalau beri dia masa percobaan 1 bulan? Sebulan k
Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.“Kau!!” teriak Momo.“Kenapa dengan saya?” tanya Harry dengan dingin. “Apa kita berteman akrab? Sehingga kamu memanggil Bosmu dengan ‘kau’?”Kata-kata Harry seakan-akan menampar wajah Momo. Dengan malu, dia menundukkan kepalanya.“Kamu sudah diajar apa yang harus dilakukan sama Gina, kan?” tanya Harry. Tapi Momo yang kebingungan dan kaget, diam. Pikirannya masih belum fokus pada pekerjaannya. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.“Apa begitu tingkahmu pada Pimpinanmu?!” bentak Harry dengan keras. “Apa saya harus menyesal telah menerimamu bekerja di sini?!”Bentakan Harry berhasil mendaratkan Momo kembali ke kantor itu. Dengan terperangah mendengar suara Harry, mengingatkan dia pekerjaannya sebagai sekretaris
“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereska
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.“Di mana?”Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik tok
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan. Semua mata juga memandang ke pintu.Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran. Dia jatuh terduduk sambil menatap Clark dengan perasaan bercampur aduk. Matanya berkaca-kaca.“Harry, siapa dia? Kenapa begitu tingkahnya saat melihat Clark?” bentak Mamanya Harry, Anisa dengan panik. Suara Anisa yang paling keras dibandingkan suara yang lain yang juga protes dengan reaksi Momo saat melihat Clark.Clark yang divonis autis sama dokter kadang-kadang dianggap sebuah beban bagi orang tua Clark. Harry pernah mendengar Kakak dan Kakak iparnya bertengkar karena masalah Clark yang autis. Dan karena autis, Clark terlihat aneh.Harry melirik kakak iparnya, Agna, yang menunduk dengan wajah memerah. Harry hanya berdiri bingung tidak harus buat apa. Di
"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo."Ken sudah tidak ada bersama kita.”“Apa? Apa maksudmu?”“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.&ldqu
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Harry panik, lupa dengan ponsel Momo yang masih terhubung dengan Lita.“Momo!! Apa yang terjadi?! Siapa itu laki-laki itu?? Dia bikin apa kamu?!” teriak Lita panik.Harry memandang ponsel Momo dengan netra yang sangat besar. ‘Aduh, aku lupa, dia masih berbicara di telepon!!” seru Harry dalam hati dengan gugup.“Aduh, sori, Lit. Tadi aku tidak sengaja menabrak office boy. Aku kira semua sudah pulang, jadi langsung saja keluar tanpa memperhatikan,” kata Momo tanpa menyaring perkataannya.Netra Harry semakin lebar dan tajam. ‘Aku dibilang office boy? Enak aja ini anak! Berani macam-macam ya karena kamu kenal Clark. Awas besok di kantor,’ gerutu Harry dalam hati.“Ooo, kirain Bosmu lagi bikin kamu apa, hehehe.”“Lita, jangan sembarang ngomong. Nanti Bosku marah,” pekik Momo sambil melirik ke Harry. Tapi Harry su
Mereka berdua berdiri memantung memandang kamar itu. Kamarnya lumayan besar dan bagus, tapi hanya ada 1 kasur besar. Tidak ada sofa untuk dijadikan tempat tidur cadangan. Satu-satunya hanya tempat tidur itu.“Pak, bagaimana ini?” tanya Momo panik.Harry menelan salivanya. Walau hatinya bergetar hebat, dia mencoba menjawab dengan sikap dingin.“Yah, mau bagimana lagi? Kamu di ujung sini dan aku di ujung sana,” kata Harry terlihat santai dan langsung masuk ke kamar mandi.Setelah masuk dan mengunci pintu, Harry duduk di kloset dan meraup kepalanya. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Rasa sakit dan ketakutan menguasai dirinya. Badannya bergetar hebat. Harry terus merapal doa-doa yang telah dia hafal. Karena hanya doa itu yang membuatnya bisa bertahan di samping wanita.Tapi kali ini, Momo adalah orang baru yang Harry belum mengetahui apa pun tentangnya. Dan sekarang mereka harus berdua dalam 1 kamar, bahkan 1 tempat tidur.