BUM!!
"Kak Jeff!!" teriak Gina saat mendengar suara keras itu.
Gina memandang Harry dengan nanar. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Harry langsung menarik tangan Gina dan berlari ke tempat parkir.
“Terus berteriak, Gina. Panggil Kak Jeff terus,” perintah Harry. Hatinya merasa cemas.
Walau demikian, saat berkendara, dia usahakan tetap fokus pada jalanan.
“Pak, bagaimana ini? Kak Jeff tidak balas-balas. Padahal teleponnya masih aktif,” nangis Gina panik.
“Panggil terus dengan kencang!! Siapa tahu dia bisa mendengarmu!” saran Harry yang juga mulai ikutan panik.
Dari kejauhan mereka melihat kekacauan di daerah kantor polisi. Sebelum Harry menghentikan mobilnya, Gina sudah lompat keluar dan berlari masuk ke dalam kantor polisi.
“Pak John!” Gina melihat kepala tim Jeff.
“Oh, Ibu Gina. Saya baru saja mau menelepon Ibu. Pak Jeff sudah dibawa ke rumah sakit Harapan Jaya. Ibu ….”
Sebelum menyelesaikan perkataannya, Gina langsung berlari keluar. “Terima kasih, Pak!” teriaknya pada John.
“Pak Harry, Kak Jeff sudah dibawa ke rumah sakit Harapan Jaya!” teriak Gina saat bertemu dengan Harry yang baru saja memarkirkan mobilnya.
Tanpa bicara, Harry langsung berlari kembali ke mobilnya dan menuju ke rumah sakit. Di sana Gina bertemu dengan kolega Jeff.
Mereka memberi tahu kalau Jeff sedang di ruang ICU. Kondisi tidak terlalu parah, karena dia sempat berlindung dengan menggunakan meja saat terjadi ledakan.
Tapi mereka bersyukur karena mendengar teriakan Gina lewat telepon, mereka bisa dengan cepat menemukan Jeff yang pingsan.
Setelah diperiksa dengan seksama, Jeff dipindahkan ke kamar. Harry masih menemani Gina sebelum dia menghadiri pertemuan dengan Toni. Harry bersyukur karena Toni adalah temannya, jadi dia bisa meneleponnya dan mengundurkan jadwal pertemuan.
Hari ini Harry melakukan pertemuan dan mengurus semuanya sendiri tanpa bantuan Gina. Walau Gina ingin kembali ke kantor, tapi Harry menolaknya.
Dddrrr
Harry melihat ponselnya yang berdering. Pekerjaannya belum selesai sepenuhnya. Seandainya ada Gina, sudah selesai dari tadi dan dia bisa pulang beristirahat.
Dengan berat, Harry mengangkat teleponnya. Dari Eko. Seperti biasa mengajaknya bertaruh. Sebenarnya dia sudah malas ikut permainannya Eko, karena permainan itu cukup vulgar baginya, tapi selama belum melakukan dosa, seharusnya tidak ada masalah.
“Eko, sepertinya aku sudah malas ikut permainan ini,” tolak Harry saat Eko memberi tahu kalau ada wanita cantik yang dingin yang harus dia taklukkan nanti malam. “Aku selalu menang. Sudah tidak seseru awal-awalnya.
“Har, ini lain. Aku jamin kali ini aku dan Taruf yang menang. Kamu harus membayar kami dobel, hehehe. Ayolah, cepat datang. Kami sudah ada di sini.”
Harry menutup teleponnya dan memikirkan penawaran Eko lagi. Awalnya dia anggap seru, karena tidak ada satu pun wanita yang bisa menalukkannya.
Dia, Eko dan Taruf bertaruh. Kalau wanita itu bisa merayu Harry, maka merreka yang menang. Tapi kalau tidak bisa, Harry yang menang.
Eko dan Taruf, anak dari konglomerat yang bingung mau apakan uang mereka. Jadi mereka menghambur-hamburkan uang dengan bersenang-senang bersama wanita. Sedangkan Harry harus berjuang dari nol untuk mencapai kesuksesannya yang sekarang.
Uang taruhan dalam permainan ini sangat besar, bahkan Harry bisa menjadikan modal usahanya. Harry yakin seratus persen, dia tidak akan pernah kalah, karena pada sadarnya dia sangat membenci wanita. Bahkan jijik pada wanita yang selalu memakai pakaian minim.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya yang penting-penting, Harry langsung menuju ke lokasi yang telah Eko kirim. Karena saking jarangnya dia keluar rumah, dia tidak pernah tahu tempat-tempat untuk bersenang-senang, jadi Eko selalu mengirmkan lokasi pada ponselnya.
“Ah, akhirnya kamu datang, Har. Duduklah dan pesan minumanmu. Cewek-cewek itu belum datang,” kata Eko saat Harry tiba di ruangan VVIP yang telah dipesan Eko.
Harry melihat Eko dan Taruf bersemangat. Harry hanya bisa geleng-geleng kepala. ‘Emangnya berapa banyak uang mereka? Hampir setiap setiap minggu melakukan hal ginian,’ batin Harry.
“Haaahhh, akhirnya kalian tiba juga. Sebelum bersenang-senang, kita melakukan permainan dulu,” ajak Eko tidak sabar saat melihat 3 wanita cantik masuk.
“Wah, langsung pada intinya nih. Gak pake pemanasan dulu?” tanya salah satu wanita itu tertawa.
“Oke .. oke. Ini temanku. Namanya Harry. Dia seperti Momo, tidak pernah kalah. Jadi hari ini adalah penentu, siapa yang lebih jago. Har, sainganmu cewek yang di tengah itu. Namanya Momo. Dan di samping kiri dan kanan, Lita dan Sinta.”
Tapi hari ini, saat dia bertemu dengan wanita yang menjadi taruhannya, Harry tertegun. Sangat cantik dan tidak seperti wanita lainnya yang selalu Eko bawa. Namanya pun unik, Momo. Dan tatapan mata yang sangat indah menimbulkan keinginan Harry untuk mencium wanita itu.
Cepat-cepat Harry menekan keinginannya yang tiba-tiba muncul. Dengan ogah-ogahan, Harry bersalaman dengan ketiga wanita itu. Saat menyentuh tangan Momo, jantung Harry berdegup dengan kencang.
Eko bertepuk tangannya dan berkata, “Nah, acara pemanasannya sudah selesai. Jadi kita mulai permainannya?” kata Eko pada Lita dan Sinta. “Jadi siapa yang memulai rayuannya?”
Eko bertanya karena dia bingung. Harry dan Momo saling memandang dengan ekspresi yang sangat sulit dikatakan dan keduanya bergeming.
“Bagaimana kalau kita tinggalkan mereka berdua?” usul Lita. Dia juga bingung, karena selama ini para cowok yang memulai merayu Momo dan Momo tidak pernah bereaksi seperti hari ini.
“Bagaimana kalau sebelum keluar, mereka didudukkan berdampingan?” usul Taruf bersemangat.
Semuanya setuju. Setelah mendudukkan keduanya berdampingan, mereka keluar. Tapi sebenarnya mereka menunggu di depan pintu dan melihat keduanya.
Harry memandang Momo dengan berjuta perasaan. Dia tidak pernah merasakan getaran kerinduan seperti hari ini.
Dengan perlahan Harry mendekatkan wajahnya pada Momo. Merasa Momo tidak menolaknya, Harry memegang pipi Momo dan menyatukan bibirnya dengan bibir Momo.
Harry merasa seperti ada kembang api yang meledak di atas kepalanya saat tersalurnya kerinduan yang telah menumpuk di dasar hatinya. Harry menggulum bibir Momo dan Momo pun membalasnya.
Entah kenapa otak Harry berlari ke satu masa, di mana dia dan Momo sering melakukan ciuman ini. Di mana kebahagiaan hanya ada pada saat itu.
“Waaahhh, kami menang!!”
Harry dan Momo tersentak mendengar teriakan Eko yang sangat kencang. Dengan kecepatan penuh, Harry dan Momo melepaskan diri dan salah tingkah.
“Wah, Har, kami tidak pernah melihat gaya berciumanmu yang penuh hasrat itu. Biasanya menyentuh wanita saja, kamu tidak mau. Tapi hari ini sampai … hahaha,” tawa Eko.
“Hei, ladies, jangan bersungut-sungut begitu. Ini kan bukan yang pertama kalinya kalian kalah. Kami traktir deh, supaya hilang muka kalian yang monyong itu, hehehe.”
“Eko, kalian bohong ya. Katanya yang ditemui hari ini si gunung es. Tapi kok hasratnya tinggi banget sih,” gerutu Sinta.
Mendengar kata ‘gunung es’, Harry mendelik pada Eko dan Taruf. Eko salah tingkah saat melihat kemarahan Harry.
“Aku permisi dulu.” Tiba-tiba Momo berdiri dan berpamitan. Sebelum ada yang menjawab, Momo sudah berlari keluar. Dengan kesal Harry memandang kepergiannya Momo. Dia juga sangat ingin pulang dan merutuk dirinya yang tidak bisa mengendalikan diri.
Tapi jika dia ikut pulang, malah yang lain berpikir kalau dia mau mengejar Momo. Padahal tidak ada niatnya sama sekali untuk mengejar Momo. Akhirnya Harry duduk diam dan menunggu beberapa waktu sebelum dia berpamitan.
Sesampai di rumah, Harry terus berpikir, kenapa dia bisa jatuh hati pada Momo. Dia memegang bibirnya dan aliran listrik saat berciuman masih terasa sampai saat ini.
“Hei, Harry bego, ada apa denganmu? Dengan mudahnya kamu menyukai wanita seperti dia? Sudah gila apa kamu?”
Sepanjang malam Harry merutuk dirinya sendiri sambil menggosok bibirnya dengan kasar. Tapi saat tidur, adegan saat mencum Momo berputar ulang dan ulang lagi hingga memenuhi pikiran dan hatinya.
Momo berlari keluar dari tempat karaoke itu. Dia tidak pernah semalu ini. Perlahan larinya semakin memelan. Akhirnya dia berhenti di sebuah halte bus dan merenung.Momo ingat saat pertama kali datang ke kota ini. Hidupnya sangat kacau. Tidak dapat pekerjaan tetap. Gaji kurang. Dompet hampir kosong.Di saat keterpurukannya, Momo bertemu dengan Lita. Lita berteman akrab dengan Sinta, anak seorang konglomerat yang pendiam tapi gila. Perlu sekali-sekali dicuci otaknya.Sinta yang punya uang banyak, memulai membuat permainan ini hingga pada akhirnya terbentuklah beberapa kelompok. Salah satunya, kelompok Eko, Taruf dan Harry. Harry adalah pemain, Eko dan Taruf yang mengeluarkan uang sebagai modal awal. Begitu pun kelompok Sinta, dia dan Lita yang mengeluarkan modal awal dan Momo sebagai pemain.Jika kelompok mereka menang, pemain akan mendapat penghasilan yang tidak sedikit. Kerena taruhan ini memakai modal yang banyak.Momo telah mendapat cukup uang un
Dengan kebingungan, Gina masuk ke ruangannya Harry Dia melihat Harry sedang tafakur memikirkan sesuatu. Tapi Harry mengangkat wajahnya dan memandang Gina.“Bagaimana menurutmu? Apa dia bisa bekerja seperti dirimu?” tanya Harry.Mendengar kata ‘seperti dirimu’ membuat Gina melambung tinggi.“Kalau menurutku, dia bisa dan mau belajar. Tapi tentu saja, dia harus bekerja keras. Kalau dia tidak kuat tahan banting, yah otomatis dia akan resign.”“Apa ada kemungkinan itu?” tanya Harry.“Kalau melihat sifatnya, 80% dia akan bertahan. Tapi kita tidak bisa menutup kemungkinan 20% itu.”Harry kembali tafakur. ‘Apa dia mau ambil resiko? Tapi wanita itu tidak bisa hilang begitu saja dari kepalaku. Apalagi tadi mendengar hasil wawancaranya dengan Gina, dia terdengar sangat pintar dan jujur,’ batin Harry.“Bagaimana kalau beri dia masa percobaan 1 bulan? Sebulan k
Momo yang melihat Harry sudah selesai menelepon, menatap Harry. Saat mata mereka bertemu, Momo hampir saja jatuh, karena terperanjat.“Kau!!” teriak Momo.“Kenapa dengan saya?” tanya Harry dengan dingin. “Apa kita berteman akrab? Sehingga kamu memanggil Bosmu dengan ‘kau’?”Kata-kata Harry seakan-akan menampar wajah Momo. Dengan malu, dia menundukkan kepalanya.“Kamu sudah diajar apa yang harus dilakukan sama Gina, kan?” tanya Harry. Tapi Momo yang kebingungan dan kaget, diam. Pikirannya masih belum fokus pada pekerjaannya. Terlalu banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalanya.“Apa begitu tingkahmu pada Pimpinanmu?!” bentak Harry dengan keras. “Apa saya harus menyesal telah menerimamu bekerja di sini?!”Bentakan Harry berhasil mendaratkan Momo kembali ke kantor itu. Dengan terperangah mendengar suara Harry, mengingatkan dia pekerjaannya sebagai sekretaris
“Duduk dan makan bagianmu! Karena sesudah itu, kita pergi berbelanja. Kamu bantu pilih barang.”“Heh?” Untuk kedua kalinya Momo kaget dan bingung. “Tapi, Pak, kenapa saya?”“Kamu sekretarisku … ah maaf, karena kamu asisten sekretarisku. Jadi semua yang kuperintahkan harus kamu turuti. Atau aku salah menerimamu sebagai asisten sekretaris?” kata Harry dengan nada seolah-olah Harry memang telah salah menerimanya.Momo kaget mendengar perkataan Harry. ‘Aduh, Tuhan, jangan sampai aku dipecat di hari pertama aku bekerja,’ tangis Momo dalam hati.“Ti … ttidak, Pak. Saya akan membereskan meja kerja terlebih dahulu. Permisi, Pak.” Momo langsung menuju ke pintu.“Kamu harus makan sebelum keluar belanja!” perintah Harry.Momo menghentikan tangannya di gagang pintu dan membalikkan badannya dengan kaku. “Saya akan memakannya setelah membereska
“Ehem, dia bukan anakku, tapi kemenakanku!” ucap Harry dingin dan meninggalkan Momo yang kembali merasa bersalah. Salah tebak. Momo hanya bisa menepuk jidatnya.“Ma … mmaaf, Pak.” Momo berusaha menjajarkan langkah kaki Harry. “Kalau Bapak mau mencari puzzle, aku tahu tempat jual puzzle yang bagus.”Momo berusaha mengalihkan pikiran Harry dengan kejadian tadi. Dan berhasil, Harry menghentikan langkahnya dan memandang Momo.“Di mana?”Senyum Momo mengembang. “Ikut dengan saya, Pak. Tapi bukan di sini. Toko itu ada di ruko samping pusat perbelanjaan.”Momo berjalan duluan menunjukkan jalan ke toko itu. Dia pernah bekerja di toko itu. Tapi dia terpaksa keluar karena suami pemilik toko itu tidak menyukainya. Dia dianggap merayu putra mahkota mereka.Momo merasa tidak enak hati karena pemilik toko selalu minta maaf setelah dia dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Pemilik tok
“Mana?” Clark mengangkat wajahnya dan menatap ke pintu ruang makan. Semua mata juga memandang ke pintu.Momo yang dari tadi berdiri di depan pintu ruang makan, tersentak kaget. Tanpa sadar, dia melangkah mundur. Cepat-cepat Momo mendekap mulutnya agar jeritannya tidak kedengaran. Dia jatuh terduduk sambil menatap Clark dengan perasaan bercampur aduk. Matanya berkaca-kaca.“Harry, siapa dia? Kenapa begitu tingkahnya saat melihat Clark?” bentak Mamanya Harry, Anisa dengan panik. Suara Anisa yang paling keras dibandingkan suara yang lain yang juga protes dengan reaksi Momo saat melihat Clark.Clark yang divonis autis sama dokter kadang-kadang dianggap sebuah beban bagi orang tua Clark. Harry pernah mendengar Kakak dan Kakak iparnya bertengkar karena masalah Clark yang autis. Dan karena autis, Clark terlihat aneh.Harry melirik kakak iparnya, Agna, yang menunduk dengan wajah memerah. Harry hanya berdiri bingung tidak harus buat apa. Di
"Sekarang katakan padaku di mana Ken?" desak Momo."Ken sudah tidak ada bersama kita.”“Apa? Apa maksudmu?”“Seperti yang kamu lihat. Ken tidak ada di sini. Kamu pikir apa sehingga kaget begitu,” kata Harry menjitak kepala Momo sambil melangkah pergi. Harry tersenyum geli tapi hatinya sangat sedih.Momo melongo memandang dan tersentak saat kepalanya dijitak. ‘Aduh, sakit! Ternyata aku dikerjain sama Bos. Berengsek!’ batin Momo kesal.Momo ikut bergabung kembali dengan Clark yang serius memasang puzzle. Tidak ada yang bisa mengganggunya kalau sedang serius. Bahkan saat Momo duduk dekat Clark, dia cuek saja.Akhirnya Momo pamit pulang, karena entah sampai kapan Clark mau bicara lagi. Saat Momo menjawil pundak untuk pamit, Clark tetap cuek.“Saya permisi dulu, Pak, Bu.”“Terima kasih, Monita. Boleh saya ikut Clark memanggilmu Momo?” tanya Agna.&ldqu
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Harry panik, lupa dengan ponsel Momo yang masih terhubung dengan Lita.“Momo!! Apa yang terjadi?! Siapa itu laki-laki itu?? Dia bikin apa kamu?!” teriak Lita panik.Harry memandang ponsel Momo dengan netra yang sangat besar. ‘Aduh, aku lupa, dia masih berbicara di telepon!!” seru Harry dalam hati dengan gugup.“Aduh, sori, Lit. Tadi aku tidak sengaja menabrak office boy. Aku kira semua sudah pulang, jadi langsung saja keluar tanpa memperhatikan,” kata Momo tanpa menyaring perkataannya.Netra Harry semakin lebar dan tajam. ‘Aku dibilang office boy? Enak aja ini anak! Berani macam-macam ya karena kamu kenal Clark. Awas besok di kantor,’ gerutu Harry dalam hati.“Ooo, kirain Bosmu lagi bikin kamu apa, hehehe.”“Lita, jangan sembarang ngomong. Nanti Bosku marah,” pekik Momo sambil melirik ke Harry. Tapi Harry su