Jemari lentik dengan pulasan kuteks warna pink neon itu terus menyisir helaian rambut Aryan tanpa berhenti. Jambakannya semakin menguat ketika lembut bibir Aryan menghisap kecil setiap inci tubuh yang sedang bergelinjang nikmat. Desahan saling bersahutan memenuhi ruangan yang mengadopsi arsitektur minimalis modern tersebut. Cermin besar yang membentang seakan merekam penyatuan panas dan penuh mereka.
Lidah Aryan bermain di sekitar puncak dada Vanilla yang sudah mengeras dan mulai memainkannya. Posisi Aryan duduk di pinggiran ranjang, sementara Vanilla berada di pangkuannya.
"Ah ... Aryan!" Vanilla mendongak ketika milik Aryan semakin menghujam miliknya tanpa henti. "Aryan, please ...."
Darah dalam tubuh Vanilla semakin memanas ketika tangan Aryan terus meremas bokong bulatnya. Iris segelap obsidian milik Aryan terus menyorot ke arah Vanilla diikuti desahan yang lolos dari bibirnya. Dua hal yang membuat Vanilla seakan terhipnotis dan ingin mendominasi permainan.
Gerakan pinggul Vanilla yang semula pelan kini semakin cepat. Ia terus menggoyangkan pinggul di atas pangkuan Aryan. Sesekali Vanilla mengigit bibir bawah seraya mengerang penuh kenikmatan. Aryan selalu bisa membuatnya terbang ke langit tujuh. Tidak heran jika julukan Cassanova tersemat pada putra bungsu keluarga Aditama itu. Pria yang ahli dalam bercinta dan membuat Vanilla mampu bertekuk lutut tanpa daya.
"Oh, Aryan!"
"Terus sebut namaku, Vanilla. Aku sangat menyukainya. Oh!"
Pergerakan pinggul Vanilla yang semakin cepat membuat Aryan menengadah dengan kedua tangan mengait pinggang wanitanya. "Ah, good girl!"
Gairah yang terus menggulung langsung menyerang tubuh mereka ketika gelenyar panas mulai terasa akan keluar. Suara erangan dan desahan semakin menggema dan bersahutan dalam ruangan tersebut. Gerakan pinggul Vanilla semakin cepat dan terus meronta penuh kenikmatan.
Hingga tidak lama kemudian Vanilla mengatur napas yang terengah seraya menyatukan kening dengan Aryan. Hidung mancung keduanya saling bertabrakan satu sama lain. Aryan ikut mengatur napas setelah mengeluarkan cairan kepuasan dari tubuh.
"Kamu cantik sekali," ujar Aryan sambil menyelipkan helaian rambut hitam panjang Vanilla ke belakang telinga.
Bibir merah jambu Vanilla tersenyum tipis. Lantas tangannya mengusap pipi kanan Aryan yang basah karena keringat. Kecupan singkat yang diberikan oleh pria yang sudah dekat dengannya selama hampir tiga bulan ini, membuat kedua pipi bersemu merah.
"Kamu sangat hebat," puji Aryan sekali lagi, matanya masih menatap iris kecokelatan Vanilla yang dibingkai kelopak mata ganda dengan bulu mata yang panjang. Cantik sekali.
Vanilla kini mulai bisa mengimbangi stamina Aryan. Mereka sudah bercinta sebanyak tiga kali sejak semalam, dan pagi ini adalah yang terbaik. Well, tidak heran jika pagi hari adalah waktu terbaik untuk bercinta karena tubuh masih dalam kondisi segar. "Berapa kalori yang sudah kita bakar pagi ini, ha?"
Vanilla terkekeh lalu memukul dada bidang Aryan. "Sudah, cuci sana!"
"Baiklah. Emang paling enak kalau nggak pakai karet." Aryan mengerlingkan mata genit ke arah Vanilla.
Mengambil bantal lalu dilemparkan ke arah sang pujaan hati sambil memekik, "Aryan!"
Tawa Aryan menggema. Ia menunjuk ke arah balkon dengan sepasang kursi dan meja bulat penuh dengan makanan. "Aku sudah siapkan sarapan buat kamu. Terima kasih sudah bekerja keras, Sayang."
Vanilla menoleh pada meja yang diisi jus jeruk, kopi, roti panggang dan buah-buahan. Jenis makanan yang hanya dimakan Vanilla dan Aryan di pagi hari. Ia terbiasa tidak menyantap makanan terlalu berat saat pagi hari. Beberapa iris buah-buahan saja sudah cukup. Tidak heran jika Vanilla memiliki wajah cerah dan kulit yang sehat. Pun bentuk tubuhnya yang langsing, merupakan hasil dari pola makan sehat selama ini.
"Merci," (terima kasih ) ucap Vanilla seraya melemparkan tatap pada Aryan yang kini melenggang pergi ke kamar mandi. Punggung kekar sang pria masih terlihat dengan lengan kiri yang dipenuhi tato peluru dan kepala singa.
Meraih kimono satin untuk menutupi tubuhnya, lalu Vanilla mengayunkan kaki turun dari ranjang. Ia duduk di salah satu kursi balkon untuk menikmati sarapan. Bulir jus jeruk langsung membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering. Olahraga bersama Aryan memang melelahkan, tetapi selalu membuat ketagihan.
Iris kecokelatan Vanilla mengedar pada gedung yang menjulang tinggi ke langit. Pemandangan yang selalu disajikan oleh Jakarta. Salah satu gedung di hadapan Vanilla menampilkan huruf A yang tentu tidak asing. Lambang kerajaan bisnis keluarga Aditama yang bergerak di bidang pariwisata. Beberapa mobil yang memadati jalanan Sudirman terlihat sangat kecil jika dilihat dari gedung apartemen lantai 12 itu.
"Wow, wanitaku memang selalu terlihat cantik." Suara Aryan yang semakin mendekat membuat Vanilla menoleh. "Ini pemotretan minggu kemarin?"
Vanilla memanjangkan leher pada majalah yang berada di tangan Aryan. Embusan napas sedikit kecewa lolos setelahnya. "Hah, foto itu yang mereka pilih?"
"Why? You look so beautiful."
"Aku rasa itu bukan pose terbaikku," ujar Vanilla sambil menyesap minumannya hingga tersisa separuh.
"Kamu selalu saja tidak percaya diri." Aryan melipatkan kedua tangannya di depan dada sambil mengamati Vanilla. "Kamu cantik, pintar, dan finalis Miss Indonesia. Harusnya kamu bisa lebih percaya diri dong."
Melirik Aryan dari ekor mata lalu berucap sebelum kembali meneguk minumannya. "Aku hanya percaya diri ketika bersamamu, Aryan."
Mendengar pernyataan tersebut, Aryan terkekeh. Ia masih mempertahankan posisi berdirinya sambil menatap Vanilla lekat-lekat.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Kamu mau jusnya? Nih, masih ada sedikit." Vanilla menawarkan sembari mengulurkan gelas dengan sisa jus jeruk seperempat bagian kepada Aryan.
Tanpa basa-basi, Aryan mendekati Vanilla lalu mengurung tubuh wanita itu dengan menopangkan kedua tangan di pegangan kursi. Ia terus mendekat hingga mengikis jarak di antara wajah mereka. "Aku punya cara lain untuk menikmatinya."
Lembut dan basah bibir Aryan mengecup bibir Vanilla penuh hisapan diikuti gerakan lidah yang masuk ke dalam mulut. Tangan Vanilla mengalung spontan sambil memejamkan matanya pelan untuk menikmati setiap kecupan dari Aryan.
"Manis sekali," ucap Aslan setelah menyelesaikan ciumannya. Lalu ia meletakkan bokong di kursi bersebelahan dengan Vanila dan bersiap menikmati sepotong roti panggang
Kedua mata Vanilla tidak bisa berpindah dari sosok Aryan yang selalu membuat hatinya berdebar. Pria yang menjadi cinta masa kecilnya itu sudah mencuri keseluruhan ruang dalam hati. Bahkan tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh ke dalam dekapan pria dengan sebutan 'the real buaya' itu.
"Aryan," panggil Vanilla.
"Hm," jawab Aryan tanpa menoleh. Ia sibuk menggulirkan jemari di atas layar ponsel sambil menggigit roti panggangnya.
"Apakah kamu benar mencintaiku?"
"Sure," jawab Aryan yang masih terfokus pada layar ponsel.
Vanilla menghela napas kasar. "Aryan aku serius."
"Aku juga serius, Vanilla. Entah berapa kali kamu menanyakan soal itu." Aryan akhirnya menoleh pada Vanilla sambil mengunyah roti dalam mulut.
"Kalau begitu, bisakah kita menikah?" Ucapan dari Vanilla sontak membuat lumatan roti Aryan tersangkut di kerongkongan.
Aryan tersedak lalu meraih air minum untuk mendorong makanan tersebut ke dalam lambung. "Menikah?"
"Iya menikah," ucap Vanilla penuh keyakinan. Menjadi anak yatim piatu sejak berumur 12 tahun terkadang membuatnya kesepian. Tante Lina tidak bisa setiap saat menemani Vanilla karena harus mengurus bisnis mebel peninggalan dari orang tua Vanilla. "Kamu nggak pengen nikah?"
"Nggak," jawab Aryan tanpa berpikir. Well, hidup dalam keluarga dengan banyak sosok ibu membuat Aryan malas berkomitmen. Aditama memiliki dua istri sah dan satu simpanan yang kedua anaknya sekarang menjadi bagian dari hidup Aryan. Belum lagi selingkungan Aditama yang tidak terlihat. Mengingat Mama Aryan pernah diselingkuhi sebanyak 15 kali selama sepuluh tahun pernikahan mereka.
Dahi Vanilla berkerut mendengar pernyataa tersebut. "Jadi kamu nggak niat buat nikahin aku? Apa aku sama seperti wanita yang cuma nemenin kamu selama semalam?"
"Tentu beda, Vanilla. Hanya kamu wanita yang aku ajak ke apartemenku dan bercinta di ranjang itu." Aryan menyesap kopinya sebelum melanjutkan ucapan. "Dan kamu yang mematahkan prinsipku untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama."
Bibir bentuk hati Vanilla mengerucut kesal, meskipun sudah mendapatkan penjelasan dari Aryan. "Lalu kenapa tidak ingin menikah denganku?"
"Tidak untuk saat ini." Tidak ingin berdebat, Aslan memilih jawaban yang aman. "Sudah jangan manyun kayak gitu. Aku jadi nggak tahan buat nyium kamu.'
"Ish." Vanilla mendesis. Beberapa detik kemudian, raut wajah Vanila berbah. Ada rasa mengganjal di hati yang ingin Vanilla utarakan pada Aryan sejak beberapa hari lalu. Meskipun ragu, bibirnya mengucap perlahan, "Ada yang mau aku bicarakan, Aryan."
"Katakan," jawab Aryan sambil mengupas jeruk.
Vanilla menggoyangkan kakinya sambil memainkan ujung jemari, ragu dengan apa yang ingin dikatakan kepada Aryan. Well, meskipun ini belum pasti. Tetapi, Vanilla cukup takut dengan hasil tes yang akan dilakukan pagi ini.
"Kenapa? Kamu menginginkan sesuatu? Tas? Sepatu? Baju? Atau mobil baru?" Aryan terus menawarkan sambil mengunyah jeruknya.
Helaan napas kasar lolos dari bibir Vanilla. Ia mengusap perut yang rata sambil melirik sesekali ke arah Aryan. Mungkin ia akan membicarakan hal tersebut setelah memastikannya di kamar mandi. Lantas Vanilla beranjak dari duduknya dan melenggang pergi. "Aku ke kamar mandi dulu."
"Hm." Fokus Aryan tersita penuh pada makanan dan layar ponselnya. Ia sama sekali tidak memperdulikan Vanilla yang berjalan tergesa ke kamar mandi.
Menoleh dan memastikan Vanilla sudah masuk ke dalam kamar mandi, lalu jemari Aryan bergulir di layar ponsel. Nomor milik salah satu saudaranya ditekan untuk melakukan panggilan.
"Time's up!" cicit Aryan setelah mendengar suara dari balik ponsel. "Aku akan mengakhirinya, karena ini sudah tiga bulan."
["Kamu memang the real Cassanova."]
"Sudah aku bilang, tidak ada wanita yang bisa menolak pesona Aryan Aditama," tambah Aryan sambil merebahkan punggung di sandaran kursi.
["Oke Aryan, Lamborghini Gallardo akan menjadi milikmu."]
"Jangan lupa villa yang di Bali. Itu yang kamu tawarkan kalau aku bisa bertahan sama Vanilla selama tiga bulan."
["Take it! Memang tidak seharusnya aku mengajakmu taruhan."]
Aryan terkekeh. "Tapi aku senang dengan taruhan kali ini. Vanilla cukup menyenangkan untuk dijadikan taruhan."
Beberapa saat setelah obrolan yang tercipta, tiba-tiba terdengar suara benda plastik yang terjatuh di lantai. Aryan terdiam lalu mematikan panggilan tanpa pemberitahuan kepada lawan bicaranya. Ia bergeming sesaat sambil merangkai kata di benak jika saja rahasianya terbongkar. Well, pun
Aryan tidak terlalu memperdulikan hal tersebut.Aryan menoleh, tetapi tidak ada Vanilla di sana. Kembali pada posisi nyaman di atas kursi sambil meraih rokok dan menyalakannya. Setelah mengajak Vanilla ke toko tas branded langganan untuk memberikan hadiah terakhir, Aryan akan mencampakkan wanita itu seperti yang sudah-sudah.
TO BE CONTINUED ....
Empat tahun kemudianSuara musik yang tengah dimainkan oleh DJ mengaung keras. Bola lampu yang berputar di langit-langit atap memancarkan aneka warna dan menyorot ke seluruh bagian klub. Aroma khas wine dan whisky pun ikut menguar di dalam ruangan kaca VVIP yang khusus dipersiapkan untuk para putra Aditama."Wooo! Jival!" Pekikan Vian membuat Aryan yang sedang bersandar pada pagar lantai dua salah satu klub Aditama di Bali ikut menyeringai.Kehebohan yang baru saja tercipta adalah ulah Jival, kembaran Vian yang baru saja mencium seorang wanita, putri dari pejabat di negeri ini. Saat keempat saudaranya mengamati dari lantai atas, Jival mengacungkan jari tanda kemenangan."Sial!" umpat Jai sambil melemparkan tubuh di sofa panjang dalam ruangan kaca VVIP tersebut. Kali ini Jai yang kalah taruhan dengan Jival dan harus merelakan motor sport barunya.Ketujuh putra Aditama tidak melakukan taruhan demi mengincar hadiah, hanya untuk kesenangan dan memenuhi rasa penasaran mereka. Hidup dalam ke
“Cari aja tempat mebel lain!” Suara keras Tante Lina membuat Vanilla memanjangkan leher ke depan kios makramenya. Wanita paruh baya dengan rambut yang digelung tinggi serta dress panjang tali spaghetti itu mematikan panggilan diikuti raut wajah kesal. “Udah dibilang nggak jual, masih aja ngeyel. Dasar brengsek!”Meletakkan beberapa hiasan dinding makrame ke dalam kardus sebelum berjalan mendekati sang tante. Vanilla ingin tahu apa yang menyebabkan Tante Lina marah-marah di pagi hari.“Tante kenapa?” tanya Vanilla setelah mengikat rambutnya menjadi satu bagian.“Ini, pegawainya Aditama. Tante udah bilang nggak ada barang, masih aja ngeyel! Ya emang Tante masih ada stok, tapi nggak sudi jual buat Aditama!” Vanilla terdiam sesaat. Sejak peristiwa itu, Tante Lina memang sangat membenci semua hal yang berhubungan dengan keluarga Aditama. Bahkan tidak akan menjual produk mebelnya kepada perusahaan Aditama. Meskipun sudah bisa dipastikan ia akan meraup banyak keuntungan jika bekerjasama denga
Kedua iris gelap Aryan memindai penampilan Vanilla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Dress selutut warna peach membungkus tubuh sintal wanita itu. Potongan kerah persegi panjang yang sedikit turun memperlihatkan belahan dada padat pembangkit gairah para pria. Pun tulang selangka yang menonjol menjadi salah satu daya tarik Vanilla.Senyuman tipis tercetak di wajah Aryan. Vanilla masih cantik seperti dulu, bahkan sekarang lebih memesona."Mommy." Suara kecil Zayn membuat Aryan melemparkan tatapan ke arah bocah itu dan Vanilla secara bergantian. Kening Aryan berkerut penuh tanya.Embusan angin sore hari menerbangkan helaian rambut kecokelatan Vanilla. Ia lalu berjalan tanpa ragu ke arah Aryan. Sementara itu Aryan masih berdiri di tempat dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tato peluru dengan tambahan tribal tercetak jelas di seluruh lengan kirinya."Ayo pulang," ajak Vanilla sambil menggandeng tangan Zayn. Ia sama sekali tidak melihat ke arah Aryan yang berdiri ti
“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.“Argh!” J
Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit m
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus menyesuaikan dengan waktu senggangku. Kamu saja yang temui dia,” ucap Aryan sambil meneguk minuman dinginnya. Sesekali ia melirik wa
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan baik. Ia hanya sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya.“
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa Aryan tidak menanggapinya dan memilih berjalan ke lift.Langkah Aryan semakin memburu setela
BAB 32Aryan merendahkan kecepatan mobilnya saat sudah hampir sampai di toko makrame Vanilla. Tampak ada beberapa motor serta dua mobil terparkir manis di sana. Semakin hari memang pelanggan kerajinan tali milik Vanilla itu bertambah. Hingga tawaran dari Aryan masih tidak digubris oleh Vanilla.Melirik dari ekor mata pada pribadi Vanilla yang masih sibuk membalas pesan di ponsel. Zayn ada di pangkuannya sambil menyandarkan kepala. Meskipun sudah diperbolehkan untuk pulang, Zayn masih terlihat sedikit lemah. Belum bisa terlalu aktif seperti biasa.Senyum tipis yang terukir di bibir Vanilla, membuat Aryan penasaran dengan siapa wanita itu berbalas pesan. Mungkin saja dengan Gavin, Aryan mencoba menebak. Well, tidak ada yang salah mengingat mereka akan segera menikah.“Are you Okay, Sayang?” tanya Vanilla kepada Zayn sambil mengelus kepalanya.Zayn mengangguk sambil tersenyum dan menengadah pada sang ibu.
BAB 31Arah pandang Aryan ikut menggeser ke arah Zayn, lantas mengusap puncak kepalanya pelan. Dipandang keseluruhan rupa Zayn dan Vanilla secara bergantian. Ia masih tidak menyangka sudah memiliki buah hati sebesar Zayn. Sungguh Tuhan memang berkuasa penuh akan takdir seseorang.“Jagoan Daddy, cepet sembuh ya? Jangan buat Mommy sedih lama-lama,” ujar Aryan dengan suaranya yang parau.Niat awal ia juga ingin mengusap puncak kepala Vanilla, tetapi urung. Gerakan tangan Aryan tertahan di atas kepala Vanilla lalu kembali ditarik untuk menjauh.Melangkah pelan untuk keluar dari ruang perawatan sang putra lalu Aryan mengembuskan napas lega. Sesak yang mengikat rongga dada, seolah melonggar. Ia merasa lega sudah mengutarakan sebagian isi hatinya pada Vanilla. Well, meskipun Vanilla tidak mungkin mendengarkan hal itu.“Hah!” Aryan tersenyum miring. “Ternyata kamu benar seorang pengecut, Aryan.”
Kaki Aryan mengayun terburu-buru sambil menjepit ponsel antara pipi dan pundak. Sementara tangan yang lain sedang melepaskan kancing lengan dan melipatnya hingga ke bagian siku. Ia baru saja selesai test food chef baru di The Heights hotel. Sebelum hotel itu menjadi milik Aditama grup, kerap sekali mendapatkan nilai rendah terkait kualitas makanannya. Sehingga Aryan harus ikut memastikan demi reputasi hotel dari Aditama grup.“Makan siang? Sekarang?” tanya Aryan pada Narendra yang berada di seberang telepon. “Ah, aku tidak bisa, sudah ada acara.”[“Kita sudah membicarakannya di grup kemarin. Kamu nggak baca?”]“Nggak. Aku tidak bisa sekarang, sampaikan pada yang lainnya. Oke.” Panggilan mereka terputus, Aryan yang melakukan.Segera ia melajukan mercedes jeep-nya untuk menjemput Zayn. Sesekali Aryan melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan, sebab tidak ingin terlambat menjemput sang putra.
Kaki Vanilla menghentak di tempat seraya meremas handle paper bag di tangan. Padahal ia hanya menemui Mama Gavin, tetapi rasa gugup langsung menyerang. Well, sejak dulu memang hubungan Vanilla dan Suci tidak begitu baik.Sesekali Vanilla melirik waktu pada arloji dengan strap tali makrame di pergelangan tangan. Sudah hampir 45 menit Suci membiarkan Vanilla menunggu di ruang tamu. Suara gelak tawa terdengar dari dalam rumah. Sepertinya Suci sedang aku bercengkrama dengan seseorang. Entah siapa, Vanilla tidak bisa menerka.“Eh, Vanilla. Udah lama nunggu?” Suci berjalan mendekat sambil melepaskan apron yang dipenuhi serpihan tepung di beberapa bagian. Lalu duduk di sofa berhadapan dengan Vanilla.“Baru aja, Tante,” jawab Vanilla berdusta. Bokongnya sudah cukup panas untuk menunggu Suci. Pun segelas minuman tidak dihidangkan untuk membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering.“Ada apa?” Suci bertanya tanpa basa-ba
Bab 28[“Iya, sepertinya aku akan pulang lebih lama dari perkiraan. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di sini.”]“Nggak apa-apa, hati-hati ya. Oh ya, soal seragam keluarga kamu, aku udah minta saran sama Tante Suci.”[“Kamu urus aja semuanya, Van. Aku yakin pilihan kamu bagus dan pas buat keluarga aku. Nggak perlu tanya sama Mama.”]Vanilla terdiam. Ini bukan mengenai pintar memilih atau tidak. Namun, Vanilla ingin ibu Gavin juga ikut serta menyumbangkan pendapat mengenai seragam yang akan dikenakan pada hari spesial itu. Sikap ibu Gavin bukan seperti mempercayakan semua hal kepada Vanilla, tetapi lebih ke tidak peduli.“Aku akan bawa beberapa contoh ke rumah kamu.”[“Vanilla, kamu langsung pilih aja.”]“Nggak bisa gitu dong, Vin. Bukan aku yang mau pakai, setidaknya aku minta saran sama Mama kamu.”[“Mama udah percaya sama kam
Bab 27Tidak lama Aryan mengecup bibir Vanilla. Ia melepaskannya sambil menerka rasa tidak karuan yang bergemuruh di dalam dada. Iris Aryan meneliti wajah Vanilla yang terpejam. Sesekali ia melemparkan tatapan pada Zayn yang tertidur di kursi penumpang. Anak itu seolah memberikan kesempatan pada ayah dan ibunya untuk memadu kasih. Sangat tenang dan tidak terganggu dengan obrolan serius mereka.Permukaan bibir Vanilla basah. Ia ingin merutuki diri sendiri karena sempat menuntut gerakan Aryan yang lebih dari sekedar kecupan.“Gila! Hentikan kegilaan ini Vanila!” Bersamaan dengan peringatan dari otaknya, Vanilla membuka mata lalu mendorong tubuh Aryan untuk menjauh.“Hentikan sikap mesum mu itu Aryan!” pekik Vanilla yang membuat Zayn menggeliat pelan lalu kembali terlelap. Mungkin bocah itu sedikit terusik dengan suara keras sang ibu.“Aku tidak mesum, hanya ingin memastikan perasaanku,” ucap Aryan seolah enggan mengalihkan perhatian dari rupa Vanilla. Jantung Aryan masih berdebar dengan
Ayunan kaki Vanilla semakin memburu ketika suara Aryan menyeruak dari balik ponsel. Sesekali ia menoleh untuk memastikan jika tidak ada yang mencuri dengar.“Aryan! Apa-apaan kamu!” seru Vanilla dengan mempertahankan intonasi agar tidak terlayani menarik perhatian Zayn atau Tante Lusi. [“Apa?”]“Aku bisa beliin kebutuhan Zayn. Kamu nggak perlu repot. Dia itu anakku.” [“Aku tahu, Van. Dia juga anakku.”] “Aku nggak butuh uang kamu. Stop beliin barang ke Zayn!” [“Vanilla, aku beli hadiah buat Zayn bukan kamu. Tapi kalau kamu mau, nanti aku siapin buat kamu juga.”]“Aryan! Aku serius.” [“Aku juga serius, Van. Udahlah, kasih kesempatan aku buat bisa bertanggung jawab atas Zayn. Aku Daddy dia.”] “Mommy! Ini keren banget!” Pekikan suara Zayn membuat Vanilla memanjangkan leher dan mendapati bocah itu sedang asyik bermain hoverboard with handle pemberian Aryan. Sementara Tante Lusi bersiaga mengawasi keseimbangan Zayn. [“Zayn sepertinya suka.”] Suara kekehan terdengar dari balik ponsel.
Mengikuti arah mata Vanilla, Aryan ikut melihat pada telapak tangan yang semula sudah terbalut perban dan mengeluarkan warna merah dari sana. Hingga menetes dan meninggalkan jejak pada lantai kayu Vanilla.“Kok bisa? Kenapa tadi?” Sontak Vanilla segera meraih tangan Aryan lantas membuka satu persatu laci pada meja untuk mencari kotak obat. Sebab panik, Vanilla jadi lupa dimana meletakkan kotak yang berisi obat-obatan lengkap itu. Sementara netra Aryan mengikuti arah gerak Vanilla dan tidak terganggu dengan rasa nyeri yang terasa di seluruh telapak tangan. Ia hanya bergeming ketika Vanilla menarik tangannya dan meminta untuk duduk. “Duduk,” pinta Vanilla yang diikuti dengan patuh oleh Aryan. Kening Vanilla sesekali mengernyit ketika membuka perban yang sudah berlumur darah itu. Ia bergerak dengan sangat hati-hati dan memastikan Aryan tidak kesakitan. “Sakit?” tanya Vanilla seraya mendongakkan kepala. Aryan masih menatap Vanilla lekat-lekat dan memberikan gelengan kepala sebagai jawa
“Have fun ya, Sayang.” Vanilla merapikan kerah batik Zayn dengan warna dasar biru dipadukan motif kuning keemasan. “Mommy akan jemput tepat waktu. Oke.” Jemari Vanilla menyisir rambut pendek Zayn. “Oke Mommy.” Tanpa permisi Zayn lantas mengecup pipi sang ibu. Hal tersebut membuat Vanilla tersenyum lebar. “Sayang Mommy.”“Really?” “Of course. Mommy sebesar apa?” Zayn mengetuk pelipisnya lalu merentangkan tangannya lebar. “Sebesar ini. So many many.” Vanilla terkekeh. Bagaimana ia tidak begitu mencintai sang putra jika sangat lucu dan menggemaskan seperti ini? “Ya udah, buruan masuk. Itu udah ditunggu sama Jason,” ucap Vanilla yang menangkap sosok satu bocah berambut pirang dan hitam di lobi sekolah.“Zayn!” teriak Jason dan Will sambil melambaikan tangan. “Oke. I’m coming!” Zayn berlari menuju ke sahabatnya lalu menoleh pada Vanilla dan melambaikan tangan penuh semangat. “Bye Mommy!” Senyuman Vanilla masih tercetak sambil membalas lambaian tangan Zayn. Kemudian ia masuk ke dalam