Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.
Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.
Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit melupakan Bastard itu.
Nada pengingat pesan menyita atensi Vanilla. Ia menghentikan gerakan menyimpul pada makrame dan mengambil ponsel di atas meja. Beberapa kali nama Vanilla disebut dalam grup orang tua murid kelas Zayn. Mereka mengajak Vanilla ikut serta dalam arisan.
Jemari Vanilla mengetuk papan keyboard. Meskipun malas, tetapi Vanilla tetap mengiyakan ajakan tersebut. Ia tidak ingin Zayn mendapatkan perlakuan yang berbeda karena dirinya tidak mau berbaur dengan orang tua murid yang lain. Menjadi pembicaraan karena hamil dan melahirkan tanpa suami aja sudah cukup mengusik hati. Vanilla tidak ingin menambah topik pembicaraan orang lain dengan julukan anti sosial.
“Mommy!” Suara nyaring Zayn membuat Vanilla meletakkan ponsel di meja dan beranjak.
Bocah itu baru saja turun dari mobil dengan kepayahan. Tangannya berulang kali menahan tas gendong yang terasa begitu berat.
“Terima kasih, Bli Nyoman,” seru Vanilla kepada pria yang menjadi sopir antar jemput sekolah Zayn.
“Sama-sama. Dah Zayn!” Pria berkulit cokelat itu melambaikan tangan kepada Zayn sambil memberikan senyuman lebar.
“Bye!” seru Zayn ikut melambaikan tangannya penuh semangat.
“Bye, Zayn!”
“Bye William, Henry!” Zayn tersenyum menampilkan deretan gigi yang belum lengkap kepada sepasang anak kembar dengan rambut pirang. Mereka merupakan teman dekat Zayn di sekolah. Tidak jarang orang tuanya menitipkan mereka kepada Vanilla untuk berangkat sekolah bersama.
Melihat sang putra yang kepayahan dengan tas gendong ya, Vanilla berinisiatif melepaskan.
“Astaga Zayn! Ini berat sekali, apa yang kamu bawa?” tanya Vanilla.
Zayn menghela napas berat. “Biasa Mommy. Anak-anak di sekolah selalu mengisi mejaku dengan banyak cokelat dan permen.”
Vanilla melongo sebentar. Sebenarnya ia tidak begitu terkejut dengan hal itu. Sejak masuk pre kindergarten, Zayn sudah menjadi idola murid satu kelas maupun kindergarten. Sifatnya yang ramah di awal dan cuek kemudian menarik perhatian anak-anak cewek di sana.
Tidak jarang Vanilla menggelengkan kepala saat melihat beberapa anak perempuan mencari perhatian kepada Zayn. Astaga mereka baru menginjak usia 4 tahun. Pun tidak jarang orang tua murid memuji ketampanan Zayn. Tentu sudah bisa ditebak, dari mana Zayn mendapatkan gen dominan itu.
“Aku sudah membagikannya untuk Will, Henry, Joey, Kaz, dan Keiran.” Zayn menjeda ucapannya sebentar sambil menghitung dengan jari. “Tetapi cokelat itu masih saja nggak habis-habis, Mom.”
“Zayn, bagiin cokelatnya?” tanya Vanilla yang kini duduk bersebelahan dengan Zayn. Ia memberikan fokus penuh kepada sang putra yang sedang berceloteh.
Kepala Zayn mengangguk. “Aku tidak mungkin menghabiskan semua cokelat dan permen itu, Mom. Aku ‘kan boleh makan itu pas hari minggu aja. Ah!”
“Kenapa?” Vanilla menaikkan salah satu alisnya dengan perilaku Zayn yang seperti orang dewasa. Astaga! Anak siapa ini?
“Aku lelah menjadi populer, Mom,” celetuk Zayn sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang dalam kios makrame.
Vanilla terkekeh. Usia Zayn baru akan menginjak 4 tahun lusa, tetapi tingkahnya sudah seperti anak remaja yang kewalahan karena dikejar banyak gadis. Well, lingkungan sekolah Zayn yang kebanyakan dari luar negeri, menjadikannya tumbuh sedikit lebih dewasa.
“Ganti baju dulu, yuk!” ajak Vanilla yang langsung mendapatkan persetujuan dari sang putra.
Bangkit dari tidurnya, lalu Zayn mengayunkan kaki ke lantai dua. “Aku bisa ganti baju sendiri, Mom.”
“Baiklah, hati-hati ambil bajunya,” seru Vanilla sambil memanjangkan leher. Ia memastikan agar sang putra mengambil langkah tepat dan tidak terjatuh di tangga.
Suara lonceng yang berbunyi karena pintu toko terbuka, membuat Vanilla menoleh sambil berucap, “selamat datang.”
Kelopak matanya melebar ketika mendapati pribadi Aryan masuk ke dalam toko sambil mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Kemeja warna hitam melekuk tubuh pria itu dengan lengan terlipat sampai siku. Tato yang tercetak memenuhi lengan tampak sama seperti 4 tahun yang lalu.
“Ngapain kamu kesini?” tanya Vanilla dengan nada ketus.
“Come on, Vanilla. Aku datang sebagai pelanggan. Bukankah kamu harus menyambutnya dengan ramah?” Aryan berjalan beberapa langkah dengan salah satu tangan masuk ke saku celana.
“Banyak toko makrame yang lebih lengkap. Aku bisa memberikan rekomendasi kepadamu,” ucap Vanilla seraya mengalihkan tatapan dari Aryan. Ia tidak sudi menatap wajah pria itu.
“Aku ingin beli di sini.” Langkah Aryan semakin merapat. “Kenapa kamu tiba-tiba membatalkan kerja sama dengan hotelku?”
“Aku tidak sanggup memenuhi permintaan yang terlalu banyak dari sana,” jawab Vanilla asal.
Langkah Aryan berhenti lalu memindai penampilan Vanilla yang cantik dengan rambut terurai bebas. Dress warna hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang putih membungkus tubuh sintal itu. Terlihat jika Vanilla sangat memperhatikan penampilan setelah melahirkan. Lemak tumbuh di bagian yang tepat dengan ukuran pas.
“Kamu tidak perlu memenuhi jumlahnya. Justru itu akan menjadikan produksi lebih eksklusif. Hanya bisa didapatkan dengan pre order,” terang Aryan.
“Tetap saja aku tidak bisa. Apa yang kamu inginkan, cepat katakan dan pergi,” ujar Vanilla.
Sorot mata Aryan menukik tajam. Wanita itu semakin dingin dan ketus. Ia semakin penasaran dengan alasan Vanilla yang terlihat sangat membencinya.
“Kenapa kamu seperti ini, Vanilla?”
Pertanyaan bodoh itu membuat Vanilla mendongakkan kepala dan membuat mereka saling bertatapan. “Memangnya kamu berharap aku bersikap seperti apa, Aryan?”
“Ya, biasa saja. Jangan terlalu ketus, seperti aku punya salah saja,” ucap Aryan enteng.
Aryan masih sama seperti dulu. Tidak pernah menyadari kesalahan yang sudah diperbuat. Bahkan ia tidak sadar jika menjadikan Vanilla taruhan itu adalah kesalahan yang besar.
Kaki Aryan semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Tubuh Vanilla terdorong hingga menempel pada tembok.
“Aryan, apa yang kamu lakukan!” Vanilla merendahkan suaranya sambil berulang kali menoleh ke arah tangga untuk memastikan Zayn tidak melihatnya.
“Kamu sekarang galak sekali, Vanilla. Semakin membuatku penasaran,” bisik Aryan yang membuat bulu kuduk Vanilla meremang seketika.
“Buang pikiran gila kamu, Aryan!”
“Kenapa? Karena kamu sudah punya anak dan suami?” Aryan terkekeh. “Bukan masalah besar.”
Vanilla mendorong tubuh Aryan. “Keluar dari sini, Aryan!”
“Baiklah baiklah. Kamu ini galak sekali, persis seperti anak kamu. Tidak punya sopan santun, dasar berandalan kecil.”
Melipatkan tangan di depan dada sambil mendesah jengah. Berandalan yang disebut oleh Aryan itu tidak lain adalah anaknya sendiri. Seorang putra yang mewarisi sebagian besar sifat berandalan dari Aryan.
“Jangan mengatai anakku. Cepat pergi!”
“Aku akan datang besok, dan besoknya lagi,” ucap Aryan sambil tersenyum.
“Kamu nggak punya pekerjaan apa?”
“Punya. Aku baru saja selesai meeting di The Heights hotel. Aku sebenarnya sibuk Vanilla, tetapi tetap ada waktu untuk kamu,” tutur Aryan sambil mengedipkan salah satu matanya. Lantas ia berjalan keluar dari toko.
Vanilla mengembuskan napas kasar sambil menyugar rambut frustrasi. Kenapa Aryan justru semakin mengusik hidupnya? Di saat pernikahan dengan Gavin tinggal menghitung bulan saja.
“Hah!” Vanilla mendesah sambil mengamati mobil sport Aryan yang melaju pergi.
Hidup Vanilla yang awalnya tenang kini kembali rumit dengan kedatangan Aryan.
“Ngapain bedebah itu datang kesini?” Suara Tante Lina terdengar bersamaan dengan lonceng pintu toko.
Vanilla terdiam. Ia duduk di sofa sambil menyugar rambutnya frustrasi.
“Dia tinggal di sini? Katakan Vanilla!” tanya Tante Lina.
Kepala Vanilla mengangguk sebagai jawaban. “Dia sekarang pemilik The Heights hotel.”
Tante Lina langsung duduk di samping Vanilla. Suara Zayn yang bernyanyi di lantai dua membuat Tante Lina mengusap pundak Vanilla. Ia sangat membenci sikap Aryan kepada Vanilla. Namun setiap melihat Zayn, maka pikiran lain muncul di benaknya.
“Kamu memberitahu Aryan mengenai Zayn?” tanya Tante Lina dengan suara lirih.
“Tentu saja nggak, Tante. Nggak akan pernah!” jawab Vanilla dengan nada penuh penekanan.
TO BE CONTINUED….
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus m
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa
Jemari lentik dengan pulasan kuteks warna pink neon itu terus menyisir helaian rambut Aryan tanpa berhenti. Jambakannya semakin menguat ketika lembut bibir Aryan menghisap kecil setiap inci tubuh yang sedang bergelinjang nikmat. Desahan saling bersahutan memenuhi ruangan yang mengadopsi arsitektur minimalis modern tersebut. Cermin besar yang membentang seakan merekam penyatuan panas dan penuh mereka.Lidah Aryan bermain di sekitar puncak dada Vanilla yang sudah mengeras dan mulai memainkannya. Posisi Aryan duduk di pinggiran ranjang, sementara Vanilla berada di pangkuannya."Ah ... Aryan!" Vanilla mendongak ketika milik Aryan semakin menghujam miliknya tanpa henti. "Aryan, please ...."Darah dalam tubuh Vanilla semakin memanas ketika tangan Aryan terus meremas bokong bulatnya. Iris segelap obsidian milik Aryan terus menyorot ke arah Vanilla diikuti desahan yang lolos dari bibirnya. Dua hal yang membuat Vanilla seakan terhipnotis dan ingin mendominasi permainan.Gerakan pinggul Vanilla
Empat tahun kemudianSuara musik yang tengah dimainkan oleh DJ mengaung keras. Bola lampu yang berputar di langit-langit atap memancarkan aneka warna dan menyorot ke seluruh bagian klub. Aroma khas wine dan whisky pun ikut menguar di dalam ruangan kaca VVIP yang khusus dipersiapkan untuk para putra Aditama."Wooo! Jival!" Pekikan Vian membuat Aryan yang sedang bersandar pada pagar lantai dua salah satu klub Aditama di Bali ikut menyeringai.Kehebohan yang baru saja tercipta adalah ulah Jival, kembaran Vian yang baru saja mencium seorang wanita, putri dari pejabat di negeri ini. Saat keempat saudaranya mengamati dari lantai atas, Jival mengacungkan jari tanda kemenangan."Sial!" umpat Jai sambil melemparkan tubuh di sofa panjang dalam ruangan kaca VVIP tersebut. Kali ini Jai yang kalah taruhan dengan Jival dan harus merelakan motor sport barunya.Ketujuh putra Aditama tidak melakukan taruhan demi mengincar hadiah, hanya untuk kesenangan dan memenuhi rasa penasaran mereka. Hidup dalam k
“Cari aja tempat mebel lain!” Suara keras Tante Lina membuat Vanilla memanjangkan leher ke depan kios makramenya. Wanita paruh baya dengan rambut yang digelung tinggi serta dress panjang tali spaghetti itu mematikan panggilan diikuti raut wajah kesal. “Udah dibilang nggak jual, masih aja ngeyel. Dasar brengsek!”Meletakkan beberapa hiasan dinding makrame ke dalam kardus sebelum berjalan mendekati sang tante. Vanilla ingin tahu apa yang menyebabkan Tante Lina marah-marah di pagi hari.“Tante kenapa?” tanya Vanilla setelah mengikat rambutnya menjadi satu bagian.“Ini, pegawainya Aditama. Tante udah bilang nggak ada barang, masih aja ngeyel! Ya emang Tante masih ada stok, tapi nggak sudi jual buat Aditama!” Vanilla terdiam sesaat. Sejak peristiwa itu, Tante Lina memang sangat membenci semua hal yang berhubungan dengan keluarga Aditama. Bahkan tidak akan menjual produk mebelnya kepada perusahaan Aditama. Meskipun sudah bisa dipastikan ia akan meraup banyak keuntungan jika bekerjasama deng
Kedua iris gelap Aryan memindai penampilan Vanilla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Dress selutut warna peach membungkus tubuh sintal wanita itu. Potongan kerah persegi panjang yang sedikit turun memperlihatkan belahan dada padat pembangkit gairah para pria. Pun tulang selangka yang menonjol menjadi salah satu daya tarik Vanilla.Senyuman tipis tercetak di wajah Aryan. Vanilla masih cantik seperti dulu, bahkan sekarang lebih memesona."Mommy." Suara kecil Zayn membuat Aryan melemparkan tatapan ke arah bocah itu dan Vanilla secara bergantian. Kening Aryan berkerut penuh tanya.Embusan angin sore hari menerbangkan helaian rambut kecokelatan Vanilla. Ia lalu berjalan tanpa ragu ke arah Aryan. Sementara itu Aryan masih berdiri di tempat dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tato peluru dengan tambahan tribal tercetak jelas di seluruh lengan kirinya."Ayo pulang," ajak Vanilla sambil menggandeng tangan Zayn. Ia sama sekali tidak melihat ke arah Aryan yang berdiri t
“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.“Argh!”