Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.
Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.
Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit melupakan Bastard itu.
Nada pengingat pesan menyita atensi Vanilla. Ia menghentikan gerakan menyimpul pada makrame dan mengambil ponsel di atas meja. Beberapa kali nama Vanilla disebut dalam grup orang tua murid kelas Zayn. Mereka mengajak Vanilla ikut serta dalam arisan.
Jemari Vanilla mengetuk papan keyboard. Meskipun malas, tetapi Vanilla tetap mengiyakan ajakan tersebut. Ia tidak ingin Zayn mendapatkan perlakuan yang berbeda karena dirinya tidak mau berbaur dengan orang tua murid yang lain. Menjadi pembicaraan karena hamil dan melahirkan tanpa suami aja sudah cukup mengusik hati. Vanilla tidak ingin menambah topik pembicaraan orang lain dengan julukan anti sosial.
“Mommy!” Suara nyaring Zayn membuat Vanilla meletakkan ponsel di meja dan beranjak.
Bocah itu baru saja turun dari mobil dengan kepayahan. Tangannya berulang kali menahan tas gendong yang terasa begitu berat.
“Terima kasih, Bli Nyoman,” seru Vanilla kepada pria yang menjadi sopir antar jemput sekolah Zayn.
“Sama-sama. Dah Zayn!” Pria berkulit cokelat itu melambaikan tangan kepada Zayn sambil memberikan senyuman lebar.
“Bye!” seru Zayn ikut melambaikan tangannya penuh semangat.
“Bye, Zayn!”
“Bye William, Henry!” Zayn tersenyum menampilkan deretan gigi yang belum lengkap kepada sepasang anak kembar dengan rambut pirang. Mereka merupakan teman dekat Zayn di sekolah. Tidak jarang orang tuanya menitipkan mereka kepada Vanilla untuk berangkat sekolah bersama.
Melihat sang putra yang kepayahan dengan tas gendong ya, Vanilla berinisiatif melepaskan.
“Astaga Zayn! Ini berat sekali, apa yang kamu bawa?” tanya Vanilla.
Zayn menghela napas berat. “Biasa Mommy. Anak-anak di sekolah selalu mengisi mejaku dengan banyak cokelat dan permen.”
Vanilla melongo sebentar. Sebenarnya ia tidak begitu terkejut dengan hal itu. Sejak masuk pre kindergarten, Zayn sudah menjadi idola murid satu kelas maupun kindergarten. Sifatnya yang ramah di awal dan cuek kemudian menarik perhatian anak-anak cewek di sana.
Tidak jarang Vanilla menggelengkan kepala saat melihat beberapa anak perempuan mencari perhatian kepada Zayn. Astaga mereka baru menginjak usia 4 tahun. Pun tidak jarang orang tua murid memuji ketampanan Zayn. Tentu sudah bisa ditebak, dari mana Zayn mendapatkan gen dominan itu.
“Aku sudah membagikannya untuk Will, Henry, Joey, Kaz, dan Keiran.” Zayn menjeda ucapannya sebentar sambil menghitung dengan jari. “Tetapi cokelat itu masih saja nggak habis-habis, Mom.”
“Zayn, bagiin cokelatnya?” tanya Vanilla yang kini duduk bersebelahan dengan Zayn. Ia memberikan fokus penuh kepada sang putra yang sedang berceloteh.
Kepala Zayn mengangguk. “Aku tidak mungkin menghabiskan semua cokelat dan permen itu, Mom. Aku ‘kan boleh makan itu pas hari minggu aja. Ah!”
“Kenapa?” Vanilla menaikkan salah satu alisnya dengan perilaku Zayn yang seperti orang dewasa. Astaga! Anak siapa ini?
“Aku lelah menjadi populer, Mom,” celetuk Zayn sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang dalam kios makrame.
Vanilla terkekeh. Usia Zayn baru akan menginjak 4 tahun lusa, tetapi tingkahnya sudah seperti anak remaja yang kewalahan karena dikejar banyak gadis. Well, lingkungan sekolah Zayn yang kebanyakan dari luar negeri, menjadikannya tumbuh sedikit lebih dewasa.
“Ganti baju dulu, yuk!” ajak Vanilla yang langsung mendapatkan persetujuan dari sang putra.
Bangkit dari tidurnya, lalu Zayn mengayunkan kaki ke lantai dua. “Aku bisa ganti baju sendiri, Mom.”
“Baiklah, hati-hati ambil bajunya,” seru Vanilla sambil memanjangkan leher. Ia memastikan agar sang putra mengambil langkah tepat dan tidak terjatuh di tangga.
Suara lonceng yang berbunyi karena pintu toko terbuka, membuat Vanilla menoleh sambil berucap, “selamat datang.”
Kelopak matanya melebar ketika mendapati pribadi Aryan masuk ke dalam toko sambil mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Kemeja warna hitam melekuk tubuh pria itu dengan lengan terlipat sampai siku. Tato yang tercetak memenuhi lengan tampak sama seperti 4 tahun yang lalu.
“Ngapain kamu kesini?” tanya Vanilla dengan nada ketus.
“Come on, Vanilla. Aku datang sebagai pelanggan. Bukankah kamu harus menyambutnya dengan ramah?” Aryan berjalan beberapa langkah dengan salah satu tangan masuk ke saku celana.
“Banyak toko makrame yang lebih lengkap. Aku bisa memberikan rekomendasi kepadamu,” ucap Vanilla seraya mengalihkan tatapan dari Aryan. Ia tidak sudi menatap wajah pria itu.
“Aku ingin beli di sini.” Langkah Aryan semakin merapat. “Kenapa kamu tiba-tiba membatalkan kerja sama dengan hotelku?”
“Aku tidak sanggup memenuhi permintaan yang terlalu banyak dari sana,” jawab Vanilla asal.
Langkah Aryan berhenti lalu memindai penampilan Vanilla yang cantik dengan rambut terurai bebas. Dress warna hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang putih membungkus tubuh sintal itu. Terlihat jika Vanilla sangat memperhatikan penampilan setelah melahirkan. Lemak tumbuh di bagian yang tepat dengan ukuran pas.
“Kamu tidak perlu memenuhi jumlahnya. Justru itu akan menjadikan produksi lebih eksklusif. Hanya bisa didapatkan dengan pre order,” terang Aryan.
“Tetap saja aku tidak bisa. Apa yang kamu inginkan, cepat katakan dan pergi,” ujar Vanilla.
Sorot mata Aryan menukik tajam. Wanita itu semakin dingin dan ketus. Ia semakin penasaran dengan alasan Vanilla yang terlihat sangat membencinya.
“Kenapa kamu seperti ini, Vanilla?”
Pertanyaan bodoh itu membuat Vanilla mendongakkan kepala dan membuat mereka saling bertatapan. “Memangnya kamu berharap aku bersikap seperti apa, Aryan?”
“Ya, biasa saja. Jangan terlalu ketus, seperti aku punya salah saja,” ucap Aryan enteng.
Aryan masih sama seperti dulu. Tidak pernah menyadari kesalahan yang sudah diperbuat. Bahkan ia tidak sadar jika menjadikan Vanilla taruhan itu adalah kesalahan yang besar.
Kaki Aryan semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka. Tubuh Vanilla terdorong hingga menempel pada tembok.
“Aryan, apa yang kamu lakukan!” Vanilla merendahkan suaranya sambil berulang kali menoleh ke arah tangga untuk memastikan Zayn tidak melihatnya.
“Kamu sekarang galak sekali, Vanilla. Semakin membuatku penasaran,” bisik Aryan yang membuat bulu kuduk Vanilla meremang seketika.
“Buang pikiran gila kamu, Aryan!”
“Kenapa? Karena kamu sudah punya anak dan suami?” Aryan terkekeh. “Bukan masalah besar.”
Vanilla mendorong tubuh Aryan. “Keluar dari sini, Aryan!”
“Baiklah baiklah. Kamu ini galak sekali, persis seperti anak kamu. Tidak punya sopan santun, dasar berandalan kecil.”
Melipatkan tangan di depan dada sambil mendesah jengah. Berandalan yang disebut oleh Aryan itu tidak lain adalah anaknya sendiri. Seorang putra yang mewarisi sebagian besar sifat berandalan dari Aryan.
“Jangan mengatai anakku. Cepat pergi!”
“Aku akan datang besok, dan besoknya lagi,” ucap Aryan sambil tersenyum.
“Kamu nggak punya pekerjaan apa?”
“Punya. Aku baru saja selesai meeting di The Heights hotel. Aku sebenarnya sibuk Vanilla, tetapi tetap ada waktu untuk kamu,” tutur Aryan sambil mengedipkan salah satu matanya. Lantas ia berjalan keluar dari toko.
Vanilla mengembuskan napas kasar sambil menyugar rambut frustrasi. Kenapa Aryan justru semakin mengusik hidupnya? Di saat pernikahan dengan Gavin tinggal menghitung bulan saja.
“Hah!” Vanilla mendesah sambil mengamati mobil sport Aryan yang melaju pergi.
Hidup Vanilla yang awalnya tenang kini kembali rumit dengan kedatangan Aryan.
“Ngapain bedebah itu datang kesini?” Suara Tante Lina terdengar bersamaan dengan lonceng pintu toko.
Vanilla terdiam. Ia duduk di sofa sambil menyugar rambutnya frustrasi.
“Dia tinggal di sini? Katakan Vanilla!” tanya Tante Lina.
Kepala Vanilla mengangguk sebagai jawaban. “Dia sekarang pemilik The Heights hotel.”
Tante Lina langsung duduk di samping Vanilla. Suara Zayn yang bernyanyi di lantai dua membuat Tante Lina mengusap pundak Vanilla. Ia sangat membenci sikap Aryan kepada Vanilla. Namun setiap melihat Zayn, maka pikiran lain muncul di benaknya.
“Kamu memberitahu Aryan mengenai Zayn?” tanya Tante Lina dengan suara lirih.
“Tentu saja nggak, Tante. Nggak akan pernah!” jawab Vanilla dengan nada penuh penekanan.
TO BE CONTINUED….
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus m
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa
Vanilla bersusah payah mengatur emosi yang bercokol hebat di dalam hati. Jemarinya meremas pinggiran dress bermotif floral yang melekuk tubuh. Sorot mata tajam dilemparkan pada Aryan.“Bukan,” jawab Vanilla dengan penuh keyakinan. “Zayn bukan putramu.”Setelah mendengar jawaban dari Vanilla, Aryan bernapas lega. Tidak dipungkiri, sedari tadi ada rasa sedikit takut mengenai dugaan yang muncul begitu saja dalam pikiran. Entah apa yang akan dilakukan Aryan jika benar Zayn adalah putranya.“Lalu anak siapa dia?” tanya Aryan lebih lanjut.“Itu bukan urusanmu, Aryan! Untuk apa kamu tahu/” jawab Vanilla tegas.“Oke, aku cuma mau tanya alasanmu meninggalkanku?” tanya Aryan penuh desakan.Melihat raut wajah Aryan yang tampak lega setelah mendengar jawabannya, Vanilla berdecak. Well, apa yang harus diharapkan dari pria brengsek seperti Aryan?“Untuk apa kamu tahu, Aryan? Tidak bisakah kita bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain?” Bibir merah jambu Vanilla berucap dengan tangan masih mere
Hantaman pintu terdengar cukup keras. Jantung Vanilla bergemuruh hebat diikuti deru napasnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir bawah dengan bibir yang bergetar. Tangis Vanilla tumpah di sela-sela gerakan dada yang naik turun. Kedua lutut Vanilla lemas, seolah tidak mampu menopang berat tubuh.Serentetan kalimat yang baru saja terucap untuk Aryan terasa mengiris batin. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan! Mengapa harus bertemu lagi dengan Aryan ketika hatinya mulai pulih?Air mata Vanilla terus mengalir tanpa jeda. Ia terduduk lemas di lantai sembari memeluk kedua lutut. Cinta yang pernah diberikan oleh Vanilla dengan tulus, ternyata hanya sebuah lelucon bagi Aryan. Vanilla bisa menebak bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan ketika menjadi topik pembicaraan para putra Aditama. Ia hanya seorang wanita bodoh yang terlihat menyedihkan.“A-aku sa-sangat membencimu, Ar-Aryan.” Napas Vanilla tersengal ke
“Mommy Zayn!” Suara wanita dengan Jumpsuit cokelat membungkus tubuh dihiasi obi belt warna hitam setengah berlari menghampiri Vanilla.“Mommy Claire, ada apa?” tanya Vanilla sambil menghaturkan senyuman tipis.Anna sedikit mengatur napasnya yang terengah. Sementara Zayn bersembunyi di balik tubuh Vanilla saat melihat Claire mendekat dengan sang ibu.“Zayn, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Anna dengan sekotak cokelat di tangan. Ia memerhatikan Zayn lalu melemparkan tatapan pada Vanilla. “Mom, aku mau minta maaf soal kejadian kemarin.”“Kemarin?” Vanilla masih tidak paham dengan maksud pembicaraan Anna.“Iya kemarin Claire tidak sengaja mendorong Zayn ke kolam. Aku benar-benar minta maaf, Mom.”Pengakuan Anna kontan membuat Vanilla sedikit terkejut lalu ia mengusap puncak kepala Zayn
Aryan merendahkan tubuhnya di balik kemudia seraya menggulirkan jemari pada layar iPad. Ia membuka undangan dari Chakko hotel Singapura yang akan meresmikan taman bermain dalam area hotel. Salah satu sudut bibir Aryan terangkat ke atas, sebab sudah lama menunggu hari itu datang. Setelah dua tahun proses pembangunan, taman bermain buah pikirannya itu bisa dibuka.Mematikan layar iPad lalu Aryan mengamati dengan seksama obyek yang sedari tadi menjadi incarannya itu. Hari ini Aryan memilih untuk melakukan zoom meeting di dalam mobil sambil mengamati Vanilla. Sesekali ia membenarkan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidung sambil menyembunyikan wajah jika Vanilla merasa dirinya sedang diamati. Aneh! Bagaimana bisa Aryan Aditama menjadi stalker?Well, keinginan tersebut muncul begitu saja di benak Aryan setelah mengunjungi The Heights dan memastikan pembangunan kafe di sana berjalan dengan baik.“Aku hanya penasa
“Oh jadi dia kekasih kamu setelah sama aku,” gumam Aryan yang diabaikan oleh Vanilla.Well, awalnya Vanilla mengira kisah asmara mereka nyata, tetapi ternyata pura-pura. Ia memberikan keseriusan, dan Aryan hanya menganggapnya sebagai permainan. Ah, terkadang lucu juga jalan hidup manusia yang penuh sandiwara ini.Mobil Aryan menepi dan masuk ke dalam pelataran villa yang lengang. Taman yang teduh dengan beberapa pohon mangga menyambut kedatangan mereka disertai embusan angin lembut.Setelah mobil berhenti, Vanilla langsung turun dan membuat Aryan menahan ucapannya.“Mau a—.” Aryan mendesah. Baru saja mau menawarkan bantuan, Vanilla sudah terjun dari mobil dengan pijakan tinggi itu dan membuka pintu kursi penumpang.Langkah Vanilla semakin memburu setelah memeriksa waktu pada arloji dengan strap yang dibuat dari tali makrame. Salah satu produk terbaru
Kaki Aryan mengayun terburu-buru sambil menjepit ponsel antara pipi dan pundak. Sementara tangan yang lain sedang melepaskan kancing lengan dan melipatnya hingga ke bagian siku. Ia baru saja selesai test food chef baru di The Heights hotel. Sebelum hotel itu menjadi milik Aditama grup, kerap sekali mendapatkan nilai rendah terkait kualitas makanannya. Sehingga Aryan harus ikut memastikan demi reputasi hotel dari Aditama grup.“Makan siang? Sekarang?” tanya Aryan pada Narendra yang berada di seberang telepon. “Ah, aku tidak bisa, sudah ada acara.”[“Kita sudah membicarakannya di grup kemarin. Kamu nggak baca?”]“Nggak. Aku tidak bisa sekarang, sampaikan pada yang lainnya. Oke.” Panggilan mereka terputus, Aryan yang melakukan.Segera ia melajukan mercedes jeep-nya untuk menjemput Zayn. Sesekali Aryan melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan, sebab tidak ingin terlambat menjemput sang putra.
Kaki Vanilla menghentak di tempat seraya meremas handle paper bag di tangan. Padahal ia hanya menemui Mama Gavin, tetapi rasa gugup langsung menyerang. Well, sejak dulu memang hubungan Vanilla dan Suci tidak begitu baik.Sesekali Vanilla melirik waktu pada arloji dengan strap tali makrame di pergelangan tangan. Sudah hampir 45 menit Suci membiarkan Vanilla menunggu di ruang tamu. Suara gelak tawa terdengar dari dalam rumah. Sepertinya Suci sedang aku bercengkrama dengan seseorang. Entah siapa, Vanilla tidak bisa menerka.“Eh, Vanilla. Udah lama nunggu?” Suci berjalan mendekat sambil melepaskan apron yang dipenuhi serpihan tepung di beberapa bagian. Lalu duduk di sofa berhadapan dengan Vanilla.“Baru aja, Tante,” jawab Vanilla berdusta. Bokongnya sudah cukup panas untuk menunggu Suci. Pun segelas minuman tidak dihidangkan untuk membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering.“Ada apa?” Suci bertanya tanpa basa-ba
Bab 28[“Iya, sepertinya aku akan pulang lebih lama dari perkiraan. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di sini.”]“Nggak apa-apa, hati-hati ya. Oh ya, soal seragam keluarga kamu, aku udah minta saran sama Tante Suci.”[“Kamu urus aja semuanya, Van. Aku yakin pilihan kamu bagus dan pas buat keluarga aku. Nggak perlu tanya sama Mama.”]Vanilla terdiam. Ini bukan mengenai pintar memilih atau tidak. Namun, Vanilla ingin ibu Gavin juga ikut serta menyumbangkan pendapat mengenai seragam yang akan dikenakan pada hari spesial itu. Sikap ibu Gavin bukan seperti mempercayakan semua hal kepada Vanilla, tetapi lebih ke tidak peduli.“Aku akan bawa beberapa contoh ke rumah kamu.”[“Vanilla, kamu langsung pilih aja.”]“Nggak bisa gitu dong, Vin. Bukan aku yang mau pakai, setidaknya aku minta saran sama Mama kamu.”[“Mama udah percaya sama kam
Bab 27Tidak lama Aryan mengecup bibir Vanilla. Ia melepaskannya sambil menerka rasa tidak karuan yang bergemuruh di dalam dada. Iris Aryan meneliti wajah Vanilla yang terpejam. Sesekali ia melemparkan tatapan pada Zayn yang tertidur di kursi penumpang. Anak itu seolah memberikan kesempatan pada ayah dan ibunya untuk memadu kasih. Sangat tenang dan tidak terganggu dengan obrolan serius mereka.Permukaan bibir Vanilla basah. Ia ingin merutuki diri sendiri karena sempat menuntut gerakan Aryan yang lebih dari sekedar kecupan.“Gila! Hentikan kegilaan ini Vanila!” Bersamaan dengan peringatan dari otaknya, Vanilla membuka mata lalu mendorong tubuh Aryan untuk menjauh.“Hentikan sikap mesum mu itu Aryan!” pekik Vanilla yang membuat Zayn menggeliat pelan lalu kembali terlelap. Mungkin bocah itu sedikit terusik dengan suara keras sang ibu.“Aku tidak mesum, hanya ingin memastikan perasaanku,” ucap Aryan seolah enggan mengalihkan perhatian dari rupa Vanilla. Jantung Aryan masih berdebar dengan
Ayunan kaki Vanilla semakin memburu ketika suara Aryan menyeruak dari balik ponsel. Sesekali ia menoleh untuk memastikan jika tidak ada yang mencuri dengar.“Aryan! Apa-apaan kamu!” seru Vanilla dengan mempertahankan intonasi agar tidak terlayani menarik perhatian Zayn atau Tante Lusi.[“Apa?”]“Aku bisa beliin kebutuhan Zayn. Kamu nggak perlu repot. Dia itu anakku.”[“Aku tahu, Van. Dia juga anakku.”]“Aku nggak butuh uang kamu. Stop beliin barang ke Zayn!”[“Vanilla, aku beli hadiah buat Zayn bukan kamu. Tap
Mengikuti arah mata Vanilla, Aryan ikut melihat pada telapak tangan yang semula sudah terbalut perban dan mengeluarkan warna merah dari sana. Hingga menetes dan meninggalkan jejak pada lantai kayu Vanilla.“Kok bisa? Kenapa tadi?” Sontak Vanilla segera meraih tangan Aryan lantas membuka satu persatu laci pada meja untuk mencari kotak obat. Sebab panik, Vanilla jadi lupa dimana meletakkan kotak yang berisi obat-obatan lengkap itu.Sementara netra Aryan mengikuti arah gerak Vanilla dan tidak terganggu dengan rasa nyeri yang terasa di seluruh telapak tangan. Ia hanya bergeming ketika Vanilla menarik tangannya dan meminta untuk duduk.“Duduk,” pinta Vanilla yang diikuti dengan patuh oleh Aryan.
“Have fun ya, Sayang.” Vanilla merapikan kerah batik Zayn dengan warna dasar biru dipadukan motif kuning keemasan. “Mommy akan jemput tepat waktu. Oke.” Jemari Vanilla menyisir rambut pendek Zayn.“Oke Mommy.” Tanpa permisi Zayn lantas mengecup pipi sang ibu. Hal tersebut membuat Vanilla tersenyum lebar. “Sayang Mommy.”“Really?”“Of course. Mommy sebesar apa?”Zayn mengetuk pelipisnya lalu merentangkan tangannya lebar. “Sebesar ini. So many many.
Sikap Aryan yang masih terdiam dengan kedua tangan menopang di atas paha, membuat Vanilla tidak bisa berhenti memprovokasinya. Aryan yang terlihat kuat tidak terkalahkan sekarang tampak tidak berdaya. Ia berulang kali menyugar rambut frustrasi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak berniat masuk dalam keluarga Aditama dan menghambatmu menjadi penerus bisnis keluargamu,” terang Vanilla tanpa ragu.Aryan menoleh pas Vanilla yang duduk di ujung kursi. Ada jarak cukup lebar di antara tempat duduk mereka.“Kamu bisa berpikir sejauh itu?” tanya Aryan dengan dahi yang berkerut. Ia memang brengsek, tetapi apakah sebrengsek itu?“Tentu saja. Aku sekarang bisa berpikir san
Jakun Aryan naik turun setelah membaca hasil tes Dna yang masih setia menunjukkan angka probability 99,999 persen. Rungu Aryan seolah tuli dengan panggilan dari Tino yang memberitahu jika sebentar lagi mereka akan mendarat di Changi Airport. Pikiran Aryan melanglang buana ke empat tahun silam. Ia kembali mengorek memori saat Vanilla pergi tanpa pamit dari apartemennya. Ternyata wanita itu pergi dengan janin yang sekarang tumbuh menjadi bocah berusia 4 tahun. “Tuan muda.” Panggilan dari Tino tidak juga menyadarkan Aryan dari lamunan. “Tuan, kita sudah sampai.” Dengan kedua mata nanar, Aryan menoleh pada Tino dan bersusah payah menggerakkan lidahnya. “Kita kembali.”“Ma-maaf, Tuan. Kembali? Maksudnya ke Bali?” Tino kembali menegaskan. Pun ia menggosok telinga berulang untuk memastikan jika rungunya masih berfungsi dengan benar. “Right now, Tino!” (Sekarang) Tangan Aryan mengepal kuat diikuti otot pelipis yang tercetak jelas. Kedua bagian giginya saling beradu hingga terdengar suara g