Beranda / CEO / CEO adalah Maut / Ayah Zayn yg sebenarnya

Share

Ayah Zayn yg sebenarnya

Penulis: LoVelly09
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-02 20:00:03

Aryan merendahkan tubuhnya di balik kemudia seraya menggulirkan jemari pada layar iPad. Ia membuka undangan dari Chakko hotel Singapura yang akan meresmikan taman bermain dalam area hotel. Salah satu sudut bibir Aryan terangkat ke atas, sebab sudah lama menunggu hari itu datang. Setelah dua tahun proses pembangunan, taman bermain buah pikirannya itu bisa dibuka.

Mematikan layar iPad lalu Aryan mengamati dengan seksama obyek yang sedari tadi menjadi incarannya itu. Hari ini Aryan memilih untuk melakukan zoom meeting di dalam mobil sambil mengamati Vanilla. Sesekali ia membenarkan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidung sambil menyembunyikan wajah jika Vanilla merasa dirinya sedang diamati. Aneh! Bagaimana bisa Aryan Aditama menjadi stalker?

Well, keinginan tersebut muncul begitu saja di benak Aryan setelah mengunjungi The Heights dan memastikan pembangunan kafe di sana berjalan dengan baik.

“Aku hanya penasa

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • CEO adalah Maut    Wanita yang menggemaskan

    “Oh jadi dia kekasih kamu setelah sama aku,” gumam Aryan yang diabaikan oleh Vanilla.Well, awalnya Vanilla mengira kisah asmara mereka nyata, tetapi ternyata pura-pura. Ia memberikan keseriusan, dan Aryan hanya menganggapnya sebagai permainan. Ah, terkadang lucu juga jalan hidup manusia yang penuh sandiwara ini.Mobil Aryan menepi dan masuk ke dalam pelataran villa yang lengang. Taman yang teduh dengan beberapa pohon mangga menyambut kedatangan mereka disertai embusan angin lembut.Setelah mobil berhenti, Vanilla langsung turun dan membuat Aryan menahan ucapannya.“Mau a—.” Aryan mendesah. Baru saja mau menawarkan bantuan, Vanilla sudah terjun dari mobil dengan pijakan tinggi itu dan membuka pintu kursi penumpang.Langkah Vanilla semakin memburu setelah memeriksa waktu pada arloji dengan strap yang dibuat dari tali makrame. Salah satu produk terbaru

  • CEO adalah Maut    Cemburu

    Saat merasakan pergerakan tangan Aryan yang menyentuh dagunya, Vanilla menggeliat karena terusik. Kontan ia menampar tangan Aryan dengan kencang. Hingga membuat Aryan terkesiap.“Ngapain kamu!” seru Vanilla ketus.Tangan Aryan terlempar hingga membentur dashboard mobil. Suara benturannya terdengar cukup keras. Aryan mengernyitkan dahi sambil meringis untuk menahan rasa sakit.“Kamu kasar banget sih, Van.” Aryan mengibaskan tangannya sebab rasa panas yang mulai menyelimuti. Ia masih mengernyit sambil sesekali melirik pada pribadi Vanilla dari ekor mata.“Lagian kamu ngapain sih!” Vanilla memundurkan posisi duduk dan berusaha menghindar dari sentuhan Aryan. Ia tidak mau sifat buas Aryan kembali lagi dan membuat Zayn memiliki adik dalam waktu dekat.Astaga Vanilla! Apa yang kamu pikirkan!Kepala Vanilla menggeleng samar karena pikiran aneh yang mendadak muncul di kepala. Well, Vanilla tidak bisa menampik sifat liar Aryan yang bisa tiba-tiba merobohkan dinding pertahanannya.“Aku nggak ng

  • CEO adalah Maut    Hari Ayah bersama Zayn

    “Ngapain kamu kesini?” tanya Gavin tidak mau berbasa-basi.“Ada larangan? Ini tempat umum, siapa saja bisa berkunjung jika mau,” jawab Aryan sangat tenang. Ia sama sekali terintimidasi tatapan Gavin yang tajam seperti predator yang ingin menerkam mangsanya.Gavin terkekeh lalu melipatkan tangan di depan dada. “Tidak ada larangan memang, tetapi sedikit mengejutkan bertemu dengan Aryan Aditama di pre primary school seperti ini.” Gavin menjeda ucapannya sambil memutar bola matanya ke area sekolah dengan halaman yang lega dan banyak permainan untuk anak kindergarten. “Kalau di klub baru tidak mengejutkan.”“Kamu akan mulai terbiasa,” jawab Aryan dengan senyuman miring. Baru melangkah, Aryan berhenti tepat di sisi Gavin. “Kamu sebaiknya menjaga Vanilla sebelum jatuh ke pelukanku.”“Kenapa baru

  • CEO adalah Maut    Rahasia Aryan yg terbongkar

    Sorakan para penonton yang terdiri dari ayah dan anak di Rainbow playgroup and pre primary school memenuhi ruangan yang memiliki dinding kaca itu. Kursi ditata berhadapan dan membuat celah di bagian tengah yang digunakan untuk lomba kekompakan ayah dan anak.Zayn duduk di pundak Aryan lengkap dengan kostum Batman dan topengnya. Di tangan Zayn sudah ada bola berukuran sedang yang harus dimasukkan ke dalam tong besar di ujung ruangan. Sementara Aryan sudah siap untuk berlari dengan kedua mata tertuju pada target.“Are you ready, Boy?” tanya Aryan sambil menoleh ke Zayn.“Ready!” jawab Zayn semangat. “Om, sorry. Bolehkah aku pegangan di rambut Om? Soalnya kata Mommy itu nggak sopan, so i must get permission first.” (Jadi, aku harus dapat izin terlebih dahulu)Aryan terkekeh. “Of course!

  • CEO adalah Maut    French Kiss

    Kedua mata Zayn yang basah masih melihat ke arah Aryan. Ia berjalan dengan tangan yang digandeng oleh Gavin. Lalu Vanilla membuntuti mereka.Aryan hanya bisa mendesah dengan piala di tangan kiri serta helaian rambut Zayn yang sudah terbungkus rapi dengan tisu. Ia harus mendapatkan jawaban dari serentetan pertanyaan yang beberapa hari ini bergumul hebat di dalam pikiran.Kaki Aryan mengayun pelan menuju ke dalam mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa itu. Ia meletakkan pelan piala tersebut di kursi samping kemudi lalu merogoh saku dalam.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Aryan untuk mendapatkan jawaban dari si penerima telepon. Suara Tino langsung menyeruak di rungu Aryan.[“Ya, Tuan muda. Ada lagi yang bisa saya bantu?”]Suara siaga dari Tino membuat Aryan melemparkan punggung di sandaran kursi belakang kemudi. “Ada yang harus kam

  • CEO adalah Maut    Aryan cemburu

    Aryan Aditama selalu memiliki cara untuk melancarkan rencananya. Well, seperti hari ini. Aryan datang ke Rainbow pre primary school untuk menjadi salah satu donatur tetap sekolah berstandar internasional tersebut. Itu hanyalah salah satu alasan Aryan agar bisa berjumpa dengan Zayn. Tentu saja ia tidak bisa secara terang-terangan minta izin pada Vanilla. Membayangkan raut marah Vanilla yang mirip dengan Leona membuat Aryan sedikit bergidik ngeri.“Terima kasih banyak, Pak Aryan,” ucap seorang wanita dengan rambut sasakan cukup tinggi dengan senyuman semringahnya.“Sama-sama, Bu. Saya sangat senang bisa menjadi bagian dari sekolah ini,” terang Aryan yang ikut mengulas senyuman untuk Sharmila, kepala yayasan Rainbow school.“Kami tidak hanya mengelola Rainbow pre primary school saja, tetapi juga Rainbow special needs school. Semua anak luar biasa dari kalangan manapun kami rawat dengan sepe

  • CEO adalah Maut    Cinta Gavin untuk Vanilla

    Salah satu tangan Gavin meremas pinggang ramping Vanilla. Sementara tangan yang lain mengelus lembut pipinya sambil terus memberikan lumatan dalam penuh tuntutan. Pun Vanilla menyambut kecupan dari Gavin dengan sangat mahir hingga semakin membuat milik pria itu mengeras. Tidak bisa menahan gelora panas yang semakin menguasai diri, Gavin menggendong Vanilla di pinggang tanpa ingin melepaskan tautan bibir mereka. Kakinya mengayun pelan menuju ke kamar Vanilla yang terletak tidak jauh dari balkon lantai dua. Mereka masih saling menyapukan lidah satu sama lain. Dalam benak Vanilla hanya terbesit satu hal. Ia harus membuat Aryan sadar diri dan pergi menjauh. Jemari Gavin dengan nakal mulai menyingkap dress yang melekuk tubuh Vanilla setelah menjatuhkannya di atas ranjang. Ia bergerak dengan buru-buru untuk membuka satu per satu kancing dan melihat betapa mulus kulit porcelain di balik dress tersebut. Namun, gerakan jemari Gavin terhenti saat Vanilla melepaskan ciuman dan membuka kedua ma

  • CEO adalah Maut    Hasil Tes DNA

    Jakun Aryan naik turun setelah membaca hasil tes Dna yang masih setia menunjukkan angka probability 99,999 persen. Rungu Aryan seolah tuli dengan panggilan dari Tino yang memberitahu jika sebentar lagi mereka akan mendarat di Changi Airport. Pikiran Aryan melanglang buana ke empat tahun silam. Ia kembali mengorek memori saat Vanilla pergi tanpa pamit dari apartemennya. Ternyata wanita itu pergi dengan janin yang sekarang tumbuh menjadi bocah berusia 4 tahun. “Tuan muda.” Panggilan dari Tino tidak juga menyadarkan Aryan dari lamunan. “Tuan, kita sudah sampai.” Dengan kedua mata nanar, Aryan menoleh pada Tino dan bersusah payah menggerakkan lidahnya. “Kita kembali.”“Ma-maaf, Tuan. Kembali? Maksudnya ke Bali?” Tino kembali menegaskan. Pun ia menggosok telinga berulang untuk memastikan jika rungunya masih berfungsi dengan benar. “Right now, Tino!” (Sekarang) Tangan Aryan mengepal kuat diikuti otot pelipis yang tercetak jelas. Kedua bagian giginya saling beradu hingga terdengar suara g

Bab terbaru

  • CEO adalah Maut    BAB 30 - Ketakutan Aryan

    Kaki Aryan mengayun terburu-buru sambil menjepit ponsel antara pipi dan pundak. Sementara tangan yang lain sedang melepaskan kancing lengan dan melipatnya hingga ke bagian siku. Ia baru saja selesai test food chef baru di The Heights hotel. Sebelum hotel itu menjadi milik Aditama grup, kerap sekali mendapatkan nilai rendah terkait kualitas makanannya. Sehingga Aryan harus ikut memastikan demi reputasi hotel dari Aditama grup.“Makan siang? Sekarang?” tanya Aryan pada Narendra yang berada di seberang telepon. “Ah, aku tidak bisa, sudah ada acara.”[“Kita sudah membicarakannya di grup kemarin. Kamu nggak baca?”]“Nggak. Aku tidak bisa sekarang, sampaikan pada yang lainnya. Oke.” Panggilan mereka terputus, Aryan yang melakukan.Segera ia melajukan mercedes jeep-nya untuk menjemput Zayn. Sesekali Aryan melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan, sebab tidak ingin terlambat menjemput sang putra.

  • CEO adalah Maut    BAB 29 - Berusaha berdamai

    Kaki Vanilla menghentak di tempat seraya meremas handle paper bag di tangan. Padahal ia hanya menemui Mama Gavin, tetapi rasa gugup langsung menyerang. Well, sejak dulu memang hubungan Vanilla dan Suci tidak begitu baik.Sesekali Vanilla melirik waktu pada arloji dengan strap tali makrame di pergelangan tangan. Sudah hampir 45 menit Suci membiarkan Vanilla menunggu di ruang tamu. Suara gelak tawa terdengar dari dalam rumah. Sepertinya Suci sedang aku bercengkrama dengan seseorang. Entah siapa, Vanilla tidak bisa menerka.“Eh, Vanilla. Udah lama nunggu?” Suci berjalan mendekat sambil melepaskan apron yang dipenuhi serpihan tepung di beberapa bagian. Lalu duduk di sofa berhadapan dengan Vanilla.“Baru aja, Tante,” jawab Vanilla berdusta. Bokongnya sudah cukup panas untuk menunggu Suci. Pun segelas minuman tidak dihidangkan untuk membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering.“Ada apa?” Suci bertanya tanpa basa-ba

  • CEO adalah Maut    BAB 28 - Terhubung masa lalu

    Bab 28[“Iya, sepertinya aku akan pulang lebih lama dari perkiraan. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di sini.”]“Nggak apa-apa, hati-hati ya. Oh ya, soal seragam keluarga kamu, aku udah minta saran sama Tante Suci.”[“Kamu urus aja semuanya, Van. Aku yakin pilihan kamu bagus dan pas buat keluarga aku. Nggak perlu tanya sama Mama.”]Vanilla terdiam. Ini bukan mengenai pintar memilih atau tidak. Namun, Vanilla ingin ibu Gavin juga ikut serta menyumbangkan pendapat mengenai seragam yang akan dikenakan pada hari spesial itu. Sikap ibu Gavin bukan seperti mempercayakan semua hal kepada Vanilla, tetapi lebih ke tidak peduli.“Aku akan bawa beberapa contoh ke rumah kamu.”[“Vanilla, kamu langsung pilih aja.”]“Nggak bisa gitu dong, Vin. Bukan aku yang mau pakai, setidaknya aku minta saran sama Mama kamu.”[“Mama udah percaya sama kam

  • CEO adalah Maut    BAB 27 - Cinta atau tanggung jawaab?

    Bab 27Tidak lama Aryan mengecup bibir Vanilla. Ia melepaskannya sambil menerka rasa tidak karuan yang bergemuruh di dalam dada. Iris Aryan meneliti wajah Vanilla yang terpejam. Sesekali ia melemparkan tatapan pada Zayn yang tertidur di kursi penumpang. Anak itu seolah memberikan kesempatan pada ayah dan ibunya untuk memadu kasih. Sangat tenang dan tidak terganggu dengan obrolan serius mereka.Permukaan bibir Vanilla basah. Ia ingin merutuki diri sendiri karena sempat menuntut gerakan Aryan yang lebih dari sekedar kecupan.“Gila! Hentikan kegilaan ini Vanila!” Bersamaan dengan peringatan dari otaknya, Vanilla membuka mata lalu mendorong tubuh Aryan untuk menjauh.“Hentikan sikap mesum mu itu Aryan!” pekik Vanilla yang membuat Zayn menggeliat pelan lalu kembali terlelap. Mungkin bocah itu sedikit terusik dengan suara keras sang ibu.“Aku tidak mesum, hanya ingin memastikan perasaanku,” ucap Aryan seolah enggan mengalihkan perhatian dari rupa Vanilla. Jantung Aryan masih berdebar dengan

  • CEO adalah Maut    Keraguan

    Ayunan kaki Vanilla semakin memburu ketika suara Aryan menyeruak dari balik ponsel. Sesekali ia menoleh untuk memastikan jika tidak ada yang mencuri dengar.“Aryan! Apa-apaan kamu!” seru Vanilla dengan mempertahankan intonasi agar tidak terlayani menarik perhatian Zayn atau Tante Lusi.[“Apa?”]“Aku bisa beliin kebutuhan Zayn. Kamu nggak perlu repot. Dia itu anakku.”[“Aku tahu, Van. Dia juga anakku.”]“Aku nggak butuh uang kamu. Stop beliin barang ke Zayn!”[“Vanilla, aku beli hadiah buat Zayn bukan kamu. Tap

  • CEO adalah Maut    Tidak ada kesempatan kedua

    Mengikuti arah mata Vanilla, Aryan ikut melihat pada telapak tangan yang semula sudah terbalut perban dan mengeluarkan warna merah dari sana. Hingga menetes dan meninggalkan jejak pada lantai kayu Vanilla.“Kok bisa? Kenapa tadi?” Sontak Vanilla segera meraih tangan Aryan lantas membuka satu persatu laci pada meja untuk mencari kotak obat. Sebab panik, Vanilla jadi lupa dimana meletakkan kotak yang berisi obat-obatan lengkap itu.Sementara netra Aryan mengikuti arah gerak Vanilla dan tidak terganggu dengan rasa nyeri yang terasa di seluruh telapak tangan. Ia hanya bergeming ketika Vanilla menarik tangannya dan meminta untuk duduk.“Duduk,” pinta Vanilla yang diikuti dengan patuh oleh Aryan.

  • CEO adalah Maut    Menjadi ayah yang baik

    “Have fun ya, Sayang.” Vanilla merapikan kerah batik Zayn dengan warna dasar biru dipadukan motif kuning keemasan. “Mommy akan jemput tepat waktu. Oke.” Jemari Vanilla menyisir rambut pendek Zayn.“Oke Mommy.” Tanpa permisi Zayn lantas mengecup pipi sang ibu. Hal tersebut membuat Vanilla tersenyum lebar. “Sayang Mommy.”“Really?”“Of course. Mommy sebesar apa?”Zayn mengetuk pelipisnya lalu merentangkan tangannya lebar. “Sebesar ini. So many many.

  • CEO adalah Maut    Ayah Zayn yang sebenarnya

    Sikap Aryan yang masih terdiam dengan kedua tangan menopang di atas paha, membuat Vanilla tidak bisa berhenti memprovokasinya. Aryan yang terlihat kuat tidak terkalahkan sekarang tampak tidak berdaya. Ia berulang kali menyugar rambut frustrasi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak berniat masuk dalam keluarga Aditama dan menghambatmu menjadi penerus bisnis keluargamu,” terang Vanilla tanpa ragu.Aryan menoleh pas Vanilla yang duduk di ujung kursi. Ada jarak cukup lebar di antara tempat duduk mereka.“Kamu bisa berpikir sejauh itu?” tanya Aryan dengan dahi yang berkerut. Ia memang brengsek, tetapi apakah sebrengsek itu?“Tentu saja. Aku sekarang bisa berpikir san

  • CEO adalah Maut    Hasil Tes DNA

    Jakun Aryan naik turun setelah membaca hasil tes Dna yang masih setia menunjukkan angka probability 99,999 persen. Rungu Aryan seolah tuli dengan panggilan dari Tino yang memberitahu jika sebentar lagi mereka akan mendarat di Changi Airport. Pikiran Aryan melanglang buana ke empat tahun silam. Ia kembali mengorek memori saat Vanilla pergi tanpa pamit dari apartemennya. Ternyata wanita itu pergi dengan janin yang sekarang tumbuh menjadi bocah berusia 4 tahun. “Tuan muda.” Panggilan dari Tino tidak juga menyadarkan Aryan dari lamunan. “Tuan, kita sudah sampai.” Dengan kedua mata nanar, Aryan menoleh pada Tino dan bersusah payah menggerakkan lidahnya. “Kita kembali.”“Ma-maaf, Tuan. Kembali? Maksudnya ke Bali?” Tino kembali menegaskan. Pun ia menggosok telinga berulang untuk memastikan jika rungunya masih berfungsi dengan benar. “Right now, Tino!” (Sekarang) Tangan Aryan mengepal kuat diikuti otot pelipis yang tercetak jelas. Kedua bagian giginya saling beradu hingga terdengar suara g

DMCA.com Protection Status