Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.
Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”
Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.
“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.
“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus menyesuaikan dengan waktu senggangku. Kamu saja yang temui dia,” ucap Aryan sambil meneguk minuman dinginnya. Sesekali ia melirik waktu pada arloji limited edition yang melingkar di pergelangan tangan.
“Baiklah kalau begitu, Pak. Saya akan sampaikan semua permintaan Pak Aryan,” jelas Daniel yang sudah mencatat semua kemauan Aryan sejak satu jam yang lalu.
Kesan pertama yang didapatkan Daniel ketika bertemu Aryan langsung terhapus setelah mereka duduk bersama dan membicarakan soal bisnis. Aryan yang terlihat slengekan bisa sangat serius ketika membahas perkembangan hotel. Gen bisnis dominan Aditama sangat kentara pada diri Aryan.
“Ehm, aku mau ada makrame yang mengisi toko Souvenir hotel. Aku perhatikan penjualannya laku keras,” ujar Aryan dengan santai.
“Saya sedang mencari penggantinya, Pak. Penjualan makrame sejauh ini cukup banyak dan memang menguntungkan.”
Salah satu alis Aryan terangkat ke atas, “pakai produsen yang lama. Pengunjung sudah tahu ciri khas makrame yang kita jual.”
Ucapan sok tahu Aryan keluar begitu saja. Well, ia tidak tahu terlalu banyak tentang makrame. Sekilas kerajinan tali itu terlihat sama, Aryan hanya ingin Vanila kembali mengisi produk itu di hotelnya. Meskipun galak, tetapi melihat Vanilla seperti menaikkan hormon serotonin Aryan.
“Maksud Pak Aryan, dari Vanilla? Pemilik Lovely handycraft?” Daniel memperjelas.
Aryan menaikkan kedua bahunya. “Aku bahkan tidak tahu siapa produsennya. Aku hanya melihat keuntungan di sana, jadi kamu harus berusaha membuatnya kembali ke sini.”
“Saya usahakan, Pak Aryan,” jawab Daniel pasrah.
“Oke, aku harus pergi.” Aryan bangkit dari duduknya setelah meneguk sisa minumannya hingga tandas.
Sepatu boots bersol tebal Aryan terus menghentak lantai menuju ke Jeep Mercedes-nya. Ia lantas menghidupkan mesin dan membelah jalanan Badung dengan kecepatan cukup tinggi.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Aryan untuk tiba di tempat tujuan. Ia mengayunkan kaki untuk turun dari mobil dan duduk di kap mobil sambil menyalakan rokoknya.
“Tuan muda sudah menunggu lama?” Suara berat sedikit terengah membuat Aryan menoleh sekilas, lalu menghisap penuh nikotin di jepitan jari telunjuk dan tengah.
Pria bertopi itu merapatkan langkah untuk mendekat pada Aryan. Sementara Aryan masih menikmati batang rokok yang jarang disentuh itu. Well, dibandingkan rokok, Aryan lebih menyukai alkohol. Ia hanya akan merokok jika ingin saja.
“Ini informasi yang Tuan muda minta kemarin kepada saya,” ucap Tino sambil mengulurkan iPad kepada Aryan. Pria yang sudah mengabdi pada keluarga Aditama sejak remaja itu merangkum semua informasi dalam layar 10 inci di genggaman.
“Katakan saja apa yang kamu dapatkan,” ucap Aryan seraya menyemburkan asap rokok ke udara. Hamparan air laut menjadi pemandangan sejauh Aryan menyapukan kedua mata ke sepanjang penjuru.
“Dia pindah ke Bali sejak 4 tahun yang lalu, dan tinggal bersama Tantenya. Mereka melanjutkan bisnis mebel mendiang orang tua Vanilla.” Tino menjeda ucapannya sebentar sambil memerhatikan ekspresi Aryan. “Kemudian setelah tiga bulan tinggal di Bali, dia membuka bisnis makrame.”
“Ada informasi yang lebih penting?” tanya Aryan.
Tino meneguk saliva. Ia cukup sulit mencari informasi mengenai Vanilla yang hanya memposting tiga foto di media sosial. Satu foto bersama dengan Zayn, lalu potret toko makrame dan swafoto bersama Tante Lina. Sementara akun media sosial yang lain hanya berisi promo kerajinan makrame saja. Namun, semenjak bekerja dengan Aditama, Tino bisa mencari segala informasi tersembunyi. Meskipun itu bersarang di lubang semut sekalipun.
“Dia memiliki anak yang akan berusia 4 tahun besok. Lalu empat bulan lagi, akan menikah dengan kekasihnya,” terang Tino.
Mendengar penjelasan dari Tino, Aryan menghentikan kegiatan menghisap nikotin dan melindas rokok yang masih tersisa separuh.
“Kekasih? Jadi Vanilla belum menikah?” tanya Aryan sambil menoleh ingin tahu.
“Belum, Tuan muda.”
“Apa dia janda? Sudah menikah tetapi suaminya meninggal atau pergi gitu?” selidik Aryan.
“Dia belum pernah menikah, Tuan muda,” jelas Tino yang memaksa Aryan untuk membuat praduga tentang ayah Zayn.
Ah! Mungkin saja memang pria yang mau dinikahi Vanilla adalah ayah dari berandalan kecil itu. Atau Vanilla hamil dengan pria lain kemudian dicampakkan?
Beberapa spekulasi muncul di benak Aryan. Lalu ia kembali menoleh pada Tino. “Kamu bilang besok anaknya berulang tahun?”
“Iya, Tuan. Ulang tahun yang keempat. Acaranya akan diadakan di rumah jam 3 sore. Saya juga sudah mendapatkan alamat wanita itu,” Tino merogoh saku jaket kemudian memberikan secarik kertas kepada Aryan.
Kepala Aryan mengangguk pelan ketika membaca alamat yang tertulis di potongan kertas itu. Ternyata tempat tinggal Vanilla tidak terlalu jauh dari Blue Sapphire.
“Belikan kado yang cocok untuk anak usia 4 tahun,” perintah Aryan kepada Tino.
“Baik, Tuan muda. Apa yang harus saya beli, mobil remote kontrol atau robot?” Tino meminta pendapat Aryan.
Kening Aryan mengernyit lalu menjawab spontan, “belikan saja topeng singa.”
“To-topeng singa?” Tino memastikan kembali.
“Kenapa? Anak-anak lebih suka terlihat keren dibandingkan memiliki mainan canggih,” jelas Aryan. “Ah, tambahkan topeng iron Man.”
“Baik, Tuan muda.”
***
Dekorasi sederhana dengan warna biru mendominasi taman belakang rumah Vanilla. Bola warna-warni tampak menghiasi permukaan kolam renang. Beberapa karakter superhero tertata apik di sepanjang pinggiran kolam. Pun teman-teman Zayn yang datang mengenakan kostum pahlawan pilihan mereka.
Netra Aryan mengedar ke sekeliling dengan paper bag besar di tangan. Lantas ia meletakkan hadiah untuk Zayn di meja yang sudah dipenuhi kado lainnya.
“Zayn kamu jahat!” Seorang anak berusia 6 tahun berlari sambil menangis. Ia melewati Aryan dan menuju ke kerumunan ibu-ibu sosialita dengan kostum pahlawan yang sudah dimodifikasi.
“Hah! Kenapa semua wanita itu.” Helaan napas Zayn menyita atensi Aryan. Bocah itu menggelengkan kepala lalu duduk di salah satu kursi malas yang berjejer rapi. Ia melepaskan topeng Batman-nya ke atas kepala.
“Apa yang kamu lakukan sampai membuatnya menangis?” tanya Aryan berdiri di hadapan Zayn.
Kepala Zayn mendongak dan memindai wajah Aryan. Ingatan Zayn sangat bagus sehingga tidak melupakan pertemuan pertamanya bersama Aryan. “Ah! Om stranger people.”
“I’m not stranger people. (Aku bukan orang asing) Om ini temannya Mama kamu,” jelas Aryan sambil merubah posisi menjadi jongkok.
“Really?” (Sungguh) Zayn tampak memerhatikan paras Aryan dengan seksama. “Tapi orang asing juga sering berkata begitu kalau mau nyulik anak kecil.”
Aryan memutar kedua bola matanya sambil mendesah. Memangnya penampilan Aryan seperti penculik apa? Kaus hitam dipadukan dengan leather jacket, celana jeans dan sepatu boots warna hitam menghiasi penampilan Aryan kali ini. Well, meskipun begitu ia mengendarai Mercedes dengan harga milyaran. Memangnya ada penculik seperti itu selain di film?
“Kamu bisa tanya sama Mamamu nanti,” ujar Aryan.
“Ehm, baiklah,” ucap Zayn sekenanya.
“Katakan, kenapa kamu membuat wanita itu menangis?” tanya Aryan masih penasaran.
“Aku bilang tidak menyukainya, lalu dia menangis.” Zayn menoleh ke arah bocah perempuan yang sedang terisak sambil mengadu kepada ibunya. “Dia itu manja dan suka menangis.”
Aryan ikut menoleh pada bocah berambut blonde itu. Lalu terkekeh. Sekilas pribadi Zayn mengingatkan Aryan pada masa kecilnya. Dulu ia juga sempat menolak seorang wanita, lalu berakhir dengan kepala benjol karena pukulan.
“Kamu ini ternyata cukup populer ya?” ujar Aryan sambil mengulum senyum.
“Begitulah,” jawab Zayn dengan wajah sok. Persis seperti Aryan.
“Zayn!” Suara Vanilla yang berseru membuat Aryan dan Zayn menoleh secara bersamaan.
Vanilla setengah berlari menghampiri mereka dengan balutan kostum Wonder Woman yang sedikit seksi.
“Mommy! Aku lagi ngobrol sama temen Mommy,” celetuk Zayn.
“Aryan, ngapain kamu?” Vanilla sedikit merendahkan intonasi dan menahan amarah. Ia tidak ingin merusak suasana ulang tahun sang putra.
“Menghadiri acara ulang tahun Zayn tentu saja.” Aryan berdiri lalu menundukkan kepala pada Zayn. “Oh ya, Om juga membawa hadiah untukmu. Sesuatu yang pasti kamu sukai.”
“Benarkah? Apa itu?” Mata Zayn yang bulat mendongak pada Aryan. “Apa topeng Batman yang canggih? Atau topeng Iron Man yang bisa menyala?”
Aryan tersenyum. “Bisa salah satu dari keduanya.”
“Sungguh?” Kedua mata Zayn berbinar setelah mendengar itu. Lalu ia berlari ke arah meja yang dipenuhi dengan kado untuk mencari hadiah dari Aryan.
“Aryan! Kamu —,”
“Sayang! Kamu di sini?” Suara Gavin memaksa Vanilla untuk menghentikan umpatan ya kepada Aryan. Pria itu langsung merengkuh pinggang Vanilla dan memberikannya kecupan mesra di pipi.
Sementara itu Aryan meliriknya diikuti perasaan sedikit kesal. Entah mengapa ia tidak suka melihat pria lain mencium pipi Vanilla, atau mencium bagian tubuh lainnya.
“Siapa? Temanmu?” tanya Gavin sembari memeta penampilan Aryan. Sekilas wajah pria dengan tato di lengan kanan itu tidak asing, tetapi Gavin masih berusaha mengingatnya.
“Aryan Aditama.” Aryan mengulurkan tangan kepada Gavin. Kontan hal tersebut membuat kedua mata Gavin membola sempurna.
Tatapan Gavin yang sesekali terlempar ke arah Vanilla membuatnya meneguk saliva kasar. Ia belum sempat bercerita pada Gavin terkait pertemuan bersama Aryan, ayah biologis dari Zayn.
“Astaga, Zayn!” Vanilla berteriak sambil berlari ketika sang putra tercebur ke dalam kolam renang. Pun ketegangan yang sejenak tercipta antara Aryan dan Gavin memudar di waktu bersamaan.
TO BE CONTINUED…
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan baik. Ia hanya sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya.“
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa Aryan tidak menanggapinya dan memilih berjalan ke lift.Langkah Aryan semakin memburu setela
Vanilla bersusah payah mengatur emosi yang bercokol hebat di dalam hati. Jemarinya meremas pinggiran dress bermotif floral yang melekuk tubuh. Sorot mata tajam dilemparkan pada Aryan.“Bukan,” jawab Vanilla dengan penuh keyakinan. “Zayn bukan putramu.”Setelah mendengar jawaban dari Vanilla, Aryan bernapas lega. Tidak dipungkiri, sedari tadi ada rasa sedikit takut mengenai dugaan yang muncul begitu saja dalam pikiran. Entah apa yang akan dilakukan Aryan jika benar Zayn adalah putranya.“Lalu anak siapa dia?” tanya Aryan lebih lanjut.“Itu bukan urusanmu, Aryan! Untuk apa kamu tahu/” jawab Vanilla tegas.“Oke, aku cuma mau tanya alasanmu meninggalkanku?” tanya Aryan penuh desakan.Melihat raut wajah Aryan yang tampak lega setelah mendengar jawabannya, Vanilla berdecak. Well, apa yang harus diharapkan dari pria brengsek seperti Aryan?“Untuk apa kamu tahu, Aryan? Tidak bisakah kita bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain?” Bibir merah jambu Vanilla berucap dengan tangan masih merem
Hantaman pintu terdengar cukup keras. Jantung Vanilla bergemuruh hebat diikuti deru napasnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir bawah dengan bibir yang bergetar. Tangis Vanilla tumpah di sela-sela gerakan dada yang naik turun. Kedua lutut Vanilla lemas, seolah tidak mampu menopang berat tubuh.Serentetan kalimat yang baru saja terucap untuk Aryan terasa mengiris batin. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan! Mengapa harus bertemu lagi dengan Aryan ketika hatinya mulai pulih?Air mata Vanilla terus mengalir tanpa jeda. Ia terduduk lemas di lantai sembari memeluk kedua lutut. Cinta yang pernah diberikan oleh Vanilla dengan tulus, ternyata hanya sebuah lelucon bagi Aryan. Vanilla bisa menebak bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan ketika menjadi topik pembicaraan para putra Aditama. Ia hanya seorang wanita bodoh yang terlihat menyedihkan.“A-aku sa-sangat membencimu, Ar-Aryan.” Napas Vanilla tersengal ketika mengucapkan kalimat itu. Kembali ia memeluk kedua lutut sambil terisak da
“Mommy Zayn!” Suara wanita dengan Jumpsuit cokelat membungkus tubuh dihiasi obi belt warna hitam setengah berlari menghampiri Vanilla.“Mommy Claire, ada apa?” tanya Vanilla sambil menghaturkan senyuman tipis.Anna sedikit mengatur napasnya yang terengah. Sementara Zayn bersembunyi di balik tubuh Vanilla saat melihat Claire mendekat dengan sang ibu.“Zayn, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Anna dengan sekotak cokelat di tangan. Ia memerhatikan Zayn lalu melemparkan tatapan pada Vanilla. “Mom, aku mau minta maaf soal kejadian kemarin.”“Kemarin?” Vanilla masih tidak paham dengan maksud pembicaraan Anna.“Iya kemarin Claire tidak sengaja mendorong Zayn ke kolam. Aku benar-benar minta maaf, Mom.”Pengakuan Anna kontan membuat Vanilla sedikit terkejut lalu ia mengusap puncak kepala Zayn dan melihat pada Claire yang juga bersembunyi di balik tubuh sang ibu.“Claire, say sorry sama Zayn dan Tante Vanilla,” pinta Anna kepada sang putri.Claire hanya bisa menatap sang ibu dengan mata ketakutan,
Aryan merendahkan tubuhnya di balik kemudia seraya menggulirkan jemari pada layar iPad. Ia membuka undangan dari Chakko hotel Singapura yang akan meresmikan taman bermain dalam area hotel. Salah satu sudut bibir Aryan terangkat ke atas, sebab sudah lama menunggu hari itu datang. Setelah dua tahun proses pembangunan, taman bermain buah pikirannya itu bisa dibuka.Mematikan layar iPad lalu Aryan mengamati dengan seksama obyek yang sedari tadi menjadi incarannya itu. Hari ini Aryan memilih untuk melakukan zoom meeting di dalam mobil sambil mengamati Vanilla. Sesekali ia membenarkan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidung sambil menyembunyikan wajah jika Vanilla merasa dirinya sedang diamati. Aneh! Bagaimana bisa Aryan Aditama menjadi stalker?Well, keinginan tersebut muncul begitu saja di benak Aryan setelah mengunjungi The Heights dan memastikan pembangunan kafe di sana berjalan dengan baik.“Aku hanya penasaran saja. Aryan Aditama kalau sudah penasaran bisa melakukan apapun!” om
“Oh jadi dia kekasih kamu setelah sama aku,” gumam Aryan yang diabaikan oleh Vanilla.Well, awalnya Vanilla mengira kisah asmara mereka nyata, tetapi ternyata pura-pura. Ia memberikan keseriusan, dan Aryan hanya menganggapnya sebagai permainan. Ah, terkadang lucu juga jalan hidup manusia yang penuh sandiwara ini.Mobil Aryan menepi dan masuk ke dalam pelataran villa yang lengang. Taman yang teduh dengan beberapa pohon mangga menyambut kedatangan mereka disertai embusan angin lembut.Setelah mobil berhenti, Vanilla langsung turun dan membuat Aryan menahan ucapannya.“Mau a—.” Aryan mendesah. Baru saja mau menawarkan bantuan, Vanilla sudah terjun dari mobil dengan pijakan tinggi itu dan membuka pintu kursi penumpang.Langkah Vanilla semakin memburu setelah memeriksa waktu pada arloji dengan strap yang dibuat dari tali makrame. Salah satu produk terbaru yang akan diluncurkan olehnya bulan depan.Senyuman samar tercetak jelas di wajah Aryan ketika mengamati tingkah Vanilla yang tidak ingin
Saat merasakan pergerakan tangan Aryan yang menyentuh dagunya, Vanilla menggeliat karena terusik. Kontan ia menampar tangan Aryan dengan kencang. Hingga membuat Aryan terkesiap.“Ngapain kamu!” seru Vanilla ketus.Tangan Aryan terlempar hingga membentur dashboard mobil. Suara benturannya terdengar cukup keras. Aryan mengernyitkan dahi sambil meringis untuk menahan rasa sakit.“Kamu kasar banget sih, Van.” Aryan mengibaskan tangannya sebab rasa panas yang mulai menyelimuti. Ia masih mengernyit sambil sesekali melirik pada pribadi Vanilla dari ekor mata.“Lagian kamu ngapain sih!” Vanilla memundurkan posisi duduk dan berusaha menghindar dari sentuhan Aryan. Ia tidak mau sifat buas Aryan kembali lagi dan membuat Zayn memiliki adik dalam waktu dekat.Astaga Vanilla! Apa yang kamu pikirkan!Kepala Vanilla menggeleng samar karena pikiran aneh yang mendadak muncul di kepala. Well, Vanilla tidak bisa menampik sifat liar Aryan yang bisa tiba-tiba merobohkan dinding pertahanannya.“Aku nggak nga
Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti
Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga
Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr
BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&
BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput
Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka
BAB 45Cahaya mentari yang menerobos celah tirai membuat Aryan menggeliat pelan. Ia meregangkan otot punggung sambil menguap. Berulang kali mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Aryan melihat waktu pada ponsel. Seingatnya ia masih melakukan panggilan video dengan Vanilla. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya saling menatap hingga Vanilla tertidur, tetapi Aryan enggan untuk mematikan panggilan mereka. Aryan ikut tertidur lalu panggilan mereka terputus karena daya baterai ponsel Vanilla habis.Kaki Aryan mengayun turun dari ranjang. Dengan langkah yang terseret ia menuruni tangga lantai satu dan mendapatkan sambutan dari sang putra yang tampak akrab bersama Narendra, Vian dan Jival.“Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” Pertanyaan Aryan ditujukan pada Jival dan Vian. “Harusnya kalian kerja supaya Daddy nggak narik saham kalian.’“Bad news, Aryan. Harusnya kamu yang khawatir soal it
BAB 44 (21+)“Can i eat your ….” Iris gelap Aryan melihat ke arah bibir Sarah yang menggigit sensual. Jemari Aryan bergerak atraktif untuk mengusap bibir wanita itu.“Yes, you can,” jawab Sarah diikuti anggukan kepala.Tanpa membuang waktu, Aryan lantas melahap habis bibir Sarah sembari memasukkan tangannya ke dalam blouse wanita itu. Kecupan yang tercipta semakin bergairah hingga suhu tubuh mereka naik drastis.Jemari Aryan bergerak dengan ahli, melepaskan kaitan bra milik Sarah dan membuangnya sembarangan pada lantai. Pagutan mereka masih menyatu satu sama lain, seperti magnet yang saling tarik menarik.Dengan memanfaatkan ruang yang cukup sempit, Aryan mengangkat tubuh Sarah untuk duduk di atas buffet empat laci yang memiliki tinggi pas. Mereka bersembunyi di balik pintu studio kios Vanilla. Hanya ada lampu remang-remang sumber pencahayaan mereka.Ikut bergerak aktif, Sarah
Setelah malam mendebarkan itu, Vanilla melakukan aktivitas seperti biasanya. Bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan bekal snack untuk Zayn. Rasanya rutinitas pagi itu tidak akan dilewatkan oleh Vanilla, meskipun sang putra sudah beranjak dewasa.Mengenai semalam, Vanilla tidak akan pernah lupa. Momen yang sangat berharga saat pertama kali Zayn menyebut Aryan dengan sebutan ‘Daddy’. Melihat sang putra memeluk ayahnya dengan sangat erat. Vanilla sangat bahagia bisa tiba di tahap yang semula sangat menakutkan itu.“Bu, ini saya cuci sekalian ya?” tanya Mbok Dar yang baru tiba 30 menit yang lalu. Ia memperlihatkan waslap yang teronggok di atas meja.Vanilla menoleh setelah meniriskan kudapan ringan untuk Zayn. Hari ini Zayn minta dibuatkan sosis dan nugget bentuk bintang.“Iya, Mbok cuci sekalian semua ya,” terang Vanilla. “Nanti saya ada kegiatan di Denpasar selama 2 hari. Mbok Dar cukup sapu pel aja ya.”Tangan Vanilla bergerak aktif untuk meletakkan piring kotor di wastafel