Share

Calon suami Vanilla

 

Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.

Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”

Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.

“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.

“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus menyesuaikan dengan waktu senggangku. Kamu saja yang temui dia,” ucap Aryan sambil meneguk minuman dinginnya. Sesekali ia melirik waktu pada arloji limited edition yang melingkar di pergelangan tangan.

“Baiklah kalau begitu, Pak. Saya akan sampaikan semua permintaan Pak Aryan,” jelas Daniel yang sudah mencatat semua kemauan Aryan sejak satu jam yang lalu.

Kesan pertama yang didapatkan Daniel ketika bertemu Aryan langsung terhapus setelah mereka duduk bersama dan membicarakan soal bisnis. Aryan yang terlihat slengekan bisa sangat serius ketika membahas perkembangan hotel. Gen bisnis dominan Aditama sangat kentara pada diri Aryan.

“Ehm, aku mau ada makrame yang mengisi toko Souvenir hotel. Aku perhatikan penjualannya laku keras,” ujar Aryan dengan santai.

“Saya sedang mencari penggantinya, Pak. Penjualan makrame sejauh ini cukup banyak dan memang menguntungkan.”

Salah satu alis Aryan terangkat ke atas, “pakai produsen yang lama. Pengunjung sudah tahu ciri khas makrame yang kita jual.”

Ucapan sok tahu Aryan keluar begitu saja. Well, ia tidak tahu terlalu banyak tentang makrame. Sekilas kerajinan tali itu terlihat sama, Aryan hanya ingin Vanila kembali mengisi produk itu di hotelnya. Meskipun galak, tetapi melihat Vanilla seperti menaikkan hormon serotonin Aryan.

“Maksud Pak Aryan, dari Vanilla? Pemilik Lovely handycraft?” Daniel memperjelas.

Aryan menaikkan kedua bahunya. “Aku bahkan tidak tahu siapa produsennya. Aku hanya melihat keuntungan di sana, jadi kamu harus berusaha membuatnya kembali ke sini.”

“Saya usahakan, Pak Aryan,” jawab Daniel pasrah.

“Oke, aku harus pergi.” Aryan bangkit dari duduknya setelah meneguk sisa minumannya hingga tandas.

Sepatu boots bersol tebal Aryan terus menghentak lantai menuju ke Jeep Mercedes-nya. Ia lantas menghidupkan mesin dan membelah jalanan Badung dengan kecepatan cukup tinggi.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Aryan untuk tiba di tempat tujuan. Ia mengayunkan kaki untuk turun dari mobil dan duduk di kap mobil sambil menyalakan rokoknya.

“Tuan muda sudah menunggu lama?” Suara berat sedikit terengah membuat Aryan menoleh sekilas, lalu menghisap penuh nikotin di jepitan jari telunjuk dan tengah.

Pria bertopi itu merapatkan langkah untuk mendekat pada Aryan. Sementara Aryan masih menikmati batang rokok yang jarang disentuh itu. Well, dibandingkan rokok, Aryan lebih menyukai alkohol. Ia hanya akan merokok jika ingin saja.

“Ini informasi yang Tuan muda minta kemarin kepada saya,” ucap Tino sambil mengulurkan iPad kepada Aryan. Pria yang sudah mengabdi pada keluarga Aditama sejak remaja itu merangkum semua informasi dalam layar 10 inci di genggaman.

“Katakan saja apa yang kamu dapatkan,” ucap Aryan seraya menyemburkan asap rokok ke udara. Hamparan air laut menjadi pemandangan sejauh Aryan menyapukan kedua mata ke sepanjang penjuru.

“Dia pindah ke Bali sejak 4 tahun yang lalu, dan tinggal bersama Tantenya. Mereka melanjutkan bisnis mebel mendiang orang tua Vanilla.” Tino menjeda ucapannya sebentar sambil memerhatikan ekspresi Aryan. “Kemudian setelah tiga bulan tinggal di Bali, dia membuka bisnis makrame.”

“Ada informasi yang lebih penting?” tanya Aryan.

Tino meneguk saliva. Ia cukup sulit mencari informasi mengenai Vanilla yang hanya memposting tiga foto di media sosial. Satu foto bersama dengan Zayn, lalu potret toko makrame dan swafoto bersama Tante Lina. Sementara akun media sosial yang lain hanya berisi promo kerajinan makrame saja. Namun, semenjak bekerja dengan Aditama, Tino bisa mencari segala informasi tersembunyi. Meskipun itu bersarang di lubang semut sekalipun.

“Dia memiliki anak yang akan berusia 4 tahun besok. Lalu empat bulan lagi, akan menikah dengan kekasihnya,” terang Tino.

Mendengar penjelasan dari Tino, Aryan menghentikan kegiatan menghisap nikotin dan melindas rokok yang masih tersisa separuh.

“Kekasih? Jadi Vanilla belum menikah?” tanya Aryan sambil menoleh ingin tahu.

“Belum, Tuan muda.”

“Apa dia janda? Sudah menikah tetapi suaminya meninggal atau pergi gitu?” selidik Aryan.

“Dia belum pernah menikah, Tuan muda,” jelas Tino yang memaksa Aryan untuk membuat praduga tentang ayah Zayn.

Ah! Mungkin saja memang pria yang mau dinikahi Vanilla adalah ayah dari berandalan kecil itu. Atau Vanilla hamil dengan pria lain kemudian dicampakkan?

Beberapa spekulasi muncul di benak Aryan. Lalu ia kembali menoleh pada Tino. “Kamu bilang besok anaknya berulang tahun?”

“Iya, Tuan. Ulang tahun yang keempat. Acaranya akan diadakan di rumah jam 3 sore. Saya juga sudah mendapatkan alamat wanita itu,” Tino merogoh saku jaket kemudian memberikan secarik kertas kepada Aryan.

Kepala Aryan mengangguk pelan ketika membaca alamat yang tertulis di potongan kertas itu. Ternyata tempat tinggal Vanilla tidak terlalu jauh dari Blue Sapphire.

“Belikan kado yang cocok untuk anak usia 4 tahun,” perintah Aryan kepada Tino.

“Baik, Tuan muda. Apa yang harus saya beli, mobil remote kontrol atau robot?” Tino meminta pendapat Aryan.

Kening Aryan mengernyit lalu menjawab spontan, “belikan saja topeng singa.”

“To-topeng singa?” Tino memastikan kembali.

“Kenapa? Anak-anak lebih suka terlihat keren dibandingkan memiliki mainan canggih,” jelas Aryan. “Ah, tambahkan topeng iron Man.”

“Baik, Tuan muda.”

***

Dekorasi sederhana dengan warna biru mendominasi taman belakang rumah Vanilla. Bola warna-warni tampak menghiasi permukaan kolam renang. Beberapa karakter superhero tertata apik di sepanjang pinggiran kolam. Pun teman-teman Zayn yang datang mengenakan kostum pahlawan pilihan mereka.

Netra Aryan mengedar ke sekeliling dengan paper bag besar di tangan. Lantas ia meletakkan hadiah untuk Zayn di meja yang sudah dipenuhi kado lainnya.

“Zayn kamu jahat!” Seorang anak berusia 6 tahun berlari sambil menangis. Ia melewati Aryan dan menuju ke kerumunan ibu-ibu sosialita dengan kostum pahlawan yang sudah dimodifikasi.

“Hah! Kenapa semua wanita itu.” Helaan napas Zayn menyita atensi Aryan. Bocah itu menggelengkan kepala lalu duduk di salah satu kursi malas yang berjejer rapi. Ia melepaskan topeng Batman-nya ke atas kepala.

“Apa yang kamu lakukan sampai membuatnya menangis?” tanya Aryan berdiri di hadapan Zayn.

Kepala Zayn mendongak dan memindai wajah Aryan. Ingatan Zayn sangat bagus sehingga tidak melupakan pertemuan pertamanya bersama Aryan. “Ah! Om stranger people.”

I’m not stranger people. (Aku bukan orang asing) Om ini temannya Mama kamu,” jelas Aryan sambil merubah posisi menjadi jongkok.

“Really?” (Sungguh) Zayn tampak memerhatikan paras Aryan dengan seksama. “Tapi orang asing juga sering berkata begitu kalau mau nyulik anak kecil.”

Aryan memutar kedua bola matanya sambil mendesah. Memangnya penampilan Aryan seperti penculik apa? Kaus hitam dipadukan dengan leather jacket, celana jeans dan sepatu boots warna hitam menghiasi penampilan Aryan kali ini. Well, meskipun begitu ia mengendarai Mercedes dengan harga milyaran. Memangnya ada penculik seperti itu selain di film?

“Kamu bisa tanya sama Mamamu nanti,” ujar Aryan.

“Ehm, baiklah,” ucap Zayn sekenanya.

“Katakan, kenapa kamu membuat wanita itu menangis?” tanya Aryan masih penasaran.

“Aku bilang tidak menyukainya, lalu dia menangis.” Zayn menoleh ke arah bocah perempuan yang sedang terisak sambil mengadu kepada ibunya. “Dia itu manja dan suka menangis.”

Aryan ikut menoleh pada bocah berambut blonde itu. Lalu terkekeh. Sekilas pribadi Zayn mengingatkan Aryan pada masa kecilnya. Dulu ia juga sempat menolak seorang wanita, lalu berakhir dengan kepala benjol karena pukulan.

“Kamu ini ternyata cukup populer ya?” ujar Aryan sambil mengulum senyum.

“Begitulah,” jawab Zayn dengan wajah sok. Persis seperti Aryan.

“Zayn!” Suara Vanilla yang berseru membuat Aryan dan Zayn menoleh secara bersamaan.

Vanilla setengah berlari menghampiri mereka dengan balutan kostum Wonder Woman yang sedikit seksi.

“Mommy! Aku lagi ngobrol sama temen Mommy,” celetuk Zayn.

“Aryan, ngapain kamu?” Vanilla sedikit merendahkan intonasi dan menahan amarah. Ia tidak ingin merusak suasana ulang tahun sang putra.

“Menghadiri acara ulang tahun Zayn tentu saja.” Aryan berdiri lalu menundukkan kepala pada Zayn. “Oh ya, Om juga membawa hadiah untukmu. Sesuatu yang pasti kamu sukai.”

“Benarkah? Apa itu?” Mata Zayn yang bulat mendongak pada Aryan. “Apa topeng Batman yang canggih? Atau topeng Iron Man yang bisa menyala?”

Aryan tersenyum. “Bisa salah satu dari keduanya.”

“Sungguh?” Kedua mata Zayn berbinar setelah mendengar itu. Lalu ia berlari ke arah meja yang dipenuhi dengan kado untuk mencari hadiah dari Aryan.

“Aryan! Kamu —,”

“Sayang! Kamu di sini?” Suara Gavin memaksa Vanilla untuk menghentikan umpatan ya kepada Aryan. Pria itu langsung merengkuh pinggang Vanilla dan memberikannya kecupan mesra di pipi.

Sementara itu Aryan meliriknya diikuti perasaan sedikit kesal. Entah mengapa ia tidak suka melihat pria lain mencium pipi Vanilla, atau mencium bagian tubuh lainnya. 

“Siapa? Temanmu?” tanya Gavin sembari memeta penampilan Aryan. Sekilas wajah pria dengan tato di lengan kanan itu tidak asing, tetapi Gavin masih berusaha mengingatnya.

“Aryan Aditama.” Aryan mengulurkan tangan kepada Gavin. Kontan hal tersebut membuat kedua mata Gavin membola sempurna.

Tatapan Gavin yang sesekali terlempar ke arah Vanilla membuatnya meneguk saliva kasar. Ia belum sempat bercerita pada Gavin terkait pertemuan bersama Aryan, ayah biologis dari Zayn.

“Astaga, Zayn!” Vanilla berteriak sambil berlari ketika sang putra tercebur ke dalam kolam renang. Pun ketegangan yang sejenak tercipta antara Aryan dan Gavin memudar di waktu bersamaan.

TO BE CONTINUED… 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status