Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.
Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.
Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa
Vanilla bersusah payah mengatur emosi yang bercokol hebat di dalam hati. Jemarinya meremas pinggiran dress bermotif floral yang melekuk tubuh. Sorot mata tajam dilemparkan pada Aryan.“Bukan,” jawab Vanilla dengan penuh keyakinan. “Zayn bukan putramu.”Setelah mendengar jawaban dari Vanilla, Aryan bernapas lega. Tidak dipungkiri, sedari tadi ada rasa sedikit takut mengenai dugaan yang muncul begitu saja dalam pikiran. Entah apa yang akan dilakukan Aryan jika benar Zayn adalah putranya.“Lalu anak siapa dia?” tanya Aryan lebih lanjut.“Itu bukan urusanmu, Aryan! Untuk apa kamu tahu/” jawab Vanilla tegas.“Oke, aku cuma mau tanya alasanmu meninggalkanku?” tanya Aryan penuh desakan.Melihat raut wajah Aryan yang tampak lega setelah mendengar jawabannya, Vanilla berdecak. Well, apa yang harus diharapkan dari pria brengsek seperti Aryan?“Untuk apa kamu tahu, Aryan? Tidak bisakah kita bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain?” Bibir merah jambu Vanilla berucap dengan tangan masih mere
Hantaman pintu terdengar cukup keras. Jantung Vanilla bergemuruh hebat diikuti deru napasnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir bawah dengan bibir yang bergetar. Tangis Vanilla tumpah di sela-sela gerakan dada yang naik turun. Kedua lutut Vanilla lemas, seolah tidak mampu menopang berat tubuh.Serentetan kalimat yang baru saja terucap untuk Aryan terasa mengiris batin. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan! Mengapa harus bertemu lagi dengan Aryan ketika hatinya mulai pulih?Air mata Vanilla terus mengalir tanpa jeda. Ia terduduk lemas di lantai sembari memeluk kedua lutut. Cinta yang pernah diberikan oleh Vanilla dengan tulus, ternyata hanya sebuah lelucon bagi Aryan. Vanilla bisa menebak bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan ketika menjadi topik pembicaraan para putra Aditama. Ia hanya seorang wanita bodoh yang terlihat menyedihkan.“A-aku sa-sangat membencimu, Ar-Aryan.” Napas Vanilla tersengal ke
“Mommy Zayn!” Suara wanita dengan Jumpsuit cokelat membungkus tubuh dihiasi obi belt warna hitam setengah berlari menghampiri Vanilla.“Mommy Claire, ada apa?” tanya Vanilla sambil menghaturkan senyuman tipis.Anna sedikit mengatur napasnya yang terengah. Sementara Zayn bersembunyi di balik tubuh Vanilla saat melihat Claire mendekat dengan sang ibu.“Zayn, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Anna dengan sekotak cokelat di tangan. Ia memerhatikan Zayn lalu melemparkan tatapan pada Vanilla. “Mom, aku mau minta maaf soal kejadian kemarin.”“Kemarin?” Vanilla masih tidak paham dengan maksud pembicaraan Anna.“Iya kemarin Claire tidak sengaja mendorong Zayn ke kolam. Aku benar-benar minta maaf, Mom.”Pengakuan Anna kontan membuat Vanilla sedikit terkejut lalu ia mengusap puncak kepala Zayn
Aryan merendahkan tubuhnya di balik kemudia seraya menggulirkan jemari pada layar iPad. Ia membuka undangan dari Chakko hotel Singapura yang akan meresmikan taman bermain dalam area hotel. Salah satu sudut bibir Aryan terangkat ke atas, sebab sudah lama menunggu hari itu datang. Setelah dua tahun proses pembangunan, taman bermain buah pikirannya itu bisa dibuka.Mematikan layar iPad lalu Aryan mengamati dengan seksama obyek yang sedari tadi menjadi incarannya itu. Hari ini Aryan memilih untuk melakukan zoom meeting di dalam mobil sambil mengamati Vanilla. Sesekali ia membenarkan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidung sambil menyembunyikan wajah jika Vanilla merasa dirinya sedang diamati. Aneh! Bagaimana bisa Aryan Aditama menjadi stalker?Well, keinginan tersebut muncul begitu saja di benak Aryan setelah mengunjungi The Heights dan memastikan pembangunan kafe di sana berjalan dengan baik.“Aku hanya penasa
“Oh jadi dia kekasih kamu setelah sama aku,” gumam Aryan yang diabaikan oleh Vanilla.Well, awalnya Vanilla mengira kisah asmara mereka nyata, tetapi ternyata pura-pura. Ia memberikan keseriusan, dan Aryan hanya menganggapnya sebagai permainan. Ah, terkadang lucu juga jalan hidup manusia yang penuh sandiwara ini.Mobil Aryan menepi dan masuk ke dalam pelataran villa yang lengang. Taman yang teduh dengan beberapa pohon mangga menyambut kedatangan mereka disertai embusan angin lembut.Setelah mobil berhenti, Vanilla langsung turun dan membuat Aryan menahan ucapannya.“Mau a—.” Aryan mendesah. Baru saja mau menawarkan bantuan, Vanilla sudah terjun dari mobil dengan pijakan tinggi itu dan membuka pintu kursi penumpang.Langkah Vanilla semakin memburu setelah memeriksa waktu pada arloji dengan strap yang dibuat dari tali makrame. Salah satu produk terbaru
Saat merasakan pergerakan tangan Aryan yang menyentuh dagunya, Vanilla menggeliat karena terusik. Kontan ia menampar tangan Aryan dengan kencang. Hingga membuat Aryan terkesiap.“Ngapain kamu!” seru Vanilla ketus.Tangan Aryan terlempar hingga membentur dashboard mobil. Suara benturannya terdengar cukup keras. Aryan mengernyitkan dahi sambil meringis untuk menahan rasa sakit.“Kamu kasar banget sih, Van.” Aryan mengibaskan tangannya sebab rasa panas yang mulai menyelimuti. Ia masih mengernyit sambil sesekali melirik pada pribadi Vanilla dari ekor mata.“Lagian kamu ngapain sih!” Vanilla memundurkan posisi duduk dan berusaha menghindar dari sentuhan Aryan. Ia tidak mau sifat buas Aryan kembali lagi dan membuat Zayn memiliki adik dalam waktu dekat.Astaga Vanilla! Apa yang kamu pikirkan!Kepala Vanilla menggeleng samar karena pikiran aneh yang mendadak muncul di kepala. Well, Vanilla tidak bisa menampik sifat liar Aryan yang bisa tiba-tiba merobohkan dinding pertahanannya.“Aku nggak ng
“Ngapain kamu kesini?” tanya Gavin tidak mau berbasa-basi.“Ada larangan? Ini tempat umum, siapa saja bisa berkunjung jika mau,” jawab Aryan sangat tenang. Ia sama sekali terintimidasi tatapan Gavin yang tajam seperti predator yang ingin menerkam mangsanya.Gavin terkekeh lalu melipatkan tangan di depan dada. “Tidak ada larangan memang, tetapi sedikit mengejutkan bertemu dengan Aryan Aditama di pre primary school seperti ini.” Gavin menjeda ucapannya sambil memutar bola matanya ke area sekolah dengan halaman yang lega dan banyak permainan untuk anak kindergarten. “Kalau di klub baru tidak mengejutkan.”“Kamu akan mulai terbiasa,” jawab Aryan dengan senyuman miring. Baru melangkah, Aryan berhenti tepat di sisi Gavin. “Kamu sebaiknya menjaga Vanilla sebelum jatuh ke pelukanku.”“Kenapa baru
Sorakan para penonton yang terdiri dari ayah dan anak di Rainbow playgroup and pre primary school memenuhi ruangan yang memiliki dinding kaca itu. Kursi ditata berhadapan dan membuat celah di bagian tengah yang digunakan untuk lomba kekompakan ayah dan anak.Zayn duduk di pundak Aryan lengkap dengan kostum Batman dan topengnya. Di tangan Zayn sudah ada bola berukuran sedang yang harus dimasukkan ke dalam tong besar di ujung ruangan. Sementara Aryan sudah siap untuk berlari dengan kedua mata tertuju pada target.“Are you ready, Boy?” tanya Aryan sambil menoleh ke Zayn.“Ready!” jawab Zayn semangat. “Om, sorry. Bolehkah aku pegangan di rambut Om? Soalnya kata Mommy itu nggak sopan, so i must get permission first.” (Jadi, aku harus dapat izin terlebih dahulu)Aryan terkekeh. “Of course!
Kaki Aryan mengayun terburu-buru sambil menjepit ponsel antara pipi dan pundak. Sementara tangan yang lain sedang melepaskan kancing lengan dan melipatnya hingga ke bagian siku. Ia baru saja selesai test food chef baru di The Heights hotel. Sebelum hotel itu menjadi milik Aditama grup, kerap sekali mendapatkan nilai rendah terkait kualitas makanannya. Sehingga Aryan harus ikut memastikan demi reputasi hotel dari Aditama grup.“Makan siang? Sekarang?” tanya Aryan pada Narendra yang berada di seberang telepon. “Ah, aku tidak bisa, sudah ada acara.”[“Kita sudah membicarakannya di grup kemarin. Kamu nggak baca?”]“Nggak. Aku tidak bisa sekarang, sampaikan pada yang lainnya. Oke.” Panggilan mereka terputus, Aryan yang melakukan.Segera ia melajukan mercedes jeep-nya untuk menjemput Zayn. Sesekali Aryan melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan, sebab tidak ingin terlambat menjemput sang putra.
Kaki Vanilla menghentak di tempat seraya meremas handle paper bag di tangan. Padahal ia hanya menemui Mama Gavin, tetapi rasa gugup langsung menyerang. Well, sejak dulu memang hubungan Vanilla dan Suci tidak begitu baik.Sesekali Vanilla melirik waktu pada arloji dengan strap tali makrame di pergelangan tangan. Sudah hampir 45 menit Suci membiarkan Vanilla menunggu di ruang tamu. Suara gelak tawa terdengar dari dalam rumah. Sepertinya Suci sedang aku bercengkrama dengan seseorang. Entah siapa, Vanilla tidak bisa menerka.“Eh, Vanilla. Udah lama nunggu?” Suci berjalan mendekat sambil melepaskan apron yang dipenuhi serpihan tepung di beberapa bagian. Lalu duduk di sofa berhadapan dengan Vanilla.“Baru aja, Tante,” jawab Vanilla berdusta. Bokongnya sudah cukup panas untuk menunggu Suci. Pun segelas minuman tidak dihidangkan untuk membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering.“Ada apa?” Suci bertanya tanpa basa-ba
Bab 28[“Iya, sepertinya aku akan pulang lebih lama dari perkiraan. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di sini.”]“Nggak apa-apa, hati-hati ya. Oh ya, soal seragam keluarga kamu, aku udah minta saran sama Tante Suci.”[“Kamu urus aja semuanya, Van. Aku yakin pilihan kamu bagus dan pas buat keluarga aku. Nggak perlu tanya sama Mama.”]Vanilla terdiam. Ini bukan mengenai pintar memilih atau tidak. Namun, Vanilla ingin ibu Gavin juga ikut serta menyumbangkan pendapat mengenai seragam yang akan dikenakan pada hari spesial itu. Sikap ibu Gavin bukan seperti mempercayakan semua hal kepada Vanilla, tetapi lebih ke tidak peduli.“Aku akan bawa beberapa contoh ke rumah kamu.”[“Vanilla, kamu langsung pilih aja.”]“Nggak bisa gitu dong, Vin. Bukan aku yang mau pakai, setidaknya aku minta saran sama Mama kamu.”[“Mama udah percaya sama kam
Bab 27Tidak lama Aryan mengecup bibir Vanilla. Ia melepaskannya sambil menerka rasa tidak karuan yang bergemuruh di dalam dada. Iris Aryan meneliti wajah Vanilla yang terpejam. Sesekali ia melemparkan tatapan pada Zayn yang tertidur di kursi penumpang. Anak itu seolah memberikan kesempatan pada ayah dan ibunya untuk memadu kasih. Sangat tenang dan tidak terganggu dengan obrolan serius mereka.Permukaan bibir Vanilla basah. Ia ingin merutuki diri sendiri karena sempat menuntut gerakan Aryan yang lebih dari sekedar kecupan.“Gila! Hentikan kegilaan ini Vanila!” Bersamaan dengan peringatan dari otaknya, Vanilla membuka mata lalu mendorong tubuh Aryan untuk menjauh.“Hentikan sikap mesum mu itu Aryan!” pekik Vanilla yang membuat Zayn menggeliat pelan lalu kembali terlelap. Mungkin bocah itu sedikit terusik dengan suara keras sang ibu.“Aku tidak mesum, hanya ingin memastikan perasaanku,” ucap Aryan seolah enggan mengalihkan perhatian dari rupa Vanilla. Jantung Aryan masih berdebar dengan
Ayunan kaki Vanilla semakin memburu ketika suara Aryan menyeruak dari balik ponsel. Sesekali ia menoleh untuk memastikan jika tidak ada yang mencuri dengar.“Aryan! Apa-apaan kamu!” seru Vanilla dengan mempertahankan intonasi agar tidak terlayani menarik perhatian Zayn atau Tante Lusi.[“Apa?”]“Aku bisa beliin kebutuhan Zayn. Kamu nggak perlu repot. Dia itu anakku.”[“Aku tahu, Van. Dia juga anakku.”]“Aku nggak butuh uang kamu. Stop beliin barang ke Zayn!”[“Vanilla, aku beli hadiah buat Zayn bukan kamu. Tap
Mengikuti arah mata Vanilla, Aryan ikut melihat pada telapak tangan yang semula sudah terbalut perban dan mengeluarkan warna merah dari sana. Hingga menetes dan meninggalkan jejak pada lantai kayu Vanilla.“Kok bisa? Kenapa tadi?” Sontak Vanilla segera meraih tangan Aryan lantas membuka satu persatu laci pada meja untuk mencari kotak obat. Sebab panik, Vanilla jadi lupa dimana meletakkan kotak yang berisi obat-obatan lengkap itu.Sementara netra Aryan mengikuti arah gerak Vanilla dan tidak terganggu dengan rasa nyeri yang terasa di seluruh telapak tangan. Ia hanya bergeming ketika Vanilla menarik tangannya dan meminta untuk duduk.“Duduk,” pinta Vanilla yang diikuti dengan patuh oleh Aryan.
“Have fun ya, Sayang.” Vanilla merapikan kerah batik Zayn dengan warna dasar biru dipadukan motif kuning keemasan. “Mommy akan jemput tepat waktu. Oke.” Jemari Vanilla menyisir rambut pendek Zayn.“Oke Mommy.” Tanpa permisi Zayn lantas mengecup pipi sang ibu. Hal tersebut membuat Vanilla tersenyum lebar. “Sayang Mommy.”“Really?”“Of course. Mommy sebesar apa?”Zayn mengetuk pelipisnya lalu merentangkan tangannya lebar. “Sebesar ini. So many many.
Sikap Aryan yang masih terdiam dengan kedua tangan menopang di atas paha, membuat Vanilla tidak bisa berhenti memprovokasinya. Aryan yang terlihat kuat tidak terkalahkan sekarang tampak tidak berdaya. Ia berulang kali menyugar rambut frustrasi.“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak berniat masuk dalam keluarga Aditama dan menghambatmu menjadi penerus bisnis keluargamu,” terang Vanilla tanpa ragu.Aryan menoleh pas Vanilla yang duduk di ujung kursi. Ada jarak cukup lebar di antara tempat duduk mereka.“Kamu bisa berpikir sejauh itu?” tanya Aryan dengan dahi yang berkerut. Ia memang brengsek, tetapi apakah sebrengsek itu?“Tentu saja. Aku sekarang bisa berpikir san
Jakun Aryan naik turun setelah membaca hasil tes Dna yang masih setia menunjukkan angka probability 99,999 persen. Rungu Aryan seolah tuli dengan panggilan dari Tino yang memberitahu jika sebentar lagi mereka akan mendarat di Changi Airport. Pikiran Aryan melanglang buana ke empat tahun silam. Ia kembali mengorek memori saat Vanilla pergi tanpa pamit dari apartemennya. Ternyata wanita itu pergi dengan janin yang sekarang tumbuh menjadi bocah berusia 4 tahun. “Tuan muda.” Panggilan dari Tino tidak juga menyadarkan Aryan dari lamunan. “Tuan, kita sudah sampai.” Dengan kedua mata nanar, Aryan menoleh pada Tino dan bersusah payah menggerakkan lidahnya. “Kita kembali.”“Ma-maaf, Tuan. Kembali? Maksudnya ke Bali?” Tino kembali menegaskan. Pun ia menggosok telinga berulang untuk memastikan jika rungunya masih berfungsi dengan benar. “Right now, Tino!” (Sekarang) Tangan Aryan mengepal kuat diikuti otot pelipis yang tercetak jelas. Kedua bagian giginya saling beradu hingga terdengar suara g