“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”
Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.
“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.
Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.
Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.
“Argh!” Jemari Aryan meremas pegangan kursi hingga kukunya memutih. Kepalanya masih menengadah, diikuti gelenyar hangat yang perlahan keluar. Aryan menggeram seraya membuang napas kasar. Ia membuka mata lalu menoleh pada pribadi yang sedari tadi sudah bekerja keras memuaskan miliknya.
“Kamu yang terbaik, Aryan,” ucap Sarah sambil mengusap bibirnya yang basah dengan sensual.
“I know,” jawab Aryan sambil menyeringai. Namun, pujian itu tidak terlalu menghibur hati Aryan. Ia ingin Vanilla yang mengucapkan kalimat itu dengan raut wajah mengiba. Menggantikan posisi jalang yang sedang bersimpuh di bawahnya.
Sempat Aryan memiliki fantasi kepada Vanilla. Meminta wanita itu untuk memuaskan miliknya yang sudah dilumuri cokelat atau saus stroberi. Sayang, Aryan belum bisa mewujudkan fantasi liar itu bersama Vanilla. Membayangkan bibir dan lidah wanita itu menari-nari saja sudah membuat jantung Aryan berdesir.
Menarik tisu untuk membersihkan miliknya lalu Aryan beranjak. Ia melewati Sarah begitu saja, tanpa terima kasih. Well, lagipula untuk apa berterima kasih? Wanita itu yang selalu mendatangi Aryan dan menggoda. Tentu saja Aryan tahu jika permainannya selalu membuat wanita ketagihan. Tetapi tidak akan ada kegiatan bercinta dengan wanita yang sama. Begitulah Aryan memperlakukan para jalang itu. Seperti sarung tangan sekali pakai.
“Aryan, apa kamu tidak mau melakukan hal lain bersamaku?” tanya Sarah sambil mengenakan celananya.
Aryan terkekeh mendengarkan pertanyaan itu. “Jalang tidak boleh banyak menuntut, Sarah. Lagipula kamu tahu bagaimana prinsipku.”
“Aku akan mematahkan prinsip itu, Aryan,” ujar Sarah yang sudah berulang kali berusaha melakukannya, dan selalu gagal. Semua usaha Sarah berakhir dengan permainan mulut di bawah sana. Bahkan ia tidak akan mendapatkan kecupan dengan permainan lidah yang ahli dari Aryan. Well, Aryan tidak pernah mencium jalang yang dipesan.
Aryan membalikkan tubuh setelah mengancingkan celana. Ia menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Selamat berjuang, Sarah. Sekarang keluarlah, aku bosan melihat wajahmu lama-lama.”
Raut kecewa muncul di wajah Sarah, seolah harapan untuk menjadi kekasih Aryan Aditama kembali patah. Ia memungut tasnya di lantai dan keluar dari kamar tamu Blue Sapphire, villa keluarga yang biasa digunakan ketujuh putra Aditama untuk berkumpul.
Aryan mengayunkan kaki keluar dari kamar dan berjalan ke pantry untuk menghilangkan dahaga.
“Ah!” Pegangan tangan pada gelas semakin mengerat kala ucapan Vanilla kembali meracau pikiran. “Vanilla, aku akan membuatmu bertekuk lutut di bawahku!”
“Astaga, Aryan! Kenapa Leona galak sekali hari ini? Aku dipelototin terus pas lewat kandangnya,” cerocos Jival yang baru saja datang dan melemparkan tubuh di sofa panjang ruang tengah. “Kamu harus beri makan Leona yang banyak, biar dia nggak pengen makan satu per satu penghuni villa ini.”
“Leona hanya makan daging berkualitas tinggi, dan tentu itu bukan kamu,” jawab Aryan sambil berlalu. Ia sedang malas menanggapi ocehan saudara tirinya.
“Hei! Dagingku sangat berharga! Apalagi yang ini, nakal tetapi sangat berharga. Ya kan junior?” Jival menunduk ke bawah sambil mengelus miliknya dengan bangga. Ia baru saja berhasil meniduri seorang putri konglomerat dan menang taruhan dari Jai.
Sementara itu, Aryan merebahkan tubuhnya di kursi malas pinggir kolam renang. Bayangan Vanilla dan Zayn kembali datang meracau benak.
“Ck! Vanilla itu sangat menyebalkan! Apalagi anaknya. Dia harus diajarkan sopan santun! Aku yakin pasti ayahnya berandalan yang menyebalkan.” Aryan terus berbicara sendiri.
“Seperti kamu?”
Suara Narendra membuat Aryan menoleh dan mendapati pribadi sang kakak ikut merebahkan tubuh di sampingnya.
“Apanya yang seperti aku?”
“Berandalan menyebalkan,” tukas Narendra sambil terkekeh. “Kamu masih memikirkan wanita yang meninggalkanmu itu?”
“Ternyata dia tinggal di Bali. Aku baru saja bertemu dengannya.” Helaan napas terlontar dari bibir Aryan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya sangat tidak sopan dan berani mengataiku. Dasar berandalan kecil.”
Narendra masih menikmati paparan sinar matahari yang membakar kulitnya. Dengan mata terpejam ia berceletuk, “kamu menyukai Vanilla?”
Mendengar ucapan sang kakak, sontak Aryan menoleh. “Suka? Tidak mungkin! Hubungan kami tidak sejauh itu. Hanya sekedar teman tidur, tidak lebih. Aku cuma penasaran aja sama alasan dia pergi.”
“Mencampakkanmu lebih tepatnya,” timpal Narendra.
Aryan paling benci kata itu. Meskipun sangat tepat untuk menggambarkan kondisinya bersama Vanilla.
Jemari Aryan lantas berselancar di layar ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan respon dari nomor yang dituju.
“Cari informasi tentang wanita yang bernama Vanilla prastika. Aku kirim fotonya. Cari tahu semua hal tentang dia. Semua tanpa kecuali. Secepatnya.” Setelah memberikan perintah, Aryan langsung mematikan panggilan.
“Bahkan kamu masih ingat nama lengkapnya. Apa lagi yang kamu ingat tentang wanita itu, Aryan? Apa kamu juga masih ingat lingerie yang dia pakai saat bercinta denganmu?” Narendra menoleh pada Aryan dengan nada meledek.
Merah dan hitam, dua warna yang pernah digunakan Vanilla untuk menyatukan gairah bersama Aryan dulu. Bahkan ia masih mengingat model lingerienya. Gaun pendek transparan dengan lace di pinggiran dada. Ada beberapa tali yang harus dilepaskan Aryan sebelum melakukan penyatuan. Kadang Aryan menggunakan tali tersebut untuk mengikat tangan Vanilla dengan kepala ranjang. Sial! Pikiran Aryan semakin tidak terkendali.
Apapun yang terjadi, ia harus mendapatkan Vanilla. Ia akan membuat wanita itu kembali bertekuk lutut seperti empat tahun yang lalu.
***
“Sayang, Vanilla. Kamu ngelamunin apa?” Suara Gavin membuat Vanilla berjingkat kaget.
“Ya, aku setuju sama pilihan kamu,” ucap Vanilla sekenanya. Bahkan ia tidak ingat topik apa yang sedang menjadi pembahasan mereka.
Gavin menoleh kepada wanita dengan setelan warna abu-abu yang sedari tadi duduk berhadapan dengan mereka.
“Nanti saya hubungi lagi setelah berdiskusi dengan calon istri saya,” ucap Gavin diikuti senyuman simpul.
“Baik kalau begitu, saya permisi dulu Mas Gavin, Mbak Vanilla.”
“Makasih banyak Mbak Hana,” tukas Vanilla sambil menyambut uluran salam wanita itu.
Setelah memastikan wanita yang merupakan salah satu tim wedding Organizer itu pergi, Gavin melemparkan tatapan pada Vanilla. Ia menyadari jika ada hal lain yang dipikirkan oleh sang kekasih.
“Kamu baik-baik aja? Apa ada masalah?” tanya Gavin seraya meraih tangan Vanilla dan menggenggamnya erat.
“Nggak ada kok,” jawab Vanilla sambil tersenyum.
“Kamu yakin nggak ada yang mau diceritakan sama aku? Sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Gavin terus mendesak.
“Yah, aku yakin.” Vanilla menganggukkan kepala untuk meyakinkan Gavin.
Tangan Gavin menyelipkan helaian rambut Vanilla yang terbang karena tiupan angin. “Jangan sungkan buat berbagi rasa sama aku, ya? Sebentar lagi kita akan menjadi suami istri.”
Vanilla hanya menjawabnya dengan anggukan kepala diikuti senyuman. Pertemuannya dengan Aryan seolah menghancurkan rencana hidup yang sudah disusun sedemikian rupa. Ia hanya ingin menikmati sisa hidup dengan bahagia bersama Zayn. Jika ada Aryan, Vanilla tidak yakin bisa hidup dengan tenang.
“Kamu udah yakin ‘kan buat nikah sama aku?” tanya Gavin yang membuat Vanilla mendongakkan kepalanya.
TO BE CONTINUED….
Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit m
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus menyesuaikan dengan waktu senggangku. Kamu saja yang temui dia,” ucap Aryan sambil meneguk minuman dinginnya. Sesekali ia melirik wa
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan baik. Ia hanya sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya.“
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa Aryan tidak menanggapinya dan memilih berjalan ke lift.Langkah Aryan semakin memburu setela
Vanilla bersusah payah mengatur emosi yang bercokol hebat di dalam hati. Jemarinya meremas pinggiran dress bermotif floral yang melekuk tubuh. Sorot mata tajam dilemparkan pada Aryan.“Bukan,” jawab Vanilla dengan penuh keyakinan. “Zayn bukan putramu.”Setelah mendengar jawaban dari Vanilla, Aryan bernapas lega. Tidak dipungkiri, sedari tadi ada rasa sedikit takut mengenai dugaan yang muncul begitu saja dalam pikiran. Entah apa yang akan dilakukan Aryan jika benar Zayn adalah putranya.“Lalu anak siapa dia?” tanya Aryan lebih lanjut.“Itu bukan urusanmu, Aryan! Untuk apa kamu tahu/” jawab Vanilla tegas.“Oke, aku cuma mau tanya alasanmu meninggalkanku?” tanya Aryan penuh desakan.Melihat raut wajah Aryan yang tampak lega setelah mendengar jawabannya, Vanilla berdecak. Well, apa yang harus diharapkan dari pria brengsek seperti Aryan?“Untuk apa kamu tahu, Aryan? Tidak bisakah kita bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain?” Bibir merah jambu Vanilla berucap dengan tangan masih merem
Hantaman pintu terdengar cukup keras. Jantung Vanilla bergemuruh hebat diikuti deru napasnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir bawah dengan bibir yang bergetar. Tangis Vanilla tumpah di sela-sela gerakan dada yang naik turun. Kedua lutut Vanilla lemas, seolah tidak mampu menopang berat tubuh.Serentetan kalimat yang baru saja terucap untuk Aryan terasa mengiris batin. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan! Mengapa harus bertemu lagi dengan Aryan ketika hatinya mulai pulih?Air mata Vanilla terus mengalir tanpa jeda. Ia terduduk lemas di lantai sembari memeluk kedua lutut. Cinta yang pernah diberikan oleh Vanilla dengan tulus, ternyata hanya sebuah lelucon bagi Aryan. Vanilla bisa menebak bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan ketika menjadi topik pembicaraan para putra Aditama. Ia hanya seorang wanita bodoh yang terlihat menyedihkan.“A-aku sa-sangat membencimu, Ar-Aryan.” Napas Vanilla tersengal ketika mengucapkan kalimat itu. Kembali ia memeluk kedua lutut sambil terisak da
“Mommy Zayn!” Suara wanita dengan Jumpsuit cokelat membungkus tubuh dihiasi obi belt warna hitam setengah berlari menghampiri Vanilla.“Mommy Claire, ada apa?” tanya Vanilla sambil menghaturkan senyuman tipis.Anna sedikit mengatur napasnya yang terengah. Sementara Zayn bersembunyi di balik tubuh Vanilla saat melihat Claire mendekat dengan sang ibu.“Zayn, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Anna dengan sekotak cokelat di tangan. Ia memerhatikan Zayn lalu melemparkan tatapan pada Vanilla. “Mom, aku mau minta maaf soal kejadian kemarin.”“Kemarin?” Vanilla masih tidak paham dengan maksud pembicaraan Anna.“Iya kemarin Claire tidak sengaja mendorong Zayn ke kolam. Aku benar-benar minta maaf, Mom.”Pengakuan Anna kontan membuat Vanilla sedikit terkejut lalu ia mengusap puncak kepala Zayn dan melihat pada Claire yang juga bersembunyi di balik tubuh sang ibu.“Claire, say sorry sama Zayn dan Tante Vanilla,” pinta Anna kepada sang putri.Claire hanya bisa menatap sang ibu dengan mata ketakutan,
Aryan merendahkan tubuhnya di balik kemudia seraya menggulirkan jemari pada layar iPad. Ia membuka undangan dari Chakko hotel Singapura yang akan meresmikan taman bermain dalam area hotel. Salah satu sudut bibir Aryan terangkat ke atas, sebab sudah lama menunggu hari itu datang. Setelah dua tahun proses pembangunan, taman bermain buah pikirannya itu bisa dibuka.Mematikan layar iPad lalu Aryan mengamati dengan seksama obyek yang sedari tadi menjadi incarannya itu. Hari ini Aryan memilih untuk melakukan zoom meeting di dalam mobil sambil mengamati Vanilla. Sesekali ia membenarkan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidung sambil menyembunyikan wajah jika Vanilla merasa dirinya sedang diamati. Aneh! Bagaimana bisa Aryan Aditama menjadi stalker?Well, keinginan tersebut muncul begitu saja di benak Aryan setelah mengunjungi The Heights dan memastikan pembangunan kafe di sana berjalan dengan baik.“Aku hanya penasaran saja. Aryan Aditama kalau sudah penasaran bisa melakukan apapun!” om
Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti
Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga
Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr
BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&
BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput
Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka
BAB 45Cahaya mentari yang menerobos celah tirai membuat Aryan menggeliat pelan. Ia meregangkan otot punggung sambil menguap. Berulang kali mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Aryan melihat waktu pada ponsel. Seingatnya ia masih melakukan panggilan video dengan Vanilla. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya saling menatap hingga Vanilla tertidur, tetapi Aryan enggan untuk mematikan panggilan mereka. Aryan ikut tertidur lalu panggilan mereka terputus karena daya baterai ponsel Vanilla habis.Kaki Aryan mengayun turun dari ranjang. Dengan langkah yang terseret ia menuruni tangga lantai satu dan mendapatkan sambutan dari sang putra yang tampak akrab bersama Narendra, Vian dan Jival.“Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” Pertanyaan Aryan ditujukan pada Jival dan Vian. “Harusnya kalian kerja supaya Daddy nggak narik saham kalian.’“Bad news, Aryan. Harusnya kamu yang khawatir soal it
BAB 44 (21+)“Can i eat your ….” Iris gelap Aryan melihat ke arah bibir Sarah yang menggigit sensual. Jemari Aryan bergerak atraktif untuk mengusap bibir wanita itu.“Yes, you can,” jawab Sarah diikuti anggukan kepala.Tanpa membuang waktu, Aryan lantas melahap habis bibir Sarah sembari memasukkan tangannya ke dalam blouse wanita itu. Kecupan yang tercipta semakin bergairah hingga suhu tubuh mereka naik drastis.Jemari Aryan bergerak dengan ahli, melepaskan kaitan bra milik Sarah dan membuangnya sembarangan pada lantai. Pagutan mereka masih menyatu satu sama lain, seperti magnet yang saling tarik menarik.Dengan memanfaatkan ruang yang cukup sempit, Aryan mengangkat tubuh Sarah untuk duduk di atas buffet empat laci yang memiliki tinggi pas. Mereka bersembunyi di balik pintu studio kios Vanilla. Hanya ada lampu remang-remang sumber pencahayaan mereka.Ikut bergerak aktif, Sarah
Setelah malam mendebarkan itu, Vanilla melakukan aktivitas seperti biasanya. Bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan bekal snack untuk Zayn. Rasanya rutinitas pagi itu tidak akan dilewatkan oleh Vanilla, meskipun sang putra sudah beranjak dewasa.Mengenai semalam, Vanilla tidak akan pernah lupa. Momen yang sangat berharga saat pertama kali Zayn menyebut Aryan dengan sebutan ‘Daddy’. Melihat sang putra memeluk ayahnya dengan sangat erat. Vanilla sangat bahagia bisa tiba di tahap yang semula sangat menakutkan itu.“Bu, ini saya cuci sekalian ya?” tanya Mbok Dar yang baru tiba 30 menit yang lalu. Ia memperlihatkan waslap yang teronggok di atas meja.Vanilla menoleh setelah meniriskan kudapan ringan untuk Zayn. Hari ini Zayn minta dibuatkan sosis dan nugget bentuk bintang.“Iya, Mbok cuci sekalian semua ya,” terang Vanilla. “Nanti saya ada kegiatan di Denpasar selama 2 hari. Mbok Dar cukup sapu pel aja ya.”Tangan Vanilla bergerak aktif untuk meletakkan piring kotor di wastafel