Kedua iris gelap Aryan memindai penampilan Vanilla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Dress selutut warna peach membungkus tubuh sintal wanita itu. Potongan kerah persegi panjang yang sedikit turun memperlihatkan belahan dada padat pembangkit gairah para pria. Pun tulang selangka yang menonjol menjadi salah satu daya tarik Vanilla.
Senyuman tipis tercetak di wajah Aryan. Vanilla masih cantik seperti dulu, bahkan sekarang lebih memesona.
"Mommy." Suara kecil Zayn membuat Aryan melemparkan tatapan ke arah bocah itu dan Vanilla secara bergantian. Kening Aryan berkerut penuh tanya.
Embusan angin sore hari menerbangkan helaian rambut kecokelatan Vanilla. Ia lalu berjalan tanpa ragu ke arah Aryan. Sementara itu Aryan masih berdiri di tempat dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tato peluru dengan tambahan tribal tercetak jelas di seluruh lengan kirinya.
"Ayo pulang," ajak Vanilla sambil menggandeng tangan Zayn. Ia sama sekali tidak melihat ke arah Aryan yang berdiri tidak jauh dari Zayn. Bahkan ia seperti tidak menganggap pria itu ada.
"Vanilla, kamu tidak mengingatku?" Aryan sedikit membungkukkan tubuh untuk berbicara dengan Vanilla. Sebab wanita itu sekarang sedang jongkok untuk menyamakan tinggi dengan Zayn.
Mulut Aryan menganga diikuti rahang yang hampir terjatuh, ketika Vanilla mengabaikannya. Alih-alih menjawab pertanyaan Aryan, Vanilla justru membalikkan tubuh dan melenggang pergi begitu saja.
"What? Kamu mengabaikan Aryan Aditama?" ucap Aryan ketika pribadi Vanilla semakin menjauh. Satu hal yang jarang, bahkan tidak pernah dialami oleh Aryan. Selama ini tidak ada wanita yang mengabaikan dirinya.
Sementara itu, Vanilla terus berjalan sambil menahan rasa yang bercampur aduk di dalam hati. Kesal, marah, sampai ingin menangis bergejolak di dalam dada. Ia harus menahannya sebab ada Zayn di sana.
"Mommy, What happen?" (Apa yang terjadi) tanya Zayn sambil mendongak serta menggoyangkan tangan sang ibu.
Vanilla menghentikan langkah lalu menundukkan pandangan ke arah Zayn. "Nggak apa-apa. Tadi Zayn ngobrol apa sama Om tadi?"
Sekarang posisi Vanilla jongkok dengan bertumpu pada satu kaki. Ia merapikan helaian rambut Zayn yang menempel di kening karena keringat.
Kepala Zayn menggeleng samar. "Aku nggak ngomong apa-apa. Kata Mommy nggak boleh ngobrol sama stranger people." (orang asing)
Vanilla kembali tersenyum. Ia bangga sang putra selalu mengingat pesannya. Namun kali ini orang yang baru saja bertemu dengan Zayn bukan sekedar orang asing. "Good boy. Ya udah, kita pulang yuk."
Menggendong Zayn lalu didudukkan pada car seat baby. Setelah itu Vanilla beranjak dan duduk di belakang kemudi.
Embusan napas kasar berulang kali diembuskan oleh Vanilla. Bertemu dengan Aryan sama sekali tidak ada dalam daftar perkiraannya. Hati Vanilla kembali terasa perih saat sempat menatap sepasang iris segelap obsidian itu. Ia belum bisa melupakan rasa sakit atas tindakan Aryan.
"Aryan," gumam Vanilla dengan Nada lirih. Ia menatap spion dalam mobil yang memantulkan pribadi Zayn di kursi penumpang. Kemudian air mata kembali berkumpul melapisi sklera. Vanilla harus melarikan diri lagi agar tidak bertemu dengan Aryan. Yah, ia harus melakukan itu.
***
Sepatu pantofel Aryan mengetuk lantai lobi The Heights hotel. Pandangannya tertuju pada satu tempat, yaitu toko souvenir hotel. Lengan kemeja yang dilipat serta kancing yang tidak terkait sempurna, membungkus tubuh gagah Aryan.
"Pak Aryan," ujar Mbok Rai yang langsung buru-buru menghampiri Aryan ketika pria tersebut baru saja sampai di ambang pintu.
"Siapa wanita yang kemarin kesini?" tanya Aryan tanpa basa-basi. Ia sempat melihat Vanilla berbincang cukup lama dengan Mbok Rai. Awalnya ia mengira Vanilla adalah pengunjung hotel.
"Wanita, Pak? Maksud Pak Aryan yang mana?" tanya Mbok Rai bingung. Well, banyak pengunjung wanita yang keluar masuk ke dalam toko tersebut. Tidak mungkin ia mengingat semuanya.
"Rambutnya cokelat panjang segini," terang Aryan sambil memegang sikunya. "Matanya bulat, bibirnya tebal bentuk hati, putih, tinggi, pakai dress selutut warna orange muda gambar bunga."
Penuturan Aryan yang sangat detail membantu Mbok Rai untuk bisa menebak siapa wanita tersebut.
"Dia sama anak kecil, tingginya selutut saya. Pakai kemeja warna putih polos sama celana pendek warna krem," tambah Aryan yang mengingat semua detail penampilan Vanilla dan Zayn.
"Oh, Vanilla," ujar Mbok Rai menebak dengan percaya diri.
"Dia pengunjung di sini?" tanya Aryan lebih lanjut.
"Bukan, Pak. Vanilla itu pengrajin makrame. Dia produsen hiasan dinding dan beberapa souvenir ini," jelas Mbok Rai sambil menunjuk aneka produk makrame yang tergantung di etalase kaca.
Mata Aryan lantas mengedar, mengamati hiasan dinding yang dibuat dengan simpul rapi beraneka warna. Tidak heran jika dulu ia sempat mengagumi Vanilla yang memiliki banyak keahlian.
"Hari ini dia ada rencana datang lagi nggak?" tanya Aryan setelah beberapa saat mengamati kerajinan hasil tangan Vanilla.
"Tadi Vanilla baru saja telepon saya dan bilang nggak bisa bekerja sama lagi. Dia nggak akan jadi produsen makrame lagi di sini, Pak," tukas Mbok Rai. "Hah, padahal makrame buatan Vanilla selalu laris."
Aryan terdiam beberapa saat. Wanita itu seperti menghindarinya. Entah kesalahan apa yang sudah dilakukan Vanilla hingga terus menghindari Aryan.
"Saya minta alamatnya," pinta Aryan kepada Mbok Rai.
Dengan patuh, Mbok Rai mengambil secarik kertas dan menuliskan alamat toko souvenir Vanilla. "Ini, Pak. Saya tuliskan nomornya sekalian."
"Oke." Aryan membalikkan tubuh seraya mengantongi secarik kertas ke dalam saku celana. Ia langsung berjalan menuju ke lamborghini merahnya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Aryan untuk tiba di tempat Vanilla, hanya sekitar lima belas menit saja. Setelah memastikan nama toko yang sesuai dengan tulisan yang tercetak di kertas, ia mengayunkan kaki turun dari mobil.
Embusan angin pantai langsung menerpa wajah Aryan ketika ia melepaskan kacamata hitamnya. Beberapa hiasan dinding dari makrame tergantung apik di etalase kaca. Perpaduan warna lilac, tosca, merah jambu dan biru tampak serasi dalam ruangan yang cukup luas itu. Tulisan tegak bersambung di atas toko tampak estetik. Tercetak nama toko pilihan Vanila, Lovely handycraft.
"Aw!" Suara pekikan seorang anak menyita perhatian Aryan. Ia setengah berlari menuju ke sumber suara.
Bocah berusia 3 tahun dengan kaus putih itu tengah meringis kesakitan sebab terjatuh dari sepeda roda empatnya.
"Are you okay?" (Kamu baik-baik saja) Aryan langsung duduk jongkok dengan bertumpu pada satu kaki.
"Shhh... Are you dumb? Of course, I'm not Okay. Look!" (Apa kamu bodoh? Tentu aku tidak baik-baik saja. Lihat!) Sambil sedikit meringis, Zayn menunjukkan lututnya yang terluka karena tergores aspal.
Aryan terbeliak dengan ucapan kasar bocah itu. Apa Vanilla tidak mengajarkan sopan santun pada anak itu? Well, meskipun sekilas sikap kasar Zayn mengingatkan Aryan pada dirinya sendiri. Sejak kecil ia terbiasa berkata kasar tanpa memikirkan apa itu kesopanan.
"Zayn!" Seruan Vanilla membuat dua laki-laki beda usia itu menoleh secara bersamaan.
Raut wajah ketakutan tampak jelas tercetak di wajah Vanilla. Ia setengah berlari menghampiri Zayn dengan rambut yang digulung asal. Beberapa helai poni panjang menerpa wajahnya karena tiupan angin. Masih terlihat cantik, meskipun tanpa riasan berlebihan.
"Ish, Mommy pasti marah." Zayn mendesis sambil terus meniup lututnya yang terluka.
"Kenapa Mama kamu marah?" tanya Aryan sambil menoleh pada Zayn. Nadanya sedikit berbisik agar Vanilla tidak mendengar.
Zayn melirik sinis ke arah Aryan. "Cause talking with stranger people." (Karena berbicara dengan orang asing)
Sekali lagi Aryan dibuat heran dengan tingkah bocah kecil itu. Masih kecil tetapi sifat tidak sopannya sudah tertanam sejak dini. Aryan sangat penasaran siapa ayahnya. Pasti sangat menyebalkan dan berandalan. Well, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya bukan?
"Zayn! Berdiri!" Vanilla menghampiri Zayn dan mengajaknya pergi. "Mommy udah bilang buat hati-hati."
"Sorry, Mommy," ucap Zayn dengan nada lembut pada Vanilla. Tingkah bocah itu berubah seketika saat berhadapan dengan Vanilla.
"Kamu bisa jalan sendiri?" tanya Vanilla yang bersiap untuk menggendong sang putra.
"Yes, I can." (Ya, aku bisa) Dengan sedikit tertatih, Zayn berjalan sambil menyeret kakinya. Tidak lupa ia melirik ke arah Aryan sambil menjulurkan lidah. Sementara itu Vanilla membawa sepeda roda empat Zayn tanpa memperdulikan Aryan.
Ketika akan melangkah, Aryan lantas memegang pergelangan tangan Vanilla. Dalam hitungan detik, Vanilla langsung menghempaskan pegangan tersebut. Ia tidak sudi bersentuhan dengan Aryan.
"Vanilla, kenapa kamu selalu menghindariku?" tanya Aryan.
Vanilla hanya melihat Aryan sekilas lalu memunggunginya. "Kita tidak ada urusan. Sehingga tidak ada ada yang harus dibicarakan."
Nada ketus Vanilla membuat Aryan mengernyit. Wanita yang dulu sangat manis kepada Aryan sekarang bisa berbicara dingin seperti itu. Sangat berbeda. Well, ini mencetak sejarah dalam hidup Aryan. Biasanya wanita akan sok manis dan mengiba untuk diberi kenikmatan oleh Aryan. Tetapi untuk pertama kalinya, Vanilla berbicara ketus dan memberikan punggung untuk Aryan.
Aryan menghela napas kasar. Bagi Aryan masih ada urusan yang belum selesai dengan Vanilla. Ia masih penasaran mengapa empat tahun yang lalu Vanilla pergi dari apartemen tanpa pamit. Seharusnya Aryan yang pergi dan mencampakkan Vanilla. Bukan sebaliknya.
"Did you do something wrong to me?" (Apa kamu melakukan kesalahan kepadaku) Aryan menjeda ucapannya sebentar. "Sampai selalu menghindariku."
Kalimat yang terlontar dari bibir Aryan membuat Vanilla terhenyak. Ia tidak pernah melakukan kesalahan kepada Aryan. Hingga perlu melarikan diri dari pria itu. Sejak empat tahun yang lalu Vanilla melarikan diri dari Aryan, seolah ingin menampik fakta jika pria itu akan selalu terhubung dengan putranya.
TO BE CONTINUED ....
“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.“Argh!” J
Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit m
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus menyesuaikan dengan waktu senggangku. Kamu saja yang temui dia,” ucap Aryan sambil meneguk minuman dinginnya. Sesekali ia melirik wa
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan baik. Ia hanya sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya.“
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa Aryan tidak menanggapinya dan memilih berjalan ke lift.Langkah Aryan semakin memburu setela
Vanilla bersusah payah mengatur emosi yang bercokol hebat di dalam hati. Jemarinya meremas pinggiran dress bermotif floral yang melekuk tubuh. Sorot mata tajam dilemparkan pada Aryan.“Bukan,” jawab Vanilla dengan penuh keyakinan. “Zayn bukan putramu.”Setelah mendengar jawaban dari Vanilla, Aryan bernapas lega. Tidak dipungkiri, sedari tadi ada rasa sedikit takut mengenai dugaan yang muncul begitu saja dalam pikiran. Entah apa yang akan dilakukan Aryan jika benar Zayn adalah putranya.“Lalu anak siapa dia?” tanya Aryan lebih lanjut.“Itu bukan urusanmu, Aryan! Untuk apa kamu tahu/” jawab Vanilla tegas.“Oke, aku cuma mau tanya alasanmu meninggalkanku?” tanya Aryan penuh desakan.Melihat raut wajah Aryan yang tampak lega setelah mendengar jawabannya, Vanilla berdecak. Well, apa yang harus diharapkan dari pria brengsek seperti Aryan?“Untuk apa kamu tahu, Aryan? Tidak bisakah kita bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain?” Bibir merah jambu Vanilla berucap dengan tangan masih merem
Hantaman pintu terdengar cukup keras. Jantung Vanilla bergemuruh hebat diikuti deru napasnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir bawah dengan bibir yang bergetar. Tangis Vanilla tumpah di sela-sela gerakan dada yang naik turun. Kedua lutut Vanilla lemas, seolah tidak mampu menopang berat tubuh.Serentetan kalimat yang baru saja terucap untuk Aryan terasa mengiris batin. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan! Mengapa harus bertemu lagi dengan Aryan ketika hatinya mulai pulih?Air mata Vanilla terus mengalir tanpa jeda. Ia terduduk lemas di lantai sembari memeluk kedua lutut. Cinta yang pernah diberikan oleh Vanilla dengan tulus, ternyata hanya sebuah lelucon bagi Aryan. Vanilla bisa menebak bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan ketika menjadi topik pembicaraan para putra Aditama. Ia hanya seorang wanita bodoh yang terlihat menyedihkan.“A-aku sa-sangat membencimu, Ar-Aryan.” Napas Vanilla tersengal ketika mengucapkan kalimat itu. Kembali ia memeluk kedua lutut sambil terisak da
“Mommy Zayn!” Suara wanita dengan Jumpsuit cokelat membungkus tubuh dihiasi obi belt warna hitam setengah berlari menghampiri Vanilla.“Mommy Claire, ada apa?” tanya Vanilla sambil menghaturkan senyuman tipis.Anna sedikit mengatur napasnya yang terengah. Sementara Zayn bersembunyi di balik tubuh Vanilla saat melihat Claire mendekat dengan sang ibu.“Zayn, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Anna dengan sekotak cokelat di tangan. Ia memerhatikan Zayn lalu melemparkan tatapan pada Vanilla. “Mom, aku mau minta maaf soal kejadian kemarin.”“Kemarin?” Vanilla masih tidak paham dengan maksud pembicaraan Anna.“Iya kemarin Claire tidak sengaja mendorong Zayn ke kolam. Aku benar-benar minta maaf, Mom.”Pengakuan Anna kontan membuat Vanilla sedikit terkejut lalu ia mengusap puncak kepala Zayn dan melihat pada Claire yang juga bersembunyi di balik tubuh sang ibu.“Claire, say sorry sama Zayn dan Tante Vanilla,” pinta Anna kepada sang putri.Claire hanya bisa menatap sang ibu dengan mata ketakutan,
Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti
Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga
Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr
BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&
BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput
Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka
BAB 45Cahaya mentari yang menerobos celah tirai membuat Aryan menggeliat pelan. Ia meregangkan otot punggung sambil menguap. Berulang kali mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Aryan melihat waktu pada ponsel. Seingatnya ia masih melakukan panggilan video dengan Vanilla. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya saling menatap hingga Vanilla tertidur, tetapi Aryan enggan untuk mematikan panggilan mereka. Aryan ikut tertidur lalu panggilan mereka terputus karena daya baterai ponsel Vanilla habis.Kaki Aryan mengayun turun dari ranjang. Dengan langkah yang terseret ia menuruni tangga lantai satu dan mendapatkan sambutan dari sang putra yang tampak akrab bersama Narendra, Vian dan Jival.“Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” Pertanyaan Aryan ditujukan pada Jival dan Vian. “Harusnya kalian kerja supaya Daddy nggak narik saham kalian.’“Bad news, Aryan. Harusnya kamu yang khawatir soal it
BAB 44 (21+)“Can i eat your ….” Iris gelap Aryan melihat ke arah bibir Sarah yang menggigit sensual. Jemari Aryan bergerak atraktif untuk mengusap bibir wanita itu.“Yes, you can,” jawab Sarah diikuti anggukan kepala.Tanpa membuang waktu, Aryan lantas melahap habis bibir Sarah sembari memasukkan tangannya ke dalam blouse wanita itu. Kecupan yang tercipta semakin bergairah hingga suhu tubuh mereka naik drastis.Jemari Aryan bergerak dengan ahli, melepaskan kaitan bra milik Sarah dan membuangnya sembarangan pada lantai. Pagutan mereka masih menyatu satu sama lain, seperti magnet yang saling tarik menarik.Dengan memanfaatkan ruang yang cukup sempit, Aryan mengangkat tubuh Sarah untuk duduk di atas buffet empat laci yang memiliki tinggi pas. Mereka bersembunyi di balik pintu studio kios Vanilla. Hanya ada lampu remang-remang sumber pencahayaan mereka.Ikut bergerak aktif, Sarah
Setelah malam mendebarkan itu, Vanilla melakukan aktivitas seperti biasanya. Bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan bekal snack untuk Zayn. Rasanya rutinitas pagi itu tidak akan dilewatkan oleh Vanilla, meskipun sang putra sudah beranjak dewasa.Mengenai semalam, Vanilla tidak akan pernah lupa. Momen yang sangat berharga saat pertama kali Zayn menyebut Aryan dengan sebutan ‘Daddy’. Melihat sang putra memeluk ayahnya dengan sangat erat. Vanilla sangat bahagia bisa tiba di tahap yang semula sangat menakutkan itu.“Bu, ini saya cuci sekalian ya?” tanya Mbok Dar yang baru tiba 30 menit yang lalu. Ia memperlihatkan waslap yang teronggok di atas meja.Vanilla menoleh setelah meniriskan kudapan ringan untuk Zayn. Hari ini Zayn minta dibuatkan sosis dan nugget bentuk bintang.“Iya, Mbok cuci sekalian semua ya,” terang Vanilla. “Nanti saya ada kegiatan di Denpasar selama 2 hari. Mbok Dar cukup sapu pel aja ya.”Tangan Vanilla bergerak aktif untuk meletakkan piring kotor di wastafel