Kedua iris gelap Aryan memindai penampilan Vanilla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Dress selutut warna peach membungkus tubuh sintal wanita itu. Potongan kerah persegi panjang yang sedikit turun memperlihatkan belahan dada padat pembangkit gairah para pria. Pun tulang selangka yang menonjol menjadi salah satu daya tarik Vanilla.
Senyuman tipis tercetak di wajah Aryan. Vanilla masih cantik seperti dulu, bahkan sekarang lebih memesona.
"Mommy." Suara kecil Zayn membuat Aryan melemparkan tatapan ke arah bocah itu dan Vanilla secara bergantian. Kening Aryan berkerut penuh tanya.
Embusan angin sore hari menerbangkan helaian rambut kecokelatan Vanilla. Ia lalu berjalan tanpa ragu ke arah Aryan. Sementara itu Aryan masih berdiri di tempat dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tato peluru dengan tambahan tribal tercetak jelas di seluruh lengan kirinya.
"Ayo pulang," ajak Vanilla sambil menggandeng tangan Zayn. Ia sama sekali tidak melihat ke arah Aryan yang berdiri tidak jauh dari Zayn. Bahkan ia seperti tidak menganggap pria itu ada.
"Vanilla, kamu tidak mengingatku?" Aryan sedikit membungkukkan tubuh untuk berbicara dengan Vanilla. Sebab wanita itu sekarang sedang jongkok untuk menyamakan tinggi dengan Zayn.
Mulut Aryan menganga diikuti rahang yang hampir terjatuh, ketika Vanilla mengabaikannya. Alih-alih menjawab pertanyaan Aryan, Vanilla justru membalikkan tubuh dan melenggang pergi begitu saja.
"What? Kamu mengabaikan Aryan Aditama?" ucap Aryan ketika pribadi Vanilla semakin menjauh. Satu hal yang jarang, bahkan tidak pernah dialami oleh Aryan. Selama ini tidak ada wanita yang mengabaikan dirinya.
Sementara itu, Vanilla terus berjalan sambil menahan rasa yang bercampur aduk di dalam hati. Kesal, marah, sampai ingin menangis bergejolak di dalam dada. Ia harus menahannya sebab ada Zayn di sana.
"Mommy, What happen?" (Apa yang terjadi) tanya Zayn sambil mendongak serta menggoyangkan tangan sang ibu.
Vanilla menghentikan langkah lalu menundukkan pandangan ke arah Zayn. "Nggak apa-apa. Tadi Zayn ngobrol apa sama Om tadi?"
Sekarang posisi Vanilla jongkok dengan bertumpu pada satu kaki. Ia merapikan helaian rambut Zayn yang menempel di kening karena keringat.
Kepala Zayn menggeleng samar. "Aku nggak ngomong apa-apa. Kata Mommy nggak boleh ngobrol sama stranger people." (orang asing)
Vanilla kembali tersenyum. Ia bangga sang putra selalu mengingat pesannya. Namun kali ini orang yang baru saja bertemu dengan Zayn bukan sekedar orang asing. "Good boy. Ya udah, kita pulang yuk."
Menggendong Zayn lalu didudukkan pada car seat baby. Setelah itu Vanilla beranjak dan duduk di belakang kemudi.
Embusan napas kasar berulang kali diembuskan oleh Vanilla. Bertemu dengan Aryan sama sekali tidak ada dalam daftar perkiraannya. Hati Vanilla kembali terasa perih saat sempat menatap sepasang iris segelap obsidian itu. Ia belum bisa melupakan rasa sakit atas tindakan Aryan.
"Aryan," gumam Vanilla dengan Nada lirih. Ia menatap spion dalam mobil yang memantulkan pribadi Zayn di kursi penumpang. Kemudian air mata kembali berkumpul melapisi sklera. Vanilla harus melarikan diri lagi agar tidak bertemu dengan Aryan. Yah, ia harus melakukan itu.
***
Sepatu pantofel Aryan mengetuk lantai lobi The Heights hotel. Pandangannya tertuju pada satu tempat, yaitu toko souvenir hotel. Lengan kemeja yang dilipat serta kancing yang tidak terkait sempurna, membungkus tubuh gagah Aryan.
"Pak Aryan," ujar Mbok Rai yang langsung buru-buru menghampiri Aryan ketika pria tersebut baru saja sampai di ambang pintu.
"Siapa wanita yang kemarin kesini?" tanya Aryan tanpa basa-basi. Ia sempat melihat Vanilla berbincang cukup lama dengan Mbok Rai. Awalnya ia mengira Vanilla adalah pengunjung hotel.
"Wanita, Pak? Maksud Pak Aryan yang mana?" tanya Mbok Rai bingung. Well, banyak pengunjung wanita yang keluar masuk ke dalam toko tersebut. Tidak mungkin ia mengingat semuanya.
"Rambutnya cokelat panjang segini," terang Aryan sambil memegang sikunya. "Matanya bulat, bibirnya tebal bentuk hati, putih, tinggi, pakai dress selutut warna orange muda gambar bunga."
Penuturan Aryan yang sangat detail membantu Mbok Rai untuk bisa menebak siapa wanita tersebut.
"Dia sama anak kecil, tingginya selutut saya. Pakai kemeja warna putih polos sama celana pendek warna krem," tambah Aryan yang mengingat semua detail penampilan Vanilla dan Zayn.
"Oh, Vanilla," ujar Mbok Rai menebak dengan percaya diri.
"Dia pengunjung di sini?" tanya Aryan lebih lanjut.
"Bukan, Pak. Vanilla itu pengrajin makrame. Dia produsen hiasan dinding dan beberapa souvenir ini," jelas Mbok Rai sambil menunjuk aneka produk makrame yang tergantung di etalase kaca.
Mata Aryan lantas mengedar, mengamati hiasan dinding yang dibuat dengan simpul rapi beraneka warna. Tidak heran jika dulu ia sempat mengagumi Vanilla yang memiliki banyak keahlian.
"Hari ini dia ada rencana datang lagi nggak?" tanya Aryan setelah beberapa saat mengamati kerajinan hasil tangan Vanilla.
"Tadi Vanilla baru saja telepon saya dan bilang nggak bisa bekerja sama lagi. Dia nggak akan jadi produsen makrame lagi di sini, Pak," tukas Mbok Rai. "Hah, padahal makrame buatan Vanilla selalu laris."
Aryan terdiam beberapa saat. Wanita itu seperti menghindarinya. Entah kesalahan apa yang sudah dilakukan Vanilla hingga terus menghindari Aryan.
"Saya minta alamatnya," pinta Aryan kepada Mbok Rai.
Dengan patuh, Mbok Rai mengambil secarik kertas dan menuliskan alamat toko souvenir Vanilla. "Ini, Pak. Saya tuliskan nomornya sekalian."
"Oke." Aryan membalikkan tubuh seraya mengantongi secarik kertas ke dalam saku celana. Ia langsung berjalan menuju ke lamborghini merahnya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Aryan untuk tiba di tempat Vanilla, hanya sekitar lima belas menit saja. Setelah memastikan nama toko yang sesuai dengan tulisan yang tercetak di kertas, ia mengayunkan kaki turun dari mobil.
Embusan angin pantai langsung menerpa wajah Aryan ketika ia melepaskan kacamata hitamnya. Beberapa hiasan dinding dari makrame tergantung apik di etalase kaca. Perpaduan warna lilac, tosca, merah jambu dan biru tampak serasi dalam ruangan yang cukup luas itu. Tulisan tegak bersambung di atas toko tampak estetik. Tercetak nama toko pilihan Vanila, Lovely handycraft.
"Aw!" Suara pekikan seorang anak menyita perhatian Aryan. Ia setengah berlari menuju ke sumber suara.
Bocah berusia 3 tahun dengan kaus putih itu tengah meringis kesakitan sebab terjatuh dari sepeda roda empatnya.
"Are you okay?" (Kamu baik-baik saja) Aryan langsung duduk jongkok dengan bertumpu pada satu kaki.
"Shhh... Are you dumb? Of course, I'm not Okay. Look!" (Apa kamu bodoh? Tentu aku tidak baik-baik saja. Lihat!) Sambil sedikit meringis, Zayn menunjukkan lututnya yang terluka karena tergores aspal.
Aryan terbeliak dengan ucapan kasar bocah itu. Apa Vanilla tidak mengajarkan sopan santun pada anak itu? Well, meskipun sekilas sikap kasar Zayn mengingatkan Aryan pada dirinya sendiri. Sejak kecil ia terbiasa berkata kasar tanpa memikirkan apa itu kesopanan.
"Zayn!" Seruan Vanilla membuat dua laki-laki beda usia itu menoleh secara bersamaan.
Raut wajah ketakutan tampak jelas tercetak di wajah Vanilla. Ia setengah berlari menghampiri Zayn dengan rambut yang digulung asal. Beberapa helai poni panjang menerpa wajahnya karena tiupan angin. Masih terlihat cantik, meskipun tanpa riasan berlebihan.
"Ish, Mommy pasti marah." Zayn mendesis sambil terus meniup lututnya yang terluka.
"Kenapa Mama kamu marah?" tanya Aryan sambil menoleh pada Zayn. Nadanya sedikit berbisik agar Vanilla tidak mendengar.
Zayn melirik sinis ke arah Aryan. "Cause talking with stranger people." (Karena berbicara dengan orang asing)
Sekali lagi Aryan dibuat heran dengan tingkah bocah kecil itu. Masih kecil tetapi sifat tidak sopannya sudah tertanam sejak dini. Aryan sangat penasaran siapa ayahnya. Pasti sangat menyebalkan dan berandalan. Well, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya bukan?
"Zayn! Berdiri!" Vanilla menghampiri Zayn dan mengajaknya pergi. "Mommy udah bilang buat hati-hati."
"Sorry, Mommy," ucap Zayn dengan nada lembut pada Vanilla. Tingkah bocah itu berubah seketika saat berhadapan dengan Vanilla.
"Kamu bisa jalan sendiri?" tanya Vanilla yang bersiap untuk menggendong sang putra.
"Yes, I can." (Ya, aku bisa) Dengan sedikit tertatih, Zayn berjalan sambil menyeret kakinya. Tidak lupa ia melirik ke arah Aryan sambil menjulurkan lidah. Sementara itu Vanilla membawa sepeda roda empat Zayn tanpa memperdulikan Aryan.
Ketika akan melangkah, Aryan lantas memegang pergelangan tangan Vanilla. Dalam hitungan detik, Vanilla langsung menghempaskan pegangan tersebut. Ia tidak sudi bersentuhan dengan Aryan.
"Vanilla, kenapa kamu selalu menghindariku?" tanya Aryan.
Vanilla hanya melihat Aryan sekilas lalu memunggunginya. "Kita tidak ada urusan. Sehingga tidak ada ada yang harus dibicarakan."
Nada ketus Vanilla membuat Aryan mengernyit. Wanita yang dulu sangat manis kepada Aryan sekarang bisa berbicara dingin seperti itu. Sangat berbeda. Well, ini mencetak sejarah dalam hidup Aryan. Biasanya wanita akan sok manis dan mengiba untuk diberi kenikmatan oleh Aryan. Tetapi untuk pertama kalinya, Vanilla berbicara ketus dan memberikan punggung untuk Aryan.
Aryan menghela napas kasar. Bagi Aryan masih ada urusan yang belum selesai dengan Vanilla. Ia masih penasaran mengapa empat tahun yang lalu Vanilla pergi dari apartemen tanpa pamit. Seharusnya Aryan yang pergi dan mencampakkan Vanilla. Bukan sebaliknya.
"Did you do something wrong to me?" (Apa kamu melakukan kesalahan kepadaku) Aryan menjeda ucapannya sebentar. "Sampai selalu menghindariku."
Kalimat yang terlontar dari bibir Aryan membuat Vanilla terhenyak. Ia tidak pernah melakukan kesalahan kepada Aryan. Hingga perlu melarikan diri dari pria itu. Sejak empat tahun yang lalu Vanilla melarikan diri dari Aryan, seolah ingin menampik fakta jika pria itu akan selalu terhubung dengan putranya.
TO BE CONTINUED ....
“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.“Argh!”
Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melinta
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus m
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa
Jemari lentik dengan pulasan kuteks warna pink neon itu terus menyisir helaian rambut Aryan tanpa berhenti. Jambakannya semakin menguat ketika lembut bibir Aryan menghisap kecil setiap inci tubuh yang sedang bergelinjang nikmat. Desahan saling bersahutan memenuhi ruangan yang mengadopsi arsitektur minimalis modern tersebut. Cermin besar yang membentang seakan merekam penyatuan panas dan penuh mereka.Lidah Aryan bermain di sekitar puncak dada Vanilla yang sudah mengeras dan mulai memainkannya. Posisi Aryan duduk di pinggiran ranjang, sementara Vanilla berada di pangkuannya."Ah ... Aryan!" Vanilla mendongak ketika milik Aryan semakin menghujam miliknya tanpa henti. "Aryan, please ...."Darah dalam tubuh Vanilla semakin memanas ketika tangan Aryan terus meremas bokong bulatnya. Iris segelap obsidian milik Aryan terus menyorot ke arah Vanilla diikuti desahan yang lolos dari bibirnya. Dua hal yang membuat Vanilla seakan terhipnotis dan ingin mendominasi permainan.Gerakan pinggul Vanilla
Empat tahun kemudianSuara musik yang tengah dimainkan oleh DJ mengaung keras. Bola lampu yang berputar di langit-langit atap memancarkan aneka warna dan menyorot ke seluruh bagian klub. Aroma khas wine dan whisky pun ikut menguar di dalam ruangan kaca VVIP yang khusus dipersiapkan untuk para putra Aditama."Wooo! Jival!" Pekikan Vian membuat Aryan yang sedang bersandar pada pagar lantai dua salah satu klub Aditama di Bali ikut menyeringai.Kehebohan yang baru saja tercipta adalah ulah Jival, kembaran Vian yang baru saja mencium seorang wanita, putri dari pejabat di negeri ini. Saat keempat saudaranya mengamati dari lantai atas, Jival mengacungkan jari tanda kemenangan."Sial!" umpat Jai sambil melemparkan tubuh di sofa panjang dalam ruangan kaca VVIP tersebut. Kali ini Jai yang kalah taruhan dengan Jival dan harus merelakan motor sport barunya.Ketujuh putra Aditama tidak melakukan taruhan demi mengincar hadiah, hanya untuk kesenangan dan memenuhi rasa penasaran mereka. Hidup dalam k
“Cari aja tempat mebel lain!” Suara keras Tante Lina membuat Vanilla memanjangkan leher ke depan kios makramenya. Wanita paruh baya dengan rambut yang digelung tinggi serta dress panjang tali spaghetti itu mematikan panggilan diikuti raut wajah kesal. “Udah dibilang nggak jual, masih aja ngeyel. Dasar brengsek!”Meletakkan beberapa hiasan dinding makrame ke dalam kardus sebelum berjalan mendekati sang tante. Vanilla ingin tahu apa yang menyebabkan Tante Lina marah-marah di pagi hari.“Tante kenapa?” tanya Vanilla setelah mengikat rambutnya menjadi satu bagian.“Ini, pegawainya Aditama. Tante udah bilang nggak ada barang, masih aja ngeyel! Ya emang Tante masih ada stok, tapi nggak sudi jual buat Aditama!” Vanilla terdiam sesaat. Sejak peristiwa itu, Tante Lina memang sangat membenci semua hal yang berhubungan dengan keluarga Aditama. Bahkan tidak akan menjual produk mebelnya kepada perusahaan Aditama. Meskipun sudah bisa dipastikan ia akan meraup banyak keuntungan jika bekerjasama deng