“Cari aja tempat mebel lain!” Suara keras Tante Lina membuat Vanilla memanjangkan leher ke depan kios makramenya. Wanita paruh baya dengan rambut yang digelung tinggi serta dress panjang tali spaghetti itu mematikan panggilan diikuti raut wajah kesal. “Udah dibilang nggak jual, masih aja ngeyel. Dasar brengsek!”
Meletakkan beberapa hiasan dinding makrame ke dalam kardus sebelum berjalan mendekati sang tante. Vanilla ingin tahu apa yang menyebabkan Tante Lina marah-marah di pagi hari.
“Tante kenapa?” tanya Vanilla setelah mengikat rambutnya menjadi satu bagian.
“Ini, pegawainya Aditama. Tante udah bilang nggak ada barang, masih aja ngeyel! Ya emang Tante masih ada stok, tapi nggak sudi jual buat Aditama!” Vanilla terdiam sesaat. Sejak peristiwa itu, Tante Lina memang sangat membenci semua hal yang berhubungan dengan keluarga Aditama. Bahkan tidak akan menjual produk mebelnya kepada perusahaan Aditama. Meskipun sudah bisa dipastikan ia akan meraup banyak keuntungan jika bekerjasama dengan perusahaan tersebut. “Dipikir kita butuh duit dari mereka apa? Dasar sialan!”
“Udah, Tante.” Vanilla meraih tangan Tante Lina dan mengusapnya. Gerakan dari sang keponakan kontan membuat Tante Lina menoleh lalu mengusap wajah Vanilla. Tiba-tiba kedua mata wanita paruh baya itu berlinang air mata.
“Kamu harus bahagia, Van. Apa pun yang terjadi, Tante akan selalu ada buat kamu dan Zayn,” celetuk Tante Lina.
Vanilla mengulas senyuman. “Aku tahu. Udah ah, masih pagi jangan buat suasana melow.”
Tante Lina ikut tersenyum, lantas buru-buru mengusap air mata yang belum sempat menetes. Ia memanjangkan leher dan mendapati beberapa kardus dengan huruf tegak bersambung ‘Lovely handicraft’ tersemat di setiap bagian.
“Mau nganter pesenan?” tanya Tante Lina.
“Iya, Tan. Biasa ke The Heights,” jawab Vanilla ikut menoleh ke arah lima kardus yang belum terisi penuh.
“Oh kamu masih ada kerjasama di The Heights? Tante denger mau ada pergantian manajemen di sana,” sambung Tante Lina sambil menyelipkan helaian poni panjangnya ke belakang telinga.
“Iya katanya gitu. Tapi di sana lumayan ramai, kok. Penjualan souvenirku juga bagus. Cuma manajemennya aja yang bermasalah,” terang Vanilla.
“Ck! Emang manajemen keluarga itu gampang kena masalah. Semua pada ikut campur dan nggak mau kalah. Ya udah, biar Tante bantu.”
Memasukkan makrame ke dalam kardus sesuai dengan ukuran dan warna yang berbeda. Hiasan yang dibuat oleh Vanilla banyak digemari oleh penduduk lokal maupun wisatawan asing. Bahkan tidak jarang, Vanilla mengirimkan hasil kerajinan tangannya ke beberapa negara tetangga.
Sebab Vanila tidak hanya membuat hiasan dinding saja. Ia juga ahli dalam membuat seni simpul untuk keranjang, topi, rompi, gorden, penghias keramik, tas hingga keranjang untuk menggantung tanaman. Pun ia tidak menyangka hobi yang sudah ditekuni sejak remaja akan menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya bersama sang putra.
“Mom! Mommy!” Teriakan dari Zayn seperti alarm bagi Vanilla. Hentakan kaki kecil bocah berumur tiga tahun tersebut membuat sang ibu mendongakkan kepala.
“Ya, Sayang!”
Zayn turun perlahan dari tangga kayu yang sengaja dibuat landai oleh Vanilla. Kios Vanila terdiri dari dua lantai. Untuk bangunan di lantai dua, dimanfaatkan untuk kamar dan studio makrame. Terkadang Vanilla harus lembur untuk menyelesaikan pesanan seorang diri. Berulang kali Tante Lina menyarankan untuk merekrut pegawai, tetapi Vanilla belum bisa mempercayakan produk kerajinan tangannya kepada orang lain.
“Mommy, aku mau ikut,” ujar Zayn sambil menyeret selimut bergambar Batman yang sudah kumal. Well, Vanilla harus berusaha keras setiap membujuk Zayn untuk melepaskan selimut agar bisa dicuci. Bocah itu memang tidak bisa terlepas dari selimut Batmannya sejak bayi.
“Ikut kemana? Udah sama Grandma, aja,” celetuk Tante Lina sambil melakban kardus makrame.
Zayn menggeleng cepat sampai membuat rambut tebalnya bergoyang. Pipi gembul Zayn juga ikut bergetar karena gerakan tersebut. “No no no! Aku mau ikut sama Mommy. Mommy ‘kan udah janji mau beliin gelato.”
“But not now (Tapi nggak sekarang), Sayang.” Vanilla mengusap puncak kepala sang putra dengan salah satu tangan yang penuh dengan tas makrame berukuran sedang.
“Mommy udah promise to me.” (Janji denganku ) Bibir tebal Zayn mengerucut. Menggemaskan sekali.
Menghela napas sambil melihat sang putra yang kini duduk bersila dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya berlipat kesal.
Vanilla mengulum senyum. “Oke, Zayn boleh ikut.”
“Yeay! Yippy!” Mendengar kalimat persetujuan dari sang ibu, Zayn lantas melompat kegirangan. Ia menggoyangkan bokongnya yang montok sambil terus melompat.
Bagi Vanilla, Zayn adalah alasannya bertahan selama ini. Ia tidak peduli dengan semua hal buruk yang menimpa. Asalkan ada Zayn semua akan bisa dilewati.
“Permisi, paket!” Suara dari seorang kurir membuat Vanilla dan Tante Lina menoleh bersamaan. “Paket untuk Bu Vanilla.”
“Paket untuk saya? dari siapa?” tanya Vanilla sambil mendekati kurir tersebut.
Satu buket bunga mawar merah yang dipadukan baby breath menciptakan senyuman tipis di bibir Vanilla, seakan sudah tahu siapa pengirimnya.
“Silahkan tanda tangan di sini, Bu,” pinta kurir tersebut setelah mengulurkan buket mawar merah.
Setelah memberikan tanda terima, Vanilla mencari kartu ucapan yang terselip di antara kelopak bunga mawar merah tersebut. Senyum Vanilla semakin merekah ketika membaca rangkaian kata manis yang tertulis untuknya.
‘Selamat hari jadi yang ke tujuh, Sayang. Aku tidak sabar menjadi bagian dari kehidupanmu seutuhnya. Tadi aku bingung karena nggak ada bunga yang bisa menyamai cantiknya kamu, jadi aku pilih mawar yang jadi favoritmu. Aku merindukanmu, Vanilla.’
Senyum Vanilla semakin merekah setelah menghidu aroma bunga mawar yang wangi itu. Vanilla cukup penasaran dengan siapa yang membantu Gavin merangkai kalimat dalam kartu ucapan tersebut. Mengingat Gavin adalah pria yang sulit mengungkapkan isi hati.
Tujuh hari yang lalu, Vanilla menerima ajakan pernikahan dari Gavin. Sekarang mereka tengah sibuk mempersiapkan acara pernikahan yang akan digelar dua bulan mendatang. Setelah empat tahun bersabar, akhirnya Gavin akan menjadi teman hidup yang dipilih oleh Vanilla.
***
Kaki kecil Zayn melangkah mengikuti Vanilla yang sedang membawa satu kardus masuk ke dalam toko oleh-oleh The Heights Hotel. Bangunan yang dibuat dengan dinding kaca secara keseluruhan itu tampak mencolok di sebelah lobi hotel dengan aneka oleh-oleh khas Bali. Semuanya tertata apik di etalase. Produk yang dibuat oleh Vanilla termasuk yang paling laris. Bahkan dalam satu bulan, Vanila bisa mengirimkan 200 biji makrame ke sana.
“Selamat sore, Mbok Rai,” sapa Vanilla kepada seorang wanita paruh baya dengan rambut yang digelung rapi serta busana kebaya warna ungu muda.
“Eh, Vanilla. Kok bawa sendiri? Biar dibantu Jaka,” ujar Mbok Rai sambil celingukan mencari keberadaan salah satu staf hotel itu.
“Bli Jaka udah di mobil aku, bawain kardus yang lain,” terang Vanilla.
“Oh, ya sudah kalau begitu.” Perhatian Mbok Rai lantas tersita pada Zayn yang berdiri di belakang Vanilla sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling pelataran hotel. Akuarium berukuran besar yang terpasang dekat dengan meja resepsionis menarik perhatian bocah tersebut. “Zayn! Kok tumben ikut.”
Vanilla menoleh ke arah sang putra setelah meletakkan kardus di lantai. “Zayn, salam dulu sama Niyang.”
Patuh dengan perintah sang ibu, Zayn maju beberapa langkah lalu mengulurkan tangan mungilnya. Tidak hanya itu saja, ia juga mencium punggung tangan Mbok Rai sebagai bentuk rasa menghormati.
“Uh, pinternya Zayn ini.” Mbok Rai mengusap kepala Zayn gemas. Lalu ia teringat nota pembayaran bulan lalu yang belum diberikan kepada Vanilla. “Oh iya, Van. Ini nota bulan kemarin.”
Merasa perhatian sang ibu sedang tercurahkan pada hal lain, Zayn berlari kecil ke arah akuarium besar yang membuatnya penasaran. Ada ikan warna hitam yang panjang menarik rasa ingin tahu bocah itu.
Setelah beberapa menit berlalu, Vanilla baru tersadar jika sang putra tidak berada di dekatnya. Ia menoleh ke kanan kiri untuk mencari keberadaan bocah tersebut. Beranjak dari duduknya, Vanilla menelusuri ruang toko oleh-oleh untuk mencari Zayn. Namun, sang putra tidak tampak di area toko tersebut.
“Zayn!” panggil Vanilla mulai panik.
“Kenapa, Van?” tanya Mbom Rai setelah meletakkan beberapa kardus makrame ke gudang belakang toko.
“Mbok Rai lihat Zayn nggak ya?” Mata Vanila tidak bisa berhenti mengedar ke sekeliling. Ia sangat ceroboh hingga lalai menjaga Zayn agar tetap dalam pandangan. Sementara itu Mbok Rai ikut memanjangkan leher untuk mencari keberadaan Zayn.
“Itu Zayn, ‘kan?” Mbok Rai menunjuk ke arah meja resepsionis. Kepala Vanilla menoleh ke arah yang sama lalu berlari kecil untuk menghampiri sang putra.
Baru beberapa langkah, kaki Vanilla berhenti. Kedua kelopak matanya terbuka lebar setelah mendapati sosok yang tidak ingin dilihat sepanjang hidupnya. Saraf Vanilla seakan berhenti sesaat ketika pria yang paling dibenci itu sedang berlutut dengan satu kaki dan berhadapan dengan Zayn. Hati Vanilla terasa bergemuruh seketika.
“Mommy!” Zayn yang menyadari keberadaan Vanilla berlari kecil ke arahnya. Lalu secara bersamaan, Aryan menoleh dan meluruskan tubuh menjadi berdiri. Salah satu tangan pria bertato itu dimasukkan ke dalam saku sambil terus melihat ke arah Vanilla.
Napas Vanilla terasa sesak saat melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Tidak! Ia tidak boleh bertemu lagi dengan Aryan. Tidak boleh!
TO BE CONTINUED….
Kedua iris gelap Aryan memindai penampilan Vanilla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Dress selutut warna peach membungkus tubuh sintal wanita itu. Potongan kerah persegi panjang yang sedikit turun memperlihatkan belahan dada padat pembangkit gairah para pria. Pun tulang selangka yang menonjol menjadi salah satu daya tarik Vanilla.Senyuman tipis tercetak di wajah Aryan. Vanilla masih cantik seperti dulu, bahkan sekarang lebih memesona."Mommy." Suara kecil Zayn membuat Aryan melemparkan tatapan ke arah bocah itu dan Vanilla secara bergantian. Kening Aryan berkerut penuh tanya.Embusan angin sore hari menerbangkan helaian rambut kecokelatan Vanilla. Ia lalu berjalan tanpa ragu ke arah Aryan. Sementara itu Aryan masih berdiri di tempat dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tato peluru dengan tambahan tribal tercetak jelas di seluruh lengan kirinya."Ayo pulang," ajak Vanilla sambil menggandeng tangan Zayn. Ia sama sekali tidak melihat ke arah Aryan yang berdiri t
“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.“Argh!”
Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melinta
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus m
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa
Jemari lentik dengan pulasan kuteks warna pink neon itu terus menyisir helaian rambut Aryan tanpa berhenti. Jambakannya semakin menguat ketika lembut bibir Aryan menghisap kecil setiap inci tubuh yang sedang bergelinjang nikmat. Desahan saling bersahutan memenuhi ruangan yang mengadopsi arsitektur minimalis modern tersebut. Cermin besar yang membentang seakan merekam penyatuan panas dan penuh mereka.Lidah Aryan bermain di sekitar puncak dada Vanilla yang sudah mengeras dan mulai memainkannya. Posisi Aryan duduk di pinggiran ranjang, sementara Vanilla berada di pangkuannya."Ah ... Aryan!" Vanilla mendongak ketika milik Aryan semakin menghujam miliknya tanpa henti. "Aryan, please ...."Darah dalam tubuh Vanilla semakin memanas ketika tangan Aryan terus meremas bokong bulatnya. Iris segelap obsidian milik Aryan terus menyorot ke arah Vanilla diikuti desahan yang lolos dari bibirnya. Dua hal yang membuat Vanilla seakan terhipnotis dan ingin mendominasi permainan.Gerakan pinggul Vanilla
Empat tahun kemudianSuara musik yang tengah dimainkan oleh DJ mengaung keras. Bola lampu yang berputar di langit-langit atap memancarkan aneka warna dan menyorot ke seluruh bagian klub. Aroma khas wine dan whisky pun ikut menguar di dalam ruangan kaca VVIP yang khusus dipersiapkan untuk para putra Aditama."Wooo! Jival!" Pekikan Vian membuat Aryan yang sedang bersandar pada pagar lantai dua salah satu klub Aditama di Bali ikut menyeringai.Kehebohan yang baru saja tercipta adalah ulah Jival, kembaran Vian yang baru saja mencium seorang wanita, putri dari pejabat di negeri ini. Saat keempat saudaranya mengamati dari lantai atas, Jival mengacungkan jari tanda kemenangan."Sial!" umpat Jai sambil melemparkan tubuh di sofa panjang dalam ruangan kaca VVIP tersebut. Kali ini Jai yang kalah taruhan dengan Jival dan harus merelakan motor sport barunya.Ketujuh putra Aditama tidak melakukan taruhan demi mengincar hadiah, hanya untuk kesenangan dan memenuhi rasa penasaran mereka. Hidup dalam k