“Cari aja tempat mebel lain!” Suara keras Tante Lina membuat Vanilla memanjangkan leher ke depan kios makramenya. Wanita paruh baya dengan rambut yang digelung tinggi serta dress panjang tali spaghetti itu mematikan panggilan diikuti raut wajah kesal. “Udah dibilang nggak jual, masih aja ngeyel. Dasar brengsek!”
Meletakkan beberapa hiasan dinding makrame ke dalam kardus sebelum berjalan mendekati sang tante. Vanilla ingin tahu apa yang menyebabkan Tante Lina marah-marah di pagi hari.
“Tante kenapa?” tanya Vanilla setelah mengikat rambutnya menjadi satu bagian.
“Ini, pegawainya Aditama. Tante udah bilang nggak ada barang, masih aja ngeyel! Ya emang Tante masih ada stok, tapi nggak sudi jual buat Aditama!” Vanilla terdiam sesaat. Sejak peristiwa itu, Tante Lina memang sangat membenci semua hal yang berhubungan dengan keluarga Aditama. Bahkan tidak akan menjual produk mebelnya kepada perusahaan Aditama. Meskipun sudah bisa dipastikan ia akan meraup banyak keuntungan jika bekerjasama dengan perusahaan tersebut. “Dipikir kita butuh duit dari mereka apa? Dasar sialan!”
“Udah, Tante.” Vanilla meraih tangan Tante Lina dan mengusapnya. Gerakan dari sang keponakan kontan membuat Tante Lina menoleh lalu mengusap wajah Vanilla. Tiba-tiba kedua mata wanita paruh baya itu berlinang air mata.
“Kamu harus bahagia, Van. Apa pun yang terjadi, Tante akan selalu ada buat kamu dan Zayn,” celetuk Tante Lina.
Vanilla mengulas senyuman. “Aku tahu. Udah ah, masih pagi jangan buat suasana melow.”
Tante Lina ikut tersenyum, lantas buru-buru mengusap air mata yang belum sempat menetes. Ia memanjangkan leher dan mendapati beberapa kardus dengan huruf tegak bersambung ‘Lovely handicraft’ tersemat di setiap bagian.
“Mau nganter pesenan?” tanya Tante Lina.
“Iya, Tan. Biasa ke The Heights,” jawab Vanilla ikut menoleh ke arah lima kardus yang belum terisi penuh.
“Oh kamu masih ada kerjasama di The Heights? Tante denger mau ada pergantian manajemen di sana,” sambung Tante Lina sambil menyelipkan helaian poni panjangnya ke belakang telinga.
“Iya katanya gitu. Tapi di sana lumayan ramai, kok. Penjualan souvenirku juga bagus. Cuma manajemennya aja yang bermasalah,” terang Vanilla.
“Ck! Emang manajemen keluarga itu gampang kena masalah. Semua pada ikut campur dan nggak mau kalah. Ya udah, biar Tante bantu.”
Memasukkan makrame ke dalam kardus sesuai dengan ukuran dan warna yang berbeda. Hiasan yang dibuat oleh Vanilla banyak digemari oleh penduduk lokal maupun wisatawan asing. Bahkan tidak jarang, Vanilla mengirimkan hasil kerajinan tangannya ke beberapa negara tetangga.
Sebab Vanila tidak hanya membuat hiasan dinding saja. Ia juga ahli dalam membuat seni simpul untuk keranjang, topi, rompi, gorden, penghias keramik, tas hingga keranjang untuk menggantung tanaman. Pun ia tidak menyangka hobi yang sudah ditekuni sejak remaja akan menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya bersama sang putra.
“Mom! Mommy!” Teriakan dari Zayn seperti alarm bagi Vanilla. Hentakan kaki kecil bocah berumur tiga tahun tersebut membuat sang ibu mendongakkan kepala.
“Ya, Sayang!”
Zayn turun perlahan dari tangga kayu yang sengaja dibuat landai oleh Vanilla. Kios Vanila terdiri dari dua lantai. Untuk bangunan di lantai dua, dimanfaatkan untuk kamar dan studio makrame. Terkadang Vanilla harus lembur untuk menyelesaikan pesanan seorang diri. Berulang kali Tante Lina menyarankan untuk merekrut pegawai, tetapi Vanilla belum bisa mempercayakan produk kerajinan tangannya kepada orang lain.
“Mommy, aku mau ikut,” ujar Zayn sambil menyeret selimut bergambar Batman yang sudah kumal. Well, Vanilla harus berusaha keras setiap membujuk Zayn untuk melepaskan selimut agar bisa dicuci. Bocah itu memang tidak bisa terlepas dari selimut Batmannya sejak bayi.
“Ikut kemana? Udah sama Grandma, aja,” celetuk Tante Lina sambil melakban kardus makrame.
Zayn menggeleng cepat sampai membuat rambut tebalnya bergoyang. Pipi gembul Zayn juga ikut bergetar karena gerakan tersebut. “No no no! Aku mau ikut sama Mommy. Mommy ‘kan udah janji mau beliin gelato.”
“But not now (Tapi nggak sekarang), Sayang.” Vanilla mengusap puncak kepala sang putra dengan salah satu tangan yang penuh dengan tas makrame berukuran sedang.
“Mommy udah promise to me.” (Janji denganku ) Bibir tebal Zayn mengerucut. Menggemaskan sekali.
Menghela napas sambil melihat sang putra yang kini duduk bersila dengan tangan terlipat di depan dada. Wajahnya berlipat kesal.
Vanilla mengulum senyum. “Oke, Zayn boleh ikut.”
“Yeay! Yippy!” Mendengar kalimat persetujuan dari sang ibu, Zayn lantas melompat kegirangan. Ia menggoyangkan bokongnya yang montok sambil terus melompat.
Bagi Vanilla, Zayn adalah alasannya bertahan selama ini. Ia tidak peduli dengan semua hal buruk yang menimpa. Asalkan ada Zayn semua akan bisa dilewati.
“Permisi, paket!” Suara dari seorang kurir membuat Vanilla dan Tante Lina menoleh bersamaan. “Paket untuk Bu Vanilla.”
“Paket untuk saya? dari siapa?” tanya Vanilla sambil mendekati kurir tersebut.
Satu buket bunga mawar merah yang dipadukan baby breath menciptakan senyuman tipis di bibir Vanilla, seakan sudah tahu siapa pengirimnya.
“Silahkan tanda tangan di sini, Bu,” pinta kurir tersebut setelah mengulurkan buket mawar merah.
Setelah memberikan tanda terima, Vanilla mencari kartu ucapan yang terselip di antara kelopak bunga mawar merah tersebut. Senyum Vanilla semakin merekah ketika membaca rangkaian kata manis yang tertulis untuknya.
‘Selamat hari jadi yang ke tujuh, Sayang. Aku tidak sabar menjadi bagian dari kehidupanmu seutuhnya. Tadi aku bingung karena nggak ada bunga yang bisa menyamai cantiknya kamu, jadi aku pilih mawar yang jadi favoritmu. Aku merindukanmu, Vanilla.’
Senyum Vanilla semakin merekah setelah menghidu aroma bunga mawar yang wangi itu. Vanilla cukup penasaran dengan siapa yang membantu Gavin merangkai kalimat dalam kartu ucapan tersebut. Mengingat Gavin adalah pria yang sulit mengungkapkan isi hati.
Tujuh hari yang lalu, Vanilla menerima ajakan pernikahan dari Gavin. Sekarang mereka tengah sibuk mempersiapkan acara pernikahan yang akan digelar dua bulan mendatang. Setelah empat tahun bersabar, akhirnya Gavin akan menjadi teman hidup yang dipilih oleh Vanilla.
***
Kaki kecil Zayn melangkah mengikuti Vanilla yang sedang membawa satu kardus masuk ke dalam toko oleh-oleh The Heights Hotel. Bangunan yang dibuat dengan dinding kaca secara keseluruhan itu tampak mencolok di sebelah lobi hotel dengan aneka oleh-oleh khas Bali. Semuanya tertata apik di etalase. Produk yang dibuat oleh Vanilla termasuk yang paling laris. Bahkan dalam satu bulan, Vanila bisa mengirimkan 200 biji makrame ke sana.
“Selamat sore, Mbok Rai,” sapa Vanilla kepada seorang wanita paruh baya dengan rambut yang digelung rapi serta busana kebaya warna ungu muda.
“Eh, Vanilla. Kok bawa sendiri? Biar dibantu Jaka,” ujar Mbok Rai sambil celingukan mencari keberadaan salah satu staf hotel itu.
“Bli Jaka udah di mobil aku, bawain kardus yang lain,” terang Vanilla.
“Oh, ya sudah kalau begitu.” Perhatian Mbok Rai lantas tersita pada Zayn yang berdiri di belakang Vanilla sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling pelataran hotel. Akuarium berukuran besar yang terpasang dekat dengan meja resepsionis menarik perhatian bocah tersebut. “Zayn! Kok tumben ikut.”
Vanilla menoleh ke arah sang putra setelah meletakkan kardus di lantai. “Zayn, salam dulu sama Niyang.”
Patuh dengan perintah sang ibu, Zayn maju beberapa langkah lalu mengulurkan tangan mungilnya. Tidak hanya itu saja, ia juga mencium punggung tangan Mbok Rai sebagai bentuk rasa menghormati.
“Uh, pinternya Zayn ini.” Mbok Rai mengusap kepala Zayn gemas. Lalu ia teringat nota pembayaran bulan lalu yang belum diberikan kepada Vanilla. “Oh iya, Van. Ini nota bulan kemarin.”
Merasa perhatian sang ibu sedang tercurahkan pada hal lain, Zayn berlari kecil ke arah akuarium besar yang membuatnya penasaran. Ada ikan warna hitam yang panjang menarik rasa ingin tahu bocah itu.
Setelah beberapa menit berlalu, Vanilla baru tersadar jika sang putra tidak berada di dekatnya. Ia menoleh ke kanan kiri untuk mencari keberadaan bocah tersebut. Beranjak dari duduknya, Vanilla menelusuri ruang toko oleh-oleh untuk mencari Zayn. Namun, sang putra tidak tampak di area toko tersebut.
“Zayn!” panggil Vanilla mulai panik.
“Kenapa, Van?” tanya Mbom Rai setelah meletakkan beberapa kardus makrame ke gudang belakang toko.
“Mbok Rai lihat Zayn nggak ya?” Mata Vanila tidak bisa berhenti mengedar ke sekeliling. Ia sangat ceroboh hingga lalai menjaga Zayn agar tetap dalam pandangan. Sementara itu Mbok Rai ikut memanjangkan leher untuk mencari keberadaan Zayn.
“Itu Zayn, ‘kan?” Mbok Rai menunjuk ke arah meja resepsionis. Kepala Vanilla menoleh ke arah yang sama lalu berlari kecil untuk menghampiri sang putra.
Baru beberapa langkah, kaki Vanilla berhenti. Kedua kelopak matanya terbuka lebar setelah mendapati sosok yang tidak ingin dilihat sepanjang hidupnya. Saraf Vanilla seakan berhenti sesaat ketika pria yang paling dibenci itu sedang berlutut dengan satu kaki dan berhadapan dengan Zayn. Hati Vanilla terasa bergemuruh seketika.
“Mommy!” Zayn yang menyadari keberadaan Vanilla berlari kecil ke arahnya. Lalu secara bersamaan, Aryan menoleh dan meluruskan tubuh menjadi berdiri. Salah satu tangan pria bertato itu dimasukkan ke dalam saku sambil terus melihat ke arah Vanilla.
Napas Vanilla terasa sesak saat melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Tidak! Ia tidak boleh bertemu lagi dengan Aryan. Tidak boleh!
TO BE CONTINUED….
Kedua iris gelap Aryan memindai penampilan Vanilla dari ujung kaki hingga puncak kepala. Dress selutut warna peach membungkus tubuh sintal wanita itu. Potongan kerah persegi panjang yang sedikit turun memperlihatkan belahan dada padat pembangkit gairah para pria. Pun tulang selangka yang menonjol menjadi salah satu daya tarik Vanilla.Senyuman tipis tercetak di wajah Aryan. Vanilla masih cantik seperti dulu, bahkan sekarang lebih memesona."Mommy." Suara kecil Zayn membuat Aryan melemparkan tatapan ke arah bocah itu dan Vanilla secara bergantian. Kening Aryan berkerut penuh tanya.Embusan angin sore hari menerbangkan helaian rambut kecokelatan Vanilla. Ia lalu berjalan tanpa ragu ke arah Aryan. Sementara itu Aryan masih berdiri di tempat dengan salah satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tato peluru dengan tambahan tribal tercetak jelas di seluruh lengan kirinya."Ayo pulang," ajak Vanilla sambil menggandeng tangan Zayn. Ia sama sekali tidak melihat ke arah Aryan yang berdiri ti
“Sepertinya kamu harus pakai otakmu sekali-kali untuk berpikir, Aryan. Jadi nggak perlu nunggu orang lain kasih tahu satu per satu kesalahan kamu.”Kalimat yang terucap dari bibir Vanilla masih menggema di rungu Aryan. Ia tidak akan melupakan bagaimana ekspresi Vanilla ketika mengucapkan kalimat itu. Tanpa ragu diikuti sorot mata tajam yang langsung menusuk jantung Aryan. Tampak jelas ada sirat kebencian yang ikut serta.“Cih!” Aryan berdecih setiap mengingat itu.Kepala Aryan menengadah ketika rasa hangat semakin bergerak lincah memanjakan miliknya. Gelora amarah perlahan merangkak dan bercampur dengan kenikmatan sesaat yang diciptakan oleh Sarah. Meskipun pelayanannya bukan yang terbaik, tetapi Aryan tidak akan menolak wanita itu untuk sekedar melampiaskan hasrat.Well, bukan untuk bercinta. Aryan masih memegang prinsip untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama setelah melanggarnya bersama Vanilla. Sejauh ini hanya Vanilla yang bisa membuat Aryan lupa dengan prinsip itu.“Argh!” J
Vanilla tahu, jika ketidak jujurannya akan membuat masalah nanti. Namun, ia tidak ingin mengganggu pikiran Gavin yang sedang bersemangat untuk mempersiapkan pernikahan. Vanilla tidak ingin menyakiti Gavin karena pertemuannya bersama Aryan. Well, pertemuan tidak sengaja. Pun ia tidak menginginkan pertemuan itu terjadi.Gavin adalah pria yang baik. Sejak bertemu di Bali, ia selalu menemani Vanilla. Bahkan dengan sehati ia menggantikan posisi seorang suami saat persalinan. Suara yang pertama didengar oleh Zayn ketika lahir ke dunia adalah lantunan adzan dari Gavin.Kelahiran Zayn merubah total kehidupan Vanilla. Semua yang terasa berat seolah bisa dilewati tanpa kendala. Ia seperti mendapatkan kekuatan super saat melihat tubuh mungil yang menggeliat di atas box bayi. Zayn adalah sumber kekuatan Vanilla yang mewarisi gen dominan dari Aryan. Setiap menatap wajah sang putra, wajah Aryan selalu melintas di benak. Sebenarnya bukan masalah besar, Aryan tampan. Hanya saja Vanilla semakin sulit m
Tangan berurat Aryan menggeser layar iPad sambil mengamati satu per satu desain kafe baru di halaman The Heights hotel. Ia ingin membuat kafe baru dengan pemandangan laut tanpa dinding.Ia tidak ingin menyia-nyiakan panorama alam yang sangat menguntungkan itu.Menggaruk dagunya yang tidak gatal sembari menimbang dua arsitektur di layar. Aryan mengamati penuh fokus. “Aku lebih menyukai ini.”Daniel selaku general manager The Heights, sedikit mencondongkan tubuh untuk melihat pilihan Aryan. Perpaduan arsitektur minimal dengan sentuhan mewah di beberapa sudutnya.“Baik, Pak Aryan. Nanti saya sampaikan ke arsitekturnya. Hari ini dia masih ada urusan di Surabaya jadi tidak bisa bertemu. Besok Pak Aryan ada waktu?” tanya Daniel yang duduk berhadapan dengan Aryan di meja coffee shop The Heights hotel.“Aku tidak suka mengikuti jadwal orang lain. Mereka yang harus menyesuaikan dengan waktu senggangku. Kamu saja yang temui dia,” ucap Aryan sambil meneguk minuman dinginnya. Sesekali ia melirik wa
Dengan sigap, Gavin berlari lalu menceburkan diri ke kolam setelah mendorong tubuh Aryan. Hampir saja Aryan ikut tercebur ke kolam dengan kedalaman 1,35 meter itu.Gavin langsung menangkap tubuh Zayn yang berusaha untuk menggerakkan kedua kaki dan tangan. Bocah itu bisa berenang, meskipun belum begitu mahir. Sementara itu Vanilla berdiri di pinggir kolam sembari memastikan sang putra baik-baik saja.Raut wajah cemas tercetak jelas di wajah Vanilla. Jantungnya hampir terlepas dari peraduan. Ia tidak sempat melihat apa yang membuat Zayn terjatuh ke kolam karena berada di tengah ketegangan antara Aryan dan Gavin.“Zayn!” Vanilla buru-buru berlari dan menggendong Zayn setelah Gavin keluar dari kolam. “Astaga, Nak! Are you okay?”Zayn mengalungkan kedua lengannya di leher Vanilla sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. Beberapa tamu undangan ikut menghela napas lega setelah memastikan Zayn dalam keadaan baik. Ia hanya sedikit terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya.“
Aryan menggosok dagunya yang tidak gatal dengan satu tangan berpegangan pada kemudi. Sesekali ia melirik layar ponsel yang masih menghitam. Ia menunggu Vanilla membalas pesannya mengenai keadaan Zayn. Rasa khawatir perlahan mulai terasa dalam batin.Ketika mobilnya melaju dengan kecepatan rata-rata, Aryan kembali mengorek masa lalu. Ia masih ingat betul betapa sakit hantaman dari Rachel ketika ucapan kasar secara tidak sengaja terucap begitu saja. Well, saat itu Aryan masih kecil, tentu masih suka asal bicara. Meskipun sekarang juga masih sama. Jadi ia tahu perasaan Zayn kali ini, pasti bocah itu sangat ketakutan.Si gahar mercedes yang ditumpangi oleh Aryan berbelok ke The Moon Palace, salah satu hotel bintang milik Narendra. Kaki Aryan mengayun turun dari mobil dan memasuki lobi hotel. Beberapa staf yang menyadari kedatangan Aryan menganggukkan kepala untuk memberi salam. Namun, seperti biasa Aryan tidak menanggapinya dan memilih berjalan ke lift.Langkah Aryan semakin memburu setela
Vanilla bersusah payah mengatur emosi yang bercokol hebat di dalam hati. Jemarinya meremas pinggiran dress bermotif floral yang melekuk tubuh. Sorot mata tajam dilemparkan pada Aryan.“Bukan,” jawab Vanilla dengan penuh keyakinan. “Zayn bukan putramu.”Setelah mendengar jawaban dari Vanilla, Aryan bernapas lega. Tidak dipungkiri, sedari tadi ada rasa sedikit takut mengenai dugaan yang muncul begitu saja dalam pikiran. Entah apa yang akan dilakukan Aryan jika benar Zayn adalah putranya.“Lalu anak siapa dia?” tanya Aryan lebih lanjut.“Itu bukan urusanmu, Aryan! Untuk apa kamu tahu/” jawab Vanilla tegas.“Oke, aku cuma mau tanya alasanmu meninggalkanku?” tanya Aryan penuh desakan.Melihat raut wajah Aryan yang tampak lega setelah mendengar jawabannya, Vanilla berdecak. Well, apa yang harus diharapkan dari pria brengsek seperti Aryan?“Untuk apa kamu tahu, Aryan? Tidak bisakah kita bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain?” Bibir merah jambu Vanilla berucap dengan tangan masih merem
Hantaman pintu terdengar cukup keras. Jantung Vanilla bergemuruh hebat diikuti deru napasnya yang tidak beraturan. Ia menggigit bibir bawah dengan bibir yang bergetar. Tangis Vanilla tumpah di sela-sela gerakan dada yang naik turun. Kedua lutut Vanilla lemas, seolah tidak mampu menopang berat tubuh.Serentetan kalimat yang baru saja terucap untuk Aryan terasa mengiris batin. Bukan ini yang ia harapkan. Bukan! Mengapa harus bertemu lagi dengan Aryan ketika hatinya mulai pulih?Air mata Vanilla terus mengalir tanpa jeda. Ia terduduk lemas di lantai sembari memeluk kedua lutut. Cinta yang pernah diberikan oleh Vanilla dengan tulus, ternyata hanya sebuah lelucon bagi Aryan. Vanilla bisa menebak bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan ketika menjadi topik pembicaraan para putra Aditama. Ia hanya seorang wanita bodoh yang terlihat menyedihkan.“A-aku sa-sangat membencimu, Ar-Aryan.” Napas Vanilla tersengal ketika mengucapkan kalimat itu. Kembali ia memeluk kedua lutut sambil terisak da
Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti
Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga
Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr
BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&
BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput
Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka
BAB 45Cahaya mentari yang menerobos celah tirai membuat Aryan menggeliat pelan. Ia meregangkan otot punggung sambil menguap. Berulang kali mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Aryan melihat waktu pada ponsel. Seingatnya ia masih melakukan panggilan video dengan Vanilla. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya saling menatap hingga Vanilla tertidur, tetapi Aryan enggan untuk mematikan panggilan mereka. Aryan ikut tertidur lalu panggilan mereka terputus karena daya baterai ponsel Vanilla habis.Kaki Aryan mengayun turun dari ranjang. Dengan langkah yang terseret ia menuruni tangga lantai satu dan mendapatkan sambutan dari sang putra yang tampak akrab bersama Narendra, Vian dan Jival.“Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” Pertanyaan Aryan ditujukan pada Jival dan Vian. “Harusnya kalian kerja supaya Daddy nggak narik saham kalian.’“Bad news, Aryan. Harusnya kamu yang khawatir soal it
BAB 44 (21+)“Can i eat your ….” Iris gelap Aryan melihat ke arah bibir Sarah yang menggigit sensual. Jemari Aryan bergerak atraktif untuk mengusap bibir wanita itu.“Yes, you can,” jawab Sarah diikuti anggukan kepala.Tanpa membuang waktu, Aryan lantas melahap habis bibir Sarah sembari memasukkan tangannya ke dalam blouse wanita itu. Kecupan yang tercipta semakin bergairah hingga suhu tubuh mereka naik drastis.Jemari Aryan bergerak dengan ahli, melepaskan kaitan bra milik Sarah dan membuangnya sembarangan pada lantai. Pagutan mereka masih menyatu satu sama lain, seperti magnet yang saling tarik menarik.Dengan memanfaatkan ruang yang cukup sempit, Aryan mengangkat tubuh Sarah untuk duduk di atas buffet empat laci yang memiliki tinggi pas. Mereka bersembunyi di balik pintu studio kios Vanilla. Hanya ada lampu remang-remang sumber pencahayaan mereka.Ikut bergerak aktif, Sarah
Setelah malam mendebarkan itu, Vanilla melakukan aktivitas seperti biasanya. Bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan bekal snack untuk Zayn. Rasanya rutinitas pagi itu tidak akan dilewatkan oleh Vanilla, meskipun sang putra sudah beranjak dewasa.Mengenai semalam, Vanilla tidak akan pernah lupa. Momen yang sangat berharga saat pertama kali Zayn menyebut Aryan dengan sebutan ‘Daddy’. Melihat sang putra memeluk ayahnya dengan sangat erat. Vanilla sangat bahagia bisa tiba di tahap yang semula sangat menakutkan itu.“Bu, ini saya cuci sekalian ya?” tanya Mbok Dar yang baru tiba 30 menit yang lalu. Ia memperlihatkan waslap yang teronggok di atas meja.Vanilla menoleh setelah meniriskan kudapan ringan untuk Zayn. Hari ini Zayn minta dibuatkan sosis dan nugget bentuk bintang.“Iya, Mbok cuci sekalian semua ya,” terang Vanilla. “Nanti saya ada kegiatan di Denpasar selama 2 hari. Mbok Dar cukup sapu pel aja ya.”Tangan Vanilla bergerak aktif untuk meletakkan piring kotor di wastafel