"Mau apa lagi dia?" ketus Wulan.
"Ada yang ingin dibicarakannya. Kamu mau ikut?" Sekadar bertanya pada Wulan. Aku yakin dia akan menggelengkan kepala.
Wulan menatap rok berwarna merah selutut yang dipakainya. Kemudian melihat pantulan wajahnya di cermin, "Nggak, gila aja. Masak penampilan kayak badut gini mau diajak ke kafe? Sengaja, ya?"
Jawaban yang sudah kutebak. Pasti dia menolak, "Oke, kuantar kamu pulang dulu."
Kutambah kecepatan mobil, jarum speedometer menunjuk ke arah angka 100 km/jam.
"Pelan-pelan, Ali!" Wulan mendel
Seminggu Yang Lalu …. Gemerlap lampu sorot berwarna-warni membuat suasana klub Heaven sangat meriah. Pesta dalam kegelapan. Dentuman musik dengan volume memekakkan telinga membuat para tamu yang datang bergoyang semakin cepat dan enerjik. Kehidupan malam adalah milik para manusia bebas. Kebebasan adalah tujuan semua manusia yang memiliki masalah. "Loe tau Lex, gimana selama tiga tahun ini gue ngejaga, Anissa?" David menunjuk ke arah dadanya sendiri. "Gue bener-bener sayang sama dia. Sampai-sampai gue gak pengen merusak dia. Bukankah cinta itu menjaga sampai dia menjadi yang halal untuk kita sentuh?" David menenggak minuma
"Apa ini cuma akal-akalan Hilton Corporation untuk meredam berita di media masa?" Perempuan yang bertubuh lebih gemuk menyikut lengan wanita di sebelahnya."Apa pun yang terjadi itu semua bukan urusan kalian!" sambungku lalu berdiri meninggalkan area pernikahan itu."Alex." Suara seorang perempuan memanggilku.Refleks aku menoleh ke arah belakang. Dari kejauhan mama dan Wulan menatapku, wanita paruh baya mengenakan gaun berwarna putih dengan sentuhan brokat berwarna emas itu melambai padaku.Mama menyuruhku mendekat, aku berbalik badan. Mengurungkan langkah yang akan meninggalkan area pernikahan ini.
Aku dan Om William berpelukan beberapa saat. Wildan menatap tajam padaku."Kalian terlihat akrab, apa kalian saling mengenal sebelumnya?" Kedua alis Wildan mengernyit."Kami hanya rekan bisnis, Nak!" Om William melepas pelukan. Terlihat ia berusaha bersikap tenang dan biasa saja di hadapan sang anak.Wildan berjalan perlahan menuju kami. Gadis cantik dengan balutan Cheongsam Floral berwarna putih itu mengikuti langkah sepupunya."Apa papa tahu siapa dia?" Wildan telah berada di samping papanya. Wajahnya memerah, terlihat masih marah kalah duel denganku tadi, "Dia adalah Alexander Ibrahim. Lelaki yang kabur dari acara pertunangan Melissa, sebulan yang lalu."
"Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi?"Aku memukul kaca di hadapan. Bagaimana bisa golongan darahku tak sama dengan Om William?"Jadi, aku ini anak siapa?!" teriakku di depan kaca.Menekan kran besi di westafel, air mengucur dengan deras. Segera kubasuh muka. Saat semua hal terlalu benar dan menjadi di luar nalar. Aku butuh air untuk membasuh muka. Semoga diriku yang menyedihkan ini segera sadar dari halusinasi kesombonganku.Mendongak, kembali menatap cermin di hadapan. Wajahku telah basah oleh air. Beberapa tetes cairan turun dari rambut ke kening."Apa aku benar-benar anak, Papa? Ibrahim, pemilik Th
"Harap tenang dan tidak membuat keributan." Salah seorang polisi mendekat ke arahku. Berbicara dengan tegas."Baik, Pak." Aku mengangguk, menuruti perintah Polisi itu.Satu sudut bibir Jhonny terangkat naik, "Apa maumu? Tak mungkin seorang Alexander Ibrahim datang kemari ingin menjenguk apalagi ingin reuni keluarga denganku," selidik Jhonny."Lima menit lagi." Seorang polisi mengatakan sisa waktuku menjenguk.Di depanku seorang lelaki dengan borgol di tangannya menatapku tajam. Di balik jeruji besi yang memisahkan ruangan ini, bisa kulihat dengan jelas tubuh Jhonny lebih kurus. Kumis di sekitar wajah dan dagunya terlihat tak terurus. Rambutnya dipotong cepak, hanya itu
Mama menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sepertinya sangat sulit bagi mama menerima kenyataan yang terjadi, "Ini tidak mungkin!"Urat-urat halus di kening Mama terlihat semua. Kerutan di wajahnya menyiratkan ekspresi tak percaya, kesal dan entahlah. Mama mungkin sulit mempercayai bahwa aku adalah anak kandung dari pria yang selama ini menjadi suaminya, Ibrahim pemilik The One Property.Ada saatnya ketika kita melakukan kesalahan. Semua hal negatif memenuhi isi kepala juga hati. Termasuk meragukan kebenaran akan kesalahan yang kita perbuat. Seperti saat ini."Ah, Mama sungguh tak habis pikir. Jadi selama ini mama menanggung beban, dan menyembunyikan rahasia yang sebenarnya tak perlu ditakutkan." Mama tersenyum lega menatapku, "Kamu adalah anak
Terlalu lelah untuk dapat memejamkan mata dengan cepat. Kembali berdiri berjalan menuju meja belajar. Aku duduk di depan komputer. Memasukkan kode rahasia di laman awal pengaturan CCTV rumah ini.Memutar video rekaman beberapa jam lalu. Mencari sudut kamera yang mengarah ke depan kamar mama. Kamera terdekat berada di atas pintu menuju balkon. Dari sudut kamera itu, koridor dan seluruh kamar di lantai dua terlihat."This is it!" Kutekan tombol zoom.Benar dugaanku. Bik Asih tadi memang sengaja menguping.Beberapa jam yang lalu saat asisten rumah tanggaku itu keluar dari kamarku. Ia terlihat menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan. Pelan-pelan ia mendekatkan kuping ke pintu kamar ma
Setelah beberapa menit menunggu. Akhirnya seorang lelaki dengan memakai topi berwarna hitam berjalan menuju mobil warna silver yang diparkir agak jauh dari mobil rolls-royce Phantomku. Perawakan lelaki bertopi itu tak begitu tinggi. Badannya berisi dengan dada bidang. Kuperkirakan usianya sekitar empat atau lima puluh tahunan. Lelaki itu terus menoleh ke kanan dan kiri. Seperti mencari sesuatu. Sudut mataku terus mengawasi lelaki itu. Siapa dia? Kenapa membuntutiku sedari tadi? Mobil berwarna silver itu mundur dan berbelok. Akan keluar dari gerbang pertokoan. De javu, sepertinya aku mengenali lelaki bertopi hitam itu. Namun, aku lupa tepatnya. Siapa dia? Kapan dan dimana kejadia