"Harap tenang dan tidak membuat keributan." Salah seorang polisi mendekat ke arahku. Berbicara dengan tegas.
"Baik, Pak." Aku mengangguk, menuruti perintah Polisi itu.
Satu sudut bibir Jhonny terangkat naik, "Apa maumu? Tak mungkin seorang Alexander Ibrahim datang kemari ingin menjenguk apalagi ingin reuni keluarga denganku," selidik Jhonny.
"Lima menit lagi." Seorang polisi mengatakan sisa waktuku menjenguk.
Di depanku seorang lelaki dengan borgol di tangannya menatapku tajam. Di balik jeruji besi yang memisahkan ruangan ini, bisa kulihat dengan jelas tubuh Jhonny lebih kurus. Kumis di sekitar wajah dan dagunya terlihat tak terurus. Rambutnya dipotong cepak, hanya itu
Mama menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sepertinya sangat sulit bagi mama menerima kenyataan yang terjadi, "Ini tidak mungkin!"Urat-urat halus di kening Mama terlihat semua. Kerutan di wajahnya menyiratkan ekspresi tak percaya, kesal dan entahlah. Mama mungkin sulit mempercayai bahwa aku adalah anak kandung dari pria yang selama ini menjadi suaminya, Ibrahim pemilik The One Property.Ada saatnya ketika kita melakukan kesalahan. Semua hal negatif memenuhi isi kepala juga hati. Termasuk meragukan kebenaran akan kesalahan yang kita perbuat. Seperti saat ini."Ah, Mama sungguh tak habis pikir. Jadi selama ini mama menanggung beban, dan menyembunyikan rahasia yang sebenarnya tak perlu ditakutkan." Mama tersenyum lega menatapku, "Kamu adalah anak
Terlalu lelah untuk dapat memejamkan mata dengan cepat. Kembali berdiri berjalan menuju meja belajar. Aku duduk di depan komputer. Memasukkan kode rahasia di laman awal pengaturan CCTV rumah ini.Memutar video rekaman beberapa jam lalu. Mencari sudut kamera yang mengarah ke depan kamar mama. Kamera terdekat berada di atas pintu menuju balkon. Dari sudut kamera itu, koridor dan seluruh kamar di lantai dua terlihat."This is it!" Kutekan tombol zoom.Benar dugaanku. Bik Asih tadi memang sengaja menguping.Beberapa jam yang lalu saat asisten rumah tanggaku itu keluar dari kamarku. Ia terlihat menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan. Pelan-pelan ia mendekatkan kuping ke pintu kamar ma
Setelah beberapa menit menunggu. Akhirnya seorang lelaki dengan memakai topi berwarna hitam berjalan menuju mobil warna silver yang diparkir agak jauh dari mobil rolls-royce Phantomku. Perawakan lelaki bertopi itu tak begitu tinggi. Badannya berisi dengan dada bidang. Kuperkirakan usianya sekitar empat atau lima puluh tahunan. Lelaki itu terus menoleh ke kanan dan kiri. Seperti mencari sesuatu. Sudut mataku terus mengawasi lelaki itu. Siapa dia? Kenapa membuntutiku sedari tadi? Mobil berwarna silver itu mundur dan berbelok. Akan keluar dari gerbang pertokoan. De javu, sepertinya aku mengenali lelaki bertopi hitam itu. Namun, aku lupa tepatnya. Siapa dia? Kapan dan dimana kejadia
"Cepat keluar!" Aku meraih pintu dan membukanya.Menarik kasar kerah leher lelaki di dalam mobil. Menyeretnya keluar dengan paksa.Brakgh!Memojokkan lelaki itu, ia menempel di samping mobil. Ia tak bisa bergerak lagi."Kenapa kamu membuntutiku sejak pagi tadi?"Aku membelalakkan mata, menggeram dengan suara tertahan pada lelaki itu.Bukannya menjawab lelaki itu menatapku dengan tajam. Satu sudut bibirnya naik, "Anak kemarin sore mau melawanku?"Bukgh!
[Siap, Boss! 👍]Tak berapa lama sebuah pesan balasan dari David masuk ke aplikasi perpesanan. Emoticon jempol tersemat di akhir pesan.Tanpa banyak tanya ia langsung mematuhi perintah. Benar-benar sekretaris sekaligus teman yang dapat diandalkan.Menatap jam digital di pojok kanan layar ponsel. 15.25 WIB, tak terasa waktu bergulir sangat cepat."Kita jalan lagi!""Yakin? Udah gak sakit pelipisnya?" Istirahat aja dulu."Saat seorang wanita mengatakan belum ingin melanjutkan perjalanan, percayalah artinya ia masih ingin bersama kita. Menghent
Bik Asih langsung menoleh ke arahku. Ia terkejut dengan jawaban tadi. Bola matanya membesar, kedua alisnya mengernyit menatapku."Ada apa, Bik? Kenapa melihatku seperti itu?"Asisten rumah tanggaku itu langsung menunduk tak berani menatap mataku langsung.Aku sengaja memancing Bik Asih untuk berkata. Ingin tahu juga bagaimana ekspresinya. Secara tak langsung aku telah memberitahukan pada Bik Asih bahwa aku membuntutinya, mendengarkan pembicaraannya di dalam gudang."Ti-tidak kenapa-kenapa Den."Lagi-lagi Bik Asih terlihat panik atas pertanyaanku."Sudah selesai, Tante."
Aku duduk bersebelahan dengan mama. Wanita yang terlihat memesona di umur menjelang lima puluh tahunnya itu tersenyum padaku. Mengenakan gaun tanpa lengan berwarna magenta, dari bahan sutra. Dipadukan dengan cardigan berwarna hitam. Mama tampak modis dan anggun.Papa memakai sweater tebal berwarna hitam dengan motif jajaran genjang. Ah, aku lupa sepertinya itu kotak-kotak. Lelaki itu lebih banyak diam. Kesehatannya akhir-akhir ini semakin memburuk.Aku menyipitkan sudut mataku mengarah pada papa. Ibu kandungku itu menganggukan kepalanya pelan. Mengerti akan maksudku."Kita mampir ke toko buah untuk oleh-oleh, Pa?"Mama mencoba mengajak Papa berbicara. Sejak mama
"Ini tidak mungkinn …!" jerit Mama. Setelah menjerit satu telapak tangannya menutupi mulut.Mama membelalakkan matanya menatap Paula Stephanie, tangannya mengepal."KAU?!""BAGAIMANA MUNGKIN KAU ADA DI SANA DAN MEREKAMNYA, TANPA MENOLONGKU?!"KAU ADALAH ORANG YANG MERENCANAKAN SEMUA INI, HAH?"Saat nenek, Alicia bahkan Paula stephanie menatap ke arah layar televisi. Mama berjalan dengan cepat ke arah ibu Jhonny itu.Plak!Bunyi tamparan dengan