"Ini tidak mungkinn …!" jerit Mama. Setelah menjerit satu telapak tangannya menutupi mulut.
Mama membelalakkan matanya menatap Paula Stephanie, tangannya mengepal.
"KAU?!"
"BAGAIMANA MUNGKIN KAU ADA DI SANA DAN MEREKAMNYA, TANPA MENOLONGKU?!
"KAU ADALAH ORANG YANG MERENCANAKAN SEMUA INI, HAH?"
Saat nenek, Alicia bahkan Paula stephanie menatap ke arah layar televisi. Mama berjalan dengan cepat ke arah ibu Jhonny itu.
Plak!
Bunyi tamparan dengan
"Ma," ucapku sambil mengetuk pintu."Masuk Alex."Aku menarik gagang pintu, mendorong pintu lebih lebar dan melangkah masuk.Mama menoleh sebentar. Wanita paruh baya itu berdiri di samping jendela. Menyandar pada dinding, tatapan matanya kosong."Mama baik-baik saja?""Bagaimana mama akan baik-baik saja, setelah semua yang terjadi, Alex. Kau tahu hari ini adalah pertama kalinya mama menampar seseorang.""Dua kali, mama malah menampar Ibu Jhonny itu sebanyak dua kali."
"Wah, kalian sudah berani main rahasia-rahasiaan sekarang?!" Aku menatap serius ke arah Tamara, "Kenapa loe bener-bener jatuh cinta sama David, dan ninggalin gue?" Aku tak sengaja menyenggol kaki Tamara di bawah meja. Tamara terlihat salah tingkah. Ia menatap ke arah lain. "Maaf, tak sengaja!" David mendongak dari layar ponselnya. Menatapku dan Tamara yang terlihat canggung. "Kalian ini kenapa?" "Gak apa-apa, Bro." Aku melirik sekilas pada Tamara yang masih terdiam. Tangan kanannya memegang ponsel. Namun, matanya menatapku. Semoga Tamara tak menganggap serius ucapanku. Itu hanya bercanda.
"Aargh …."Wulan limbung hampir terjatuh, aku segera menangkapnya dalam pelukan."Tuh, kena karma karena menganiaya cowok seganteng aku.""A-aku …."Mata Wulan mengerjap beberapa kali. Ia menatapku dengan tatapan yang entah. Aku pun tak mengerti ada apa di dalam hatiku. Mata kami saling bertautan. Dunia terasa terhenti. Detik jam seakan-akan tak berputar udara pun mengendap tak berembus. Memberikan kami kesempatan untuk saling menikmati suasana.Bulu mata Wulan sangat cantik, panjang dan lentik. Alisnya tebal, pipinya mulai bersemburat warna merah.
Kediaman Keluarga Ibrahim. "Kalian sudah pulang?" Mama tersenyum dengan deretan gigi yang terlihat berbaris rapi. Ia memakai topi lebar berwarna putih. Tangan kanannya memegang gunting taman. Ia sangat suka berkebun. "Iya, Tante. Acaranya baru selesai." Mata mama menatap pada piala berwarna emas yang dibawa Wulan, "Apa itu, Wulan?" Wulan mengangkat piala di tangannya, "Wulan menang Tante, kategori obat inovatif," jelas Wulan. "Calon mantu Tante emang pinter!" "Mama terlalu memuji, itu cum
"Ini dia rumah sakitnya, Bos." Lelaki berbadan tegap dengan jambang panjang di sebelah telinga itu menoleh ke belakang. Bulu-bulu halus di sekitar dagu dan di atas kumisnya menampilkan kesan seram pada supir kami. "Apa kamu yakin?" David memastikan. "Tentu, Bos," jawab supir kami itu sambil mengangguk. Entah dari mana David mendapatkan anak buah seperti itu? Namun, sebagai bawahan ia berbicara pada David dengan suara hormat. Tentu saja, uang yang berkuasa. "Bro, dia ada di dalam sana." David mengarahkan matanya ke dalam rumah sakit bertingkat tiga di hadapan kami, "Ayo, kita masuk," lanjutnya.
"Kalian siapa?""Kenapa Lilis, gak pernah melihat kalian sebelumnya?" Dia berusaha duduk dan bersandar di tepi ranjang.Aku dan David saling pandang."Kami Baru," kilahku dengan cepat."Dokter magang baru, baru hari ini." David menambahkan kata-kataku.Hening. Sejenak anak perempuan Bik Asih itu memandangku dan David bergantian. Kedua alisnya mengernyit, kerutan halus juga timbul di keningnya. Menambah kesan sakit."Aarrghh ….""Kamu kenapa?"
Menjelang senja kami tiba di hotel. Kali ini aku dan David tidur di kamar terpisah. Kamar kami bersebelahan. Jika ada apa-apa aku tinggal meneleponnya."See you.""See you, acara kita besok jam sembilan pagi. Jangan lupa, Lex!""Ok. Santai, Bro. Hanya kunjungan ke kantor cabang, 'kan?""Jangan terlambat!" peringatnya lagi.David mengangguk dan masuk ke kamarnya.Aku memutar kunci, mendorong pintu kamar. Saatnya untuk beristirahat. Melepas kancing kemeja satu persatu. Dengan tampang setampan ini takkan ada orang yang curiga jika aku meng
Aku dan David masih duduk di dalam kantor polisi. Hampir dua jam kami dimintai keterangan. Luka-lukaku sudah diobati. Namun, tetap saja sekujur badanku terasa sakit semua. "Bagaimana sekarang?" David bertanya dengan nada kasihan padaku. "Batalkan peninjauan hari ini. Masak iya, loe masih ngajak gue meninjau kantor cabang?" "Oke." David melihat ke halaman kantor polisi beberapa awak media berkumpul menunggu kami keluar. "Tunggu sebentar," ucap David sambil berlalu. Ia berjalan ke ruang kepala kantor polisi. Entah apa yang dibicarakannya. "Ayo, Bro!" Tak berapa lama sekretaris pribadiku itu keluar dari ruang kepala kantor polisi. Di sebelahnya seora