Aku duduk bersebelahan dengan mama. Wanita yang terlihat memesona di umur menjelang lima puluh tahunnya itu tersenyum padaku. Mengenakan gaun tanpa lengan berwarna magenta, dari bahan sutra. Dipadukan dengan cardigan berwarna hitam. Mama tampak modis dan anggun.
Papa memakai sweater tebal berwarna hitam dengan motif jajaran genjang. Ah, aku lupa sepertinya itu kotak-kotak. Lelaki itu lebih banyak diam. Kesehatannya akhir-akhir ini semakin memburuk.
Aku menyipitkan sudut mataku mengarah pada papa. Ibu kandungku itu menganggukan kepalanya pelan. Mengerti akan maksudku.
"Kita mampir ke toko buah untuk oleh-oleh, Pa?"
Mama mencoba mengajak Papa berbicara. Sejak mama
"Ini tidak mungkinn …!" jerit Mama. Setelah menjerit satu telapak tangannya menutupi mulut.Mama membelalakkan matanya menatap Paula Stephanie, tangannya mengepal."KAU?!""BAGAIMANA MUNGKIN KAU ADA DI SANA DAN MEREKAMNYA, TANPA MENOLONGKU?!"KAU ADALAH ORANG YANG MERENCANAKAN SEMUA INI, HAH?"Saat nenek, Alicia bahkan Paula stephanie menatap ke arah layar televisi. Mama berjalan dengan cepat ke arah ibu Jhonny itu.Plak!Bunyi tamparan dengan
"Ma," ucapku sambil mengetuk pintu."Masuk Alex."Aku menarik gagang pintu, mendorong pintu lebih lebar dan melangkah masuk.Mama menoleh sebentar. Wanita paruh baya itu berdiri di samping jendela. Menyandar pada dinding, tatapan matanya kosong."Mama baik-baik saja?""Bagaimana mama akan baik-baik saja, setelah semua yang terjadi, Alex. Kau tahu hari ini adalah pertama kalinya mama menampar seseorang.""Dua kali, mama malah menampar Ibu Jhonny itu sebanyak dua kali."
"Wah, kalian sudah berani main rahasia-rahasiaan sekarang?!" Aku menatap serius ke arah Tamara, "Kenapa loe bener-bener jatuh cinta sama David, dan ninggalin gue?" Aku tak sengaja menyenggol kaki Tamara di bawah meja. Tamara terlihat salah tingkah. Ia menatap ke arah lain. "Maaf, tak sengaja!" David mendongak dari layar ponselnya. Menatapku dan Tamara yang terlihat canggung. "Kalian ini kenapa?" "Gak apa-apa, Bro." Aku melirik sekilas pada Tamara yang masih terdiam. Tangan kanannya memegang ponsel. Namun, matanya menatapku. Semoga Tamara tak menganggap serius ucapanku. Itu hanya bercanda.
"Aargh …."Wulan limbung hampir terjatuh, aku segera menangkapnya dalam pelukan."Tuh, kena karma karena menganiaya cowok seganteng aku.""A-aku …."Mata Wulan mengerjap beberapa kali. Ia menatapku dengan tatapan yang entah. Aku pun tak mengerti ada apa di dalam hatiku. Mata kami saling bertautan. Dunia terasa terhenti. Detik jam seakan-akan tak berputar udara pun mengendap tak berembus. Memberikan kami kesempatan untuk saling menikmati suasana.Bulu mata Wulan sangat cantik, panjang dan lentik. Alisnya tebal, pipinya mulai bersemburat warna merah.
Kediaman Keluarga Ibrahim. "Kalian sudah pulang?" Mama tersenyum dengan deretan gigi yang terlihat berbaris rapi. Ia memakai topi lebar berwarna putih. Tangan kanannya memegang gunting taman. Ia sangat suka berkebun. "Iya, Tante. Acaranya baru selesai." Mata mama menatap pada piala berwarna emas yang dibawa Wulan, "Apa itu, Wulan?" Wulan mengangkat piala di tangannya, "Wulan menang Tante, kategori obat inovatif," jelas Wulan. "Calon mantu Tante emang pinter!" "Mama terlalu memuji, itu cum
"Ini dia rumah sakitnya, Bos." Lelaki berbadan tegap dengan jambang panjang di sebelah telinga itu menoleh ke belakang. Bulu-bulu halus di sekitar dagu dan di atas kumisnya menampilkan kesan seram pada supir kami. "Apa kamu yakin?" David memastikan. "Tentu, Bos," jawab supir kami itu sambil mengangguk. Entah dari mana David mendapatkan anak buah seperti itu? Namun, sebagai bawahan ia berbicara pada David dengan suara hormat. Tentu saja, uang yang berkuasa. "Bro, dia ada di dalam sana." David mengarahkan matanya ke dalam rumah sakit bertingkat tiga di hadapan kami, "Ayo, kita masuk," lanjutnya.
"Kalian siapa?""Kenapa Lilis, gak pernah melihat kalian sebelumnya?" Dia berusaha duduk dan bersandar di tepi ranjang.Aku dan David saling pandang."Kami Baru," kilahku dengan cepat."Dokter magang baru, baru hari ini." David menambahkan kata-kataku.Hening. Sejenak anak perempuan Bik Asih itu memandangku dan David bergantian. Kedua alisnya mengernyit, kerutan halus juga timbul di keningnya. Menambah kesan sakit."Aarrghh ….""Kamu kenapa?"
Menjelang senja kami tiba di hotel. Kali ini aku dan David tidur di kamar terpisah. Kamar kami bersebelahan. Jika ada apa-apa aku tinggal meneleponnya."See you.""See you, acara kita besok jam sembilan pagi. Jangan lupa, Lex!""Ok. Santai, Bro. Hanya kunjungan ke kantor cabang, 'kan?""Jangan terlambat!" peringatnya lagi.David mengangguk dan masuk ke kamarnya.Aku memutar kunci, mendorong pintu kamar. Saatnya untuk beristirahat. Melepas kancing kemeja satu persatu. Dengan tampang setampan ini takkan ada orang yang curiga jika aku meng
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad