Seminggu Yang Lalu ….
Gemerlap lampu sorot berwarna-warni membuat suasana klub Heaven sangat meriah. Pesta dalam kegelapan. Dentuman musik dengan volume memekakkan telinga membuat para tamu yang datang bergoyang semakin cepat dan enerjik.
Kehidupan malam adalah milik para manusia bebas. Kebebasan adalah tujuan semua manusia yang memiliki masalah.
"Loe tau Lex, gimana selama tiga tahun ini gue ngejaga, Anissa?" David menunjuk ke arah dadanya sendiri.
"Gue bener-bener sayang sama dia. Sampai-sampai gue gak pengen merusak dia. Bukankah cinta itu menjaga sampai dia menjadi yang halal untuk kita sentuh?"
David menenggak minuma
"Apa ini cuma akal-akalan Hilton Corporation untuk meredam berita di media masa?" Perempuan yang bertubuh lebih gemuk menyikut lengan wanita di sebelahnya."Apa pun yang terjadi itu semua bukan urusan kalian!" sambungku lalu berdiri meninggalkan area pernikahan itu."Alex." Suara seorang perempuan memanggilku.Refleks aku menoleh ke arah belakang. Dari kejauhan mama dan Wulan menatapku, wanita paruh baya mengenakan gaun berwarna putih dengan sentuhan brokat berwarna emas itu melambai padaku.Mama menyuruhku mendekat, aku berbalik badan. Mengurungkan langkah yang akan meninggalkan area pernikahan ini.
Aku dan Om William berpelukan beberapa saat. Wildan menatap tajam padaku."Kalian terlihat akrab, apa kalian saling mengenal sebelumnya?" Kedua alis Wildan mengernyit."Kami hanya rekan bisnis, Nak!" Om William melepas pelukan. Terlihat ia berusaha bersikap tenang dan biasa saja di hadapan sang anak.Wildan berjalan perlahan menuju kami. Gadis cantik dengan balutan Cheongsam Floral berwarna putih itu mengikuti langkah sepupunya."Apa papa tahu siapa dia?" Wildan telah berada di samping papanya. Wajahnya memerah, terlihat masih marah kalah duel denganku tadi, "Dia adalah Alexander Ibrahim. Lelaki yang kabur dari acara pertunangan Melissa, sebulan yang lalu."
"Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi?"Aku memukul kaca di hadapan. Bagaimana bisa golongan darahku tak sama dengan Om William?"Jadi, aku ini anak siapa?!" teriakku di depan kaca.Menekan kran besi di westafel, air mengucur dengan deras. Segera kubasuh muka. Saat semua hal terlalu benar dan menjadi di luar nalar. Aku butuh air untuk membasuh muka. Semoga diriku yang menyedihkan ini segera sadar dari halusinasi kesombonganku.Mendongak, kembali menatap cermin di hadapan. Wajahku telah basah oleh air. Beberapa tetes cairan turun dari rambut ke kening."Apa aku benar-benar anak, Papa? Ibrahim, pemilik Th
"Harap tenang dan tidak membuat keributan." Salah seorang polisi mendekat ke arahku. Berbicara dengan tegas."Baik, Pak." Aku mengangguk, menuruti perintah Polisi itu.Satu sudut bibir Jhonny terangkat naik, "Apa maumu? Tak mungkin seorang Alexander Ibrahim datang kemari ingin menjenguk apalagi ingin reuni keluarga denganku," selidik Jhonny."Lima menit lagi." Seorang polisi mengatakan sisa waktuku menjenguk.Di depanku seorang lelaki dengan borgol di tangannya menatapku tajam. Di balik jeruji besi yang memisahkan ruangan ini, bisa kulihat dengan jelas tubuh Jhonny lebih kurus. Kumis di sekitar wajah dan dagunya terlihat tak terurus. Rambutnya dipotong cepak, hanya itu
Mama menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sepertinya sangat sulit bagi mama menerima kenyataan yang terjadi, "Ini tidak mungkin!"Urat-urat halus di kening Mama terlihat semua. Kerutan di wajahnya menyiratkan ekspresi tak percaya, kesal dan entahlah. Mama mungkin sulit mempercayai bahwa aku adalah anak kandung dari pria yang selama ini menjadi suaminya, Ibrahim pemilik The One Property.Ada saatnya ketika kita melakukan kesalahan. Semua hal negatif memenuhi isi kepala juga hati. Termasuk meragukan kebenaran akan kesalahan yang kita perbuat. Seperti saat ini."Ah, Mama sungguh tak habis pikir. Jadi selama ini mama menanggung beban, dan menyembunyikan rahasia yang sebenarnya tak perlu ditakutkan." Mama tersenyum lega menatapku, "Kamu adalah anak
Terlalu lelah untuk dapat memejamkan mata dengan cepat. Kembali berdiri berjalan menuju meja belajar. Aku duduk di depan komputer. Memasukkan kode rahasia di laman awal pengaturan CCTV rumah ini.Memutar video rekaman beberapa jam lalu. Mencari sudut kamera yang mengarah ke depan kamar mama. Kamera terdekat berada di atas pintu menuju balkon. Dari sudut kamera itu, koridor dan seluruh kamar di lantai dua terlihat."This is it!" Kutekan tombol zoom.Benar dugaanku. Bik Asih tadi memang sengaja menguping.Beberapa jam yang lalu saat asisten rumah tanggaku itu keluar dari kamarku. Ia terlihat menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan. Pelan-pelan ia mendekatkan kuping ke pintu kamar ma
Setelah beberapa menit menunggu. Akhirnya seorang lelaki dengan memakai topi berwarna hitam berjalan menuju mobil warna silver yang diparkir agak jauh dari mobil rolls-royce Phantomku. Perawakan lelaki bertopi itu tak begitu tinggi. Badannya berisi dengan dada bidang. Kuperkirakan usianya sekitar empat atau lima puluh tahunan. Lelaki itu terus menoleh ke kanan dan kiri. Seperti mencari sesuatu. Sudut mataku terus mengawasi lelaki itu. Siapa dia? Kenapa membuntutiku sedari tadi? Mobil berwarna silver itu mundur dan berbelok. Akan keluar dari gerbang pertokoan. De javu, sepertinya aku mengenali lelaki bertopi hitam itu. Namun, aku lupa tepatnya. Siapa dia? Kapan dan dimana kejadia
"Cepat keluar!" Aku meraih pintu dan membukanya.Menarik kasar kerah leher lelaki di dalam mobil. Menyeretnya keluar dengan paksa.Brakgh!Memojokkan lelaki itu, ia menempel di samping mobil. Ia tak bisa bergerak lagi."Kenapa kamu membuntutiku sejak pagi tadi?"Aku membelalakkan mata, menggeram dengan suara tertahan pada lelaki itu.Bukannya menjawab lelaki itu menatapku dengan tajam. Satu sudut bibirnya naik, "Anak kemarin sore mau melawanku?"Bukgh!
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad