Pintu tertutup, terasa getaran pelan. Udara seakan-akan terperangkap, tak bergerak. Pengap. Beberapa menit menaiki lift. Angka satu di papan dinding lift menyala. Seorang diri berada di dalam sini.
Tiing.
Terdengar bunyi, pertanda lantai tujuan telah sampai. Pintu lift terbuka, aku berjalan dengan segera menuju lobby.
"Tolong panggilkan supir mobil saya!" perintahku.
Sang perempuan di balik meja resepsionis mengangguk. Ia menyalakan sesuatu lalu berbicara di depan mik kecil di hadapannya. Terdengar suara ramah wanita itu, menyebut namaku juga plat nomor di bagian belakang kendaraan.
Tak butuh waktu lama,
"Halo ….""Halo, Alex!? Akhirnya kamu meneleponku."Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya panggilanku tersambung. Suara Wulan sedikit berbeda dari biasanya. Lewat panggilan telepon, suaranya lebih halus dan merdu. Nada suaranya terdengar sangat bersemangat ketika mendapat teleponku. Sengaja kukeraskan volume suara, ingin mendengarnya bicara dengan jelas."Kangen, ya?" tanyaku. Sengaja ingin menggodanya."Bagaimana soal pertunangan kita? The One Property pasti tidak ingin rugi bukan. Mari kita mulai dari awal lagi, aku berjanji tidak akan berselingkuh atau apapun itu."Apa yang dibi
Pintu lift terbuka perlahan. Aku berjalan lebih dulu di depan David. Anak Om Pramudya itu masih menatapku dengan tatapan yang entah. Alisnya mengernyit, timbul urat halus di keningnya."Serius loe, Bro?" David menyenggol lenganku, ia memasang wajah terkejut.Aku mengangguk dengan yakin. Tersenyum menatap sekretaris pribadiku itu."Gila! beneran loe, mau lakuin itu?"Aku kembali mengangguk dan tersenyum pada David dengan yakin."Jika Tamara tak mau melepaskanku, akan kubuat dia yang mundur dan melupakanku bagaimanapun caranya. Dengan cara ini aku bisa mencari wanita yang benar-benar mencintaiku karena aku adala
Menjelang malam hari seorang gadis cantik memakai blus berwarna biru dan rok mini sepahanya, membuka pintu kamar. Ia berjalan sangat pelan. Bola matanya menyorot perban putih memanjang di tungkai kaki. Wajahnya seakan-akan tampak terkejut, dan sedih. Alicia berjalan di belakangnya. Adik perempuanku itu sepertinya baru pulang sekolah. Ia masih mengenakan atasan putih, dan rok abu-abunya. Dari mana saja anak kesayangan Papa itu. Pasti dia jalan-jalan ke mall dengan kawan-kawannya, sampai lupa waktu. "Alex?" "Kakak …?" Alicia memekik melihat keadaanku. "Apa yang terjadi denganmu?" Tamara bertanya sembari menuju ranjang. Aku hanya di
"Aku gimana? Wulan tidur di mana?"Satu sudut bibirku terangkat naik, aku menepuk ranjang di sebelahku, "Kamu lupa hutang Abah sudah lunas karena siapa? Tugas kamu malam ini temenin aku tidur!" candaku."Apaaa?!" Wulan berteriak tak percaya pada apa yang didengarnya."Gue kan udah bayarin utang Abah, sebagai balas budi Loe harus temenin gue tidur malam ini." Aku memasang wajah seserius mungkin. Menatap Wulan tanpa berkedip."Aapaaa?" Mulutnya kembali terbuka lebar."Gue pulang dulu ya, terserah kalian deh, mau bertengkar, main pijat-pijatan atau mau cakar-cakaran juga up to you. Bye!" David b
Perlahan kepalaku pun merosot turun. Menyandar pada kepala Wulan. Aku ikut memejamkan mata. Berada sedekat ini dengan Wulan, membuatku merasa nyaman. Rasanya tak ingin waktu berputar. Tetaplah seperti ini, jangan ada yang mengganggu.Walau jemari tak berpegangan erat. Namun, hati kami perlahan mulai menjerat. Entah di belokan takdir yang mana, semoga tujuan kami sama. Berjalan bersama menuju arah itu.Semoga!"Aleeex!" Seseorang berteriak memanggil namaku."Apa yang kamu lakukan?"Aku segera membuka mata. Melepaskan earphone dari telingaku. Tamara berdiri di ambang pintu. Ia menatap tajam pad
"Terus, Wulan maunya gimana?""Ali 'kan udah janji, jangan berubah ...."Skesta ingatan saat aku mengunjungi Wulan dan Abah beberapa hari yang lalu terputar di ingatan. Saat aku berpamitan di depan rumah Wulan."Janji ya, jangan lupain Abah dan Wulan? Sebenarnya tadi, aku tahu itu kamu. Namun, aku takut. Masihkah Ali yang dulu kukenal sama seperti dahulu atau sudah berubah!"Saat itu Wulan ternyata sudah mengenaliku sejak aku datang. Namun, ia sengaja bersikap galak dan judes untuk mengujiku. Terkadang sebuah perubahan yang terjadi tak sengaja menciptakan dinding antara kita dan orang lain.
Aku menggeliat, merentangkan kedua tangan. Mengerjapkan mata pelan, melihat sekeliling. Sepi. Mungkin Wulan sudah pergi sejak tadi malam. Terakhir yang kuingat, menyuruhnya menggosok punggungku dan bernyanyi.Tak sengaja aku menoleh ke arah kursi panjang di dekat dinding. Gadis cempreng itu tertidur di sana mengangkat kakinya, meringkuk agar cukup di dalam kursi panjang.Jadi semalam dia tidak kembali ke kamar Bik Asih? Apa dia tidur di kursi itu semalaman? Jadi dia pikir aku ini benar-benar sakit? Dasar gadis bodoh!Terpikir ide untuk mengerjai gadis bodoh itu kembali, "Aduh ... tolong ... sakit!"Aku berteriak, mengerang kesakitan. memasang wajah kesakita
"Ayo, Wulan!" Wulan mendorong kursi rodaku, patuh pada perintah. Aku menatap tajam Jhonny. Seperti biasa anak haram Papa itu tersenyum menyeringai ke arahku. Sorot mata liciknya menyiratkan banyak tipu muslihat yang ia sembunyikan. Apa tujuan Jhonny datang lagi ke rumah ini. Bukankah sudah jelas hasil keputusan rapat dewan direksi saat itu. Pemimpin The One Property selanjutnya adalah aku, pemilik saham terbesar kedua di perusahaan. Apa yang direncanakannya kali ini? Apa yang dibicarakannya dengan Papa? Keluar dari pintu kamar. Tak lupa Wulan menutupnya kembali. Memberikan waktu Pa
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad