"Hahahhaa … Kakak, ngapain?"
Alicia tertawa terbahak-bahak. Satu tangannya memegang perut, "Pasti mimpi jorok, nih?"
"Dasar cewek fiktor! Enak aja," jawabku, mencoba berdiri tegak, "Mau ngapain kesini pagi-pagi?"
"Di bawah ada Kak David, lagi nunggu Kakak tuh!"
Aku mengernyitkan alis. David? Kenapa dia kesini sepagi ini? Apa Om Pramudya masih sakit? Sepertinya ada sesuatu yang penting!
"Suruh dia tunggu, sebentar lagi kakak akan turun!"
Tanpa menunggu jawaban aku segera menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Melakukan ritual mandi secukupnya
Pintu tertutup, terasa getaran pelan. Udara seakan-akan terperangkap, tak bergerak. Pengap. Beberapa menit menaiki lift. Angka satu di papan dinding lift menyala. Seorang diri berada di dalam sini.Tiing.Terdengar bunyi, pertanda lantai tujuan telah sampai. Pintu lift terbuka, aku berjalan dengan segera menuju lobby."Tolong panggilkan supir mobil saya!" perintahku.Sang perempuan di balik meja resepsionis mengangguk. Ia menyalakan sesuatu lalu berbicara di depan mik kecil di hadapannya. Terdengar suara ramah wanita itu, menyebut namaku juga plat nomor di bagian belakang kendaraan.Tak butuh waktu lama,
"Halo ….""Halo, Alex!? Akhirnya kamu meneleponku."Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya panggilanku tersambung. Suara Wulan sedikit berbeda dari biasanya. Lewat panggilan telepon, suaranya lebih halus dan merdu. Nada suaranya terdengar sangat bersemangat ketika mendapat teleponku. Sengaja kukeraskan volume suara, ingin mendengarnya bicara dengan jelas."Kangen, ya?" tanyaku. Sengaja ingin menggodanya."Bagaimana soal pertunangan kita? The One Property pasti tidak ingin rugi bukan. Mari kita mulai dari awal lagi, aku berjanji tidak akan berselingkuh atau apapun itu."Apa yang dibi
Pintu lift terbuka perlahan. Aku berjalan lebih dulu di depan David. Anak Om Pramudya itu masih menatapku dengan tatapan yang entah. Alisnya mengernyit, timbul urat halus di keningnya."Serius loe, Bro?" David menyenggol lenganku, ia memasang wajah terkejut.Aku mengangguk dengan yakin. Tersenyum menatap sekretaris pribadiku itu."Gila! beneran loe, mau lakuin itu?"Aku kembali mengangguk dan tersenyum pada David dengan yakin."Jika Tamara tak mau melepaskanku, akan kubuat dia yang mundur dan melupakanku bagaimanapun caranya. Dengan cara ini aku bisa mencari wanita yang benar-benar mencintaiku karena aku adala
Menjelang malam hari seorang gadis cantik memakai blus berwarna biru dan rok mini sepahanya, membuka pintu kamar. Ia berjalan sangat pelan. Bola matanya menyorot perban putih memanjang di tungkai kaki. Wajahnya seakan-akan tampak terkejut, dan sedih. Alicia berjalan di belakangnya. Adik perempuanku itu sepertinya baru pulang sekolah. Ia masih mengenakan atasan putih, dan rok abu-abunya. Dari mana saja anak kesayangan Papa itu. Pasti dia jalan-jalan ke mall dengan kawan-kawannya, sampai lupa waktu. "Alex?" "Kakak …?" Alicia memekik melihat keadaanku. "Apa yang terjadi denganmu?" Tamara bertanya sembari menuju ranjang. Aku hanya di
"Aku gimana? Wulan tidur di mana?"Satu sudut bibirku terangkat naik, aku menepuk ranjang di sebelahku, "Kamu lupa hutang Abah sudah lunas karena siapa? Tugas kamu malam ini temenin aku tidur!" candaku."Apaaa?!" Wulan berteriak tak percaya pada apa yang didengarnya."Gue kan udah bayarin utang Abah, sebagai balas budi Loe harus temenin gue tidur malam ini." Aku memasang wajah seserius mungkin. Menatap Wulan tanpa berkedip."Aapaaa?" Mulutnya kembali terbuka lebar."Gue pulang dulu ya, terserah kalian deh, mau bertengkar, main pijat-pijatan atau mau cakar-cakaran juga up to you. Bye!" David b
Perlahan kepalaku pun merosot turun. Menyandar pada kepala Wulan. Aku ikut memejamkan mata. Berada sedekat ini dengan Wulan, membuatku merasa nyaman. Rasanya tak ingin waktu berputar. Tetaplah seperti ini, jangan ada yang mengganggu.Walau jemari tak berpegangan erat. Namun, hati kami perlahan mulai menjerat. Entah di belokan takdir yang mana, semoga tujuan kami sama. Berjalan bersama menuju arah itu.Semoga!"Aleeex!" Seseorang berteriak memanggil namaku."Apa yang kamu lakukan?"Aku segera membuka mata. Melepaskan earphone dari telingaku. Tamara berdiri di ambang pintu. Ia menatap tajam pad
"Terus, Wulan maunya gimana?""Ali 'kan udah janji, jangan berubah ...."Skesta ingatan saat aku mengunjungi Wulan dan Abah beberapa hari yang lalu terputar di ingatan. Saat aku berpamitan di depan rumah Wulan."Janji ya, jangan lupain Abah dan Wulan? Sebenarnya tadi, aku tahu itu kamu. Namun, aku takut. Masihkah Ali yang dulu kukenal sama seperti dahulu atau sudah berubah!"Saat itu Wulan ternyata sudah mengenaliku sejak aku datang. Namun, ia sengaja bersikap galak dan judes untuk mengujiku. Terkadang sebuah perubahan yang terjadi tak sengaja menciptakan dinding antara kita dan orang lain.
Aku menggeliat, merentangkan kedua tangan. Mengerjapkan mata pelan, melihat sekeliling. Sepi. Mungkin Wulan sudah pergi sejak tadi malam. Terakhir yang kuingat, menyuruhnya menggosok punggungku dan bernyanyi.Tak sengaja aku menoleh ke arah kursi panjang di dekat dinding. Gadis cempreng itu tertidur di sana mengangkat kakinya, meringkuk agar cukup di dalam kursi panjang.Jadi semalam dia tidak kembali ke kamar Bik Asih? Apa dia tidur di kursi itu semalaman? Jadi dia pikir aku ini benar-benar sakit? Dasar gadis bodoh!Terpikir ide untuk mengerjai gadis bodoh itu kembali, "Aduh ... tolong ... sakit!"Aku berteriak, mengerang kesakitan. memasang wajah kesakita