"Ayo, Wulan!"
Wulan mendorong kursi rodaku, patuh pada perintah. Aku menatap tajam Jhonny. Seperti biasa anak haram Papa itu tersenyum menyeringai ke arahku. Sorot mata liciknya menyiratkan banyak tipu muslihat yang ia sembunyikan.
Apa tujuan Jhonny datang lagi ke rumah ini. Bukankah sudah jelas hasil keputusan rapat dewan direksi saat itu. Pemimpin The One Property selanjutnya adalah aku, pemilik saham terbesar kedua di perusahaan.
Apa yang direncanakannya kali ini?
Apa yang dibicarakannya dengan Papa?
Keluar dari pintu kamar. Tak lupa Wulan menutupnya kembali. Memberikan waktu Pa
Pagi-pagi sekali aku telah bangun, duduk di pinggir ranjang. Jam digital pada layar ponsel tampak menunjukkan angka sembilan lebih lima belas menit. Aku akan menelepon Wulan, menyuruhnya ke kamar dan membantuku bersiap-siap.Ini adalah waktu terpagi saat aku tak punya kesibukan apapun. Biasanya Aku bangun pukul sepuluh atau sebelas siang. Lama tidak masuk ke kantor aku lupa caranya bangun pagi. Ah, sudahlah. Bangun siang itu sudah jadi kebiasaan lumrah para lelaki. Camkan itu!Terdengar suara pintu yang diketuk. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang dikuncir ekor kuda berjalan masuk setelahnya. Kedua tangannya memegang nampan, ada satu mangkuk dan segelas air putih di atasnya. Semoga tidak bubur lagi aku bosan.Kuurungkan
Aku mengerutkan alis. Mencoba berpikir dengan keras, "Bagaimana membuat Tamara, mundur? Benci padaku lalu memutuskan pertunangan?" David tersenyum lebar. Sepertinya ia sudah punya ide! Apapun ide David itu kuharap berhasil. ***CEO Yang Hilang Ingatan*** Mengeluarkan beberapa kertas berstempel dari amplop cokelat. Hasil pemeriksaan kandungan obat. Juga satu lembar lagi, pemalsuan kesehatanku sendiri. Satu sudut bibirku terangkat naik. Besok aku akan melihat bagaimana ekspresi Tamara bila mengetahui tulisan di selembar surat ini. [Tamara, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Datanglah ke rumahku besok.]
"Yes! Good job Alex!" Aku mengepalkan tangan dengan erat. Mengayunkannya dari atas ke bawah. Merayakan kemenangan.Akhirnya urusan dengan Tamara selesai juga. Semoga dengan surat keterangan kesehatan palsuku tadi, bisa membuat Tamara benar-benar berhenti untuk mendekatiku.Tak ada gunanya bersama jika tak ada rasa di antara kami. Buat apa berpura-pura bahwa hubungan kami baik-baik saja nyatanya kami tersiksa."Ali?!" Wajah Wulan menyembul dibalik pintu."Aarrgh," teriakku. Berpura-pura terjatuh di lantai. Menggeliat, memegang kaki kanan."Apa yang kau lakuk
Sebenarnya aku sudah lelah berpura-pura menjadi seorang penyakitan. Kemana-mana harus dibantu orang lain. Harga diriku sedikit turun saat menaiki kursi roda. Ketampananku berkurang hingga lima puluh persen. Kini, masalah dengan Tamara selesai. Hilton Coorporation telah membatalkan kerjasama secara sepihak. Aku tak perlu membayar apapun. Kalaupun ada yang harus diselesaikan, itu antara pihak keuangan kedua pihak. Tentunya, pihak Hilton yang membayar pada The One Property. Beberapa hari lagi aku harus terbang ke Singapura mengurus proyek terbaru dari perusahaan. Aah, lupa aku belum mengambil data-data yang harus dipelajari. Om Pramudya pasti telah mengirimkan semua datanya ke Papa. Baiklah aku akan mengambilnya ke sana. Melirik sebentar ke
Papa masuk ke kamar dan menutup pintunya perlahan. Aku mengamati sekitar, sepi. Berbalik badan menuju ruang kerja Papa. Membuka pintu dan segera mengambil amplop putih di laci meja kerja.Apa ini?Catatan medis siapa ini?Nyonya Liliana Yasmeen Abraham?Apa itu nama Mama? Di bagian depan amplop tadi tertera nama itu. Segera membuka amplop dan mengambil kertas di dalamnya. Sebuah catatan kesehatan.Tertulis di sana Nyonya Liliana Yasmeen Abraham menderita depresi dan ketergantungan alkohol. Siapa wanita ini? Apa dia Mamaku?
Seorang wanita dengan gaun vintage berwarna tosca. Menatap ke arahku. Aku menatapnya penuh tanya. "Alexander Ibrahim?" Aku mengangguk pelan. Merasa tak mengenali lawan bicara. "Siapa?" Manik mata kecokelatan gadis yang berdiri di sebelah suiteku masih membesar, menatapku dengan dua sudut bibir yang melengkung naik ke atas. "Gue Sintya, temen Tamara!" Gadis itu menaikkan kedua alisnya, berdiri mematung menatapku, "Kita ketemu di restoran cepat saji." Aku masih berusaha mengingat-ingat siap lawan bicaraku ini. Rasanya aku pernah bertemu dengannya dan Ta
"Tenanglah Tamara," ucapku pelan. Berusaha memeluknya, mengambil pecahan kaca di tangannya."Gue sakit hati Lex, Jhonny manfaatin gue. Loe ninggalin gue …."Ia menangis dalam pelukanku. Pundaknya bergetar. Apakah aku sudah terlalu jahat padanya? Apa rasanya sesakit itu hingga ia ingin bunuh diri?Astaga. Harusnya aku tak menyetujui usul David. Lebih baik aku bersantai di kamar, mengistirahatkan badan atau sedikit mengemas barang.Aku memandang lurus ke luar lounge. Lautan manusia sedang asyik berjoged mengikuti irama. Tua, muda, laki-laki ataupun perempuan melepaskan beban pikiran mereka. Semakin cepat irama musik, semakin energik goyanga
"Apa kau yakin? Apa aku perlu bertanya langsung pada, Jhonny?" Tamara mengedipkan matanya beberapa kali. Alisnya berkerut, ia seperti berpikir dengan keras. Ah, wanita ini. Aku bisa membaca hatimu lewat ekspresi wajah yang kau tampilkan. "Sebenarnya …." Kalimat Tamara terjeda lama. Aku menunggu kejujurannya. Melirik jam Rolex berbahan besi keemasan di pergelangan tangan. Astaga, Tamara membuang-buang waktuku. Aku belum beristirahat sejak selesai meeting tadi pagi dan beberapa jam lagi pesawat akan take off. "Jangan membuang waktuku Tamara," desakku. "Jhonny mendatangiku beberapa hari yang lalu," terang Tam