Seorang wanita dengan gaun vintage berwarna tosca. Menatap ke arahku. Aku menatapnya penuh tanya.
"Alexander Ibrahim?"
Aku mengangguk pelan. Merasa tak mengenali lawan bicara.
"Siapa?"
Manik mata kecokelatan gadis yang berdiri di sebelah suiteku masih membesar, menatapku dengan dua sudut bibir yang melengkung naik ke atas.
"Gue Sintya, temen Tamara!" Gadis itu menaikkan kedua alisnya, berdiri mematung menatapku, "Kita ketemu di restoran cepat saji."
Aku masih berusaha mengingat-ingat siap lawan bicaraku ini. Rasanya aku pernah bertemu dengannya dan Ta
"Tenanglah Tamara," ucapku pelan. Berusaha memeluknya, mengambil pecahan kaca di tangannya."Gue sakit hati Lex, Jhonny manfaatin gue. Loe ninggalin gue …."Ia menangis dalam pelukanku. Pundaknya bergetar. Apakah aku sudah terlalu jahat padanya? Apa rasanya sesakit itu hingga ia ingin bunuh diri?Astaga. Harusnya aku tak menyetujui usul David. Lebih baik aku bersantai di kamar, mengistirahatkan badan atau sedikit mengemas barang.Aku memandang lurus ke luar lounge. Lautan manusia sedang asyik berjoged mengikuti irama. Tua, muda, laki-laki ataupun perempuan melepaskan beban pikiran mereka. Semakin cepat irama musik, semakin energik goyanga
"Apa kau yakin? Apa aku perlu bertanya langsung pada, Jhonny?" Tamara mengedipkan matanya beberapa kali. Alisnya berkerut, ia seperti berpikir dengan keras. Ah, wanita ini. Aku bisa membaca hatimu lewat ekspresi wajah yang kau tampilkan. "Sebenarnya …." Kalimat Tamara terjeda lama. Aku menunggu kejujurannya. Melirik jam Rolex berbahan besi keemasan di pergelangan tangan. Astaga, Tamara membuang-buang waktuku. Aku belum beristirahat sejak selesai meeting tadi pagi dan beberapa jam lagi pesawat akan take off. "Jangan membuang waktuku Tamara," desakku. "Jhonny mendatangiku beberapa hari yang lalu," terang Tam
Pagar besi tinggi bercat putih bergeser perlahan. Kali ini tak menimbulkan bunyi gesekan antara roda dengan jalan besi di bawahnya. Tampak delapan pilar besar menyangga bagian depan sebuah rumah. Dengan dekorasi minimalis bergaya Eropa, terdapat dua balkon di sisi kiri dan kanan pada lantai duanya. "185 A." Aku tersenyum menatap sebuah nomor rumah mewah. Tiga hari melakukan perjalanan ke wae2Singapura. Membuatku merasa asing menatap rumahku sendiri. "Dah sampai, Den!" Pak Malik menolehku yang duduk di belakang. Aku menjawabnya dengan senyuman. "Tolong nanti bawakan bonekanya ke atas, ya, Pak!" Segera membuka pintu mobil dan turun sstelahnya.
Melissa Hartono, gadis cantik putri kedua dari keluarga Hartono. Orang kaya yang menempati daftar keluarga terkaya setelah keluarga Ibrahim di Indonesia pada tahun ini. Sebuah artikel dalam majalah Forbes yang kubaca beberapa hari yang lalu. Mereka memiliki beberapa real estate mewah dan sebuah perusahaan rokok terkenal di Indonesia. Aku menatap gadis itu dari kejauhan. Mata sipit dan bulu mata lentik, bibir tipis bergincu merah dengan rambut hitam panjangnya. Lebih cantik dan anggun dari Tamara. Ia sedang berbicara dengan beberapa kolega, sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Bersandar pada dinding di balkon rumah keluarga Melissa. Menatap ke arah langit gelap sambil memainkan gelas kaca berisi minuman kemerahan, kupikir itu sejenis wine. Cairan di dalamnya berputar-putar, memercik ke dinding gelas.
Aku berjalan dengan perlahan. Tiga meter dari hadapanku Papa berdiri menunggu. Sementara, nenek duduk di sofa dengan ekspresi menakutkan. Nenek tua itu menatap tajam padaku. "Dasar anak tak berguna, Alex! Dari mana saja kamu?" Ayah langsung mengumpat dan bertanya saat melihatku membuka pintu. Papa membelalakkan mata, ia berkacak pinggang. Urat halus di wajahnya terukir dengan jelas. Nadanya terus meninggi. Aku memasukkan satu tangan ke dalam saku. Tak sabar akan mengeluarkan benda dalam saku ke hadapan kedua orang di ruang tamu itu. "Alex! Nenek, tidak habis pikir. Kenapa kamu selalu mempermalukan keluarga? Kamu pikir nenek tak tahu, soal berakhirnya pertunanganmu dengan, Tamara dari Hilton Coorporation?"
"Selamat sore, Nyonya Liliana?" Seorang lelaki mengenakan jas dokter mendekat pada Mama, mencoba menyapa. Namun, Mama tetap tak bereaksi. Ia tetap pada posisi memeluk lututnya. Menatap kosong ke arah kaca jendela. "Bagian mana yang terasa sakit? Boleh saya memeriksa, Ibu?" Dokter itu masih terus mencoba berkomunikasi dengan Mama. Nihil. Mama tak bereaksi apapun. Seakan-akan tak ada orang di sekitarnya. Dokter Candra meraih pergelangan tangan Mama, memeriksa denyut nadi. Ia mengeluarkan senter kecil. Mengarahkan alat itu ke arah pupil mata Mama. Mama tetap tak berkedip.
"Bagaimana keadaan Mama Loe, Bro?"David menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk berwarna putih. Berjalan ke arahku."Dia udah baikan. Sekarang lagi tidur!"Aku menatap ke arah kamar, pintunya sedikit terbuka. Mama terlihat masih berbaring dalam balutan selimut."Mau kopi?" Aku mengangkat segelas kopi di tangan. Menawarkannya pada David."No, Thanks. Belum sarapan, takut asam lambung naik," jawabnya cepat.Kepalaku sedikit pusing, tak nyenyak tidur. Sejak Mama berteriak dan terbangun. Aku tak bisa tidur lagi. Kepala rasanya berdenyut dan berat.
"Ayo, masuk!" Aku mengajak Wulan dan Mama kembali masuk ke dalam villa.Matahari kian tinggi. Namun, cuaca tetap terasa dingin. Puncak Bogor, terlebih di kawasan villaku selalu berkabut. Hujan yang sering tiba-tiba datang walaupun cuaca panas sekalipun. Menoleh ke wajah Mama, di ujung bulu matanya ada setitik air. Cukup lama Mama menghilang, dan cuaca sangat dingin di luar. Aku menyeka embun di bulu mata Mama. Menggenggam tangannya yang dingin, "Jangan pergi lagi, Ma."Mama tak merespon kata-kataku. Aku merangkul pundak Mama agar berjalan lebih cepat menuju ke dalam villa. Rumput hijau yang kami pijak berair. Cuaca disini sangat dingin, sekitar 19°C. Di Jakarta bila hari sangat panas bisa mencapai 34-35°C.David membuka pintu